Download Di Kamar Praktik: Pitiriasis Rosea atau Dermatofitosis?

Survey
yes no Was this document useful for you?
   Thank you for your participation!

* Your assessment is very important for improving the workof artificial intelligence, which forms the content of this project

Document related concepts
no text concepts found
Transcript
Tinjauan Pustaka
Di Kamar Praktik:
Pitiriasis Rosea atau Dermatofitosis?
Ari Muhandari Ardhie
Klinik Kulit dan Kelamin, RSAB Harapan Kita
Abstrak: Pitiriasis rosea (PR) merupakan kelainan papuloeritroskuamosa yang swasirna dengan
etiologi belum diketahui pasti, yang dapat berlangsung sampai 8-12 minggu. Kemungkinan
infeksi sebagai penyebab masih diperdebatkan. Kelainan lebih sering terjadi pada saat
pergantian cuaca, dan kadang didahului oleh infeksi saluran nafas atas. Yang jelas, karena
tidak terbukti kontagius, maka pasien tidak perlu diisolasi. Gambaran klinis PR diawali oleh
lesi herald patch, diikuti oleh lesi berupa ‘an evergreen tree appearance with dropping branches’
yang karakteristik. Terapi umumnya suportif untuk mengatasi keluhan gatal dan mencegah
komplikasi. Yang penting dilakukan ialah edukasi terhadap kecemasan pasien. Selain itu,
terapi yang bisa diberikan ialah antiinflamasi topikal (krim atau salap steroid) dan antihistamin
oral. Untuk pasien dengan aktivitas tinggi, gunakan antihistamin nonsedasi. Meski masih
perlu penelitian mendalam, pemberian eritromisin selama 2 minggu dinyatakan mempercepat
penyembuhan. Sebagai diagnosis banding antara lain ialah dermatofitosis, suatu infeksi kulit
oleh dermatofita. Diagnosis klinis dermatofitosis mudah ditegakkan bila dijumpai lesi yang
karakteristik berupa lesi dengan central clearing. Apalagi bila kelainan terjadi di tempat
predileksi yakni pada area yang lembab dan hangat misalnya di area lipatan kulit. Terapi
dapat secara topikal maupun oral dengan preparat antimikotik.
Kata kunci: Pitiriasis rosea, lesi herald patch , lesi herald patch, dermatofitosis, lesi central
clearing.
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 10, Oktober 2008
395
Di Kamar Praktik: Pitiriasis Rosea atau Dermatofitosis?
At Clinic: Pityriasis Rosea or Dermatophytoses?
Ari Muhandari Ardhie
Harapan Kita Children & Women Hospital, Jakarta
Abstracts: Pityriasis rosea (PR) is a self limiting papuloerithrosquamous skin disease which goes
away in 8 to 12 weeks. The exact cause is unclear, although the cause may be a viral infection. PR
has been linked to upper respiratory tract infections. Since it is not contagious there is no reason
to avoid close contact.PR typically begins with a large, slightly raised, scaly patch — called the
herald patch — on back, chest or abdomen and then within a week or two more erythematous
patches will spread on the body and on the arms and legs. These patches often form a pattern over
the back resembling the outline of an evergreen tree with dropping branches. Thorough explanation for patient is important. Treatment may include topical anti inflammation and oral medications for relieve itching. For active patients, non sedating antihistamine is preferred. The addition
of antibiotic erythromycin have been claimed to produce healing in one to two weeks. Dermatophytoses as a differential diagnosis is skin infection caused by a variety of dermatophytes. Tinea
corporis which is an infections of the body begin as flat, scaly, and often pruritic macules that
subsequently develop a raised border and begin to spread radially. As the ring expands, the
central portion of the lesion often clears. This central clearing of lesion is characteristic for clinical
diagnosis. Topical or oral antimycotic therapy is drug of choice.
Key words: Pityriasis rosea, herald patch, dermatophytoses, central clearing.
Pendahuluan
Pasien (anak maupun dewasa) kerap datang dengan
keluhan bercak-bercak kemerahan bersisik, bentuk bulat-oval
di badan yang terasa gatal. Sebagian pasien datang setelah
berobat/memakai obat antimikotik dan merasa tidak sembuh.
Beberapa diagnosis banding yang perlu dipikirkan antara
lain ialah dermatofitosis, dermatitis numularis dan pitiriasis
rosea.
Pitiriasis rosea (PR) merupakan kelainan papuloeritroskuamosa yang swasirna dengan etiologi belum
diketahui pastiyang jelas bukan infeksi jamur atau kuman,
maupun reaksi alergi di kulit. Bukan pula manifestasi kelainan
internal. Berbagai penelitian dilakukan untuk mencari
kemungkinan reaktivasi virus herpes (HHV6 dan HHV7)
endogen sebagai penyebab, meski masih banyak perdebatan.1-4 Dasar pemikirannya ialah adanya peningkatan
insiden pada musim tertentu adanya kekambuhan bila daya
tahan tubuh menurun misalnya saat kehamilan. Tetapi karena
belum terbukti sepenuhnya kontagius, maka pasien tidak
perlu diisolasi. Kelainan terutama pada usia anak dan dewasa
muda (10-35 tahun) dan lebih sering pada wanita. 1,3 Kelainan
lebih sering terjadi pada saat pergantian cuaca dan kadang
didahului oleh infeksi saluran napas atas.
Gambaran klinis diawali oleh lesi inisial berupa bercak
eritematosa dengan skuama halus seukuran koin yang
disebut herald patch. Lesi akan diikuti dengan timbulnya
396
bercak-bercak berukuran lebih kecil, berbentuk anular (bulatoval), eritem dengan skuama halus, tersusun mengikuti garis
langer. Biasanya lesi dimulai di badan, meluas mengenai
lengan, tungkai atas, dan leher. Bila terjadi di punggung, kerap
terlihat susunan serupa pohon natal, yang karakteristik. Pada
beberapa kasus lesi dapat dijumpai di luar area yang lazim
yakni sampai di wajah dan tungkai bawah. Keluhan gatal
bervariasi yang umumnya dirasakan saat berkeringat.
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 10, Oktober 2008
Di Kamar Praktik: Pitiriasis Rosea atau Dermatofitosis?
Kelainan dapat berlangsung antara 8 sampai 12 minggu.
Bila kelainan tidak menghilang setelah 12 minggu, perlu
dipikirkan kemungkinan diagnosis lain misalnya pitiriasis
likenoid kronik atau psoriasis gutata. Umumnya hanya
berlangsung 1x saja, tetapi beberapa pasien ada yang
mengalami lebih dari 1x kelainan.
Masalah kerap terjadi di fase awal penyakit. Karena
pada saat itu, an evergreen tree appearance with dropping
branches belum muncul; yang sering terjadi ialah herald
patch disalahdiagnosiskan sebagai tinea korporis. Diagnosis banding yang perlu dipikirkan ialah dermatofitosis dan
dermatitis numularis.1-5 Biasanya seorang dermatologis dapat
menegakkan diagnosis secara klinis tetapi bila ada keraguan
dan fasilitasnya memungkinkan akan dilakukan pemeriksaan
kerokan kulit dengan KOH.6
Sebaliknya bila dijumpai lesi serupa PR tetapi tanpa
herald patch maka sebagai diagnosis banding perlu dipikirkan antara lain erupsi obat, sifilis stadium II, dan dermatomikosis. Pada kondisi tersebut, pemeriksaan uji serologis
untuk sifilis merupakan indikasi. 1,2,5,7
Terapi umumnya suportif karena PR bersifat swasirna.1,2
Tujuan pengobatannya ialah mengatasi keluhan gatal dan
mencegah komplikasi (biasanya berupa infeksi sekunder
akibat garukan). Pada beberapa kasus apalagi yang jelas
didahului oleh infeksi saluranapas atas, pemberian eritromisin
dinyatakan mempercepat penyembuhan.1,2,5,6 Penelusuran
Chuh et al8 di tahun 2007 hanya menemukan 3 penelitian
yang melibatkan total 148 pasien PR. Satu diantaranya
memang menunjukkan perbaikan klinis (RR 13.00; 95% CI
1.91 to 88.64), disertai penurunan keluhan gatal (difference
of 3.95 points, 95% CI 3.37 to 4.53) pada 40 pasien PR setelah
2 minggu diberikan eritromisin dibanding plasebo. Dari hasil
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 10, Oktober 2008
telusur tersebut disimpulkan masih diperlukan penelitian
lebih mendalam guna menilai efektivitas terapi antibiotik
terhadap PR. Tindakan yang lebih penting dilakukan ialah
edukasi karena umumnya pasien merasa cemas. Selain itu,
terapi yang dapat diberikan ialah antiinflamasi topikal (krim
atau salap steroid) dan antihistamin oral. Untuk pasien
dengan aktivitas tinggi dapat digunakan antihistamin nonsedasi. Pada kasus tertentu, fototerapi dapat dipertimbangkan.1,2,5
Dermatofitosis atau tinea ialah kelainan kulit superfisial
akibat infeksi dermatofita (jamur yang hidup dengan mencerna
keratin).9,10 Jamur itu menghasilkan enzim keratinase yang
menyebabkan komponen jamur dapat menginvasi sampai
bagian bawah epidermis. Penamaannya disesuaikan dengan
lokasi kelainan, yang bila terjadi di badan disebut sebagai
tinea korporis. Tinea korporis disebut juga ringworm, suatu
penamaan yang diberikan karena bentuk kelainannya dan
bukan karena penyebabnya. Kelainan bukan disebabkan
oleh worm tetapi oleh dermatofita, yang tersering ialah Trichophyton rubrum dan Microsporum canis.
Karena merupakan infeksi, maka upaya pencegahan
yang penting dilakukan ialah menjaga higiene. Hindari
berkontak dengan lesi jamur, termasuk melalui olahraga
dengan kontak fisik erat, segera mencuci tangan sesudah
berkebun atau merawat binatang. Gunakan pakaian yang
berbahan dan berpotongan nyaman.
Diagnosis kadang dapat ditegakkan secara klinis bila
dijumpai lesi yang klasik. Kelainan berupa bercak berskuama
dengan batas tegas yang meluas ke perifer. Bagian tepi lesi
terlihat lebih aktif, meninggi, eritematosa dengan bagian
tengah berupa central clearing. Kelainan lebih sering terjadi
di area yang lembab dan hangat misalnya di area lipatan kulit.
Sebagai diagnosis banding perlu dipikirkan herald patch
pitiriasis rosea dan dermatitis numularis.
Terapi dapat secara topikal maupun oral (bila lesi luas
atau tidak responsif dengan terapi topikal) berupa preparat
antimikotik. Obat topikal harus dioleskan sampai 1 cm di luar
batas tepi lesi. Kelainan umumnya sembuh dalam waktu 2
minggu, tetapi terapi topikal harus diteruskan minimal selama
3 minggu untuk memastikan bahwa semua jamur tereradikasi.
Pilihan obat ialah griseofulvin yang bersifat fungistatik atau
golongan azol maupun terbinafin yang bersifat fungisidal.
Preparat azol dalam bentuk topikal yakni imidazol (mikonazol,
tiokonazol, klotrimazol). Sedangkan ketokonazol tersedia
dalam bentuk topikal maupun sistemik. Obat topikal harus
dioles 2x/hari kecuali bifonazol yang cukup dioles 1x/hari.
Bila diperlukan terapi oral, dapat digunakan imidazol
(ketokonazol) dan triazol generasi pertama (itrakonazol) atau
terbinafin 1x/hari selama 7 hari. Setiap spesies jamur memiliki
respon yang berbeda terhadap golongan azol, meski secara
klinis azol efektif untuk dermatofita.10
Masalahnya bagaimana cara mudah membedakan antara
herald patch dengan tinea korporis secara klinis di kamar
praktik?
397
Di Kamar Praktik: Pitiriasis Rosea atau Dermatofitosis?
1.
2.
3.
Biasanya lesi PR relatif mempunyai onset lebih ‘akut’
dibanding dermatofitosis.
Secara klinis herald patch ditandai oleh bercak
eritematosa dengan skuama halus di dada atau
punggung. Dermatofitosis ditandai oleh bercak
eritematosa berskuama dengan bagian tepi lebih aktif
dan bagian tengah berupa central clearing. Lesi
biasanya dimulai di area lipatan kulit yang relatif lembab
(misalnya inframammae) tersering di inguinal meluas ke
paha sisi medial, gluteal dan abdomen (disebut tinea
kruris et korporis).
Keluhan subyektif gatal dapat dijumpai pada kedua
kelainan, meski biasanya lebih berat pada dermatofitosis,
sedangkan peranan faktor stres psikis lebih sering
dijumpai pada PR.
Apa yang dapat dilakukan bila ada keraguan diagnosis
tetapi tidak ada fasilitas pemeriksaan laboratorium meski yang
sederhana?
Pada pasien dapat diberikan terapi steroid topikal untuk
3-5 hari dengan pesan untuk kontrol. Bila saat kontrol lesi
menjadi lebih berat, biasanya lebih ke arah dermatofitosis,
sedangkan bila ternyata PR, umumnya akan ditemukan lesi
lanjutan.
Penutup
Pitiriasis rosea kerap dijumpai di praktik sehari-hari.
Penyebabnya belum sepenuhnya dipastikan, tetapi banyak
penelitian yang mengaitkan dengan infeksi. Sebagai diagnosis banding dibahas tentang dermatofita.
398
Daftar Pustaka
1.
Haisley-Royster CA. Pityriasis rosea. Dalam: Textbook of Pediatric Dermatology. Harper J, Oranje A, Prose N 2nd. Ed. Oxford;
Blackwell Publishing, 2002, hal 793-7.
2. Sumaryo S. Pitiriasis Rosea pada Bayi dan Anak. Dalam: Penyakit
Papuloeritroskuamosa dan Dermatomikosis Superfisialis pada bayi
dan Anak. Semarang; BP. Undip 2008, hal 19-25.
3. Drago F, Broccolo F, Zaccaria E, et al. Pregnancy outcome in
patients with pityriasis rosea. J Am Acad Dermatol 2008; 58:S7883
4. Watanabe T, Kawamura T, Jacob SE et al. Pityriasis Rosea is
Associated with Systemic Active Infection with Both Human
Herpesvirus-7 and Human Herpesvirus-6. J Invest Derm (2002)
119, 793–797; doi:10.1046/j.1523-1747.2002.00200.x
5. Stulberg DL, Wolfrey J. Pityriasis Rosea. Am Fam Physician
2004;69:87-92,94.
6. Subakir. Pemeriksaan Penunjang pada Dermatomikosis
Superfisialis. Dalam: Penyakit Papuloeritroskuamosa dan
Dermatomikosis Superfisialis pada bayi dan Anak. Semarang; BP.
Undip 2008, hal 131-4.
7. Brazzelli V, Prestinari F, Roveda E, et al. Pityriasis Rosea like
Eruption during treatment with imanitib mesylate: Description
of 3 cases. . J Am Acad Dermatol 2005;53:S240-3.
8. Chuh AAT, Dofitas BL, Comisel GG, Reveiz L, Sharma V, Garner
SE, et al. Interventions for pityriasis rosea. Cochrane Database
of Systematic Reviews 2007, Issue 2. Art. No.: CD005068. DOI:
10.1002/14651858.CD005068.pub2. April 18. 2007.
9. Clayton YM, Moore MK. Superficial Fungal Infections. Dalam:
Textbook of Pediatric Dermatology. Harper J, Oranje A, Prose N
2nd. Ed. Oxford; Blackwell Publishing, 2002, hal 542-56.
10. Widaty S. Penggunaan Anti Jamur Sistemik dan Topikal pada
Bayi dan Anak. Dalam: Penyakit Papuloeritroskuamosa dan
Dermatomikosis Superfisialis pada bayi dan Anak. Semarang; BP.
Undip 2008, hal 135-43.
SS
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 10, Oktober 2008