Download Memikirkan Ulang Pertanian (2) - Menjawab

Survey
yes no Was this document useful for you?
   Thank you for your participation!

* Your assessment is very important for improving the workof artificial intelligence, which forms the content of this project

Document related concepts
no text concepts found
Transcript
twnindonesia.info
Memikirkan Ulang Pertanian (2) - Menjawab Tantangan Baru
Wednesday, 13 May 2009
(Oleh Lim Li Ching, Elenita Daño dan Hira Jhamtani) - Sementara pertanian masih bergulat dengan beragam
kesalahan di masa lalu, tantangan-tantangan baru muncul. Perubahan Iklim, tanaman rekayasa genetik, perkembangan
bahan bakar nabati, pengambilan lahan, pemusatan korporasi dan krisis keuangan.
Perubahan iklim. Tantangan paling serius yang dihadapi pertanian muncul sebagai akibat dari perubahan iklim. Panel
antarpemerintahan untuk Perubahan Iklim (IPCC - Intergovernmental Panel on Climate Change) menemukan banyak
bukti bahwa sumber air bersih yang merupakan salah satu aspek bergantungnya kemampuan produksi pertanian rentan
dan berpotensi terkena dampak perubahan iklim, dan bahwa praktek pengelolaan air saat ini tidak cukup mengatasi
dampak-dampak ini (IPCC, 2007). Kondisi cuaca ekstrim yang semakin sering, tekanan pada ketersediaan air,
kekeringan dan perubahan kondisi lingkungan secara keseluruhan semuanya memberi ancaman serius terhadap
produksi pertanian. FAO memperkirakan penurunan hasil sereal dunia 2009 terjadi akibat semakin sedikitnya penanaman
dan atau cuaca buruk di sebagian besar wilayah produsen utama dunia (FAO, 2009). Pertanian sendiri turut
berkontribusi terhadap perubahan iklim, dengan sekitar 10-12% dari keseluruhan gas rumah kaca yang dihasilkan oleh
aktivitas manusia tiap tahun; sebagian besar gas metana dari peternakan, pembakaran biomass dan praktek budidaya
basah (wet cultivation) serta gas nitroksida dari penggunaan pupuk buatan. Jika emisi dari produksi pupuk buatan dan
total rantai makanan dari pertanian ke konsumen dipertimbangkan, emisi gas rumah kaca dari seluruh sektor terkait
pertanian bisa mencapai 25 - 30 persen dari seluruh emisi gas rumah kaca (International Trade Centre UNCTAD/WTO
and Research Institute of Organic Agriculture, 2007). Tantangannya kemudian adalah untuk merancang pertanian yang
mampu beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim sekaligus mengurangi emisi rumah kaca. Tantangan ini dapat
dipenuhi melalui sistem pertanian yang terintegrasi dan berkelanjutan, dan dengan meletakan kebijakan dan program
yang mendukung sistem semacam itu untuk dilaksanakan. Tanaman rekayasa genetik. Untuk beradaptasi dengan
dampak perubahan iklim di pertanian, investasi untuk penelitian dan pengembangan tanaman yang tahan cuaca
diarahkan pada varietas tanaman rekayasa genetik yang mampu bertahan dalam kondisi kekeringan dan banjir serta
kandungan garam. Perusahaan-perusahaan agrokimia besar telah mengalihkan investasi mereka ke pengembangan
tanaman rekayasa genetik yang tahan iklim (climate-ready) dan banyak dari perusahaan-perusahaan tersebut telah
mendaftarkan klaim paten atas jenis tanaman yang mampu beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim, yang
dikomersialkan. Perubahan iklim dilihat sebagai kesempatan untuk mendorong tanaman rekayasa genetik sebagai solusi
yang ampuh, tetapi ini akan memperkuat kekuasaan perusahaan, mendorong munculnya banyak biaya, membatasi
penelitian-penelitian independen dan lebih jauh menghalangi hak petani untuk menyimpan dan bertukar benih (ETC
Group, 2008a). Terlebih lagi, tanaman rekayasa genetik akan memberikan resiko yang serius terhadap lingkungan dan
kesehatan manusia serta hewan. Dalam hal ini, prinsip kehati-hatian dini dan pelajaran dari masa lalu harus dengan
serius dipertimbangkan. Kuncinya adalah dengan mencegah pemerintah menerapkan solusi yang salah yang malah
akan menyebabkan lebih banyak permasalahan dalam pertanian. Bahan bakar nabati atau Biofuel. Sebagai jawaban
atas krisis iklim dan energi, biofuel dihadirkan sebagai solusi, tapi promosinya yang berlangsung cepat telah
menghasilkan konsekuensi negatif yang tidak diharapkan. Persaingan yang terjadi antara penggunaan lahan untuk
pangan dan untuk produksi biofuel telah diidentifikasi sebagai salah satu penyebab dari krisis pangan yang saat ini
terjadi. Bahkan Bank Dunia mempersalahkan biofuel karena bertanggungjawab langsung terhadap meledaknya harga
biji-bijian dan pangan di seluruh dunia belakangan ini dan sebagai faktor yang mendorong naiknya harga pangan hingga
75 persen (Chakrabortty, 2008). Sementara biofuel terhitung kurang dari 5 persen dari total konsumsi bahan bakar di
seluruh dunia dan hanya sejumlah kecil produksi yang saat ini diperdagangkan secara global, perdagangan biofuel
diperkirakan akan berkembang sangat cepat, karena banyak negara tidak memiliki kapasitas untuk mencukupi sendiri
kebutuhan pasar dalam negerinya. (Duffey, 2006). Budidaya tanaman untuk biofuel dalam skala besar meningkatkan
kompetisi sumberdaya pertanian, terutama untuk lahan dan air. Bahkan dengan strategi untuk berfokus lebih pada
tumbuhan penghasil minyak non biji-bijian seperti jarak (jatropha), produksi berskala besar akan membutuhkan lahan
pertanian untuk membudidayakan tumbuhan-tumbuhan ini dimana 40 persen lahan di dunia telah digunakan untuk
pertanian. Produksi pertanian berskala besar yang semakin meningkat membutuhkan lebih banyak air, pupuk dan inputinput kimia lain dan kemungkinan besar menggunakan tanaman rakayasa genetik yang dirancang memiliki serat atau
kandungan minyak yang tinggi. Pertanyaan serius juga dilontarkan terkait potensi mitigasi biofuel. Pembakaran ladang
tebu sebelum panen untuk mengurangi biaya tenaga kerja meningkatkan emisi rumah kaca, polusi dan resiko kesehatan
bagi komunitas sekitar. Ribuan hektar hutan dan lahan gambut dibakar tiap tahun di Indonesia untuk memberikan jalan
bagi perluasan perkebunan kelapa sawit. Penggunaan pupuk yang lebih banyak, terutama untuk nitrogen, melepaskan
lebih banyak nitroksida dan karbondioksida ke atmosfer lebih dari proses pembuatan pupuk nitrogen. Dalam analisa
akhir, produksi biofuel berskala industri bergantung pada bahan bakar berbasis fosil untuk dapat mempertahankan
produksi bahan mentah dan pengerjaan pengolahan dan untuk menjaga agar truk serta tanker tetap berjalan dalam
proses transportasi hasil akhir ke pasar. Pengambilalihan lahan. Dalam usaha global yang terburu-buru untuk menjamin
keamanaan pangan dan keamanan energi nasional, negara-negara yang memiliki sumber daya keuangan membeli
lahan di negara berkembang untuk produksi pangan dan biofuel mereka. Pemerintah-pemerintah yang kebutuhan
pangannya bergantung pada impor, membeli lahan-lahan di berbagai penjuru dunia untuk menghasilkan pangan bagi
kebutuhan dalam negeri mereka dan untuk menghindari tingginya harga pasar, sementara investor-investor swasta
melihat pertanian-pertanian luar negeri semata-mata sebagai sumber pendapatan baru. Ratusan ribu hektar tanah telah
dibeli atau disewa oleh negara-negara teluk penghasil minyak dan negara ekonomi kaya baru seperti Cina dan India di
banyak negara berkembang untuk menghasilkan pangan dan biofuel guna memenuhi konsumsi dalam negerinya
(GRAIN, 2008). Ini memberikan dampak serius bagi keamanan pangan dan penguasaan lahan komunitas lokal.
http://twnindonesia.info/
Powered by Joomla!
Generated: 6 July, 2016, 02:17
twnindonesia.info
Pemusatan Korporasi. Sisi komersil pertanian, misalnya saja input yang dibutuhkan dalam pertanian konvensional,
sangat didominasi oleh kepentingan korporasi. Beberapa korporasi raksasa mengendalikan pasar benih, agrokimia dan
produk farmasi untuk hewan (animal pharmaceutical) di seluruh dunia. Sepuluh perusahaan terbesar dunia menguasai
67 persen pasar untuk produksi dan pemasaran benih, 89 persen bagian pasar untuk agrokimia dan 63 persen bagian
pasar dari farmasi hewan (ETC groups, 2008b). Praktek-praktek monopoli yang dilakukan korporasi membuat pertanian
komersial bergantung kepada input yang dihasilkan oleh kepentingan korporasi-korporasi raksasa yang mengendalikan
persediaan dan harga produk-produk tersebut. Krisis Keuangan. Merebaknya krisis keuangan yang terjadi di negaranegara industri dan ancaman penyebarannya ke seluruh dunia telah mendesak banyak pemerintahan untuk
mengalihkan prioritas mereka untuk menghidupkan kembali ekonomi melalui paket stimulus keuangan yang bertujuan
untuk menyelamatkan bisnis-bisnis yang runtuh dan menciptakan lapangan pekerjaan. Sangat disayangkan meski ada
pengakuan tentang peran penting pertanian dalam pembangunan ekonomi dan sosial, hanya sebagian kecil dari paket
stimulus keuangan yang ditawarkan oleh pemerintah yang bertujuan untuk menghidupkan kembali sektor pertanian yang
terpuruk. Uni Eropa (EU), contohnya, menetapkan fasilitas 1 milyar Euro untuk tahun 2008-2010 guna membantu petanipetani miskin dalam menghadapi dampak krisis pangan dan keuangan, tapi ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan
dengan bantuan 2 trilyun Euro yang diberikannya untuk menyelamatkan bisnis perbankan (Oxfam, 2008). Menjadi
sangat jelas bahwa ada kebutuhan untuk memikirkan ulang bagaimana kita melakukan dan mengatur pertanian dan
keamanan pangan di tingkat nasional dan internasional. Seperti yang diperlihatkan IAASTD, perubahan paradigma dan
investasi dibutuhkan, perubahan yang mendukung pertanian ekologis berskala kecil, yang berdasarkan pada
keberagaman hayati. Perubahan semacam ini mensyaratkan keinginan politik yang kuat dan usaha bersama dari
berbagai aktor pertanian yang berbeda untuk menyikapi tantangan baru yang akan muncul. Kesimpulan Dari sisi
tantangan-tantangan yang dihadapi pertanian, pertanian organik, pertanian ekologis dan pertanian berkelanjutan, dilihat
sebagai pilihan yang paling ekonomis dan berkelanjutan secara lingkungan untuk masa depan pertanian. Sistem-sistem
ini secara drastis mengurangi ketergantungan pada input pertanian, terutama penggunaan pestisida dan pupuk kimia,
memperbaiki siklus nutrisi tanah, pemanfaatan tumbuhan-tumbuhan yang mampu menyeimbangkan kadar nitrogen,
memperbaiki sistem tanam dan bentang alam, memajukan keragamanhayati dan mengintegrasikan ternak dalam
produksi pertanian yang semuanya berkontribusi pada mitigasi dan adaptasi iklim (International Trade Centre
UNCTAD/WTO and Research Institute of Organic Agriculture, 2007; Niggli and Fliebach, 2008; Palitza, 2009; UNEP,
2009). Lebih penting lagi, pendekatan ekologis di pertanian mampu diakses oleh petani miskin dan berskala kecil yang
dalam produksinya bergantung kepada keragamanhayati, kesehatan tanah dan sumber daya yang ada secara lokal.
Untuk itu pendekatan-pendekatan ini juga merupakan pendekatan yang berdasarkan hak, yang secara bersamaan
menjamin keamanan pangan dan menjawab permasalahan emisi gas rumah kaca yang bersumber dari pertanian.
Mengubah intervensi kebijakan dan program agar mendukung praktek-praktek pertanian ekologis akan membantu
menjamin keamanan pangan dan kemandirian di tingkat lokal. Dengan berfokus pada produksi dan pemasaran pangan
lokal juga akan mengurangi jarak pangan, yang berarti turut mendukung mitigasi perubahan iklim. Memperbaiki akses
petani terhadap pasar dan memperkuat hubungan desa-kota akan membantu penyediaan lapangan pekerjaan didalam
maupun diluar sektor pertanian di pedesaan, terutama bagi perempuan pedesaan dan kaum muda, dan dengan
demikian mendorong pembangunan di desa. Lebih dari sebelumnya, kemauan politik pemerintah dan institusi global
menjadi keharusan dalam rangka menjadikan pertanian mesin penting dalam mengatasi kemiskinan, kelaparan dan
kesenjangan sosial dengan cara-cara ramah lingkungan yang berkelanjutan. Intervensi semacam ini memiliki potensi
untuk mengubah sistem dan institusi ekonomi menuju pembangunan pedesaan, menjembatani kesenjangan pendapatan
antara pedesaan dan perkotaan, antara kaya dan miskin, antara negara berkembang dan negara maju. Agar ini terjadi,
aktor-aktor pembangunan harus menjadikan pertanian organik, pertanian ekologis dan pertanian berkelanjutan sebagai
prioritas pembangunan. Bersamaan dengan dipikirkan ulangnya pertanian dan arahnya, diperlukan juga untuk
memikirkan ulang kapasitas institusi global dan nasional dalam mengatur sistem pangan dan pertanian secara efektif
agar lebih dari business-as-usual. Ini harus dimulai dengan melihat kembali pengaturan sistem pangan dan pertanian
guna menjamin perubahan paradigma secara institusional dan sistemik. Beragam krisis yang dihadapi dunia saat ini,
dengan krisis pangan sebagai pusatnya dan ancaman-ancaman terhadap stabilitas sosial dunia, telah jelas
menunjukkan bahwa pendekatan dari atas ke bawah telah gagal dan bahwa fokus pada pertanian komersial berskala
besar tidak sanggup untuk memberikan pangan bagi semua orang. Mengubah fokus kepada pertanian berskala kecil
dan wilayah-wilayah terpinggir melalui pendekatan agroekologis membutuhkan pendekatan dari bawah ke atas. Agar
mampu menjamin keamanan pangan, pertanian harus dikelola oleh petani dan bukan institusi yang berorientasi pada
laba. Waktu untuk memikirkan ulang pertanian telah tiba. Sekarang adalah waktu untuk bertindak. Lim Li Ching adalah
peneliti Third World Network. Elenita Daño dan Hira Jhamtani merupakan rekanan TWN yang berbasis di Mindanao
(Filipin) dan Bali (Indonesia). Artikel ini telah dipublikasikan di Third World Resurgence No. 223. (Mar 2009) Catatan
Akhir 1. IAASTD merupakan penilaian pertanian termuktahir yang disponsori oleh Bank Dunia, FAO, UNEP, UNDP,
WHO, UNESCO dan GEF. Referensi Chakrabortty, A. 2008. 'Secret Report: Biofuel Caused Food Crisis; Internal World
Bank study delivers blow to plant energy drive (Laporan Rahasia: Biofuel menyebabkan Krisis Pangan: studi internal
Bank Dunia memberikan goncangan terhadap perjalanan energi tanaman ). The Guardian, 3 Juli 2008. Dano, E.C.
2007. Unmasking the New Green Revolution in Africa: Motives, Players and Dynamics. (Membuka Kedok Revolusi Hijau
di Afrika: Motivasi, Pemain dan Dinamika) Third World Network, Church Development Service (EED) dan African Centre
for Biosafety, Penang. De Schutter, O. 2008. Address by the UN Special Rapporteur on the Right to Food, High-Level
Conference on World Food Security: The Challenges of Climate Change and Bioenergy (Sambutan Pelapor Khusus PBB
untuk Hak atas Pangan, Konferensi Tingkat Tinggi untuk Keamanan Pangan Dunia: Tantangan Perubahan Iklim dan
Bioenergi), Roma, 3-5 Juni 2008. Duffey, Annie. 2006. Biofuels Production, Trade and Sustainable Development:
Emerging Issues (Produksi Biofuel, Perdagangan dan Pertanian Berkelanjutan: Isu-isu yang Muncul). International
http://twnindonesia.info/
Powered by Joomla!
Generated: 6 July, 2016, 02:17
twnindonesia.info
Institute for Environment and Development (IIED), London. September 2006. ETC Group. 2008a. 'Patenting the
"Climate Genes" and Capturing the Climate Agenda' (Mempatenkan Gen Iklim dan Memahami Agenda Iklim).
Communique, Issue No. 99. Mei/Juni 2008. ETC Group. 2008b. 'Who Owns Nature: Corporate Power and the Final
Frontier in the Commodification of Life' (Siapa Memiliki Alam: Kekuatan Korporasi dan Pertahanan Akhir dalam
Komodifikasi Kehidupan ). Communique, Issue No. 100. November 2008. FAO. 2008. The State of Food Insecurity in
the World 2008. High food prices and food security: Threats and opportunities. (Kondisi Ketidakamanan Pangan Dunia
2008. Harga Pangan yang Mahal dan Keamanan Pangan: Ancaman dan Kesempatan) FAO, Roma. FAO. 2009. Crop
Prospects and Food Situation (Prospek Tanaman dan Situasi Pangan). Issue No. 1. Februari 2009. GRAIN. 2008.
Seized: the 2008 Land Grab for Food and Financial Security (Perampasan: Peengambilalihan Tanah 2008 untuk Pangan
dan Keamanan Keuangan). GRAIN, Barcelona. 24 Oktober 2008. IAASTD. 2008. International Assessment of
Agricultural Knowledge, Science and Technology for Development (Penilaian Internasional untuk Pengetahuan, Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi Pertanian untuk Pembangunan). www.agassessment.org IPCC. 2007. Climate Change
2007: Synthesis Report. Contribution of Working Groups I, II and III to the Fourth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change (Perubahan Iklim 2007: LaporanSintesis. Kontribusi Kelompok Kerja I, II
dan III untuk Laporan Penilaian keempat Panel antarpemerintah untuk Perubahan Iklim ) [Tim Penulis Utama, Pachauri,
R.K dan Reisinger, A. (eds.)]. IPCC, Jenewa, Swiss, 104 hal. International Trade Centre UNCTAD/WTO and Research
Institute of Organic Agriculture (FiBL). 2007. Organic Farming and Climate Change (Pertanian Organik dan Perubahan
Iklim). ITC, Jenewa, 2007. Niggli, U. dan Fliebach, A. 2008. Low Greenhouse Gas Agriculture: Mitigation and Adaptation
Potential of Sustainable Farming Systems (Pertanian dengan Gas Rumah Kaca Rendah: Potensi Mitigasi dan Adaptasi
Sistem Pertanian Berkelanjutan). FAO, Roma. Mei 2008. Oxfam International. 2008. 'EU Ministers set to fudge 1 billion
food package for poor farmers' (Kementerian Uni Eropa menentukan dana bantuan 1 juta untuk paket pangan bagi
petani miskin). 20 November 2008. Palitza, K. 2009. 'New Thinking to Tackle Old Problems' (Pemikiran Baru untuk
menghadapi Masalah-Masalah Lama), InterPress Service (IPS), 26 Februari 2009, Roma. Pretty, J. 2006.
'Agroecological approaches to agricultural development'. Background paper for the World Development Report 2008
(‘Pendekatan agroekologis untuk pembangunan pertanian’. Laporan Latar Belakang untuk Laporan
Pembangunan Dunia 2008). UNEP. 2009. 'The Environmental Food Crises: Environment's Role in Averting Future
Food Crises' (Krisis Enviromental Pangan: Peran Lingkungan dalam Menghindari Krisis Pangan di Masa Depan). UNEP,
Nairobi, 2009. World Bank. 2008. World Development Report 2008: Agriculture for Development (Laporan
Pembangunan Dunia 2008: Pertanian untuk Pembangunan). World Bank, Washington, DC.
http://twnindonesia.info/
Powered by Joomla!
Generated: 6 July, 2016, 02:17