Survey
* Your assessment is very important for improving the workof artificial intelligence, which forms the content of this project
* Your assessment is very important for improving the workof artificial intelligence, which forms the content of this project
KONSEP MAS }LAH} }AH MURSALAH NAJM AL-DI<N AL-T AL-T{{U<FI MAS}LAH LAHAH Lalu Supriadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram Jl. Pendidikan Nomor 35 Mataram Email: [email protected] Abstrak: Mas}lah}ah mursalah sebagai metode mengalami persoalan-persoalan baik internal yaitu karakter penunjukan maknanya terhadap teks yang bersifat “samar” maupun eksternal yaitu “godaan” yang dihadapi para mujtahid sehingga memberikan porsi akal yang berlebihan, pada akhirnya hukum yang ditetapkan dipandang bebrapa kalangan tidak sejalan dengan ruh (spirit) shari’ah itu sendiri. Salah seorang ulama yang bergelut secara aktif mengkajinya adalah Najm al-Di>n al-T}uf> i>. Melalui metode penelitian kepustakaan (library research), atas beberapa karya Najm al-Di>n al-T}u>fi>, diperoleh temuan bahwa menurut al-T}uf> i sumber hukum Islam yang paling kuat legalitasnya secara hirarki adalah nas}} (teks al-Qur’an dan Hadith) dan ijma`. Kalau keduanya (nas} dan ijma’) menetapkan hukum yang sejalan makna dan spiritnya dengan yang dirumuskan oleh mas}lah}ah mursalah maka tidak ada persoalan, tetapi sebaliknya kalau terjadi pertentangan (nas}} dan ijma` versus mas}lah}ah mursalah), maka mas}lah}ah mursalah harus didahulukan (diprioritaskan) dengan cara takhs}is (mengkhususkan makna salah satunya) dan baya>n (menjelaskan makna salah satunya), bukan dengan cara menafikan atau tidak menggunakannya sama sekali. Sebagaimana terjadi pada sumber hukum as-Sunnah yang bisa didahulukan dari al-Qur’an dengan cara baya>n. Hal itu terjadi karena mas}lah}ah (kemaslahatan) adalah tujuan akhir dari pemberlakuan hukum shara’ terhadap mukallaf, sedangkan sumber-sumber hukum Islam yang lain adalah sarana yang dipergunakan untuk memahami tujuan tersebut. Abstract: Mas}lah}ah mursalah as a method experiencing internal problems related to designation of meaning of the character of the text that is “sketchy” as well as externally as “temptation” faced by the mujtahid thus providing excessive portion of reasons result in the law established considered to be not in line with the spirit of Shari’ah itself. One of the scholars who actively studied this field was Najm al-Di>n al-T}uf> i. Through methods of library research, some works of Najm al-Di>n al-T}uf> i had found out that, according to alT}uf> i sources of Islamic law which is the most powerful in the hierarchy is legal nas (the text of the Qur’an and Hadith) and ijma`. If both (texts and ijma) stated the law which is in line with the meaning and spirit formulated by mas}lah}ah mursalah then no problem arise, however if there is a conflict (texts and ijma `versus mas}lah}ah mursalah), then mas}lah}ah mursalah should take precedence (priority) with takhshis way (specialized meaning of one of them) and bayân (explaining the meaning of one of them), not by denying or neglecting it at all. As occurs in as-Sunna, a source of law can take precedence over the Qur’an using bayân method. It happened because mas}lah}ah (benefit) is the ultimate goal of the application of Islamic rules’ against mukallaf, while the other sources of law in Islam is the means by which to understand the purpose. Kata Kunci Kunci: al-T}u>fi, pemikiran keislaman, nas}}, mas}lah}ah mursalah, Shi’ah. PENDAHULUAN Mas}lah}ah Mursalah adalah salah satu metode istinbat} (perumusan/penggalian) hukum dengan mengkolaborasikan ‘aql (rasio) dan nas} (teks) untuk menangkap ruh (spirit), nilai pilosofi dan tujuan penetapan hukum. Dalam perkembangannya metode ini mengalami 71 Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 8, No. 1, Januari 2012: 71-92 persoalan-persoalan baik internal yaitu karakter penunjukkan maknanya terhadap teks yang bersifat samar (karena non tekstual) maupun eksternal yaitu “godaan” yang dihadapi para mujtahid sehingga memberikan porsi akal yang berlebihan, dan pada akhirnya hukum yang ditetapkan tidak sejalan dengan ruh (spirit) shari’ah itu sendiri. Hal ini menyebabkan para ulama sangat berhati-hati menerapkan metode ini, bahkan membuat kriteria-kriteria ketat untuk menerimanya. Karena faktor ini juga, mayoritas ulama meng-klasifikasikan-nya menjadi sumber hukum yang tidak disepakati, sekalipun dalam praktik ternyata semua ulama mengimplementasikannya dalam berijtihad. Mas}lah}ah Mursalah adalah suatu kemashlahatan yang tidak memiliki dalil khusus yang menetapkan atau tidak menetapkan hukumnya. Dalam implementasinya, kasus hukum yang tidak ada ketentuan nas} hukumnya atau tidak ada illat yang menentukan kejelasan hukumnya lalu ditemukan sesuatu yang sejalan dengan tujuan penetapan hukum Shara’ yaitu menolak kemudlaratan atau menghasilkan manfaat.1 Ada dua metode yang dipergunakan nas} dalam menetapkan hukum. Pertama, nas}iyah/ mans}as}ah yaitu ketetapan hukum yang diperoleh dari teks hukum itu sendiri secara langsung. Kedua, istinbat}iyah/mustanbat}ah yaitu upaya mengetahui ketetapan hukum melalui penggalian hukum (ijtihad) terhadap teks. Metode yang kedua bersifat dinamis dan sejalan dengan perkembangan waktu dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mas}lah}ah Mursalah masuk ke metode kedua. Salah seorang ulama yang bergelut secara aktif mengkajinya adalah Najm al-Di>n al-T}uf> i, sosok ulama terkemuka yang berkontribusi besar dalam kancah pemikiran keislaman dengan berbagai ragamnya. Masa hidupnya antara akhir abad 7 H dan permulaan abad 8 H, hampir semua buku sejarah dan buku biografi Islam klasik mengabadikan sejarah hidup dan sepak terjang pemikirannya dalam berbagai disiplin ilmu. Konsentrasi yang menjadi kajian peneliti adalah pemikiran al-T}uf> i dalam Us}ul Fiqih, lebih spesifik lagi dalam konsep mas}lah}ah mursalah di mana beliau “berani” berbeda pendapat dengan mainstream ulama Islam. Pada kajian ini tidak hanya dipaparkan pemikiran dan pendapatnya seputar mas}lah}ah mursalah tetapi juga menyoroti sisi lain kehidupannya yaitu karakter dan watak pribadinya yang menurut sebagian ulama cenderung mengikuti aliran Shi’ah, sehingga dilabelkan ke dalam kelompok tersebut. Sementara sebagian ulama kontemporer menolak tuduhan tersebut, bahkan mereka menunjukkan berbagai bukti yang mengindikasikan bahwa al-T}uf> i bukanlah seorang Shi’ah. Muhammad Ba>qir al-Khawansyari seorang sejarawan Shi’ah dalam kitabnya Raud}atul Janna>t 2 membuat klarifikasi ilmiah bahwa beliau tidak menemukan nama al-T}uf> i di bukubuku biografi dan kamus besar Shi’ah, apalagi dikatakan sebagai ulama fiqih dan sosok Rahmat Shafi’i, Ilmu Us}ul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, cet. 3, 2007), 117 Sebagaimana dikutip Dr. ‘Abdulla>h al-Turk dalam tah}qi>q (studi nas}kah) Sharah} Mukhtas}ar al-Raud}ah, Jilid 1 (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, cet.4, 1424 H), 36. 1 2 72 Konsep Mas}lah}ah Mursalah Najm Al-Dîn Al-T{u>fi (Lalu Supriadi) mujtahid di kalangan mereka. Jika benar klaim al-T}uf> i berpaham Shi’ah, maka hal tersebut akan terdeteksi oleh ulama-ulama Shi’ah, termasuk Khawansyari dan sejarawan Sunni seperti al-Suyu>t}i3 tidak akan menyebutnya sebagai sosok pribadi yang menganut mazhab Hanbali karena mazhab Hanbali adalah mazhab yang paling jauh pemahamannya dan paling keras penyikapannya terhadap Shi’ah. Berdasaran latar belakang demikian, penelitian ini difokuskan pada persoalan-persoalan berikut: Pertama, bagaimana setting biografi al-T}uf> i. Kedua, bagaimana konsep pemikirannya dalam mas} l ah} a h mursalah. Ketiga, bagaimana pendapat mayoritas ulama terhadap pemikirannya. MET ODE PENELITIAN METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah ( historical approach ) dengan memfokuskan pada penelitian biografis yaitu penelitian terhadap kehidupan seseorang dalam kaitannya dengan kondisi sosial masyarakat meliputi sifat-sifat, watak, pengaruh, baik pengaruh lingkungan maupun pengaruh pemikiran serta pembentukan watak figur yang diterima selama hayatnya.4 Penelitian ini juga menggunakan pendekatan kualitatif dengan menerapkan metode deskriptif-analitis, yaitu berusaha mendeskripsikan secara kritis substansi pemikiran al-T}uf> i dalam mas}lah}ah mursalah. Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan bertumpu pada data-data kepustakaan tanpa ujian empirik5. Teks-teks yang dikaji adalah buku-buku karya al-T}uf> i sebagai sumber data primer, dan karya-karya penulis lain mengenai al-T}uf> i sebagai sumber data sekunder. Sedang buku-buku karya penulis lain dijadikan sebagai sumber data tersier. Buku sekunder dan tersier tersebut digunakan sebagai bahan analisis dan komparatif terhadap pemikiran al-T}uf> i sehingga dapat dilakukan kritik terhadapnya, baik kritik eksternal maupun kritik internal. Buku-buku al-T}u>fi sebagai sumber primer adalah seperti: al-Iktha>r fi Qawa>‘id al- Tafsi>r, al-Ta‘yin fi Shara’ al-Arba‘i>n al-Nawawiyah, al-Intis}arat al-Islamiyah fi Kasyf al-Shu’u>b al-Nas}ra>niyah, al-Isha>ra>t al-Ila>hiyah Ila> al-Maba>hith al-Us}u>liyah, al-Bulbul (Mukhtas}ar Raud}ah al-Na>zhir fi Junnah al-Mana>zhir), Sharh} Mukhtas}ar Raud}ah al-Na>zhir fi Junnah alMana}zhir, al-S}a‘iqah al-Gad}abiyah Fi al-Raddi ‘Ala Munkir al-‘Arabiyah. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode analisis isi (content analy- sis)6, yaitu dengan menganalisis makna yang terkandung dalam keseluruhan pemikiran alT}u>fi sehingga diperoleh suatu pemahaman yang akurat, utuh dan mendalam tentang 3 Jala>l al-Di>n al-Suyu>ti} , Bughyah al-Wu‘at} fi T}abaqah al-Lughawiyyin Wa al-Nuha>t, Jilid 1 (Kairo: Da>r al-Sa‘a>dah, 1326 H), 599. 4 Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), 62. 5 Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), 158 . 6 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Keagamaan (Bandung: Rosda, 2003), 71. 73 Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 8, No. 1, Januari 2012: 71-92 pemikirannya dalam mas}lah}ah mursalah. Analisa data dilakukan dengan menggunakan prosedur deskripsi, interpretasi dan refleksi. Segala sesuatu yang berkaitan dengan al-T}uf> i dan tema penelitian ini dijelaskan secara deskriptif, sementara interpretasi digunakan untuk memahami konsep yang ditawarkan al-T}uf> i beserta implikasinya, dan selanjutnya refleksi kritis disampaikan sebagai evaluasi terhadap konsep yang ditawarkan. HASIL DAN PEMBAHASAN Mengenal Sosok al-T > fi al-T{u{ fi Nama lengap al-T}uf> i adalah Sulaima>n Bin ‘Abd al-Qawiy Bin ‘Abd al-Kari>m Bin Sa‘ad. Beliau juga dikenal dengan nama Abu al-Raba‘ atau Ibn Abi al-‘Abbas, alias Najm al-Di>n alT}uf> i. Lahir di T}uf> i, nama sebuah desa di daerah S}ars}a>r Baghdad. Para sejarawan muslim beragam versi mengenai tahun kelahirannya. Setelah melalui penelusuran sejarah akhirnya peneliti menyimpulkan bahwa kelahiran al-T}uf> i pada tahun 657 H. Berbeda halnya dengan tahun kelahirannya, para sejarawan sepakat mengenai tahun wafatnya, yaitu pada bulan Rajab tahun 716 H, karena beliau memulai penulisan karyanya al-Ta‘yi>n fi Sharh} al-Arba‘i>n al-Nawawiyah pada hari Senin 13 Rabi’ul Akhir, dan selesai pada hari Selasa 28 Rabi’ul Akhir tahun 713 H di kota Qas}, daerah S}a‘ad Mesir. Data sejarah lain bahwa al-T}uf> i pergi haji tahun 714 H dan menetap di Mekah tahun 715 H, terakhir adalah beliau menulis bukunya al-Isha>ra>t al-Ila>hiyah Ila> al-Maba>hith al-Us}u}liyah selama bulan Rabi’ul Awwal dan Rabi’ul Akhir tahun 716 H di Baitul Maqdis Palestina. Perjalanan intelektualnya dimulai ketika pada tahun 691 H, beliau tiba di Baghdad ibu kota Daulah Abbasiah yang kala itu pusat peradaban dan ilmu pengetahuan. Di kota tersebut ia menuntut ilmu bersama pelajar-pelajar yang datang dari berbagai penjuru. Tercatat sejumlah nama ulama yang pernah mengajarnya secara langsung, diantaranya Taqiy al-Di>n al-Zaruruti, Abu Abd lla>h al-Mous}ili, ‘Ali Nas}ar al-Faruqi, al- Rashid Bin al-Qa>sim, Ibn al-T}abbal dan Abu Bakar al-Qalanish. Berbagai disiplin ilmu berhasil dikuasainya seperti Tafsir dan Ilmu Tafsir, Fikih dan Us}ul Fiqih, Hadith, Us}uluddin, Bahasa Arab, ilmu Jadal (debat) dan ilmu Mantiq (logika). Dua disiplin ilmu yang terakhir ini berpengaruh besar dalam membentuk karakter kepribadiannya seperti berani berbeda pendapat dan sangat bebas berpikir dan itu tampak jelas dalam karya-karyanya. Di Baghdad beliau mulai cenderung menekuni mazhab Ahmad bin Hanbal karena sejak kecil beliau memiliki hubungan emosional dan keilmuan yang sangat dekat dengan ulama-ulama Hanbali. Pada tahun 704 H, beliau melanjutkan perjalanan intelektualnya ke Sham (kini Suriah) dan berguru kepada sejumlah ulama, diantaranya belajar ilmu hadith dari Sulaiman Bin Hamzah, Bahasa Arab dari Ibn Taimiyah, dan Ibn Taimiyah pun pernah belajar ilmu Nah}wu dari al-T}u>fi, dan bertemu dengan ulama-ulama lain seperti Abu al-Hajjaj al-Mizzi, Abu 74 Konsep Mas}lah}ah Mursalah Najm Al-Dîn Al-T{u>fi (Lalu Supriadi) Muh}ammad al-Bra>zali dan Abu al-Fath}. Pada tahun 705 H, beliau pindah ke Kairo dan berguru kepada ‘Abd al-Mu’i>min Bin Khalaf, Sa‘d al-Di>n al-Harithiy dan belajar kitab nah}wu-nya Sibawaih dari Abu Hayyan. Semua ini membuat al-T}uf> i dihormati dan disegani para ulama. Salah seorang gurunya bernama Sa‘d al-Di>n al- al-Ha>rithiy ketika mengetahui kedatangan al-T}uf> i ke Kairo, beliau menyambutnya dengan baik dan memberinya jadwal untuk mengajar di beberapa madrasah, antara lain madrasah al-S}alat}iyah, madrasah al-Mans}u>riyah dan madrasah al-Nas}iriyah. Selang beberapa waktu tiba-tiba muncul konflik internal antara al-T}uf> i dan sang guru Sa‘d al-Di>n al-Ha>rithiy yang saat itu menjabat ketua qad}i, yang berimplikasi retaknya hubungan antara sang guru dengan muridnya. Bermula dari sikap al-T}uf> i yang tampaknya berseberangan pendapat dengan apa yang diputuskan al-H}a>rithiy dalam salah satu kuliahnya. Al-T}uf> i kala itu memegang teguh pendapatnya sehingga membuat al-H}a>ritsiy berang dan ditafsirkan sebagai pelecehan terhadap sang guru. Permasalahan menjadi meluas dan berkembang, anak sang guru yang bernama Shams al-Di>n ‘Abd al-Rah}ma>n mengadukan permasalahan ini ke Badr al-Di>n Bin al-Habbal (petugas berwenang ketika itu) sehingga dengan cepatnya al-T}uf> i dituduh memiliki kecenderungan pemikiran Rafid}ah (Shi’ah) dan tiba-tiba muncul tulisan tangannya berisikan pelecehan terhadap Abu Bakar dan Umar bin Khatthab. Akhirnya al-T}uf> i dihukum ta’zir, dipukul dan dicopot dari tugas mengajar dan dipenjara beberapa hari. Setelah keluar dari penjara, beliau meninggalkan Kairo. Menurut penuturan Ibn Rajab beliau dibuang - ke Sham. Beliau hanya menetap beberapa saat di kota Sham setelah itu pergi ke kota Qis} di S}a‘ud Mesir. Di Qis} inilah beliau berhasil menyelesaikan penulisan bukunya al-S}a‘iqah al-Gad}abiyah fi al-Rad}i ‘Ala Munkir al-‘Arabiyah. Kemudian dari Qis} beliau menuju ‘ijaz pada akhir tahun 714 H, lalu melaksanakan ibadah haji dan menetap berpindah-pindah antara kota Makah dan Madinah tahun 715 H, dan terakhir ke Palestina. Di Palestina beliau menulis bukunya al-Isha>ra>t alIla>hiyah Ila> al-Maba>h}ith al-Us}u>liyah beberapa saat sebelum wafat. Al-T}u>fi adalah tokoh ensiklopedi terkemuka dan penulis produktif dalam berbagai disiplin ilmu. Karya-karyanya memperkaya perpustakaan Islam dan menjadi referensireferensi yang tak ternilai harganya. Ibn Rajab menghitung karya-karyanya dalam berbagai disiplin ilmu mencapai angka 53 buah7, sementara al-Ulaimi menghitungnya 34 buah.8 Di antara buku-buku tersebut, antara lain: al-Iksar fi Qawa>‘id al-Tafsi>r, al-Ta‘yi>n fi Sharh} alArba‘i>n al-Nawawiyah, al-Intis}a>rat al-Isla>miyah fi Kasyf al-Shubah al-Nas}ra>niyah, al-Isha>rat al-Ila>hiyah Ila> al-Maba>h}ith al-Us}u>liyah, al-Bulbul (Mukhtas}ar Raud}ah al-Nazhir fi Junnah al-Mana>zhir), Sharh} Mukhtas}ar Raud}ah al-Na>zhir fi Junnah al-Mana>zhir, al-S}a‘iqah alGad}abiyah fi al-Raddi ‘Ala> Munkir al-‘Arabiyah. ‘Abd al-Rah}ma>n Ibn Rajab, Dzail T}abaqah al-Hana>bilah, Jilid 2, (Beirut: Da>r al-Ma’rifah, t.th), 366. ‘Abd al-Rah}ma>n Bin Mu+ammad al-‘Ulaimi, al-Manh}aj al-Ah}madi fi Tara>jum As}a>b al-Imam al-Ah}mad, Jilid 5. (Beirut: Da>r S}a>dir, Cet. 1. 1997), 5. 7 8 75 Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 8, No. 1, Januari 2012: 71-92 Latar Belakang Pemikiran Al-T > fi Al-T}u} fi Kondisi Politik Baghdad Al-T}uf> i lahir ketika umat Islam menghadapi berbagai peristiwa dan tragedi. Peristiwa yang paling penting dari sekian peristiwa adalah perang Salib dan invasi tentara Tatar Mongol terhadap kota Baghdad Iraq. Perang Salib Perang Salib terjadi antara Kristen versus Islam dan berlangsung selama kurang lebih 2 abad. Dalam rentang waktu itu masing-masing dari kedua belah pihak pernah mengalami kemenangan dan kekalahan. Ketika kekuatan umat Islam mulai melemah dan spirit keagamaannya mulai menurun karena semakin jauhnya dari ajaran dan nilai Islam. Tokohtokoh Kristen mengadakan pertemuan dengan pemimpin-pemimpin gereja dan raja-raja Eropa untuk merencanakan serangan besar-besaran. Alasan tersebut dilengkapi lagi oleh laporan yang sampai ke Paus Urbanus II tentang kondisi orang-orang Kristen yang hidup di bawah tekanan umat Islam baik terhadap mereka yang berdomisili di Baitul Maqdis atau yang setiap tahun mengunjunginya. Para sejarawan menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perang salib, yaitu: Pertama, krisis ekonomi Eropa pada abad 5-7 H, yang menyebabkan mereka melakukan invasi ke Negara-negara Afrika dan Syam. Kedua, permintaan bantuan dinas}t} i Alawiyah kepada raja-raja Eropa untuk menghadapi dinas}t} i Saljuqiyah ketika mereka melihat kekuatan dan kemampuannya menguasai Syam (kini Suriah) dan Palestina. Ketiga, tekanan dan permusuhan sebagian umat Islam terhadap pemeluk Kristen khususnya yang berkunjung ke Baitul Maqdis.9 Tetapi ada faktor substansial lain penyebab perang salib sebagaimana disinggung Ibn Taimiyah: “Ketika perbuatan bid’ah, kemunafikan dan kemaksiatan sudah merajalela, umat Islam dengan mudahnya dikuasai oleh musuh. Bahkan penduduk muslim di kota Syam kala itu lebih jelek kondisi dan prilaku keagamaannya dibandingkan orang-orang kafir, kristen, munafik dan ateisme”.10 Tetapi harus diketahui bahwa ia berawal dari faktor akidah (keyakinan) sebelum faktorfaktor lain seperti politik, ekonomi atau sosial kemasyarakatan.11 Faktor lain yang mendorong orang-orang Kristen melakukan perang salib adalah pada abad 4 dan 5 H, banyak sekali terjadi pemberontakan politik (kudeta), pertarungan pemikiran dan ideologi, penyikapan negatif terhadap perbedaan mazhab dan percikan rasisme di tubuh umat Islam, sehingga kalau sebelumnya ada satu khilafah (kepemimpinan) dalam satu negara power lalu berubah menjadi daulah (negara) yang bercerai berai.12 Muhammad Kurdi Ali, al-Isla>m Wa al-ida>rah al-Arabiyah, Jilid 1 (cet. I, 1355 H), 92. Ibn Taimiah, al-Furqa>n Baina al-h}aqqi wa al-Ba>ti} l, (Kairo: al-Madani), 145. 11 Qs. al-Baqarah: 120. 12 Sa‘id ‘Abd al-Fattah Asyur, al- barakah al-S}alabiyah, Juz 1, 8. 9 10 76 Konsep Mas}lah}ah Mursalah Najm Al-Dîn Al-T{u>fi (Lalu Supriadi) Invasi Tatar Terhadap Baghdad Tragedi pahit dan memilukan yang dilalui umat Islam adalah serangan Tatar terhadap kota Baghdad. Catatan sejarah bangsa Tatar diliputi kekelaman dan kekejaman. Tindakan tidak beradab yang dilakukannya terhadap kedaulatan suatu negeri dan warganya sudah menjadi watak dan karakter mereka. Mengenai agama, adat dan tradisinya mereka dikenal menyembah matahari terbit, memakan semua hewan melata seperti anjing dan babi. Mereka tidak mengenal aturan pernikahan, seorang perempuan digauli oleh lebih dari satu orang laki-laki sehingga anak yang lahir tidak diketahui ayahnya.13 Raja Tatar Mongol yang bernama Hulaku dengan pasukannya menyerang kota Baghdad pada tanggal 10 Muharram 656 H, dan meluluhlantakkan apa yang ditemukan tanpa adanya perlawanan yang berarti, bahkan mereka berhasil membunuh Khalifah al- Mu‘tashim dan ulama-ulama serta pejabat-pejabat Negara. Mereka menguasai Baghdad dan menjarah barangbarang berharga dan sebelum meninggalkannya mereka membakar kota monumental yang pernah menjadi pusat khilafah lebih dari 500 tahun. Peristiwa ini meninggalkan luka dan pilu di hati umat Islam dan sebagian ulama tidak mau mengingat dan mengenang peristiwa tersebut secara rinci di buku-buku yang dikarangnya. Ketika sejarawan muslim bernama Ibn al-Atsr berniat menulis dan mengabadikan kejadian ini dalam bukunya al-Ka>mil fi al-Tari>kh beliau berkomentar: “Saya termenung beberapa tahun untuk mengenang kejadian ini (invasi Tatar terhadap Baghdad). Saya benci mengingatnya. Oleh karenanya ketika ingin mengabadikan peristiwa tersebut dalam sebuah buku, saya ragu-ragu. Siapa yang mampu dengan mudah menulis tragedi yang menimpa Islam dan umat Islam?, sampai akhirnya saya berpendapat bahwa sikap tersebut tidak bermanfaat”.14 Faktor penting penyebab runtuhnya Khilafah Abbasiyah adalah seorang Rafidlah bernama al-‘Alqami membantu Hulaku ketika ia dan pasukannya memasuki Khurasan, Iraq dan Sham. Sebagaimana dipertegas Ibn Taimiyah: “adalah al-‘Alqami seorang menteri berbuat makar terhadap khalifah dan umat Islam serta berperan memutuskan rantai makanan dan gaji pasukan Islam”.15 Ketika umat Islam sudah bersatu, mereka bangkit mengadakan perlawanan-perlawanan, termasuk pertempuran ‘Ain Jalu>t (nama salah satu daerah di Syam) pada masa pemerintahan raja Mesir al-Muzaffar Qut}uz tahun 658 H. Setelah melalui pertempuran sengit akhirnya umat Islam berhasil mengalahkan pasukan Tatar. Selang beberapa waktu setelah kekalahan ini, pada masa pemerintahan raja al-Za>hir Bibras (pengganti al-Muzaffar Qutuz) Hulaku mengirim kembali pasukannya untuk merebut Sham tetapi tidak berhasil. Muhammad bin al-Atsi>r, al-Ka>mil Fi al-Tari>kh, Jilid 12 (Beirut: Da>r S}adir, 1402), 137-138 dan Ibn Katsi>r, al-Bida>yah wa al-Niha>yah, Jilid 13 (Beirut: Maktabah al-Ma‘a>rif, 1409), 202. 14 Ibn al-Atsi>r, al-Ka>mil, Jilid 12, 147. 15 Ibn Taimiyah, Minha>j al-Sunnah al-Nabawiyah, Jilid 2 (Riya>d:} Maktabah al-Riya>d} al-Hadi>thah, t.th), 255. 13 77 Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 8, No. 1, Januari 2012: 71-92 Kondisi Sosial Baghdad Kota-kota Islam kala itu seperti Sham (kini Suriah), Mesir dan Andalusia (kini Spanyol) dihuni oleh orang-orang dari berbagai ras dan suku bangsa. Mereka datang membawa adat dan tradisi yang berbeda satu sama lain. Suatu adat dan prilaku bisa mendominas}}i yang lain sesuai dengan kekuatan pengaruh penggunanya. Mereka hidup di masa yang sama dan bercampur baur baik ketika terjadi perang atau damai. Jadi stabilitas sosial sangat ditentukan oleh stabilitas politik. Berbagai suku bangsa yang mengalami pembauran kala itu adalah Turki dengan Barbar, Kurdi dengan Koptik, Arab dengan Ajam. Kondisi politik yang tidak stabil dan kondisi ekonomi yang tidak menentu menyebabkan mereka berpindah dari satu kota ke kota lain, dari satu daerah ke daerah lain khususnya setelah runtuhnya kota Baghdad, jatuhnya Eropa dan banyak dari tentara Tatar menjadi tawanan. Sebagaimana menetap di kota-kota tersebut, berbagai agama dan kepercayaan seperti Yahudi, Kristen, Zindik, Ateisme yang membentuk golongan dan sekte dengan pemikiran dan prinsip keagamaan beragam. Kala itu ada dua kelas strata sosial yang masing-masing memiliki pengaruh, pertama, para raja di mana mereka memiliki kekuatan dengan jabatan dan kekuasaannya. Namun disayangkan kelas ini sebagian besar biasanya hidup mewah, glamour dan berfoya-foya. Mereka membelanjakan harta bendanya untuk hal-hal yang tidak penting. Kedua, ulama dan ahli fikih yang menjadi rujukan umat dalam hukum dan segala permasalahan hidup. Bahkan mereka memiliki pengaruh luas terhadap para raja, dan umat.16 Pembauran antara umat Islam dan non Islam mengakibatkan permasalahan baru, yaitu munculnya dekadensi moral karena Tatar tidak menganut suatu agama dan tidak mengenal akhlak. Sementara Eropa membawa adat dan tradisi Barat yang tidak sesuai dengan Islam seperti budaya campur-baur antara laki dan perempuan. Kondisi politik dan ekonomi yang tidak menentu, krisis moral, konflik antar umat beragama, banyaknya aktifitas penyebaran bid’ah, kemunkaran, tersebarnya akidah sesat dan tidak hadirnya kekuasaan Islam yang kuat menimbulkan ketidakstabilan sosial. Kondisi Intelektual Baghdad Baghdad adalah pusat ilmu pengetahuan dan peradaban selama beberapa abad. Para pelajar datang dari berbagai penjuru untuk menimba ilmu dari para ulama sehingga aktifitas intelektual semakin maju, gencarnya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab, serta kemampuan umat Islam dalam melakukan penelitian dan penulisan menjadi semakin matang disamping itu motivasi dari para penguasa terhadap ulama dan aktifitas intelektual. Ketika Tatar melakukan invasi terhadap Baghdad, mereka menghancurkan simbol-simbol ilmu pengetahuan dan merusak peradaban tersebut dengan cara yang tidak pernah Muhammad Kurdi ‘Ali, al-Isla>m Wa al-H}adha>rah al-Arabiyah, 95. 16 78 Konsep Mas}lah}ah Mursalah Najm Al-Dîn Al-T{u>fi (Lalu Supriadi) terbayangkan. Kehidupan umat Islam yang sebelumnya tenang, aman dan damai berganti dilanda rasa takut, khawatir dan labil. Kondisi ini menyebabkan lemahnya aktifitas intelektual disamping adanya konflik internal antara para penguasa atau raja dalam ranah kekuasaan dan pemerintahan dan konflik ideologi antar golongan dan sekte. Sekalipun demikian kondisi intelektual tidak hilang sama sekali tetapi sudah sampai ke tingkat kematangan dalam berbagai disiplin ilmu dan seni yang membedakannya dengan masa-masa sebelumnya dan itu tidak mudah untuk dimusnahkan. Setelah beberapa bulan peristiwa invasi Tatar ke Baghdad berlalu, situasi kota Bagdhad kembali normal, kondisi politik menjadi stabil, rasa takut dan khawatir menjadi hilang, aktifitas intelektual mulai menggeliat dan para raja membangun madrasah-madrasah tempat menimba ilmu. Bentuk perhatian dan kondisi seperti ini mendorong umat Islam berlombalomba menuntut ilmu dan pada sisi lain para raja memotivasi para ulama untuk mengabdi dan menyebarkan ilmu pengetahuan. Kegiatan tulis menulis kembali berlangsung seperti biasa disertai kegiatan untuk menentang pemikiran-pemikiran Kristen dan orang-orang yang mendiskreditkan Islam. Para sisi lain muncul sejumlah ulama terkemuka yang berjuang menghadapi seranganserangan musuh Islam dengan pena dan pedang, diantaranya: ‘Izz al-Di>n Bin ‘Abd al-Sala>m, Ibn Taimiyah dan Muh}y al-Di>n al-Nawawiy. Mereka rela berkorban untuk mempertahankan agama Islam dan menulis beberapa karyanya untuk menentang pemikiran Yahudi, Kristen dan Ateisme, termasuk al-T}uf> i dengan karyanya al-Radd ‘Ala> al-Ittiha>diyah dan al-Intis}a>rat al-Isla>miyah fi Kasyf al-Shu’u>b al-Nas}ra>niyah. Madrasah (lembaga pendidikan formal) yang paling menonjol kala itu dan memiliki kontribusi besar dalam kebangkitan pemikiran di Baghdad adalah sebagai berikut: Madrasah al-Nizha>miyah yang didirikan oleh menteri asal bani Saljuk, Nizha>m al-Mulk H}asan bin Ali, Madrasah Abu H}anifah yang didirikan oleh Abi Sa‘ad bin al-Mustaufi dan diresmikan tahun 459 H, dan Madrasah al-Mustans}iriyah dibangun oleh Khalifah al- Mustans}ir Billah keturunan keluarga Abbasiyah tahun 625 H. Di Syam terdapat masjid ja>mi’ yang memiliki peranan besar dalam memunculkan kebangkitan pemikiran di antaranya: pertama, Masjid al-Umawiy, adalah lembaga pendidikan terbesar dan terkenal kala itu, dan di dalamnya terdapat beberapa H}alaqah yang mempelajari berbagai ilmu secara intens; kedua, Madrasah al-‘Adiliyah al-Kubra di Damasykus, mulai dibangun oleh Nu>r al-Di>n Mahmud al-Zankiy tahun 567 H. Beliau wafat sebelum sempurna pembangunannya, lalu dilanjutkan oleh al-Sult}a>n al-‘Adil yang wafat juga sebelum sempurna pembangunannya, lalu dilanjutkan lagi oleh anaknya al-Mu‘azzam tahun 661 H, dan membuatnya menjadi madrasah yang istimewa dan unik; ketiga, Madrasah al-S}alalat}iyah di Baitul Maqdis, adalah waqaf S}alah al-Di>n al-Ayyubiy (wafat 659 H). Sebelumnya adalah gereja pada masa kerajaan Romawi; dan keempat, Madrasah al-Za>hiriyah, dibangun oleh raja Ga>zi bin S}alah al-Di>n, dan pembangunannya selesai pada tahun 610 H. 79 Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 8, No. 1, Januari 2012: 71-92 Sementara itu Kairo diramaikan dengan para ulama dan perpustakaan-perpustakaan yang dipenuhi majlis-majlis ilmu dan sastra. Perhatian masyarakat terhadap kitab-kitab adalah sesuatu yang patut dibanggakan. Kairo dipenuhi toko-toko buku. Diantara masjid jami‘ yang terkenal di Kairo adalah sebagai berikut: 1). Masjid Ja>mi‘ al-‘Atiq, terletak di kota Fust}at} Mesir. Dinamakan juga Taj al-Jawa>mi‘, atau Ja>mi‘ Amru bin al-As} yang merupakan Masjid Ja>mi‘ yang pertama kali dibangun di Mesir setelah ditaklukkan. 2). Masjid Ja>mi‘ bin T}alun, dibangun oleh Abi al-Abbas Ah}mad bin T}alun tahun 263 H. 3). Masjid Ja>mi‘ alAzhar, Masjid pertama kali yang dibangun di Kairo, didirikan oleh Jauhar al-S}aqalliy seorang maula (budak/anak angkat) khalifah al-Mu‘iz. Masjid ini mulai dibangun pada tahun 359 H dan sempurna pembangunannya pada tahun 361 H. 4). Masjid Ja>mi‘ al-H}akim, dibangun di luar pintu al-Futu>h salah satu pintu gerbang Kairo. Pertama kali dibangun oleh Niza>r bin Mu‘iz Li Di>n lla>h kemudian disempurnakan oleh anaknya yang bergelar al-ha>kim Bi Amri lla>h. 5). Madrasah al-S}a>lihiyah, dibangun oleh raja Saleh Najm al-Di>n Ayyub bin al-Ka>mil tahun 639 H. 6). Madrasah al-Nas}iriyah, dibangun dekat Masjid al-‘Atiq, yang mulai dibangun pada masa raja Katbugh dan disempurnakan oleh al-Na>shir Muh}ammad bin Qalawin pada tahun 703 H, dan dikenal dengan nama ibn Zain al-Tujjir karena beliau yang pertama kali mengetahui dewan guru kemudian namanya berubah menjadi Madrasah al-Shari>fah. Di madrasah ini al-T}uf> i pernah mengajar. 7). Madrasah al-Mans}uriyah, didirikan oleh raja Mansur bin Qalawin, dimana al-T}uf> i menjadi salah seorang pengajarnya. Di sisi lain pertarungan pemikiran yang sengit antara umat Islam dan Kristen menjadi faktor kuat para ulama menulis kitab-kitab untuk meng-counter pemikiran mereka. Di antara kitab-kitab yang ditulis dalam bidang itu: al-Jawab al-S}ahih Liman Baddala Di>n al-Masih, karya Ibn Taimiyah, al-Ajwibah al-Fa>khirah ‘An al-As’ilah al-Fa>jirah, karya Shiha>b al-Di>n al-Qara>fiy, dan al-Intis}a>rat al-Islamiyah fi Daf‘’i Shubah al- Nas}ra>niyah, karya al-T}uf> i . Mas }lah} }ah Mursalah dalam Literatur Ulama Mas}lah lahah Secara etimologi mas}lah}ah berarti manfa‘ah (manfaat atau kepentingan), antonim dari kata mafsadah (kerusakan). Ia berbentuk mas}dar dengan arti s}olah} (kepantasan), dan bentuk jamaknya adalah mas}ha>lih}. 17 al-T}u>fi mendefinisikannya sebagai sesuatu yang pantas digunakan sesuai dengan fungsinya seperti pena digunakan untuk menulis dan pedang untuk menebas atau memotong. Sedangkan mursalah berarti terlepas atau tidak terikat oleh dalil shara’ yang memuat ketetapan hukumnya.18 Secara terminologi adalah dasar (sumber) hukum Islam yang tidak ada dalil secara terperinci menyebutkan atau menafikannya baik oleh nas} (teks al-Qur’an dan Hadith) maupun Ijma‘.19 Menurut al-Ghaza>li yaitu mengambil manfaat atau menolak mafsadah/mudarat Ibn Manzhu>r, Lisa>n al-Arab, Jilid 2 (Beirut: Da>r S}adir), 517. Najm al-Di>n al-T}uf> , at-Ta‘yin fi Sharh} al-Arba‘i>n al-Nawawiyah, (Beirut: Mu’assasah al-Rayya>n), 249. 19 Ibn al- ‘a>jib, Mukhtashar al-Muntahi, Jilid 2 (Kairo: Maktabah al-Azhar), 289. 17 18 80 Konsep Mas}lah}ah Mursalah Najm Al-Dîn Al-T{u>fi (Lalu Supriadi) (sesuatu yang merusak/membahayakan) agar terjaga tujuan shara’ yang mencakup 5 hal, yaitu terpeliharanya agama, jiwa, keturunan, akal dan harta benda.20 Sedangkan menurut alT}uf> i yaitu instrumen hukum yang menyampaikan seseorang kepada tujuan shar’i (pembuat hukum) baik dalam lingkup ibadah atau adat.21 Jadi mas}lah}ah mursalah adalah suatu hukum yang tidak disebutkan dalilnya secara khusus dalam nas} (al-Qur’an dan Hadith) namun ia sejalan dengan prinsip dan tujuan Shara’. Para ulama sepakat tidak membolehkan penerapan mas}lah}ah mursalah pada lingkup ibadah, karena karakternya yang tidak bisa direkonstruksi melalui akal/nalar. Penerapannya dalam lingkup ibadah akan memberi peluang orang-orang yang tidak berkompeten untuk mempraktekkan sesuatu yang tidak pernah ada dalam agama. Namun ia diterapkan pada mu‘amalah dan adat karena kemashlahatan (kepentingan) manusia berkembang seiring dengan perubahan situasi, kondisi dan waktu. Kalau hanya membatasinya pada masalah-masalah yang disebutkan nas}-nya dalam al-Qur’an dan Hadith akan menyebabkan mandegnya sejumlah hukum. Hal seperti ini bertentangan dengan karakteristik syariat Islam yang universal, fleksibel dan relevan dengan semua ruang dan waktu. Para ulama berbeda pendapat mengenai H}ujjiyah-nya (legalitas hukumnya) menjadi tiga:22 pertama, yang tidak mengakui legalitasnya sebagai dasar hukum adalah ulama mazhab Sha>fi’iy dan Hanafi; Kedua, yang mengakui legalitasnya sebagai dasar hukum adalah mazhab Ma>liki, Hanbali dan imam Sha>fi’iy pada qaul qadi>m-nya dan imam al-Haramain; Ketiga, menurut al-Ghaza>li, al-muna>sib al-mursal (nama lain mas}lah}ah mursalah) diakui jika pada level d}aruri, qat}’i dan kulli.23 Sebagai contoh mas}lah}ah mursalah level d}aruri, qat}’i dan kulli adalah jika non muslim memerangi umat Islam dengan menjadikan seorang tawanan muslim sebagai tamengnya, dipastikan jika tidak membunuh tameng itu maka mereka akan menyerang dan menguasai semua negeri Islam. Di satu sisi kalau tameng itu diserang berarti tawanan muslim yang tidak berdosa akan terbunuh.24 Contoh diatas adalah salah satu bentuk mas}lah}ah mursalah karena tidak ada dalil Shara’ yang membolehkan membunuh seorang muslim tanpa dosa dan sebaliknya tidak ada dalil untuk tidak boleh membunuhnya dalam rangka mencapai kemashlahatan umat Islam. Bahkan sudah dipastikan tawanan ini pada akhirnya akan terbunuh dengan cara apapun. Maka memelihara jama’ah (seluruh) umat Islam lebih dekat kepada tujuan Shara’ dibandingkan memelihara seorang individu muslim karena maksud penerapan hukum adalah meminimalkan Al- Ghaza>li, al-Mustas}fa Min ‘Ilmi al-Us}u>l, Jilid 2 (Mesir: Maktabah Bu>la>q, 1322H), 286-287. al-T}u>fi, at-Ta‘yin, 239. 22 Al-Shauka>ni, Irsa>d al-Furu>l Ila> Tah}qi>q al-H}aqq Min ‘Ilmi al-Us}u>l, (al-Babi al-Halabi, cet.I, 1356), 242. 23 D}aruri adalah untuk menjaga 5 hal; agama, jiwa, keturunan, akal dan harta benda. Qat}’i adalah kepastian akibat dari penerapan mas}lah}ah. Kulli adalah yang mendatangkan manfaat umum bagi mayoritas/semua umat Islam. 24 Al- Ghaza>li, al-Mustas}fa, Jilid 1, 294. 20 21 81 Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 8, No. 1, Januari 2012: 71-92 kegagalan dalam berperang. Ada beberapa faktor penyebab para ulama berbeda dalam berhujjah (berargumen) dengan mas}lah}ah mursalah: pertama, tidak melakukan identifikasi; apakah yang dimaksud dengan mas}lah}ah mursalah adalah posisinya sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri sejajar dengan qiya>s atau istih}sa>n atau sebagai bagian (subordinat) dari sumber-sumber hukum tersebut. Ulama yang menolak berargumen dengan mas}lah}ah mursalah bermaksud tidak mengakuinya sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri. Sementara yang lain mengakuinya sebagai metodologi ijtihad yang merupakan bagian (subordinat) dari sumber-sumber hukum seperti qiya>s atau istih}sa>n.25 Kedua, tidak melakukan chek dan re-chek terhadap pendapat yang disandarkan/ dialamatkan kepada Imam Malik dalam permasalahan yang dirumuskan hukumnya dengan menggunakan konsep atau metode mas}lah}ah mursalah. Bahkan diklaim konon beliau sangat berlebihan dalam menggunakannya sampai-sampai tidak mensyaratkan kesesuaiannya dengan prinsip Shara’.26 Beliau tidak mengakui mas}lah}ah hakiki yang bersifat umum sehingga sebagian orang menjadikannya sarana untuk merumuskan hukum menurut hawa nafsu dan kepentingan sendiri. 27 Hal ini juga menjadi faktor penyebab sebagian ulama tidak menggunakannya dalam merumuskan hukum demi menutup peluang terjadinya kejahatan dalam proses perumusan hukum. Sementara sebagian ulama memandang bolehnya mengacu kepada mas}lah}ah mursalah dengan berhati-hati dan mensyaratkan ia berbentuk mas}lah}ah yang bersifat umum dan nyata kesesuaiannya (perumusan hukum berdasarkan mas}lah}ah harus sesuai dengan tujuan umum penetapan hukum), atau menghilangkan kesulitan dan berbentuk mas}lah}ah hakiki bukan semu.28 Ketiga, statemen bahwa Imam Sha>fi’iy menolak metode istihsa>n dan menganggapnya sebagai penetapan hukum dengan hawa nafsu dan rasio/nalar semata tanpa membuat pengecualian secara jelas mengenai mas}lah}ah mursalah yang menjadi tujuan Shara’ dan sesuai dengan spirit dan tujuannya. Hal ini membuat orang-orang yang tidak mencermati prinsip Sa‘id Ramad}a>n al-Bu>ti} , D}awa>bit} al-Mas}lah}ah fi al-Shari>’ah al-Isla>miyah, (Suriah: Da>r al-Muttah}idah dan Mu’assasah al-Rayya>n, Cet. 3, 1412), 400. 26 Seperti ditemukannya nas} yang menunjuk hukum suatu kasus yang bertentangan dengan hukum yang ditetapkan melalui mas}lah}ah mursalah. Contoh kasus: fatwa seorang ulama mazhab Maliki terhadap para raja/ penguasa yang menggauli istrinya pada siang hari bulan Ramadhan untuk membayar kifarat (denda) berpuasa dua bulan berturut-turut karena pertimbangan mereka sangat sanggup untuk membebaskan satu budak perempuan. Ulama tersebut menetapkan fatwanya berdasarkan mas}lah}ah mursalah agar membuat efek jera bagi sang penguasa tetapi itu tidak diakui menurut perspektif hukum Shara’ karena dalam Hadithnya Rasulullah mewajibkan orang badui yang menggauli istrinya pada siang hari bulan Ramadhan untuk membebaskan budak tanpa memandang apakah ia mampu atau tidak mampu karena dalam penerapan hukum kafarat yaitu membebaskan budak terdapat mas}lah}ah umum bagi umat Islam. Sekalipun dalam penerapan hukuman puasa dua bulan berturut-turut terdapat kemashlahatan khusus bagi sang raja. (Muhammad Mus}ta} fa al-Shalabi, Ta‘lal al-Ah}ka>m, (Beirut: Da>r al-Nahd}ah al-Arabiyah), 279. 27 ‘Abd al-Wahhab Khallf, Mas}adir al-Tashri‘ al-Islami Fi>ma> La> nasa Fi>hi, (Kuwait: Da>r al-Qalam, 1402), 175. 28 Ibid., 175-176. 25 82 Konsep Mas}lah}ah Mursalah Najm Al-Dîn Al-T{u>fi (Lalu Supriadi) hukum dan metode ijtihad Imam Sha>fi’iy beranggapan bahwa beliau menolak konsep mas}lah}ah mursalah karena beliau tidak mengakui istihsa>n yang mirip konsepnya dengan mas}lah}ah mursalah. Oleh karenanya sebagian ulama mengindikasikan bahwa Imam Sha>fi’iy tidak menjadikannya dasar perumusan hukum, bahkan sebagian berpendapat bahwa Imam Sha>fi’iy menolaknya dan tidak mengakui legalitasnya29. Namun setelah diteliti ternyata semua ulama mazhab menerapkannya dalam istinba>t} (perumusan hukum) sekalipun mereka berbeda dalam penamaannya; Imam Hanafi menamakannya istih}sa>n, Imam Malik dengan mas}lah}ah mursalah. Sedangkan mazhab Sha>fi’iy dan Hanbali meskipun tidak secara jelas memberinya label tetapi ditemukan dalam ijtihadnya banyak merumuskan hukum dengan menggunakan metode tersebut.30 Ulama mazhab Hanafi menamakan konsep ini istih}sa>n atau lebih spesifik qiyas khafiy yang merupakan bagian dari istih}sa>n, yaitu berpindah dari suatu hukum dengan qiya>s za>hir (nyata) kepada hukum lain dengan qiya>s khafiy (samar) atau dari hukum umum kepada hukum pengecualian dengan adanya alasan kuat. Contohnya barang gadaian sama kedudukan hukumnya dengan hutang. Tanggung jawab bagi yang mengambil gadai sama dengan hutang yang diambilnya. Jika barang atau uang hutang itu rusak maka tanggungjawab orang yang berhutang. Jadi berdasarkan tinjauan qiya>s barang yang digadai (gadaian) sama posisi hukumnya dengan hutang, tanggung jawab barang gadai yang rusak berlaku bagi pemegang gadai (pengambil gadai). Namun dengan qiya>s khafi maka tanggung jawab barang gadai ada pada ra>hin (pemilik barang gadaian).31 Al-Bu>ti} , D}awa>bit, 405. Al-Shauka>ni berkata: Ketenaran imam Malik dengan metode mas}lah}ah mursalah-nya yang independen sesungguhnya tidak tepat karena karena para ulama mazhab lain juga menganggap cukup melakukan istinbat} hukum dengan metode muna>sabah al-h}ukmi (persamaan hukum) dan tidak menamakan metode tersebut istih}sa>n atau mas}lah}ah mursalah. (al-Shauka>ni, Irsha>d al-Furu> ul), 242. Imam al-Haramain al-Juwaini berkata: Dalam perspektif Imam Sha>fi’iy dan mayoritas ulama mazhab Hanafi boleh merumuskan hukum berdasarkan mas}lah}ah mursalah sekalipun tidak mengacu kepada hukum yang disepakati dalilnya/dasarnya tetapi mereka tidak membolehkan kalau terlalu jauh dari spirit Shara’. Yang boleh adalah mengaitkan hukum dengan mas}lah}ah mursalah yang diakui yang mengacu kepada hukum-hukum yang pasti dasar/landasannya dalam hukum Islam. (Imam al-Haramain al-Juwaini, al-Burha>n Fi Us}ul> al-Fiqh, Jilid 2 (Qathar: cet. 1, 1401), 114. Sementara itu al-Qara>fi (Mazhab Maliki) berkomentar: adapun mas}lah}ah mursalah, yang populer ia adalah konsep mazhab kami, tetapi setelah kami chek ke mazhab-mazhab lain ternyata mereka juga menggunakannya ketika melakukan qiya>s (persamaan hukum) atau menggabungkan atau memisahkan antara dua masalah, al-Qara>f, Tanqid alFus}al, 394. Al-Sha>ti} bi menjelaskan metode Imam Maliki: Semua dalil/prinsip Shara’/hukum yang tidak didukung oleh nas} (teks) Shara’ tetapi relevan dengan tujuan Shara’ dan maknanya diambil dari dalil-dalilnya maka ia bisa dijadikan landasan hukum. Jika digabungkan dengan dalil-dalil lain akan menjadi qat}‘i (pasti penunjukan makna hukumnya). Karena dalil-dalil tidak mesti bersifat qat}‘i dengan sendirinya tanpa digabungkan dengan yang lain. masuk ke dalam kategori ini al-istidla>l al-mursal (perumusan hukum dengan masl}ah}ah mursalah) yang diakui Imam Maliki dan Sha>fi’iy. Sekalipun dalam penetapan hukum fur’ (cabang) tidak didukung oleh nas tertentu tetapi diperkuat oleh dasar/prinsip umum jika bersifat qat}‘i dan bisa jadi naik derajat hukumnya sesuai dengan kuat atau lemahnya dasar/prinsip yang tertentu. Sebagaimana ia bisa menjadi pendapat yang marjah (lemah) dalam sebagian masalah yang saling bertentangan dalam bab tarjih}. (al-Sha>ti} bi, al-Muwa>faqa>t fi Us}u>l al-Shari‘ah, Jilid 1 (Jeddah: Kunuz al-Ma‘rifah, cet. II, 1422 H), 39. 31 ‘Ala’ al-Di>n al-Ka>sa>ni, Badri‘ al-S}anai‘ fi Tartib al-Sharai‘, Jilid 3 (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah 1997), 150. 29 30 83 Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 8, No. 1, Januari 2012: 71-92 Imam Malik adalah satu-satunya ulama yang awal mula memperkenalkan terma mas}lah}ah mursalah dan menempatkannya sebagai dasar yang berdiri sendiri dalam merumuskan hukum Islam.32 Bahkan rumusan fiqhnya didominas}}i oleh penggunaan metode tersebut. Dalam perspektif beliau mas}lah}ah mursalah adalah metode yang berkarakter sama dengan istih}sa>n, hanya saja istih}sa>n menitikberatkan kepada prinsip-prinsip kebaikan yang berbeda dengan prinsip qiya>s. Beliau (Imam Malik) banyak merumuskan hukum dengan mas}lah}ah mursalah sebagaimana metode istih>sa>n yang merupakan 9/10 ilmu.33 Di antara kasus hukum yang ditetapkan Imam Malik berdasarkan mas}lah}ah mursalah adalah mencambuk peminum khamar sebanyak 80 kali sama dengan hukuman al-Qadzf (orang yang menuduh orang lain berbuat zina tanpa disertai bukti). Salah satu cara penetapan hukum dengan menggunakan al-Mazhannah (dugaan/prasangka) yang merupakan prinsip Shara’. Karena orang yang minum khamar akan mabuk, kemudian mengigau lalu mengadangada selanjutnya melakukan tindakan al-Qadzf.34 Sedangkan Imam Sha>fi’iy dalam kitabnya al-Risa>lah mengemukakan konsep mas}lah}ah mursalah secara ghair s}orih (samar) dan dalam perspektif beliau merupakan bagian dari qiya>s. Berkaitan dengan ini beliau berkata: “Setiap hukum Allah dan Rasul-Nya yang saya temukan dalil-dalilnya secara tersurat di dalam al-Qur’an dan Hadith atau lainnya yang semakna dengan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadith pada masalah/kasus yang tidak ditemukan nas}-nya, maka disamakan hukumnya dengan kasus yang sudah ada ketetapan hukumnya dalam nas}”.35 Beliau melanjutkan: “Setiap permasalahan yang diturunkan terhadap seorang muslim dapat dipastikan ada hukumnya atau dengan cara yang dibenarkan dapat dipastikan ada dalilnya akan tetapi bila secara tersurat tidak ditemukan dalilnya maka dalilnya harus ditemukan dengan cara yang dibenarkan yaitu dengan ijtihad dan ijtihad itu adalah qiya>s”.36 Sementara itu Imam Ahmad bin Hanbal termasuk ulama yang paling banyak menggunakan mas}lah}ah mursalah setelah imam Malik37. Itu terlihat dari beberapa kasus hukum yang difatwakan, diantaranya: Jika dalam kondisi mendesak dan tidak mungkin Mus}ta} fa> Zaid, al-Mas}lah}ah fi al-Tashri‘ al-Isla>m wa Najm al-Din al-T}uf> i, (Beirut: Da>r al-Fikr al-Arabi, Cet. 2, 1384), 84. 33 Diriwayatkan Ashbag dari Ibn al-Qa>shim dari Imam Malik: al-Istih}sa>n adalah 9/10 ilmu. 34 Pada masa Rasulullah SAW, tidak ada batasan/ukuran tertentu mengenai hukuman orang yang meminum khamar tetapi sebatas hardikan/cegahan yang berposisi seperti ta’zir. Ketika sampai masa Abu Bakar beliau memutuskannya 40 kali cambuk kemudian pada masa Uthman bin Affan beliau mengumpulkan sahabat dan meminta saran dan masukan, lalu Ali bin Abi T}alib berkata: siapa yang minum khamar maka ia akan mabuk, kalau mabuk ia akan mengigau, barang siapa yang mengigau maka ia mengada-ngada dan aku memutuskan hukumannya sama dengan hukuman al-qazf (orang yang menuduh orang lain berbuat zina tanpa disertai bukti). 35 al-Sha>fi‘iy, al-Risa>lah, (Beirut: Maktabah al-Ilmiyah), 512. 36 Ibid. 37 Ibn Daqi>q al-‘i>d berkata: Tidak diragukan lagi bahwa imam Malik memiliki tarjih (pendapat kuat) dibandingkan ulama-ulama fiqih lain dalam masalah ini, lalu diikuti oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan selain keduanya hampir tidak ada yang mengakuinya secara keseluruhan. tetapi keduanya memiliki tarjih (pendapat kuat) dalam penggunaannya terhadap yang lain. 32 84 Konsep Mas}lah}ah Mursalah Najm Al-Dîn Al-T{u>fi (Lalu Supriadi) meminta izin dari sang pemilik, dibolehkan menggunakan harta benda orang lain.38 Ini adalah prinsip Shara’ yang tidak didukung oleh nas} (teks) tertentu tetapi sesuai dengan ruh (spirit) hukum dan maknanya diambil dari dalil-dalilnya. Oleh karenanya ia menjadi prinsip yang dibenarkan dan bisa dijadikan acuan hukum. Ia diterapkan dalam permasalahan-permasalahan hukum yang sama tanpa membutuhkan dalil langsung secara tekstual baik dari nas} atau qiya>s.39 > fi Metode Pemikiran Mas }lah} }ah Mursalah al-T al-T}u} fi Mas}lah lahah Pemikiran ini muncul ketika al-T}uf> i menguraikan makna Hadith riwayat Abu> Sa’d alKhudr “la> d}arara wa la> d}irara”40 (tidak boleh mencelakakan diri sendiri dan orang lain) dalam bukunya al-Ta`yin fi Sharh} al-Arba`i>n al-Nawawiyah41 yang merupakan sharh} (penjelasan) kitab “al-Arba`in al-Nawawiyah” karya Abu Zakariya Sharaf al-Di>n al-Nawawi, Hadith urutan ke 32. Dalam kitab tersebut al-T}uf> i menyebutkan teks Hadith dan isna>d (jalur periwayatan) Hadith beserta hukumnya lalu pengertian Hadith, untuk kemudian mengkonstruksi pemikirannya setelah menyebut secara berurutan 19 sumber hukum Islam, yaitu al-Qur`an, al-Sunnah, Ijma` umat Islam, ijma` penduduk Madinah, Qiya>s, Qaul S}ah}abi, Mas}lah}ah Mursalah, Istis}ha>b, Bara>i>ah al-As}li, `Awa>i>d, al-Istiqra’i>, Sadd al-Zara`ah, Istidlal, Istih}sa>n, al-Akhzu Bi al-Akhaff, al-`Is}mah, Ijma` penduduk Kufah, Ijma` Ahl al-`At}arah dan terakhir Ijma` Khalifah yang 4 (Abu Bakar, Umar, Uthman dan Ali). Versi al-T}uf> i, sumber hukum paling kuat secara hirarki adalah nas} (teks al-Qur’an dan Hadith) dan Ijma‘. Kalau keduanya (nas} dan ijma‘) menetapkan hukum yang sejalan makna dan spiritnya dengan yang dirumuskan oleh mas}lah}ah mursalah maka tidak ada persoalan tetapi kalau terjadi pertentangan (nas} dan ijma‘ versus mas}lah}ah mursalah), maka mas}lah}ah mursalah harus didahulukan (diprioritaskan) dengan cara takhs}i>s (mengkhususkan makna salah satunya) dan baya>n (menjelaskan makna salah satunya) bukan dengan cara menafikan atau tidak menggunakannya sama sekali. Sebagaimana terjadi pada sumber hukum as-Sunnah yang bisa didahulukan dari al-Qur’an dengan cara baya>n. Hal itu terjadi karena mas}lah}ah adalah tujuan akhir dari pemberlakuan hukum Shara’ terhadap mukallaf, sedangkan sumber- Abd al-Rah}ma>n Bin Rajab, al-Qawa>i>d fi al-Fiqh al-Isa>mi, (Beirut: Da>r al-Jil, Cet. 2, 1988), 107. Hadith yang dijadikan landasan adalah Hadith riwayat ‘Urwah bin al-Ja’d al-Bari>qi di mana Nabi Muhammad pernah memberinya uang satu dinar untuk dibelikan kambing, tetapi beliau (‘Urwah) bisa membeli dengan uang tersebut dua kambing lalu ia menjual satu kambing dengan harga satu dinar dan menemui Rasulullah dengan membawa satu dinar dan kambing. ‘Urwah menceritakan tindakan ini tanpa minta izin sebelumnya karena suatu halangan/sebab dan kebutuhan mendesak. Pada praktek tersebut terdapat mas}lah}ah yang rajih (yang lebih kuat) yang ditetapkan nabi Muhammad SAW. 40 Hadith dengan derajat Hasan dari dua jalur periwayatan. Pertama, Ibn Majah dan al-Da>r al-Quthni meriwayatkannya dengan sanad bersambung kepada Abu Said al-Khudri. Kedua, Imam Malik dalam Muwatt}a’nya meriwayatkannya secara mursal dari Amru bin Yahya dari bapaknya dari Rasulullah (tanpa menyebutkan Abu Said al-Khudri). 41 Beliau memaparkan pemikiran kontroversialnya dalam kitab ini mulai dari halaman 234 sampai 280. 38 39 85 Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 8, No. 1, Januari 2012: 71-92 sumber hukum Islam yang lain adalah sarana yang dipergunakan untuk memahami tujuan tersebut. Konklusinya tujuan harus didahulukan dari sarana. Setelah mendefinisikan makna mas}lah}ah mursalah, makna ijma‘ dan dalil-dalil yang menunjukkan h}ujjiah (legalitas hukumnya) dari al-Qur’an dan al-Sunnah dan wajhu al-dala>lah dari keduanya mengenai h}ujjiah ijma‘, kemudian beliau melakukan penentangan dan melemahkan legalitas hukum ijma‘ dengan empat argumen: pertama, jika ijma‘ merupakan h}ujjah (argumen), pernyataan itu muncul dari individu-individu pelaku ijma‘ (pembuat kesepakatan) atau pernyataan nas}-nas} shar’i (teks-teks al-Qur’an dan Hadith) bahwa mereka adalah orang-orang ma‘s}u>m (terpelihara dari dosa). Kemungkinan pertama keliru karena individu-individu pelaku ijma‘ bukan orang-orang ma‘s}u >m (terpelihara dari dosa). Kemungkinan kedua juga keliru karena pernyataan nas}-nas} shar’i 42 bahwa mereka adalah orang-orang ma‘s}um > tidak bersifat mutawa>tir tetapi aha>d dan Hadith aha>d tidak bisa menjadi alasan kuat dalam penetapan hukum. Maka konklusinya ijma‘ bukan merupakan h}ujjah. Kedua, Rasulullah SAW bersabda: “Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan”.43 Pada Hadith lain: “Umatku tidak akan berkumpul untuk hal yang menyesatkan”.44 Lalu muncul pertanyaan; apakah yang dimaksud dengan tidak berkumpul untuk hal yang menyesatkan adalah yang 73 golongan tersebut atau golongan yang selamat dari 73 tadi. Jika yang dimaksud adalah kemungkinan yang pertama maka hasilnya tidak benar karena dua hal: 1) sebagian mereka (umat) ada yang berpendapat bahwa ijma’ tidak menjadi h}ujjah. 2) dari golongan umat ada yang dihukum kafir karena berbuat bid’ah, dan orang kafir tidak bisa dimasukkan dalam lingkup ijma`. Jika yang dimaksud adalah golongan yang selamat berarti mereka bukan seluruh umat tetapi kira-kira 8/9 umat adalah bagian dari 73 bagian. Sehingga yang tertinggal dari pengertian Hadith adalah 8/9 dari umatku tidak berkumpul dalam kesesatan. Atau sebagian dari 73 dari umatku tidak berkumpul dalam kesesatan. Ketiga, ‘Uthman bin Affan, Abu Bakar dan ‘Umar menghalangi perolehan warisan ibu dari 1/3 ke 1/6 dengan dua jumlah saudara, sementara Ibn ‘Abbas tidak menghalanginya kecuali dengan tiga jumlah saudara. Ibn ‘Abbas mendebat Uthman sambil mengutip firman Allah: “fain ka>na lahu ikhwatun faliummihi al-sudus” (Jika memiliki banyak saudara maka bagi ibu memperoleh 1/6)45, dan dua jumlah saudara tidak bisa disebut ikhwah (banyak saudara) menurut bahasa kaummu . Kemudian Uthman berkata: “Saya tidak akan meninggalkan perbuatan yang pernah dilakukan oleh khalifah-khalifah sebelumku”.46 Pada kasus ini Ibn Abbas tidak mengamalkan ijma‘ para sahabat demi mas}lah}ah mursalah. Hadith yang dijadikan sandaran hujjiah ijma’ yaitu: “la> tajtami’u ummati ‘ala> al-d}alalah” dan lainnya tidak sampai ke derajat mutawatir. 43 Hadith dari Abu Hurairah dengan derajat hasan s}ahih riwayat Abu Daud dan Turmuzi 44 Hadith dengan derajat sah}ih} al-isnad riwayat al-Hakim di al-Mustadrak 45 Qs. Al-Nisa’: 12 46 Hadith riwayat Baihaqi di al-Sunan al-Kubra 42 86 Konsep Mas}lah}ah Mursalah Najm Al-Dîn Al-T{u>fi (Lalu Supriadi) Keempat, para sahabat ber-ijma‘ (sepakat) terhadap beberapa kasus hukum; hukum bolehnya bertayammum bagi orang sakit dan dalam kondisi ketiadaan air (tidak menemukan air). Berbeda dengan pendapat Ibn Mas‘ud yang tidak membolehkan dengan mengatakan: “Seandainya kita mudahkan dalam hal ini, mereka bertayammum pada air yang dingin sekalipun dia melihat air”. Untuk memperkuat pendapat para sahabat dalam kasus tayammum tadi Abu Musa berargumen dengan ayat dan Hadith Ammar bin Yasir mengenai tayamum, tetapi Ibn Mas‘ud tidak menolehnya.47 Dalam kasus ini Ibn Mas‘ud tidak mengamalkan nas} dan ijma‘ demi menerapkan mas}lah}ah mursalah. Konsep al-T}u>fi dibangun di atas empat pilar: pertama, akal (rasio) berdiri sendiri (memiliki otoritas lebih) dalam menentukan mas}lah}ah atau mafsadah-nya suatu perbuatan; kedua, mas}lah}ah mursalah merupakan sumber hukum yang berdiri sendiri, tidak mengacu kepada panduan nas}; ketiga, penetapan hukum dengan menggunakan metode mas}lah}ah mursalah berlaku dalam lingkup muamalah dan adat bukan pada ibadah; dan keempat, mas}lah}ah mursalah adalah sumber hukum yang paling kuat posisinya secara umum. Bukan saja berlaku jika tidak ditemukan nas} atau ijma‘ yang menetapkan suatu hukum tekstual (secara langsung dan jelas), tetapi mas}lah}ah mursalah harus didahulukan (diprioritaskan) jika terjadi pertentangan dengan cara takhs}is dan baya>n bukan dengan cara menafikan, dan tidak memberlakukannya sama sekali sebagaimana al-Sunnah harus didahulukan terhadap al-Qur’an dengan cara baya>n 48 berdasarkan pemahaman Hadith: “la> d}arara wa la> d}ira>ra “. Al-T}uf> i berargumen dengan tiga hal sehingga mendahulukan mas}lah}ah mursalah dari nas} dan ijma‘: Pertama, para pengingkar ijma‘ berpendapat bahwa mas}lah}ah mursalah memiliki h}ujjiah (legalitas hukum). Jika demikian mas}lah}ah mursalah menjadi sumber hukum yang disepakati semua umat Islam, sedangkan ijma‘ menjadi sumber hukum yang diperselisihkan. Berpegang teguh terhadap sesuatu yang disepakati lebih utama dari mengambil sesuatu yang diperselisihkan; Kedua, teks-teks al-Qur’an dan Hadith bertentangan maknanya antara yang satu dengan lainnya. Ini menjadi penyebab terjadinya khila>f (perbedaan pendapat) pada hukum-hukum “yang diduga sebagai hukum shara’” sementara mengakui mas}lah}ah mursalah adalah sesuatu yang hakiki (rill) pada dirinya dan tidak diperselisihkan. Ini menjadi penyebab kesepakatan yang menjadi tujuan Shara’; Ketiga, adanya pertentangan nas}nas} (teks-teks) dengan mas}lah}ah mursalah pada beberapa kasus yang tercatat dalam al-Sunnah. Al-T}uf> i berasumsi bahwa tercatat dalam al-Sunnah terjadinya pertentangan antara mas}lah}ah mursalah dan nas}-nas} dalam beberapa peristiwa hukum, di mana mas}lah}ah mursalah Hadith riwayat al-Bukhari Sekalipun sebagian ulama kontemporer seperti Dr. Husain Hamid berpendapat bahwa kemungkinan adanya pertentangan antara nas} dan mas}lah}ah mursalah dalam perkiraan at-T}u>fi adalah antara nas} yang bersifat zhanni (tidak pasti penunjukan hukumnya) dan mas}lah}ah mursalah. Sedangkan dalam nas} qat}’i (pasti penunjukan hukumnya) at T}uf> i berpendapat pertentangan tidak mungkin terjadi dan dalam kasus tersebut mas}lah}ah mursalah tidak bisa didahulukan. (H{ushain H{amid H{assan, Nazhariyah al-Mas}lah}ah fi al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Da>r alKutub al-Ilmiyah, t.th.), 15. 47 48 87 Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 8, No. 1, Januari 2012: 71-92 didahulukan penerapan hukumnya. Diantaranya: didahulukannya (diutamakannya) ijtiha>d Ibn Mas’ud yang bertentangan dengan nas} dan ijma‘ pada kasus tayammum karena kemaslahatan ih}tiya>t} (kehati-hatian) dalam ibadah.49 Perbuatan sebagian sahabat yang s}alat As}ar sebelum sampai ke perkampungan Bani Quraizhah (karena khawatir habisnya waktu As}ar) bertentangan dengan Hadith: “Tidak boleh kalian sholat Ashar kecuali di Bani Quraidzah”.50 Sabda Rasulullah kepada Aisyah: “Kalaulah tidak karena kaummu yang baru masuk Islam niscaya saya akan menghancurkan Ka’bah dan membangunnya menurut pondasi nabi Ibrahim”.51 Ini menunjukkan bahwa membangunnya sesuai dengan pondasi nabi Ibrahim hukumnya wajib dan meninggalkannya/tidak melakukannya karena mengikuti mas}lah}ah mursalah. Ketika Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk menjadikan haji itu umrah, mereka berkata: “bagaimana mungkin kami mengubahnya padahal kami sudah menamakannya (berniat) haji”52. Rasulullah mengutus Abu Bakar memaklumkan: “barangsiapa yang mengucapkan la> ila>ha illalla>h masuk sorga” lalu Umar menemuinya dan berkata “kalau begitu banyak orang yang meremehkan”.53 Seseorang masuk masjid lalu s}alat, melihat itu para sahabat heran/kagum dengan prilakunya, lalu Rasulullah tiba-tiba memerintahkan Abu Bakar dan Umar untuk membunuhnya, tetapi tidak dilakukannya dan berkata: “bagaimana anda membunuh orang yang melakukan s}alat”.54 Kedua sahabat ini meninggalkan nas} dan tidak ada acuannya kecuali karena prasangka baik dan ini adalah salah satu bentuk mas}lah}ah mursalah. Rasulullah diam dan mengiyakan ijtihad keduanya yang bertentangan dengan nas} (al-sunnah al-qauliyah). Refleksi Kritis atas Pemikiran al-T > fi al-T}u} fi Hal yang paling penting dari sekian pilar pemikiran yang dikemukakan al-T}uf> i untuk mengkonstruksi pemikirannya adalah akal (rasio) memiliki otoritas lebih dalam menentukan mas}lah}ah atau mafsadah-nya suatu perbuatan. Jika dilihat dari paradigma hukum normatif, konsep dasar pemikiran al-T}uf> i bertentangan dengan pandangan mainstream ulama Islam. Baik ulama yang yang menjadikan mas}lah}ah mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, sejajar dengan qiya>s dan istihsa>n atau yang menjadikannya sebagai bagian dari sumber hukum tadi. Hadith riwayat al-Bukhari Hadithr dari Ibn Umar riwayat Bukhari dan Muslim 51 Hadith dari Aisyah riwayat Bukhari dan Muslim 52 Hadith riwayat al-Bukhari dan Muslim 53 Abu Ya’la, al-Musnad, Jilid 1, 100. dan al-Haitsami, Majma’ al-Zawa’id, Jilid 1, 172. al-Haitsami berkata: salah seorang perawinya bernama Suwaid bin Abdul Aziz matruk al-Hadith (suatu istilah dalam ilmu al-jarhu wa al-ta’dil yang berarti ditinggalkan Hadithnya). Sehingga Hadith ini d}aif sanadnya. 54 Abu Ya’la, al-Musnad, Jilid 1, 90. dan al-Haitsami, Majma’ al-Zawa’id, Jilid 6, 226. al-Haitsami berkata: salah seorang perawinya bernama Musa bin Ubaidah matruk al-Hadith (suatu istilah dalam ilmu al-jarh}u wa al-ta’dil yang berarti ditinggalkan Hadithnya). Sehingga Hadith ini d}aif sanadnya 49 50 88 Konsep Mas}lah}ah Mursalah Najm Al-Dîn Al-T{u>fi (Lalu Supriadi) Al-Sha>ti} bi dalam karya magnum opusnya al-Muwa>faqa>t menyebutkan dasar hukum pembuatan kaidah-kaidah ushul fikih dan menjelaskan bahwa mas}lah}ah mursalah bukanlah dasar hukum yang diperoleh berdasarkan hawa nafsu tetapi mengacu kepada dasar yang konstan dari al-Qur’an dan al-Sunnah dan mengajukan dua argumen, salah satunya adalah dalil/dasar hukum yang mengacu kepada akal tidak bisa dengan sendirinya menjadi landasan dalam ilmu Us}ul Fikih. Tidak boleh mengacu kepada akal dalam menetapkan hukum shara’. Tetapi harus kepada dalil naql (al-Qur’an dan Hadith). Akal berfungsi sebagai pembantu dalam memahami dalil-dalil naql.55 Al-Bhu>t}i menegaskan bahwa akal tidak mampu dengan sendirinya menangkap mas}lah}ah mursalah karena dua hal, pertama, seandainya akal mampu dengan sendirinya menangkap mas}lah}ah mursalah, akal bisa menjadi pembuat dan penetap hukum sebelum datangnya hukum. Pendapat ini tentu keliru menurut pendapat seluruh umat Islam; dan kedua, jika itu (akal bisa menjadi pembuat hukum) benar, banyak dalil-dalil tafs}i>li (terperinci) yang tidak berlaku karena tidak semua orang bisa menangkap mas}lah}ah mursalah berdasarkan akal. Jika demikian (dalil-dalil tafs}i>li tidak berlaku) itu benar terjadi, tidak akan menjadi ketetapan bahwa hukum-hukum itu berlaku demi kemashlahatan manusia, karena dalil diambil dari dalil-dalil tafs}i>li.56 Adapun pandangan al-T}uf> i secara logika yang mengkritisi h}ujjiah (legalitas hukum) ijma‘, itu bertentangan dengan realita pengakuan terhadap ijma‘ itu sendiri dalam beberapa hal: Sebagian dari pengingkar h}ujjiah ijma‘; seperti al-Nazzham (seorang tokoh Mu’tazilah) dan Shi’ah ternyata sama-sama tidak mengakui h}ujjiah mas}lah}ah mursalah karena versi Shi’ah, mas}lah}ah mursalah adalah metode perumusan hukum dengan menggunakan akal/ rasio, dan menurut mereka akal tidak bisa menjadi dalil shari’i, tetapi yang menjadi dalil adalah segala yang diterima dari imam ma‘s}u>m. Tidak ada gunanya al-T}u>fi mengklaim terjadinya kesepakatan dalam memandang mas}lah}ah mursalah sebagai sumber hukum karena yang dimaksud oleh selain al-T}uf> i adalah mas}lah}ah mursalah yang sejalan dengan ruh (spirit) shari’at. Sedangkan versi al-T}uf> i yang bisa dijadikan sumber hukum adalah mas}lah}ah mursalah yang hanya diakui oleh akal semata sekalipun bertentangan dengan ruh (spirit) shari’at. Sebagian dari umat Islam yang ber- h}ujjiah dengan ijma‘ seperti al-Zha>hiriah mengingkari h}ujjiah mas}lah}ah mursalah sebagaimana dikatakan al-T}u>fi sendiri. Hal menunjukkan adanya kontradiksi dalam konsep al-T}uf> i. Pernyataan al-T}uf> i yang menyatakan nas}-nas} (teks-teks) bertentangan maknanya antara yang satu dengan lainnya, terbantahkan oleh para ulama Dalil-dalil ‘aqli (dirumuskan dengan akal) jika dipergunakan pada ilmu ini (us}ul fiqh) maka ia dipergunakan dengan beberapa cara; dalil-dalil naql, persamaan hukum (qiya>s), atau terealisasinya alasan/ tujuan hukum atau yang lainnya, bukan berdiri sendiri dalam membuat dalil karena penetapan hukumnya harus mengacu kepada dalil syar’I dan akal tidak mampu menetapkan hukum. (Al-Sha>ti} bi, al-Muwa>faqa>t,. 22. 56 al-Bu>ti} , D}awa>bit al-Mas}lah}ah, 108-109. 55 89 Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 8, No. 1, Januari 2012: 71-92 dengan alasan dalil-dalil shara’ secara riil (kenyataan) tidak ada yang kontradiksi maknanya antara yang satu dengan lainnya, karena alasan berikut: 1)) al-Qur’an menunjukkan tidak ada pertentangan makna antara satu ayat dengan lainnya (Qs. An Nisa’: 82, 59). 2) Seandainya terdapat nas}-nas} Shara’ yang saling bertentangan maknanya, berarti membebankan manusia sesuatu yang tidak mampu dikerjakan. Karena kalau dua nas} bertentangan maka tidak mungkin diamalkan/diterapkan karena tidak sesuai dengan tuntutannya di mana yang satu “menyuruh” sementara yang lain “melarang”. 3) Secara riil tidak mungkin terjadi pertentangan karena berimplikasi pada luputnya/tidak tercapainya tuju’an shara’.57 Pemikiran al-T}uf> i yang mengatakan adanya pertentangan nas}-nas} dengan mas}lah}ah mursalah pada beberapa kasus yang tercatat dalam al-Sunnah, terbantahkan dengan argumen bahwa kasus-kasus hukum yang dijadikan contoh oleh al-T}uf> i semuanya bersumber dari nabi Muhammad yang memiliki otoritas sebagai pembuat dan penetap shari’ah (hukum) mencakup tiga aspek As-Sunnah; qauli, fi’li dan taqriri. Jadi tidak bisa dikatakan mas}lah}ah mursalah bertentangan dengan nas} pada peristiwa-peristiwa hukum berikut: tidak melakukan pembangunan (pemugaran) Ka’bah, ijtihad sahabat yang menjadikan haji itu umrah, ijtihad Umar ketika menjawab Abu Bakar dan menolak untuk mempermaklumkan Hadith : “Barang siapa yang mengatakan La> Ila>ha Ilalla>h maka ia masuk sorga”, ijtihad Abu Bakar dan Umar yang tidak mau membunuh seorang yang s}alat, ijtihad sebagian sahabat yang sholat sebelum sampai di perkampungan Bani Quraizhah. Jadi para sahabat yang bertindak sebagai pelaku dalam peristiwa-peristiwa hukum tadi, semuanya berijtihad dalam memahami nas} dan melaksanakannya berdasarkan mas}lah}ah mursalah yang ditangkap dan dipahami. Bukan berarti mereka meninggalkan (tidak mengamalkan) nas} sebagaimana klaim al-T}uf> i. SIMPULAN Najm al-Di>n al-T}uf> i menawarkan konsep baru dalam pola perumusan hukum Islam menyangkut posisi hirarki h}ujjiah (legalitas dan kekuatan hukum) sumber-sumber hukum Islam di mana dalam perspektif al-T}uf> i mas}lah}ah mursalah menempati urutan pertama dan terkuat. Di samping itu beliau memberikan akal (rasio) otoritas berlebihan dalam menentukan mas}lah}ah atau mafsadah-nya suatu perbuatan baik dalam lingkup muamalah atau adat. Sedangkan lingkup ibadah tidak bisa tersentuh oleh mas}lah}ah mursalah karena sudah merupakan hak preogratif pembuat hukum Shara’, yang tidak mungkin diketahui maksud dan tujuannya. al-Sha>ti} bi berkata: pertentangan dua dalil dalam nas al-Qur’an tidak mungkin terjadi karena jika 2 dalil yang bertentangan menjadi tujuan pembuat hukum maka ia tidak tercapai. Karena kalau pembuat hukum menyuruh untuk berbuat dan jangan berbuat pada obyek, waktu dan tempat yang sama, maka obyek taklif (yang dibebani hukum) yaitu manusia tidak bisa memahami taklif (pembebanan/tugas). (al-Sha>t}ibi, alMuwa>faqa>t, Jilid 2), 25. 57 90 Konsep Mas}lah}ah Mursalah Najm Al-Dîn Al-T{u>fi (Lalu Supriadi) Konsep mas}lah}ah mursalah al-T}u>fi terlihat kontradiksi antara yang satu dengan lainnya sehingga berakibat lemahnya konstruksi pemikirannya. Menurutnya sumber-sumber hukum Islam yang paling kuat posisinya secara hirarki adalah nas} (al-Qur’an dan Hadith), tetapi di sisi lain ia mendahulukan mas}lah}ah mursalah yang notabene dirumuskan melalui akal. Demikian juga dalam hal ijma’, di satu sisi ia menjelaskan makna ijma‘ dan dalil-dalil yang menunjukkan h}ujjiah-nya dari al-Qur’an dan al-Sunnah, namun pada sisi lain beliau melakukan penentangan secara sistemik dan melemahkan legalitas hukumnya. Daftar Pustaka Al-Juwaini, Imam al-Haramain. al-Burha>n fi Us}u>l al-Fiqh. Cet. 1. Qathar: 1401 H. Al-Sha>thibi, Abu Isha>q. al-Muwa>faqa>t fi Us}u>l al-Shari>’ah. Jedah: Kunuz al-Ma’rifah,1422 H. Al-‘Ulaimi ‘Abd al-Rah}ma>n Bin Muh}ammad. al-Manh}aj al-Ah}madi fi Tara>jum As}ab alIma>m Ah}mad. Beirut: Da>r S}a>dir, Cet. 1. 1997. Al-Sha>fi’iy, Muhammad Bin Idri>s. al-Risa>lah, Beirut: Maktabah al-Ilmiyah, t.th. Al- Ghaza>li, Abu Ha>mid. al-Mus}tas}fa Min Ilmi al-Us}u>l. Mesir: Maktabah Bulaq, 1322 H. Al-Shauka>ni, Muhammad Bin Ali. Irsha>d al-Furu>’ul Ila> Tah}qi>q al- H}aqq Min ‘Ilmi al-Us}u>l, Cet. 1. Kairo: al-Babi al-Halabi, 1356 H. Al-Bu>ti} , Said Ramad}an, D}awa>bit al-Mas}lah}ah fi al-Shari’ah al-Islamiyah, Cet. 3, Suriah: Da>r al-Muttahidah dan Mu’assasah al-Rayyan, 1412 H. Al-Ka>sa>ni, Ala’ al-Di>n. Badri‘ al-S}anai fi Tartib al-Sharai’. Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah. 1997 Al-Syalabi, Muhammad Mus}t}afa. Ta‘lul al-Ah}ka>m. Beirut: Da>r al-Nahdah al-Arabiyah, t.th. Al-T}uf> i, Najm al-Di>n. at-Ta’yin fi Sharh} al-Arba’in al-Nawawiyah. Beirut: Mu’assasah alRayyan, t.th. Al-Turki, Abdullah. Sharh} Mukhtas}ar al-Raud}ah (Tah}qiq), Cet. 4. Beirut: Mu’assah al-Risa>lah, 1424 H. Al-Suyu>ti} Jala>l al-Di>n. Bughyah al-Wu’a>t} fi T}abaqah al-Lughawiyyin Wa al-Nuha>t, Kairo: Da>r al-Sa’a>dah. 1326 H. Ashu>r, Abd al-Fattah. al-Harakah al-S}ala>biyah. Kuwait: Da>r al-Qalam, 1403 H. Ibn Al-Atsi>r, Ali Bin Abi al-Karam. Muh}ammad al-Kamil fi al-Tari>kh. Beirut: Da>r S}adir, 1402 H. Ibn Rajab, Abd al-Rah}ma>n. al-Qawa>i>d fi al-Fiqh al-Isla>mi. Beirut: Da>r al-Jil, 1988. Ibn Katsi>r, Isma>il. al-Bida>yah wa al-Niha>yah. Beirut: Maktabah al-Ma’a>rif, 1409. Ibn Taimiyah, Ahmad Bin Abd al-Salam. Minha>j al-Sunnah al-Nabawiyah. Riyad: Maktabah al-Riyad} al-Hadithah, t.th. Ibn Manzhu>r, Jama>l al-Di>n. Lisa>n al-Arab. Beirut: Da>r S}adir, t.th. 91 Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 8, No. 1, Januari 2012: 71-92 Ibn al- *a>jib, Uthman. Mukhtas}ar al-Muntah. Kairo: Maktabah al-Azhar, t.th Ibn Rajab, ‘Abd al-Rah}ma>n. Dzail T}abaqah al-Hana>bilah. Beirut: Da>r al-Ma’rifah, t.th. Khallaf, Abdul Wahab. Mas}ad> ir al-Tashri’ al-Islami Fi>ma> La> nas}a Fi>hi. Kuwait: Da>r al-Qalam, 1402 H. Muhajir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000. Nazir, Moh. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988. Shafi’i, Rahmat. Ilmu Us}u>l Fiqih. Cet. 2. Bandung: Pustaka Setia, 2007. Suprayogo, Imam dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial-Keagamaan. Bandung: Rosda, 2003. Zaid, Mus}ta} fa. al-Mas}lah}ah fi al-Tasyri’ al-Isla>mi Wa Najm al-Di>n al-T}u>fi Beirut: Da>r alFikr al-Arabi, 1384 H. Hamid, Hushain. Nazhariyah al-Mas}lah}ah fi al-Fiqh al-Isla>mi. Beirut: Da>r al-Kutub alIlmiyah, t.th. 92