Survey
* Your assessment is very important for improving the workof artificial intelligence, which forms the content of this project
* Your assessment is very important for improving the workof artificial intelligence, which forms the content of this project
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002 PENGUJIAN AWAL VAKSIN BALITVET BHV-1 INAKTIF : RESPON KEKEBALAN HUMORAL PADA SAPI YANG DIVAKSINASI PADA KONDISI LAPANGAN (Preliminary Study on Inactive Balitvet BHV-1 Vaccine: Post Vaccinal Immunity Responses on Cattle in the Field) SUDARISMAN Balai Penelitian Veteriner, P.O. Box 151, Bogor 16114 ABSTRACT Preliminary study on inactive BALITVET BHV-lvaccine : Post vaccinal immunity responses on cattle in the field . The aim of this study is to evaluate the efficacy of IBR field isolate inactivated vaccine in the field . This study was undertaken in Pangalengan district of Bandung municiple, West java. One hundred and twenty two milk producing dairy cattle are used for this purpose . These animals were divided into four spesific group/treatments: single vaccination with one ml dose, two ml doses and boostered vaccination with one ml and two ml doses . Each mililitre vaccine contained of 1 x 106 TCID 50 All those treatments (1, 2, 3, and 4) were applied to 29, 29, 31, and 25 animals respectively . Antibody responses were monitored by serum neutralization test every month for six month post vaccination . According to the highest titre of the antibody reached in every treatment, there were slightly differences between boostered and single vaccination . Boostered vaccination had as high as 87 .5% (49/56) compared to the single vaccination which had 86 .2 % (50/58) . Eventhough the results are not significantly different, according to statistical analysis (P 0.01) . There were significantly different in statistical analysis (P 0.05) if the antibody response were compared between 2 ml dose of boostered and 2 ml dose of single vaccination . Key words : Vaccine efficacy, field condition, IBR PENDAHULUAN IBR adalah penyakit menular pada sapi dan kerbau yang disebabkan oleh virus BHV-1 . IBR/IPV disebabkan oleh virus Bovine Herpesvirus-1 (BHV-1) yang mengakibatkan penyakit pada sapi dan kerbau . Penyebaran virus hampir diseluruh dunia, kecuali Denmark dan Swiss (OIE, 1996) . Keberadaan IBR di Indonesia telah dilaporkan secara serologis oleh MARFIATININGSIH (1982), NOOK et al. (1984), SAROSA (1985), WIYONO et al . (1989) dan SUDARISMAN (1992) dengan uji netralisasi serum (Serum Neutralization Test/SNT) . Isolasi virus IBR di Indonesia dari kasus hewan yang mengalami stress buatan dan dari semen hewan asal Balai Inseminasi Buatan (BIB) telah berhasil dilakukan oleh SUDARISMAN dan INDRIANI (1998) . Penyakit ini merugikan petani, karena menimbulkan gangguan reproduksi dan penurunan produksi susu, gangguan pernafasan serta gangguan syaraf (GIBBS and RWEYEMAMU, 1977) . Penularan virus terjadi melalui alat reproduksi ataupun saluran pernafasan . Vaksin inaktif telah dibuat pada penelitian sebelumnya (SUDARISMAN, 2001), akan tetapi masih memerlukan beberapa pengujian antara lain uji efikasi vaksin pada hewan peka terhadap infeksi penyakit IBR. Vaksin untuk IBR/IPV dibagi kedalam dua kategori besar : Vaksin hidup ( Attenuated atau modified live vaccine) dan vaksin mati (inactivated atau subunit vaccine) . Vaksin mati akan menjadi lebih baik, bila ditambahkan adjuvant/iscom untuk meningkatkan respons kekebalannya (OIRSCHOT et al., 1996) . Pemilihan adjuvant, bahan untuk inaktifasi virus dan jumlah/titer antigen sangat berperan serta merupakan faktor kritis yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan kualitas vaksin IBR/IPV yang baik (DUQUE et al., 1989 ; KAASHOEK et al., 1995) . Vaksinasi dengan vaksin mati virus BHV-1 ternyata dapat memberikan proteksi terhadap uji tantang hingga 6-9 bulan setelah vaksinasi (SAVAN et al., 1979 ; SIBBEL et al., 1988) . Penelitian ini dimaksudkan untuk menguji efikasi vaksin inaktif BHV-1 isolat lapangan . Pada penelitian ini hanya diharapkan parameter respons kekebalan dari vaksin huatan Balitvet dalam kondisi di lapangan . Respons kekebalan diuji melalui uji serum netralisasi . Penelitian hanya dibatasi hingga pengamatan vaksinasi 3-4 bulan paskavaksinasi. 429 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002 METODOLOGI Pembuatan vaksin Vaksin dibuat berdasarkan hasil penelitian tahun (SUDARISMAN, 2001) . Bibit vaksin yang digunakan adalah isolat yang dipilih terbaik dari yang dimiliki dan menginaktifasi virus melalui penambahan formalin 0.1%. adjuvant yang digunakan adalah Freund's incomplete adjuvant . Konsentrasi dari virus adalah 1 x 106 TCID50 per ml. 2000 Hewan percobaan dan prosedur imunisasi Hewan percobaan yang digunakan adalah hewan percobaan yang ada di peternak (uji lapang) berupa sapi perah jenis FH (Frisian Holstein) . Tiap kelompok perlakuan dibutuhkan lebih kurang 30 ekor, dengan kriteria hewan dewasa. Keseluruhan hewan dari kelompok ternak yang ada diluar perlakuan yang diberikan, dilakukan vaksinasi dengan dosis maksimal dari dosis perlakuan yang ada. Dosis perlakuan yang diberikan adalah 1 ml untuk kelompok I dan 2 ml untuk kelompok II dari vaksin dengan konsentrasi 1 x 106 TCIDso per ml sedangkan kelompok III adalah sapi dengan dosis 1 ml dan dilakukan boster dan kelompok IV adalah kelompok sapi dengan dosis 2 ml dan dilakukan boster selang satu bulan. Vaksinasi dilakukan subkutan . Sebelum dilakukan vaksinasi hewan terlebih dahulu diperiksa tingkat kekebalannya dalam serum dengan uji serum netralisasi . Vaksinasi dimulai pada bulan Agustus 2001 dan pengamatan berakhir pada bulan Desember 2001. Koleksi sampel dan analisa Koleksi sampel adalah berupa serum dari hewan perlakuan dengan sistem yang mengalami pengelompokan yang diberlakukan . Koleksi dilakukan pada saat satu bulan setelah perlakuan, 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan setelah perlakuan berakhir . Analisa dilakukan dengan uji serum netralisasi. Analisa Statistik Analisa statistik dilakukan dengan metoda analysis of variance (ANOVA) dengan pengelompokan sebanyak perlakuan yang ada . HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan vaksin Vaksin dibuat berdasarkan hasil penelitian tahun 2000 (SUDARISMAN, 2001). Bibit vaksin yang digunakan adalah isolat yang dipilih terbaik dari yang 430 dimiliki dan menginaktifasinya dengan formalin hingga 0.1% . Sedangkan sebagai adjuvant digunakan Freund's incomplete adjuvant. Konsentrasi virus adalah 1 x 106 TCID50 per ml vaksin. Hewan percobaan Hewan percobaan yang digunakan adalah hewan ternak dari jenis FH (Holstein Frisian) yang dimiliki para peternak di kecamatan Pangalengan desa Sukadjaja, kabupaten Bandung . Kelompok hewan tersebut ternyata memiliki gangguan reproduksi yang mengarah kepada gangguan klinis oleh penyakit IBR, berupa mastitis sebanyak 60 ekor, endometritis sebesar 15 ekor dan abortus sebanyak 16 ekor (Data KPBS Pangalengan, 2001). Hewan percobaan yang digunakan sebanyak 122 ekor yang terdiri dari empat perlakuan. Perlakuan pertama adalah sebanyak 31 ekor dengan penyuntikan vaksin dosis tunggal sebanyak 1 ml (1 x 106 TCIDso per ml) . Perlakuan kedua adalah sebanyak 31 ekor dengan penyuntikan dosis ganda (boster) sebanyak 1 ml selang satu bulan. Perlakuan ketiga adalah sebanyak 31 ekor dengan penyuntikan dosis tunggal sebanyak 2 ml dan perlakuan keempat adalah sebanyak 29 ekor dengan penyuntikan dosis ganda (boster) sebanyak 2 ml selang satu bulan. Akan tetapi ternyata dengan berjalannya waktu ternyata hewan yang dapat diukur titer antibodinya hanya 29 ekor untuk perlakuan pertama, 31 ekor untuk perlakuan kedua, 29 ekor untuk perlakuan ketiga dan 25 ekor untuk perlakuan keempat, sedangkan yang lainnya tidak berada ditempat penelitian disebabkan oleh terjualnya hewan oleh peternak. Sebelum dilakukan perlakuan seluruh hewan diambil darahnya untuk diuji dan hewan yang tidak divaksinasi digunakan sebagai kontrol . Reaksitanggap kebal Setelah perlakuan, tiap-tiap kelompok hewan diambil serumnya sebulan sekali . Hasil tertinggi yang dapat dicapai oleh tiap ekor hewan pada tiap perlakuan terlihat pada tabel 1 . Satu bulan pascavaksinasi untuk dosis tunggal terjadi pada bulan September 2001 dan dosis boster terjadi pada bulan Oktober 2001 . Keseluruhan perlakuan diamati hingga bulan Desember 2001 . Pada saat satu bulan pascavaksinasi ternyata titer antibodi belum dicapai maksimal, terutama pada perlakuan vaksinasi boster dan baru dicapai setelah dua bulan pascavaksinasi . Titer antibodi pada dosis boster dan dosis tunggal ada yang memperlihatkan titer hingga 2 1° (1024), walaupun hanya pada beberapa ekor hewan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat tanda respons antibodi akibat vaksinasi yang cukup baik. Walaupun respons tersebut tidak sebaik pada percobaan di laboratorium . Apabila dilihat dari pencapaian titer yang Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002 tertinggi yang dapat dicapai dari tiap-tiap ekor hewan dari tiap-tiap perlakuan pada Tabel 2., menunjukkan bahwa ada perbedaan antara booster dengan dosis tunggal, yang mana titer yang baik yang dapat dicapai pada pemberian booster lebih tinggi yaitu 87.5 (49/56) dibanding dosis tunggal yang hanya mencapai 86 .2 % (50/58), walaupun hal ini tidak significant berbeda nyata (P?0,01) . Akan tetapi apabila dilihat dari dosis 2 ml booster yang dapat dicapai titer yang tinggi sebesar 24% (6/25) dibanding dosis 2 ml tunggal yang hanya mencapai 13 .8% (4/29), hal ini berbeda nyata secara statistik (P:50,05) . Pencapaian titer zat kebal seperti yang terlihat pada hasil penelitian, masih belum sebaik hasil yang dicapai Dalam uji di laboratorium di laboratorium. (SUDARISMAN, 2001) zat kebal pada hewan yang divaksinasi boster dengan konsentrasi 1 X 10 8 TCIDSo tiap kali penyuntikan pada satu bulan paska vaksinasi akhir, hampir keseluruhan hewan (9 dari 10) mencapai titer 2 11 (2048) . Setelah itu barn menurun terus dan hingga pada empat bulan paska vaksinasi akhir titer masih bertahan tinggi dengan tanpa uji tantang . Demikian pula pada hewan yang diuji tantang, titer masih tetap tinggi hingga empat bulan paska vaksinasi akhir. Pada pengujian di lapangan, vaksin yang digunakan adalah vaksin dengan konsentrasi 1 x 10 6 TCIDso. Pada hewan yang dilakukan boster, titer hewan yang divaksinasi ada juga yang mencapai 20(1024), walaupun hanya pada empat ekor hewan . Akan tetapi hal ini baru dicapai setelah dua bulan paska vaksinasi akhir. Sedangkan pada satu bulan paska vaksinasi akhir, titer zat kebal pada empat ekor hewan tersebut masih rendah . Disamping itu, alasan lain adalah vaksin yang digunakan pada uji efikasi tahun ini menggunakan adjuvant yang berbeda, yaitu Freund's incomplete adjuvant (FIA). Karena tidak adanya alternatif penggunaan adjuvant, maka keterbatasan ini perlu dimaklumi . Seperti diketahui FCA merupakan adjuvant yang cukup lama dikenal dan sangat efektif untuk meningkatkan terbentuknya zat kebal ditubuh hewan yang divaksinasi (ALLISON, 1987; FOs et al., 2000). Adjuvant ini telah dikenal sejak 1937 (FREUND et al., 1937; 1940; FREUND, 1956) . Telah banyak peneliti yang membandingkan reaksi kekebalan yang dimunculkan dengan penambahan FCA dan ternyata FCA paling tinggi memberikan pencapaian titer zat kebal (MALLON et al., 1991 ; OSEBOLD, 1982 ; GUPTA et al., 1993) . Sedangkan FIA (Freund's incomplete adjuvant) telah pula banyak digunakan di dunia veteriner, seperti pada vaksin FMD, rabies, distemper, hog cholera, parainfluenza 3, hepatitis anjing dan ND (GUPTA et al., 1993). Demikian pula pada manusia digunakan pada penyakit influenza, polio dan ternyata dapat meningkatkan zat kebal (immunogenicity) dari vaksin . Tetapi FIA juga terbukti gagal untuk meningkatkan reaksi kekebalan seperti pada penyakit yang disebabkan oleh Adenovirus, trachoma, dan herpesvirus yang menyebabkan penyakit MCF. Ternyata FIA bekerja membuat depo pada tempat hewan diinjeksi dan antigen dilepas lambat untuk menimbulkan zat kebal pada tubuh hewan (GUPTA et al., 1993) . Oleh sebab itu pads penelitian kali ini efek dari FIA pada vaksin IBR memperlihatkan terbentuknya zat kebal yang lebih lambat dari vaksin yang diberi FCA . Disamping itu FIA tidak baik kestabilannya. Apabila emulsi yang terbentuk, berpisah antara komponen minyak dan komponen air maka antigen yang disuntikkan akan buruk pemunculan antibodinya . Hal ini memperjelek penggunaan adjuvant FIA dalam vaksin (GUPTA et al., 1993) . Demikian pula penggunaan formaldehyde sebagai inaktifant, banyak disinggung oleh peneliti terdahulu yang menyatakan bahwa formaldehyde fdak aman sebagai inaktifant dalam pembuatan vaksin. Hal ini terutama karena penggunan alum sebelum pemberian formaldehyde akan mengakibatkan pembungkusan virus, sehingga virus tidak mudah dimatikan sebagai antigen vaksin inaktif (KING et al., 1981) . Kini telah banyak inaktifant yang digunakan untuk inaktifasi virus sebagai antigen vaksin inaktif, antara lain betha propiolacton, acetylethylenemine (BROWN and CLUCK, 1959; BROWN et al., 1963) yang diproduksi oleh Wellcome laboratories . Disamping itu juga digunakan belakangan ini bis-ethyleneimine sebagai pengganti acethylenemine yang dinyatakan sebagai lebih aman untuk digunakan dalam sekala besar (BAHNEMANN, 1997) . Hasil pengamatan hingga bulan Desember 2001, menunjukkan vaksin yang digunakan pada penelitian ini hanya mencapai titer 2 10 (1024) untuk vaksinasi boster dosis 1 ml dan titer 29 (512) untuk vaksinasi boster dosis 2 ml. Akan tetapi secara keseluruhan vaksinasi dengan metoda booster menunjukkan hasil yang lebih baik dari vaksinasi tunggal . Hewan-hewan yang divaksinasi dosis booster yang bertiter baik (3-10) menunjukkan jumlah yang tinggi dibanding vaksinasi dosis tunggal . Hal ini menunjukkan respons vaksinasi dari vaksin yang digunakan cukup baik untuk digunakan di lapangan. Hasil selama pengamatan hingga 3 bulan paska vaksinasi untuk boster dan empat bulan untuk dosis tunggal, ternyata menunjukkan bahwa vaksinasi dengan boster akan memberi respons kekebalan yang lebih baik, yaitu kenaikan titer zat kebal yang meningkat walaupun peningkatan tersebut sangat lambat, yaitu pada dua bulan pascavaksinasi. Sedangkan pada vaksinasi tunggal titer zat kebal tidak teratur, dengan kata lain terjadi penurunan dan penaikan titer tanpa irama. Hal ini berarti belum dapat melawan infeksi khronis/latent yang mungkin terdapat pada kelompok tersebut. Oleh sebab 43 1 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002 itu disarankan bahwa penggunaan vaksin Balitvet diperlukan vaksinasi dengan metoda boster untuk vaksin inaktif BHV-1 Balitvet. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa respons serologis tidak sebaik dengan vaksin yang diuji di laboratorium . Hal ini disebabkan karena evaluasi hanya didasarkan pada uji serologic dan vaksin yang digunakan berbeda dengan vaksin yang diuji di laboratorium, yaitu vaksin tidak menggunakan FCA tetapi menggunakan FIA. Walaupun demikian vaksin inaktif BALITVET BHV-1 cukup baik digunakan di lapangan dan terbukti respons akibat vaksinasi dari kelompok boster memberikan hasil vaksinasi yang cukup tinggi, bahkan ada yang mencapai titer 21° (1024) . Harapan peneliti dalam kegiatan ini adalah agar terealisir kelanjutan penelitian pada periode penelitian yang menggunakan adjuvant serta bahan inaktifan yang beragam, sehingga hasil pemantauan titer zat kebal menjadi lebih baik hasilnya. DAFTAR PUSTAKA ALLISON, A.C . 1987 . Vaccine technology : Adjuvants for increased efficacy. Biotechnology 5: 1041 - 1045 . BAHNEMANN, H.G. 1997 . Inactivation of antigens for veterinary vaccines : Viral vaccines . In Vaccine manual : The production and quality control of veterinary vaccines for use in developing countries. Edited by N. MOWAT and M . RWEYEMAMU . FAO Animal Production and Health Series No . 35 . FAO. Rome. BROWN, F .N ., S.G. HYSLOP, J. CRICK, and A.W . MoRRow . 1963 . Th e use of acetylethylenimine in the production of inactivated foot and mouth disease vaccines . Jour. Hyg.Camb. 61 : 337-344 BROWN, F. and J. CRICK. 1959 . Application of agar gel diffusion analysis to a study of the antigenic structure of inactivated vaccines prepared from the virus of foot and mouth disease. Jour. Immunol. 82 : 444 - 447. DUQUE, H ., R.L . MARSHALL, B.A . ISRAEL, and G.J . LETCHWORTH. 1989 . Effect of formalin inactivation on bovine herpesvirus 1 glycoproteins and antibody responses elicited by formalin inactivated vaccines in rabbits . Vaccine 7: 513-520. Foss, D.L . and M.P . MURTAUCH . 2000 . Mechanisms of vaccine adjuvantticity at mucosal surfaces . Anim.Health Res. Rev. 1 (1): 3 - 24 . FREUND, J. 1956 . The mode of action of immunologic adjuvants, in BIRKHAUSER, H., H. BLOCH. Advances in tuberculosis research . New york, S.Karger. 7 :130-148 . 43 2 FREUND, J., J. CASAL-ARIET, and D.S . GENGHOF. 1940 . Th e synergistic effect of paraffin-oil combined with heat killed tubercle bacilli . Jour.Immunol . 38 : 67-79. FREUND,J ., J. CASALS, and E.P . HOMER. 1937 . Sensitizatio n and antibody formation after injection of tubercle bacilli and paraffin oil. Proc.Soc.Exp.Biol .Med . 37 : 609. GIBBS, E.P .J . and RWEYEMAMU. 1977 . Bovine Herpesviruses. Part 1. Bovine Herpesvirus 1 . Vet. Bull. 47 (5): 317343. GUPTA R.K . E.H . RELYVELD, E.B . LINBLAD, B . BIZZINI, S.B . EFRAIM, and C.K . GUPTA. 1993 . Adjuvants a balance between toxicity and adjuvanticity. Vaccine 11 (3): 293-305. KAASHOEK, M.J ., A. MOERMAN, J. MADIC, K. WEERDMESTER, M. MARISVELDHUIs, F.A .M . RUSWIJK, and J.T . VANOIRSCHOT. 1995 . An inactivated vaccine based on a gltycoprotein gE-negative strain of bovine herpesvirus I induces protective immunity and allows serological differentiation. Vaccine . 13 : 342-346 KING, A.M .Q., B.O . UNDERWOOD, D. MC .CAHON, J.W .I . NEWMAN, and F. BROWN. 1981 . Biochemical identification of viruses causing the 1981 outbreaks of foot and mouth disease in the UK . Nature . 293 : 479480. MALLON, F.M ., M.E . GRAICHEN, B .R . CONWAY, M.S . LANDI, and H.C. HUGHES. 1991 . Comparison of antiibody respons by use of synthetic adjuvant system and Freund's complete adjuvant in rabbits. Am. Jour. Vet. Res. 52 (9): 1503 - 1506 . MARFIATININGSIH, S. 1982 . Diagnosa Infectious Bovine Rhinotracheitis-like Disease pada sapi Bali di Lampung Tengah . Laporan Tahunan Balai Penyidikan Penyakit Hewan 1976 - 1981 . Direktorat Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian . NOOR, M.A .R., S.I . SITEPU, M.Z . ZAMI, A. SURYADI, dan A. PERANGINANGIN. 1983 . Penyidikan Serologi Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada sapi di Beberapa Kabupaten di Sumatera Utara. Laporan Tahunan 1981 - 1982 . Direktorat Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian. O.I .E. MANUAL, 1996 . Infectious Bovine Rhinitracheitis/ Infectious Pustular Vulvovaginitis . Chapter 3.2 .5 . in the Code . By J.T . VAN OIRSCHOT.Amandement 2a . OIRSCHOT, J.T., M.J . KAASHOEK, and F.A .M . RuSWIJK. 1996 . Advances in the development and evaluation of bovine herpesvirus I vaccines . Vet .Microb. 53 : 43-54. OSEBOLD, J .W. 1982 . Mechanisms of action by immunologic adjuvants. J.A.V.M .A. 18 1 (10) : 983 - 987. SAROSA, A. 1985 . Kajian Prevalensi Serologi Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis pada sapi dan kerbau di Beberapa Daerah di Indonesia. Thesis . Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 1002 SAVAN, M., A.B . ANGULO, and J.B . DERBYSHIRE . 1979 . Interferon, antibody responses and protection induced by an intranasal infectious bovine rhinotracheitis vaccine. Can.Vet.Jour. 20 : 207-210. SUDARISMAN, 1992 . Studi Epidemiologi da Isolasi Agen Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis pada sapi perah di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian 1992 1993 . Balai Penelitian Veteriner. PUSLITBANGTAN, Departemen Pertanian. SIBBEL, R.L ., E.P . BASS, and P.C . THOMAS. 1988 . Ho w long will a killed IBR vaccine protect against challenge? SUDARISMAN, dan R. INDRIANI . 1998 . Isolasi Virus BHV-1 (Bovine Herpesvirus Type- 1) dari material straw semen sapi asal Balai Inseminasi Buatan . In Press. Vet.Med . 83 :90-93 . SUDARISMAN . 2001 . Respons klinis sapi Bali yang divaksin terhadap uji tantang dengan bovine herpesvirus 1 isolat lokal. Jur.Ilmu Temak dan Veteriner 6 (3) :205-212 . WIYONO, A., P. RONOHARDJO, R.J . GRAYDON and P.W . DANIELS. 1989 . Diare ganas sapi : 1 . Kejadian penyakit pada sapi Bali bibit asal Sulawesi Selatan yang baru tiba di Kalimantan Barat. Penyakit Hewan. 21 (38) : 77 - 83 . Tabel 2. Pengaruh pemberian dosis booster dibanding dosis tunggal vaksin inaktif BHV-1 terhadap pembentukan zat kebal dalam tubuh hewan yang mendapat vaksinasi Nilai (x) 0-2(R) 3-6(S) 7 -10 ( T) E Tunggal (%;Y-titer x/total sampel) Booster (%;Y-titer x/total sampel) I ml y- 2ml E EE ZEE 12 .5 6.9 6.9 20 .7 20 .7 13 .8 13 .8 7/56 7/56 2/29 2/29 6/29 6/29 8/58 8/58 39 .3 87.5 24 .1 93 .1 65 .5 79 .3 44 .8 86 .2 22/56 49/56 7/29 27/29 19/29 23/29 26/58 50/58 I ml E 2ml E EE 9.7 9.7 16 16 12 .5 3/31 3/31 4/25 4/25 22 .6 90 .3 60 84 7/31 28/31 15/25 21/25 Y- 67 .7 24 48 .2 69 13 .8 41 .2 21/31 6/25 27/56 20/29 4/29 24/58 100 31/31 100 31/31 100 25/25 100 25/25 100 56/56 100 100 100 100 100 100 100 56/56 29/29 29/29 29/29 29/29 58/58 58/58 Keterangan : x= titer tertinggi yang dapat dicapai pada sapi yang digunakan; R= rendah ; S= Sedang ; T= Tinggi Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 1002 .~ b fn a bA N cd bq G 0. U X 0. , A x . i i O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O , i i N N N N N N N N N N N N N N N N N N N (14 N N N N N N N N N , , , VtN V1 It WrON 0M-'T O O O O) 0) t- _ r- Or- 00 00 00 O 00 W) 1- vi O ut M M M M M M M -. M M M M M M , i i , 01 , V1 ~o ti w a , rC~ C~ M W) 1.0 M M nO IC IC kn V) W) ut M M In M N ^~ MN(7, Nr~o ~O 140 O, N O) O O h V1 V1 W) In l-l'n M M M M M M M V ~o ~O r- 'It ^" r- M 00 \0 V) 00 M M , , I-T N Vt r- , - ~o N ~c 0000000000000000000000000000000, .h y cd a tx .1 0 W ITT E E~"~ E T T EEEEEEEE ET -~ E EE E EE EE E N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N A N l~ z x V1 V1 M C X cd O 0. .Q rn l~ V) V1 M DO 00 ~O 00 V1 ~o C~ V) M M M 00 I~ Ul V) M l~ 00 h V) M M 00 W) h M ~O 00 V1 V1 M V) 00 V) W) M 00 V1 V) M 00 M O 01 00 01 O) 00 rV1 -+ V'1 V1 V1 V) V) M M M M M O O V) O) N M -- ~ (7) O) C, - - r- r- ~* 00 L` lV1 V) M M N 0\ \O M , DO a, _O N O - r- 00 00 rN 01 C~ C~ O 00 h 00 V) rt G -" l- "-" N -" -r rl "-+ \O N \O -~ M M M M M M M M , r- r- ~c M C, -, 00 O\ .r V1 V1 M M 00 , M M 140 V) V) V) M , , , 00 DD O\ 00 V) 00 l- ~~O I- y 0. ~ 3 .c a c zx b a O 0. ~O M V) V1 M I~ M v1 v1 M aD M V) V) M ~ M V) V) M O V) v1 M -~ N M -~ V'1 v1 ~ 'S V) N M M M V) "t W) v1 M -It 'q V1 V) M ~o 'T V1 V) M 0 01 V) V) M 0 O M N M = 'ct V) V) M M ^ V) \O M O 0, 1* N tO\ V) V) M G O 00 v1 M '1O 01 V1 v1 M ~t O\ V) ,n M V) N t` O) O) -. V) V) -kn -- V) M M 10 ~O ~c M O a1 V) M O) 't N M M O) 00 N O rh h M V) V) M a1 00 V) V) M 00 N2O)0)~O00 VtM- ." , 00000000000000000000000000(0 0000, =~c -0=p= .asM .c= .o .0 .o p-0p====p-0p .c= .n s -0= .0 TM cd b0 id N Q 0. M M V) V) M V)000000r-r-C7\ It r-O1C~l 00r-V 2~c 000C~ 2 I ti. aU + N M V) v1 M w a, -0-0 to a C .C 0000000000000000000000000(= 000000 EEEEEEE EE EEEEEEE EE EEEEE E E EE EEEEE A U ?L F , ~n-N V) V) V) z x V) V) V1 ~n W) tn M M M C V _N O x .C . N M ~O V1 'ct M - t - - ~C V) V) N " ,T r- M I_ V) M V) r- "It M M In V) EE 0 N zx v) v) h V) men 00 EEEE E EEE v) v) V) M 10 v) h M n v) V) M o0 v) h M (7) V) V) M ^" v1 V) M O v1 V) M N V) V) M EE EEE M v) V) M d. v) v1 v1 V) N V) Y) M O t'M M [~ v1 V1 M a0 h V) M O) v1 kn M EE E EE O N v1 V) M N N v) V) M N 'n V) M ~O N ~n V) M V1 N v) V) M Vt a, r-r EE EEE t N V) V) M rN V) V) M 00 N v1 V) M O) N v) V) M O) r~C ~O M O M V) V) M M kn V1 M M ~ n ~ r o2 O) O N M ~t V) ~ r w 0, O --~ " - . N M 'It V1 ~O t` 00 17N a = N -. -. -. -. -. -" N N N N N N N N N N M M t+)