Download Pendahuluan Terapi reperfusi yang meliputi

Survey
yes no Was this document useful for you?
   Thank you for your participation!

* Your assessment is very important for improving the workof artificial intelligence, which forms the content of this project

Document related concepts
no text concepts found
Transcript
Pendahuluan
Terapi reperfusi yang meliputi primary intervensi koroner perkutan
(IKP) dan trombolisis merupakan standar terapi pada kasus sindroma
koroner akut (SKA), pengembalian cepat aliran darah ke miokardium yang
mengalami iskemia mengurangi ukuran infark dan menurunkan mortalitas.
Namun, kembalinya aliran darah juga dapat menyebabkan bertambahnya
kerusakan jantung serta komplikasi tambahan, hal ini disebut sebagai
cedera reperfusi.
Faktor resiko reperfusi belum banyak dikemukakan, dan belum
sampai pada taraf praktek klinis sehari-hari. Meskipun demikian telah
banyak peningkatan pemahaman mengenai patofisiologi proses cedera
reperfusi dan telah mendorong uji klinis dari beberapa agen untuk
mencegah cedera reperfusi, namun hasil dari kebanyakan uji klinis
tersebut belum banyak diikuti oleh para klinisi dalam praktek sehari-hari.
Pada laporan kasus ini akan dilaporkan seorang laki-laki usia 74 tahun
dengan infark miokard akut-elevasi segmen ST (IMA-EST) anterior dan
posterior yang menjalani primary intervensi koroner perkutan (IKP) dan
mengalami cedera reperfusi. Pembahasan kasus difokuskan mengenai
pencegahan cedera reperfusi dan faktor resiko cedera reperfusi.
Kasus
Seorang laki-laki usia 74 tahun, datang dengan keluhan utama nyeri
dada mendadak, dengan visual analog scale (VAS) bernilai 8, delapan
jam sebelum masuk rumah sakit ketika sedang tidur pasien mendadak
mengeluh nyeri dada, dada terasa berat, terasa seperti tertindih benda
berat, panas dan ampeg, pasien juga mengeluhkan terasa seperti
tercekik, keluhan dirasakan tembus ke belakang disertai keringat dingin,
mual dan muntah. Pasien kemudian periksa ke rumah sakit (RS) Wates,
dikatakan serangan jantung, pasien dirujuk ke RS DR. Sardjito. Saat
masuk Instalasi gawat darurat RS DR. Sardjito keluhan nyeri masih terasa
dengan VAS 5, pasien memiliki faktor resiko hipertensi dan merokok.
1
Tanda vital pasien menunjukkan tekanan darah 130/80 mmHg, nadi
80 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, dan suhu 36,7 oC. Dari pemeriksaan
fisik tidak didapatkan konjuntiva anemis ataupun sklera ikterik. Tekanan
Vena jugularis pasien tidak menujukkan kenaikan, pada pemeriksaan paru
didapatkan bunyi vesikuler tanpa diserti ronki basah basal ataupun ronki
kasar. Pada pemeriksaan jantung didapatkan perbesaran jantung dengan
iktus kordis melebar ke lateral 1 jari linea mid clavicula sinistra, suara
jantung 1 dan 2 normal, tidak ada bising, suara tambahan ataupun gallop.
Pada pemeriksaan abdomen tidak didapatkan hepatomegali ataupun
splenomegali dan ekstremitas pasien tidak didapatkan tanda edema.
Pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan HB 13,9 g/dL, AL 9,68
x 103/µL, AT 178 x 103/µL, Hematokrit 39,5%, RBC 5,42 x 106/µL, BUN
15,6 mg/dL, Creatinin 1,13 mg/dL, SGOT 46 U/L, SGPT 50 U/L, Na 137
mml/L, K 4,8 mmol/L,Cl 104 mmol/L, GDS 196 mg/dL, enzim jantung
meningkat ditunjukkan dengan nilai CK 385 U/L, CKMB 47 U/L, dan
troponin I 2,45
Dari pemeriksaan elektrokardiografi tampak gambaran irama sinus, 93
kali permenit, dengan evolusi ST di sadapan II,III dan aVF, dan elevasi
segmen ST di sadapan V1-V4 dan gambaran depresi ST di sadapan I dan
aVL.
2
Gambar 1. Gambaran elektrokardiografi menunjukkan irama sinus, laju jantung 93
kali/menit, normoaksis, dengan evolusi ST di sadapan II,III dan aVF, dan elevasi
segmen ST di sadapan V1-V4 dan gambaran depresi ST di sadapan I dan aVL.
Pasien di diagnosis dengan infark miokard akut-elevasi segmen ST
(IMA-EST) anterior dan posterior onset 8 jam, killip I, TIMI Risk 4/14,
suspek HHD, Observasi hiperglikemia et causa stress hiperglikemia DD
Diabetes mellitus. Kemudian pasien dipersiapkan primary IKP, diberikan
clopidogrel 600 mg, aspilet 300 mg, atorvastatin 40 mg.
Pasien dilakukan Primary IKP dengan hasil koronografi arteri koroner
kiri / left coronary artery (LCA) left main (LM) normal, Left Anterior
Desending (LAD) Total Oklusi di mid (kulprit lesi), Left Circumflex (LCx)
multiple stenosis 75%-85% di mid setelah percabangan Obtuse Marginal
(OM) 1, Right Coronary artery (RCA) stenosis 85% pada percabangan
Right Ventricular (RV) branch dengan total oklusi di pangkal PL.
3
Gambar 2. Gambaran angiografi koroner. A. Pandangan cranial 15o, tampak Right
Coronary artery (RCA) stenosis 85% pada percabangan Right Ventricular (RV)
branch dengan total oklusi di pangkal PL. B. Pandangan RAO 20 o, Caudal 20 o,
tampak Left Circumflex (LCx) multiple stenosis 75%-85% di mid setelah
percabangan Obtuse Marginal (OM) 1. C. Pandangan RAO 30 oCranial 30o, Left
Anterior Desending (LAD) Total Oklusi di mid (kulprit lesi). Sub total oklusi di
proksimal LAD. D. Pandangan RAO 30 o, Cranial 30 o, setelah IKP. Tampak aliran di
LAD hingga ke distal.
Kemudian dilakukan stenting menggunakan Drug Elluting Stent (DES)
di mid LAD. Selama tindakan ketika LAD dibuka terjadi penurunan
tekanan darah mendadak dari 120/60 mmHg menjadi 80/50 mmHg.
Diberikan dobutamin 3 mikrogram/kgBB/menit. Tekanan darah stabil
100/60. Pasien ditransfer ke intensive cardiac care unit (ICCU). Ketika
4
sampai di ICCU pasien jatuh dalam kondisi edema pulmonum akut,
dilakukan penanganan cepat, namun pasien tidak tertolong dan
dinyatakan meninggal.
Pembahasan
Pasien dengan presentasi Klinis IMA-EST dengan onset gejala kurang
dari 12 jam dengan gambaran elektrokardiografi (EKG) elevasi segmen
ST atau gambaran left bundle branch block (LBBB) baru atau diduga baru,
reperfusi harus dilakukan sedini mungkin, baik dengan trombolisis
ataupun dengan IKP (Steg et al., 2012).
Pada pasien ini gejala angina dirasakan 8 jam sebelum masuk rumah
sakit dengan gambaran EKG tampak elevasi segmen ST di sadapan V1,
V2, V3, dan V4 serta terjadi kenaikan parameter laboratorium troponin I
2,45, CK 385 U/L dan CKMB 47 U/L. Dan pasien diputuskan dilakukan
primary IKP.
Sekitar 50% pasien IMA-EST memiliki multivessel disease yang
signifikan. Namun, hanya arteri koroner yang terkait dengan infark yang
harus di tangani pada saat intervensi awal. Saat ini tidak ada bukti klinis
yang mendukung dalam hal penanganan lesi koroner yang tidak terkait
infark pada saat intervensi darurat. Satu-satunya pengecualian adalah
pada IMA-EST dengan lesi multivessel dengan presentasi klinis syok
kardiogenik dengan kriteria lesi koroner penyumbatan > 90% atau lesi
sangat tidak stabil (tanda-tanda angiografi menunjukan kemungkinan
trombus atau plaque rupture), atau pada pasien dengan gejala iskemia
yang menetap setelah dilakukan IKP pada lesi arteri koroner yang terkait
infark. Meskipun demikian pada pasien dengan multivessel disease dan
syok kardiogenik, non kulprit lesi tanpa gambaran penyumbatan koroner >
90% seharusnya tidak rutin dilakukan stenting (Steg et al., 2012).
Pemeriksaan koronografi menunjukan gambaran LM normal, LAD
Total Oklusi di mid (kulprit lesi), LCx multiple stenosis 75%-85% di mid
setelah percabangan Obtuse Marginal (OM) 1, Right Coronary artery
5
(RCA) stenosis 85% pada percabangan Right Ventricular (RV) branch
dengan total oklusi di pangkal PL. Pada EKG terdapat gambaran ST
elevasi di lead V1,V2,V3 dan V4. Oleh karena itu disimpulkan bahwa
culprit lesi pada pasien ini adalah total oklusi di LAD, kemudian dilakukan
IKP dengan target lesi di mid LAD.
Cedera reperfusi adalah peristiwa yang terjadi setelah pembukaan
kembali arteri koroner yang terkait infark, termasuk di dalamnya
bradikardia berat yang membutuhkan terapi farmakologi atau bantuan
pace maker, hipotensi dengan durasi > 30 menit atau yang membutuhkan
terapi vasopressor, atau gangguan irama ventrikel yang maligna yang
membutuhkan kardioversi (Luo et al., 2009)
Cedera reperfusi didefinisikan juga sebagai problematika miokardial,
pembuluh darah atau disfungsi elektrofisiologis jantung yang disebabkan
karena pemulihan aliran darah ke jaringan miokardial yang sebelumnya
mengalami iskemia. Manifestasinya dapat berupa aritmia reperfusi,
kerusakan sel endotel yang menyebabkan disfungsi mikrovaskuler,
miokardial stunning, kematian miosit dan infark (Meana et al., 2009).
Pada saat dilakukan reperfusi, sesaat setelah oklusi di buka terjadi
penurunan tekanan darah mendadak dari 120/60 mmHg menjadi 80/50
mmHg. Kemudian diberikan dobutamin 3 mikrogram/kgBB/menit dan
tekanan darah naik menjadi 100/60 mmHg.
Aritmia reperfusi sering muncul pada pasien yang dilakukan terapi
trombolitik, primary IKP dan bedah jantung. Aritmia yang sering muncul
pada kondisi ini adalah accelerated idioventricular rhythm (AIVR). Aritmia
reperfusi ini terjadi karena adanya disfungsi mitokondria, hal ini terjadi
dikarenakan saat terjadi iskemia berkepanjangan, mitokondria tidak dapat
mengembalikan atau mempertahankan potensial membran di dalamnya,
sehingga mendestabilisasi potensial aksi dan meningkatkan kerentantan
terhadap aritmia (Akar et al., 2005).
Ventrikel takikardia ataupun ventrikel fibrilasi juga dapat terjadi setelah
terapi
trombolisis. Namun, aritmia ini lebih cenderung mencerminkan
6
oklusi persisten dan infark dibandingkan cedera reperfusi (Berger et al.,
1993).
Vaskularisasi
koroner
sangat penting untuk pemulihan fungsi
miokard. Disfungsi mikrovaskular atau fenomena “no reflow” adalah
kegagalan aliran darah koroner untuk mengaliri miokard pasca iskemik.
Signifikansi klinis disfungsi mikrovaskular terletak pada buruknya
hasil
pemulihan kardiovaskular paska iskemik (Hoffmann et al., 2003). Hal-hal
yang berhubungan dengan cedera reperfusi yang mungkin menyebabkan
disfungsi mikrovaskuler diantaranya adalah aktivasi trombosit, aktivasi
trombosit telah terbukti berkontribusi terhadap cedera mikrovaskuler dan
cedera reperfusi (Xu et al., 2006). Dengan demikian, efek menguntungkan
dari terapi antiplatelet yang agresif terhadap cedera reperfusi, meliputi
glycoprotein IIbIIIa inhibitors, kemungkinan dikarenakan efeknya terhadap
pencegahan disfungsi mikrovaskuler (Neumann et al., 1998).
Manifestasi cedera reperfusi lainnya adalah stunning miokard yaitu
kondisi disfungsi miokard yang bersifat sementara yang terjadi setelah
reperfusi, hal ini berkebalikan dengan disfungsi miokard yang mengalami
hibernasi
sebagai
dampak
sekunder
dari
iskemia
yang
sedang
berlangsung. Stunning miokard diduga merupakan efek metabolisme
anaerobik yang menetap (persisten) yang berlangsung setelah terjadi
reperfusi (Verma et al., 2002). Miokard juga membutuhkan waktu yang
tidak singkat untuk kembali dari kondisi ini (Verma et al., 2002). Karena
stunning miokard dapat membaik dengan berjalannya waktu maka agen
inotropik dapat digunakan dalam jangka pendek untuk meningkatkan
fungsi miokard dan perfusi organ (Iliceto et al., 1996).
Konsekuensi yang paling mengkhawatirkan dari cedera reperfusi
adalah kematian miosit. Data laboratorium in vivo menunjukan bahwa
lebih dari 50% dari luas infark miokardial disebabkan oleh cedera reperfusi
(Matsumura
et
al.,
1998).
Secara
teknis
sulit
untuk
mengikuti
perkembangan cedera miokard sebelum dan setelah reperfusi, maka
penelitian-penelitian
tentang
cedera
7
reperfusi
lebih
terfokus
pada
modifikasi kondisi sebelum dan setelah reperfusi untuk melihat dampak
dari luasnya kerusakan organ target.
Sebagian besar jaringan otot
jantung yang mengalami infark sebenarnya masih viable di akhir periode
iskemia, akan tetapi jaringan tersebut kehilangan viabilitasnya pada jamjam pertama setelah reperfusi (Matsumura et al., 1998).
Setelah tindakan IKP tekanan darah stabil hingga pasien di transfer ke
ruang intensif. Di ruang ICCU terjadi perburukan kondisi, dan pasien
mengalami edema pulmonum. Dilakukan penanganan namun dalam
waktu yang sangat singkat pasien terjatuh dalam kondisi pulseless
electrical activity (PEA), dilakukan resusitasi namun pasien tidak
berespon.
Faktor-faktor yang mendorong terjadinya cedera reperfusi selama
primary IKP meliputi onset serangan jantung hingga mendapatkan
reperfusi, lokasi infark pada area inferior miokardial, aliran antegrade yang
rendah pada arteri koroner terkait infark sebelum reperfusi, lesi
multivessel, dan insufisiensi ginjal (Luo et al., 2009).
Pada kasus ini onset serangan jantung adalah 8 jam, dengan lokasi
infark pada anterior dengan arteri koroner terkait infark adalah mid LAD,
sementara pada EKG juga tampak gambaran EKG evolusi segmen ST di
inferior, dari angiografi koroner aliran antegrade pada arteri koroner terkait
infark juga tidak tampak dan terdapat lesi multivesel.
Dengan berkembangan teori dan patofisiologi cedera reperfusi, maka
terdapat
beberapa
penelitian
yang
menjadi
pintu
pembuka
bagi
penanganan cedera reperfusi. Beberapa agen potensial yang dapat
memberikan perbaikan cedera reperfusi diantaranya adalah glycoprotein
IIb / IIIa inhibitor, aktivasi trombosit berkontribusi terhadap cedera
mikrovaskuler dan cedera reperfusi pada AMI. Glycoprotein IIb/IIIa
inhibitor berpotensi menghambat aktivitas trombosit yang akhirnya
meningkatkan perbaikan AMI (Neumann et al., 1998).
Adenosin juga memiliki beberapa sifat yang membuatnya menarik
untuk menjadi kandidat dalam mencegah cedera reperfusi yakni adenosin
8
merupakan senyawa pelengkap ATP, adenosin merupakan vasodilator,
adenosin juga merupakan inhibitor trombosit dan neutrofil. Berdasarkan
sifat-sifat tersebut adenosin telah diteliti baik preklinis maupun klinis. Studi
preklinis terhadap hewan menunjukkan adenosin memberikan efek
protektif terhadap miokard (Ely et al., 1992).
Trial pertama adenosin adalah AMISTAD (the Acute Myocardial
Infarction STudy of Adenosin) trial, yang meliputi 236 pasien IMA dan
mendapatkan trombolisis kemudian diberikan adenosin atau placebo
secara acak. Pada follow up hari ke enam, pada pasien yang mendapat
adenosin mengalami penurunan luas infark, dan hasil terbaik ditunjukan
pada mereka yang mengalami infark anterior (Mahaffey et al., 1999).
AMISTAD 2 merupakan trial terbesar terhadap adenosin sebagai
terapi tambahan selama primary reperfusion pada kasus IMA. Penelitian
ini meliputi 2118 pasien yang mendapatkan primary IKP atau terapi
trombolitik pada kasus anterior IMA-EST. Penelitian ini menunjukkan
penurunan
ukuran
infark
yang
signifikan
pada
kelompok
yang
mendapatkan adenosin. Namun, tidak ada perbedaan kejadian gagal
jantung atau kematian dalam enam bulan pertama dibandingkan
kelompok placebo (Kloner et al., 2006).
Terdapat juga studi kecil yang menggunakan pendekatan baru
penggunaan adenosin, dalam penelitian tersebut
hasilnya terdapat
perbaikan yang menjanjikan pada adenosin dan adenosin agonis sintetik
yang diberikan secara intrakoroner (Marzilli et al., 2000).
Sejumlah vasodilator juga telah diteliti sebagai terapi potensial untuk
mengatasi cedera reperfusi. Angiotensin converting enzim (ACE) inhibitor
kemungkinan memiliki beberapa efek positif terhadap reperfusi, seperti
mengurangi radikal bebas, vasodilatasi arteri koroner, dan peningkatan
jumlah prostasiklin dan bradikinin (Gilst et al., 1992). Pada penelitian in
vitro, ACE inhibitor meningkatkan aliran darah koroner, tetapi tidak terbukti
meningkatkan fungsi ventrikel (Pianna et al., 1996).
9
Perubahan
konsentrasi ion intraseluler, ekstraseluler dan pH
berperan dalam beberapa proses cedera reperfusi. Karena itu, kanal ion
merupakan target penting dalam terapi cedera reperfusi. Peran potensial
modulasi kanal ion dalam cedera reperfusi diantaranya adalah pada
Inhibisi
pertukaran
Na/H,
pertukaran
sodium/hidrogen
merupakan
regulator penting terhadap konsentrasi kalsium (Ca) dan pH intraseluler.
Blokade kanal ini mengurangi penyerapan kalsium dan membantu
menjadi kondisi homeostasis intraseluler. Beberapa penelitian in vitro
serta pengujian pada hewan menunjukkan bahwa penghambatan
pertukaran natrium dan hydrogen efektif dalam mengurangi cedera
reperfusi serta mengurangi ukuran infark (Klein et al., 1995). Pembuka
kanal K-ATP berpengaruh terhadap mikrovaskuler iskemik preconditioning
dan
vasodilatasi
mikrovaskuler,
pembuka
kanal
ini
(nicorandil)
menghasilkan luaran perfusi yang lebih baik serta gerakan ventrikel kiri
yang lebih baik (Ishii et al.,2005). Data pemeriksaan magnetic resonance
imaging (MRI) menunjukkan bahwa nicorandil memperbaiki obstruksi
mikrovaskuler (Ito et al., 1999).
Terapi glukosa-insulin-potassium/kalium (GIK) juga telah diteliti
sebagai
cara
potensial
untuk
menstimulasi
glikolisis
anaerobik,
meningkatkan ATP level dan mengurangi pelepasan asam lemak bebas
(free fatty acid). Meskipun percobaan-percobaan awal menyarankan
manfaat dengan terapi ini, namun trial yang lebih besar yakni the Clinical
Trial of MEtabolic Modulation in Acute Myocardial Infarction Treatment
Evaluation-Estudios
Cardiologicos
Latinoamerica
(CREATE-ECLA)
menunjukkan tidak adanya keuntungan dengan terapi ini (Mehta et al.,
2004).
Terapi anti oksidan juga menjadi objek penelitian pada cedera
reperfusi, peran menonjol dari radikal oksigen dalam patofisiologi cedera
reperfusi telah mendorong beberapa studi untuk mengevaluasi efektivitas
antioksidan dalam mengurangi kerusakan yang terkait dengan reperfusi.
eritropoietin, esterogen, serta heme oksigenase dilaporkan semuanya
10
menurunkan cedera reperfusi, namun penelitian tentang hal tersebut
masih terbatas in vitro (Przyklenk et al., 2001)
Saat ini cyclosporine dikenal sebagai agen immunosuppressive,
cyclosporine
dapat
menurunkan
cedera
reperfusi
melalui
inhibisi
pembukaan kanal mitokondria (Hausenloy et al., 2003). Terdapat pilot
study yang melibatkan 58 pasien yang diberikan cyclosporine sesaat
sebelum dilakukan IKP, hasilnya menunjukkan penurunan kreatinin kinase
sebesar 44% dan 20% pasien menunjukkan penurunan luasan infark yang
ditunjukkan dengan cardiac MRI (Piot et al., 2008).
Penemuan patofisiologi cedera reperfusi telah mengantarkan pada
strategi-strategi penanganan cedera reperfusi yang lebih baik, dan
beberapa diantaranya telah diuji dalam praktek klinis. Namun tidak sedikit
yang belum memberikan hasil yang memuaskan. Namun, oleh karena
belum adanya regimen farmakologi untuk pencegahan cedera reperfusi
yang disaranakan oleh guidelines penanganan IMA-EST, maka pada
pasien ini tidak diberikan obat-obatan sebagaimana yang disebutkan di
atas.
Prevensi cedera reperfusi juga telah diteliti dalam tataran mekanik,
dalam hal ini kita mengenal Iskemik post conditioning yaitu efek protektif
dari serangkaian kejadian oklusi singkat pada arteri koroner setelah
iskemia berat untuk melindungi miokardium dari cedera reperfusi.
Penelitian pada in vitro menunjukan bahwa iskemik post conditioning
memiliki efek kardioprotektif melalui aktivasi survival protein kinases pada
jalur reperfusion-injury salvage kinase (Yang et al., 2004). Sehingga
menurunkan kejadian nekrosis, apoptosis dan sel-sel autofag (Zhao et al.,
2006)
Penerapan pada pasien dengan IMA-EST, teknik intervensinya adalah
setelah tercapai patensi pada kulprit lesi dilakukan inflasi balon cateter
pada tekanan rendah secara berulang pada arteri koroner terkait infark
tersebut (Darling et al., 2007). Hasil terbaik ditunjukkan sebanyak 3 siklus
11
masing-masing siklus meliputi inflasi selama 60 detik dan deflasi selama
60 detik (Zhao et al., 2009)
Penelitian pada organ lain terkait iskemik post conditioning adalah
iskemik post conditioning yang dilakukan di lengan bawah yang
mengalami iskemik (setelah 20 menit terjadi iskemik pada lengan bawah
kemudian dilakukan reperfusi), yakni setelah reperfusi tercapai dilakukan
iskemik post conditioning selama 10 hingga 30 siklus, hasilnya iskemik
post conditioning meningkatkan fungsi endotel. iskemik post conditioning
pada siklus ke 10 ataupun ke 30 terbukti sama efektivitasnya. Namun,
tidak adanya efek protektif jika iskemik post conditioning protokol
dilakukan setelah satu menit reperfusi (Tsang et al., 2005).
Potensi efikasi dari iskemik post conditioning pada manusia telah
digambarkan dalam beberapa penelitian yang melibatkan pasien IMA EST
yang menjalani primary IKP dengan sukses. Terlihat beberapa manfaat
dari iskemik post conditioning dibandingkan pada perawatan biasa
diantara keuntungan yang dilaporkan adalah :
- Penurunan elevasi segmen ST dan peningkatan aliran ke
distal arteri koroner (Laskey et al., 2005).
- Penurunan luas infark yang signifikan pada pemeriksaan
SPECT pada 6 bulan (Thibault et al., 2008)
- serta perbaikan ejeksi fraksi (Thibault et al., 2008).
Sebelum protokol post conditioning dapat direkomendasikan pada
pasien yang menjalani IKP primer, penelitian tambahan diperlukan untuk
mengkonfirmasi keberhasilan protokol ini dalam jumlah yang lebih besar
dan dalam jangka waktu yang lebih lama. Selain itu, juga digunakan untuk
menentukan
metode
protokol
yang
lebih
optimal,
serta
menilai
keberhasilan protokol menggunakan alat ukur yang diterima, misalnya,
Single-photon emission computed tomography (SPECT) imaging (Vinten
et al., 2005)
12
Pada pasien ini tidak dilakukan iskemik post conditioning dengan
alasan belum adanya guidelines yang menyarankan dilakukannya iskemik
post conditioning.
Kesimpulan
Dilaporkan laki-laki usia 74 tahun dengan keluhan nyeri dada khas
angina, dengan gambaran EKG elevasi segmen ST di sadapan V1,V2,V3
dan V4, serta peningkatan enzim jantung. Pasien didiagnosis IMA-EST
kemudian dilakukan primary IKP dengan target penanganan pada culprit
lesi, namun selama tindakan terjadi cedera reperfusi dengan manifestasi
hipotensi
mendadak,
dan
edema
pulmonum
yang
kemungkinan
dikarenakan progresifitas infark, dengan kemungkinan lain stunning
miokardium oleh karena cedera reperfusi.
Pencegahan cedera reperfusi belum dimasukkan kedalam guidelines
penanganan IMA-EST, namun dengan adanya pemahaman terhadap
patofisiologi cedera reperfusi telah membuka harapan baru terhadap
pencegahan cedera reperfusi, salah satunya adalah iskemik post
conditioning.
13
DAFTAR PUSTAKA
Steg G, James S, Atar D, et al. 2012. ESC Guidelines for the management
of acute myocardial infarction in patients presenting with STsegment elevation. European heart Journal.2012.33,2569-2619.
Luo Y, Li G, Pan Y, Zhou S, et al. 2009. Determinants and Prognostic
Implications of Reperfusion Injury During Primary Intervensi koroner
perkutan in Chinese Patients with Acute Myocardial Infarction. Clin.
Cardiol. 32, 3, 148–153
Levine G,
Bates E,
Blankenship J, et al. 2011. Guidelines for
Percutaneous coronary intervention: A Report of the American
College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task
Force on Practice Guidelines and the Society for Cardiovascular
Angiography and Interventions. Circulation. 2011;124:e574-e651;
Ishii H, Ichima S, Kanashiro M, et al. 2005. Impact of a Single Intravenous
Administration of Nicorandil Before Reperfusion in Patients With STSegment–Elevation
Myocardial
Infarction.
Circulation.
2005;112:1284-1288
Meana M, Dorado D, Garcia D, et al. 2009. Pathophysiology of IschemiaReperfusion Injury: New Therapeutic Options for Acute Myocardial
Infarction. Rev Esp Cardiol. 2009;62(2):199-209
Akar F, Aon M, Tomaselli G, et al. 2005. The mitochondrial origin of
postischemic arrhythmias. J Clin Invest.2005; 115:3527.
Zhao W, Wang L, zhang L, et al. 2009. A 60-s postconditioning protocol by
percutaneous coronary intervention inhibits myocardial apoptosis in
patients with acute myocardial infarction. Apoptosis: An International
Journal
On
Programmed
Cell
Death,
14(10),
1204-1211.
doi:10.1007/s10495-009-0387
Darling C, Solar P, smith C, et al. 2007.‘Postconditioning’ the human
heart: Multiple balloon inflations during primary angioplasty may
confer cardioprotection. Basic Res Cardiol.102:274–278 (2007)
14
Berger PB, Ruocco NA, Ryan TJ, et al. 1993. Incidence and significance
of ventricular tachycardia and fibrillation in the absence of
hypotension or heart failure in acute myocardial infarction treated
with recombinant tissue-type plasminogen activator: results from the
Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) Phase II trial. J Am Coll
Cardiol.1993; 22:1773.
Iliceto S, Galiuto L, Marchese A, et al. Analysis of microvascular integrity,
contractile reserve, and myocardial viability after acute myocardial
infarction by dobutamine echocardiography and myocardial contrast
echocardiography. Am J Cardiol. 1996; 77:441.
Hoffmann R, Haager P, Lepper W, et al. 2003. Relation of coronary flow
pattern to myocardial blush grade in patients with first acute
myocardial infarction. Heart .2003; 89:1147.
Mehta S, Yusuf S, Díaz R, et al. 2004. Challenges in the conduct of large
simple trials of important generic questions in resource-poor settings:
the CREATE and ECLA trial program evaluating GIK (glucose,
insulin and potassium) and low-molecular-weight heparin in acute
myocardial infarction. Am Heart J.2004; 148:1068.
Neumann F, Blasini R, Schmitt C, et al. 1998. Effect of glycoprotein IIb/IIIa
receptor blockade on recovery of coronary flow and left ventricular
function after the placement of coronary-artery stents in acute
myocardial infarction. Circulation.1998; 98:2695.
Verma S, Fedak PW, Weisel RD, et al. 2002. Fundamentals of reperfusion
injury for the clinical cardiologist. Circulation. 2002; 105:2332.
Matsumura K, Jeremy R, Schaper J, et al. 1998. Progression of
myocardial necrosis during reperfusion of ischemic myocardium.
Circulation. 1998; 97:795.
Xu Y, Huo Y, Toufektsian MC, et al. 2006. Activated platelets contribute
importantly to myocardial reperfusion injury. Am J Physiol Heart Circ
Physiol. 2006; 290:H692.
15
Ely S, Berne R. 1992. Protective effects of adenosin in myocardial
ischemia. Circulation. 1992; 85:893.
Mahaffey K, Puma J, Barbagelata N, et al. 1999. Adenosin as an adjunct
to thrombolytic therapy for acute myocardial infarction: results of a
multicenter,
randomized,
placebo-controlled
trial:
the
Acute
Myocardial Infarction STudy of Adenosin (AMISTAD) trial. J Am Coll
Cardiol. 1999; 34:1711.
Kloner R, Forman M, Gibbons R, et al. Impact of time to therapy and
reperfusion modality on the efficacy of adenosin in acute myocardial
infarction: the AMISTAD-2 trial. Eur Heart J. 2006; 27:2400.
Marzilli M, Orsini E, Marraccini P, et al. 2000 Beneficial effects of
intracoronary adenosin as an adjunct to primary angioplasty in acute
myocardial infarction. Circulation. 2000; 101:2154.
Gilst V, Kingma J. 1992. Protection of the myocardium against
postischemic reperfusion damage: possible role of angiotensinconverting enzyme inhibitors. J Cardiovasc Pharmacol. 1992;
19:S13.
Piana R, Wang S, Friedman M, et al. 1996. Angiotensin-converting
enzyme
inhibition
preserves
endothelium-dependent
coronary
microvascular responses during short-term ischemia-reperfusion.
Circulation. 1996; 93:544.
Klein H, Pich S, Bohle R, et al. 1995. Myocardial protection by Na(+)-H+
exchange
inhibition
in
ischemic,
reperfused
porcine
hearts.
Circulation. 1995; 92:912.
Ito H, Taniyama Y, Iwakura K, et al. 1999. Intravenous nicorandil can
preserve microvascular integrity and myocardial viability in patients
with reperfused anterior wall myocardial infarction. J Am Coll Cardiol.
1999; 33:654.
Przyklenk K. 2001. Pharmacologic treatment of the stunned myocardium:
the concepts and the challenges. Coron Artery Dis. 2001; 12:363.
16
Hausenloy D, Duchen M, Yellon D. 2003. Inhibiting mitochondrial
permeability transition pore opening at reperfusion protects against
ischaemia-reperfusion injury. Cardiovasc Res. 2003; 60:617.
Piot C, Croisille P, Staat P, et al. 2008. Effect of cyclosporine on
reperfusion injury in acute myocardial infarction. N Engl J Med. 2008;
359:473.
Yang X, Proctor J, Cui L, et al. 2004. Multiple, brief coronary occlusions
during early reperfusion protect rabbit hearts by targeting cell
signaling pathways. J Am Coll Cardiol. 2004; 44:1103.
Tsang A, Hausenloy D, Mocanu M, et al. 2004. Postconditioning: a form of
"modified reperfusion" protects the myocardium by activating the
phosphatidylinositol 3-kinase-Akt pathway. Circ Res. 2004; 95:230.
Laskey W. 2005. Brief repetitive balloon occlusions enhance reperfusion
during percutaneus coronary intervention for acute myocardial
infarction: a pilot study. Catheter Cardiovasc Interv. 2005; 65:361.
Thibault H, Piot C, Staat P, et al. 2008. Long-term benefit of
postconditioning. Circulation. 2008; 117:1037.
Vinten J, Yellon D, Opie L. 2005. Postconditioning: a simple, clinically
applicable
procedure
to
improve
revascularization
in
acute
myocardial infarction. Circulation 2005; 112:2085.
Zhao Z, Vinten J. 2006. Postconditioning: reduction of reperfusion-induced
injury. Cardiovasc Res. 2006; 70:200.
17