Survey
* Your assessment is very important for improving the workof artificial intelligence, which forms the content of this project
* Your assessment is very important for improving the workof artificial intelligence, which forms the content of this project
Mengkonstruksi Penerapan Wasiyat Wajibah Bagi Ahli Waris Non Muslim (Kajian Tematik Q. S. Al-Baqarah 180) Oleh : Drs. H. Abd. Salam, S.H. M.H Wakil Ketua Pengadilan Agama Sidoarjo Pendahuluan Sudah menjadi naluri manusia berkeinginan agar kehidupan anak cucunya berkecukupan. Manusia rela bekerja keras membanting tulang, niat luhurnya adalah untuk membahagiakan keluarga dan anak cucu. Bahkan kalau tidak didasari iman, manusia relah mengumpulkan harta dengan berbagai cara-cara termasuk dengan cara melawan hukum dengan niat untuk membahagiakan keluarga. Padahal manusia tidak ada yang tahu kapan ajalnya tiba, Al-Qur-anpun mengingatkan; “alhaakum at- takaatsur, hatta zurtum al-maqoobir”. Untuk mengatur kecintaan manusia akan harta dan fitrah keinginannya untuk membahagiakan sanak keluarga yang dibatasi dengan kematian tersebut, hukum mengatur tentang tata-cara perpindahan harta seseorang setelah kematiannya kepada keluarga yaitu dengan wasiyat dan waris. Perbedaannya, wasiyat merupakan akad ikhtiyari, yakni atas inisiatip atau kehendak pewasiat, sedangkan waris bukan atas dasar akad, akan tetapi atas kehendak hukum atau ijbaari. Setiap keluarga muslim menginginkan agar anak-cucunya mengikuti agama orang tuanya, karena yang demikian itu diperintahkan Allah. Dalam Q.S. al-Tahrim (66): 6, Allah berfirman: "yaa ayyuha al-ladziina aamanuu qu anfusakum wa ahli kum naaran"; Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. Pada ayat tersebut tersirat perintah Allah agar orang mu’min (muslim) berupaya agar anak-anaknya mengikuti keimanan dan agama Islam orang tuanya. Pandangan sebagian mufassiriin, ayat (6) Surat Al-Tahrim tersebut, sebagai takhsis atas keumuman ayat-ayat Al-Qur-an tentang kebabasan beragama, misalnya Q.S. alBaqarah (2): 256, yaitu "la Ikrah fi al-diin" atau Q.S. Al-Kafirun ayat (6) : “lakum diinukum wa li ad-diin”. Namun dalam kenyataan hidup, terkadang keinginan dan usaha orang tua agar anaknya sejalan dengan agama orang tua tidak dapat terlaksana karena berbagai faktor. Anak dapat saja memeluk atau memilih dan bahkan berpindah agama sehingga beda dengan agama orang tuanya. Di era demokrasi yang menjujung tinggi kebebasan beragama, perbedaan dan perpindahan agama anak atau keluarga, tidak boleh dijadikan alasan putusnya hubungan kekeluargan, apalagi antara orang tua dan anak. Disamping itu secara naluri (fitrah), orang tua akan tetap menyayangi anak-anaknya apapun agamanya demikian juga sebaliknya, anak akan tetap menyayangi orang tuanya apapun agamanya. Islam mengajarkan dan memerintahkan untuk berbuat baik dan tidak membenarkan adanya pemutusan hubungan keluarga walaupun berbeda agama, sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Nisa' (4): 36, “wa bi al-waalidain ihsaanan wa bi dzi al-qurba”; berbuat baiklah kepada kedua orang tua dan kerabat. Walaupun Islam tidak membenarkan pemutusan hubungan kekeluargaan antara orang tua dan anak karena fitrah, ternyata dalam hadis terdapat ketentuan bahwa Islam melarang memberikan warisan antara pewaris dan ahli waris yang berbeda agama, sebagaimana sabda nabi yang berbunyi "la yarith al–muslim al-kafir wa la al-kaafir al-muslim", orang yang beragama Islam tidak dapat menerima warisan dari orang yang beragama lain (kafir), juga sebaliknya. Natijahnya adalah bahwa perbedaan agama menyebabkan terhalangnya waris-mewarisi. Hal tersebut menimbulkan permasalahan ketika hukum Islam dihadapkan dengan tatanan negara nasional (nation state) seperti Indonesia ini yang sangat menghormati perbadaan agama, pluralitas dan demokrasi. Padahal kebebasan beragama, pluralitas dan demokratis adalah sejalan dengan nilai-nilai unuversal syari’at Islam. Apalagi ketika hukum Islam dihadapkan pada kasus yang bersifat spesifik, misalnya anak perempuan (non muslim) yang pada umumnya banyak berjasa terhadap orang tuanya sewaktu orang tua sakit sampai wafat, sementara anak yang lain (muslim) tidak pernah mau tau sakitnya orang tua. Jika akhirnya anak yang muslim mendapatkan warisan dan anak wanita yang non muslim tersebut tidak mendapatkan warisan, maka nurani manusia manapun mengatakan bahwa itu adalah ketidak adilan. Islam adalah syari’ah yang beradab dan manusiawi yang bergerak seiring dengan sifat hanifiyah-samhah (elastis dan toleran) dan pasti sejalan dengan fitrah manusia, sebagaimana firman Allah Qur-an Surat Ar-Ruum ayat 30 : Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Al-Qur-an sebagai undang undang Allah Yang Maha Adil adalah diperuntukkan manusia, oleh karena itu parameter keadilan Al-Quran adalah perasaan manusia bukan lainnya termasuk Allah, oleh karena itu penyelesaian kasus-kasus kewarisan adalah bukan masalah diyani semata, tetapi yang lebih menonjol adalah masalah qodlo’i yang bertumpu pada tauliyah hakim atas dasar prinsip-prinsip umum syari’ah yaitu rasa keadilan (an tahkumu bi al-‘adhli). Dengan kata lain bahwa Al-Qur-an dan As-Sunnah sebagai undang-undang Allah dan Rasulnya, senantiasa bersifat universal, abstrak, hipotetis, berlaku umum dan menyamaratakan, sedangkan qodlo’i bekerja pada wilayah “keadilan” yang bersifat khusus, konkrit, pasti dan tidak senantiasa menyamaratakan. Tiap-tiap kasus harus dipertimbangkan secara khusus suum cuique tribuere. Disinilah hakim seakan-akan wakil Tuhan di dunia. Hukum kewarisan Islam bersumber dari wahyu (Al-Qur-an) sebagai kitab suci yang diyakini tidak hanya sesuai untuk masa Nabi dan negeri arab pada abad ke VII saat itu, tetapi juga sesuai untuk segala tempat dan untuk masa-masa selanjutnya hingga akhir zaman (shalih li kulli zaman wa makan) disatu sisi dan adanya dalil yang nampaknya ambigu tersebut, Pemikiran Ibnu Hazm, ulama’ dari Spanyol (Cordova, w. 456 H/1064 M) tokoh madzhab dzahiri, yang terkenal sebagai pengembang teori washiyat wajibah dapat dijadikan rujukan untuk menutup kesenjangan tersebut. Hukum Waris Islam Dalam kitab fikih dijelaskan bahwa sebab-sebab seseorang mendapatkan warisan ada empat, yaitu (1) hubungan kerabat khusus, yang bukan tergolong kerabat dzawi al-arham, disebut juga dengan nasab hakiki; (2) akad nikah yang sah walaupun belum disetubuhi atau belum melakukan hal lain seperti ciuman dan merabah-rabah tubuh, (3) karena wala' atau mendapatkan warisan karena memerdekakan budak, disebut juga dengan nasab hukmi dan (4) beragama Islam. Zakariyya al-Anshary menyatakan bahwa ahli waris melalui sebab keislaman bersifat umum, sedangkan untuk lainnya bersifat khusus. Dengan demikian, jika melihat sebab-sebab tersebut, maka anak yang non muslim termasuk dalam kelompok hubungan kerabat atau nasab hakiki. Akan tetapi, jika melihat beragama Islam, maka ia tidak sebagai orang yang memperoleh warisan, sebagaimana tertuang dalam sebab-sebab seseorang tidak mendapatkan warisan. Untuk itu, sebab-sebab mendapatkan warisan yang disepakati para ulama ada 3 (tiga), selain keislaman tersebut. Adapun sebab-sebab seseorang tidak mendapatkan warisan, yang disepakati para ulama ada 3 (tiga), yaitu (1) perbudakan, (2) pembunuhan, dan (3) berlainan agama. Sedangkan sebab berlainan negara atau bangsa tidak menjadi penghalang mendapatkan warisan antara sesama orang Islam, sebagaimana dicantumkan oleh Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah. Dengan demikian, jika terjadi berlainan agama antara pewaris dan ahli waris, maka dengan sendirinya batal demi hukum, walaupun secara umum, anak non muslim (ahli-waris) tercakup dalam keumuman lafal “auladikum” dalam firman Allah, surat al-Nisa': 11, yaitu lafal "yushikum allah fii auladikum li al-dzakari mithl haz al-unthayain". Lafal auladikum pada ayat tersebut menunjukkan umum, karena menggunakan “isim-nakirah” yang disandarkan (di-idhafah-kan) kepada isim ma'rifah. Maka dalalah (petunjuk) lafal tersebut bersifat zanniyah (tidak pasti), yang memerlukan lafal lain sebagai mukhassis sebagiamana pendapat mayoritas ulama Shafi'iyah. Hal ini berbeda dengan ulama Hanafiyyah yang menyatakan bahwa petunjuk lafal 'am dalam ayat Al-Qur'an adalah senantiasa pasti qath'iy selama belum ditakhsis dengan yang qat'iy juga dari al-Qur'an maupun hadith mutawatir atau hadits masyhur, bukan hadits ahad atau hadits masyhur menurut jumhur ulama’. Dalam hal ini, terdapat kaidah usul al-fiqh tentang penggunaan lafal 'am, yaitu: la yajuz al-'amal bi al-'am qabl al-bahtsh 'an al-mukhassis” tidak boleh menggunakan lafal 'am sebelum dicari mukhassis-nya. Artinya, lafal 'am tersebut akan menjadi tegas setelah dikeluarkan mukhassisnya, yang dalam hal ini hadis "layarith al-muslim al-kafir wa la al-kafir al-muslim ". Karena itu, setelah dilakukan takhshiish, baru makna lafal "aulaadikum" tertuju pada anak-anak yang ada kesamaan agama (sama-sama beragama Islam) dengan orang tuanya. Fatchur Rahman dalam bukunya, menjelaskan bahwa yang dimaksud berlainan agama ialah berlainan agama yang menjadi kepercayan antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan. Misalnya, agama orang yang bakal mewariskan bukan Islam, baik agama Nasrani maupun atheis yang tidak mengakui agama yang hak, sedangkan orang yang bakal diwarisi harta peninggalannya adalah Islam. Hadis "laa yarith …" merupakan hadis yang dipegangi para ulama tentang beda agama antara pewaris dan ahli waris sebagai penghalang pewarisan, termasuk hadis "laa yatawa rath ahl millatain shattaa", dua orang yang berbeda agama tidak saling mendapatkan warisan sama sekali. Hal ini merupakan pendapat yang kuat, karena suatu kekuasaan itu terputus antara orang Islam dan orang kafir. Pendapat ini dijadikan Undang-undang Mesir (pasal 6) dan Suria (pasal 264) dengan bunyi "laa tawaa ruth bain muslim wa ghair muslim". Sementara itu, Mu'adh, Mu'awiyah, al-Hasan, Ibn al-Hanafiyah, Muhammad b'Ali b. Al-Husain dan Masruq berpendapat, bahwa orang Islam mendapatkan warisan dari orang kafir (pewaris), tidak seba liknya. Ini sebagaimana hadis "al - islam ya'lu wa laa yu'laa 'alaih”. Akan tetapi, pendapat ini ditolak oleh mayoritas ulama seperti ulama mazhab empat. Pengertian Wasiat Wajibah Kata wasiat (bahasa Indonesia) berasal dari kata al-wasiyyah, yang diidentikkan dengan kata al-iishaa', dan al-wishayah. Kata al-washiiyyah dalam pengertian bahasa (lughah) diambil dari kata “washaa al-shai'a bikadha”, yang bermakna “al-ishal”, menyampaikan sesuatu, karena kebaikan amal dari orang yang berwasiat sewaktu di dunia akan dibalas dengan kebaikan di akhirat; Dan juga bermakna suatu perjanjian yang dilakukan seseorang kepada orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan, baik sewaktu masih hidup atau setelah meninggal dunia. Dalam istilah, wasiat merupakan pemberian milik yang disandarkan waktunya (terjadinya perpindahan milik), setelah pemberi wasiat meninggal dunia, baik itu berupa benda atau manfaat dari suatu benda. Dengan demikian wasiat mengandung beberapa unsur yaitu: (1) al -shighah atau pernyataan kehendak; (2) al-musy atau orang yang mewasiatkan, yang melakukan ijab dalam wasiat dengan menyebut materi wasiat dan sasaran wasiat; (3) al-muusha lah atau orang yang melakukan qabul dalam wasiat sebagaimana yang dinyatakan oleh muusi; dan (4) al–muusha bih atau obyek yang berupa benda atau manfa’at. A. Wasit Aulawi dalam Sejarah Perkembangan Hukum Islam menerangkan bahwa wasiat-wajibah adalah interpretasi atau bahkan pelaksanaan firman Allah dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat (180-181), yang intinya dapat dituturkan bahwa orang yang merasa dekat dengan ajalnya, sedangkan ia memiliki harta peninggalan yang cukup banyak, maka ia wajib melakukan wasiat untuk kedua orang tuanya dan kerabatnya, dan bahwa orang yang mengubah isi wasiat tersebut akan menanggung akibatnya. Bilamana perintah wajib tersebut tidak dilakukan oleh pemilik harta, maka Penguasa atau hakim sebagai aparat negara tertinggi mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat yang terkenal dengan sebutan wasiat wajibah kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Hal ini sebagaimana didefiniskan oleh Fatchur Rahman dalam bukunya yang berjudul Ilmu Waris, bahwa wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang telah meninggal dunia, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Sedangkan, wasiat disebut wasiat wajibah, dikarenakan beberapa hal: a. Hilangnya unsur ikhtiar bagi si pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalaui perundang-umdangan atau surat keputusan tanpa terkantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan si penerima wasiat. b. Ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam hal penerimaan laki-laki 2 (dua) kali lipat bagian perempuan. Pembahasan wasiat dalam kitab-kitab fikih selalu berdampingan dengan pembahasan waris. Dalam hal ini, terkadang bahasan waris dahulu, kemudian wasiat sebagaimana sistem pembahasan dalam kitab Fathu al-Qariib al-Mujiib. Namun ada pula yang membahas wasiat dahulu, baru kemudian waris, sebagaimana dalam kitab al-Sharqawy 'ala al-Tahriir demikian juga kitab al-Fiqh al-Islaamy wa Adillatuh karya Wahbah al-Zuhaily dan Fiqh al-Sunnah karya Sayyid Sabiiq. Dalam hal ini masingmasing mempunyai alasan tersendiri. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa obyek wasiat adalah berupa harta benda, bukan perintah melalukan suatu perbuatan yang tidak berupa harta benda. Untuk itu, pelaksanaan wasiat adalah terkait dengan harta tinggalan dan dikeluarkan terlebih dahulu, sebelum pembagian warisan. Wasiat Wajibah Dalam Bahasan Hukum Kewarisan Islam Wasiyat adalah salah satu bentuk distribusi kekayaan yang dilakukan oleh seseorang setelah kematiannya untuk diberikan kepada pihak tertentu dengan ukuran tertentu sesuai dengan keinginan dan pertimbangan pribadinya. Istilah “wasiat-wajibah” sebagai mana yang dipahami dalam kajian hukum waris saat ini tidak diketemukan dalam kitab fikih klasik. Fuqoha’ kontemporer menjadikan sumber rujukan hukum washiyat wajibah adalah Q. S. Al-Baqarah ayat 180, akan tetapi jika kita elaborasi kitab-kitab tafsir klasik, tidak seorangpun mufassir menyinggung wasiyat wajibah seperti yang kita pahami sekarang disaat mereka menafsikan ayat tersebut. Titik berat pembahasan fuqoha’ klasik terhadap ayat 180 Q.S Al-Baqoroh tersebut kebanyakan menghimpun berbagai hanya dari pendapat sisi dilalah-nash, mutaqoddimin nasikh-mansukh dengan berbagai serta manhaj pemikirannya saja. Karena sulitnya mendudukkan ketika disandingkan dengan ayatayat maupun hadits-hadits tentang waris, maka sejumlah mufassir menyatakan bahwa ayat tersebut manshuh hukumnya oleh ayat-ayat waris. Washiyat-wajibah baru populer setelah beberapa negara Islam mengkonstruksinya dalam peraturan perundangan negara, terutama setelah diundangkan “wasiat-wajibah" di Mesir dan negara-negara yang menerapkannya, termasuk Indonesia setelah disusunnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tahun 1991 melalui instrumen Instruksi Presiden. Maka sejak itu fukoha’ kontemporer ikut membahasnya dalam kitab-kitaf tulisan mereka; - Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah mencantumkan wasiat wajibah pada akhir kitabnya setelah membahas warisan dan takharruj, dengan mengambil pasal 71 Kitab Undang-undangHukum Wasiat Mesir Tahun 1365 H/1946 M. - Wahbah al-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, memasukkan wasiat wajibah setelah membahas wasiat secara komperatif; - Ulama Indonesia membahasnya dalam forum ijtihad jama’i untuk dijadikan rujukan hukum materiil bagi para hakim Pengadilan Agama dan menuangkannya dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 209 walaupun terbatas dan hanya diperuntukkan anak dan orang tua angkat. Tetapi yang jelas tidak satupun diantara para ahli hukum maupun undang- undang secara jelas mentoleransi penerapan wasiyat wajibah untuk ahli-waris non muslim atau beda agama, karena jika demikian undang undang seakan-akan merekayasa (mengkhelah) hukum waris Islam yang telah dianggap mapan dan bertentangan secara diametral dengan hadits “laa yatawa rath ahl millatain shattaa" dan hadits “layarith al-muslim al-kafir wa la al-kafir al-muslim”. Dasar Wasiyat Wajibah Wahbah al-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh menjelaskan bahwa dasar yang dijadikan rujukan penetapan wasiat wajibah sebagaimana dalam Undang-undang Mesir adalah QS. Al-Baqarah (2): 180, yaitu : Artinya: “diwajibkan atas kamu apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda- tanda) maut jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf. Ini adalah kewajiban atas orangorang yang taqwa”. Ulama berbeda pendapat tentang keberadaan Q.S. al-Baqarah (2): 180, apakah ia tergolong ayat yang mansukhah (dihapus atau tidak berlaku) atau muhkamah (tetap berlaku), sebagai berikut: a. Ayat tersebut muhkamah, yang secara lahir menunjukkan umum, tetapi maknanya khusus untuk kedua orang tua yang tidak menerima warisan seperti orang kafir dan budak, dan kerabat yang tidak tergolong ahli waris. Ini merupakan pendapat ibn 'Abbas, Hasan al-Basry, Dahhak, Tawus, Masruq, Muslim ibn Yasar dan al-'Ala’ ibn Ziyad. Pendapat ini yang dipilih Ibn Jarir al-Thabary. b. Dalam versi lain dijelaskan bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan kerabat ahli waris telah dinasakah (dihapus dan tidak berlaku), sedangkan kerabat yang bukan ahli waris tetap wajib dilaksanakan. Hal ini, karena wasiat diwajibkan berdasarkan ayat tersebut, baik yang mendapatkan warisan maupun yang tidak. Akan tetapi, kemudian wasiat kepada ahli waris dinasakh dan kepada bukan ahli waris tetap berlaku. Namun demikian, al-Tabari menyebutnya bukan dengan istilah nasakh , tetapi takhsis, sebagaimana pendapat ulama mutaakhkhirin. c. Ibn 'Umar, Abu Musa al-Ash'ary, dan Sa'ad ibn Musayyab berpendapat bahwa QS. al-Baqarah (2): 180 telah di-nasakh oleh ayat mawarith dalam Q.S. al-Nisa' (4): 11, baik kepada orang yang menerima warisan atau tidak. Hal iniberdasarkan dalil yang diriwayatkan dari al-Shafi'iy dari ’Imran ibn Husain bahwa Rasulullah saw telah menetapkan hukum terhadap anak budak yang dimiliki seorang lelaki yang tidak mempunyai harta benda, selain budak yang dia merdekakan dan telah meninggal dunia. Kemudian, beliau membaginya mejadi tiga bagian, yang dua dimerdekakan dan yang empat tetap menjadi budak. Dalam hal ini, jika wasiat itu kepada kerabat dan batal untuk lainnya, maka beliau tidak akan membolehkan wasiat tentang dua hamba, karena merdekanya kedua budak tersebut berdasarkan wasiat, padahal keduanya tidak tergolong kerabat. d. Al-Razy dalam kitab tafsirnya al-Tafsir al-Kabir menceritakan dari Abu Muslim alAsfahany, bahwa ayat ini muhkamah dan tidak dinasakh. Ia ditafsirkan dengan ayat mawarith, sehingga maknanya bahwa Allah mewajibkan apa yang diwasiatkan Allah (mendapatkan warisan bagi kedua orang tua dan kerabat sebagaimana dalam Q.S. al-Nisa' (4): 11; e. Al-Razy dalam kitab tafsirnya Mafatih al-Ghaib-menukilkan pendapat Abu Muslim al-Asfahany, bahwa Q.S. al-Baqarah (2): 180 adalah muhkamah. Artinya tidak dihapus, dengan alasan sebagai berikut: 1) Ayat ini tidak berlawanan dengat ayat mawarith, namun ia menetapkan, bahkan memperkuatnya; 2) Sesungguhnya tidak ada saling meniadakan antara berlakunya wasiat kepada kerabat dan pewarisan. Dalam hal ini, wasiat merupakan pemberian dari orang yang akan meninggal, sedangkan pewarisan merupakan pemberian dari Allah. Dengan demikian, ahli waris dapat memperoleh wasiat dan pewarisan melalui hukum yang terdapat dalam kedua ayat tersebut. 3) Jika saja diperkirakan terjadi saling meniadakan antara ayat wasiat dan warisan, maka sebenarnya dapat dipahami bahwa ayat mawarith berfungsi se bagai takhsis terhadap ayat wasiat. Hal ini dapat dipahami bahwa Q.S. alBaqarah (2): ayat 180 secara umum menunjukkan bahwa wasiat itu wajib untuk seiap kerabat. Sementara itu, ayat mawarith mengeluarkan kerabat yang ahli waris (sebagai mukhassis). Oleh karena itu, ayat tentang wasiat ini mengarah pada kerabat yang tidak sebagai ahli waris, karena ada penghalang mendapatkan warisan seperti kafir (beda agama), budak; terhalang ahli waris yang lebih dekat (mahjub), dan tergolong dhawi al- arham (keturunan anak perempuan). Dengan memperhatikan dan menempatkan al-Baqarah: 180 sebagai ayat muhkamah sebagaimana Abu Muslim al-Ashfahany dan mengkompromikannya dengan hadis “la washiyyah li waarith” sebagai mukhassis. Artinya, Q.S. al-Baqarah (2): 180 diarahkan petunjuknya pada kewajiban wasiat kepada kedua orang tua dan kerabat yang tidak mendapatkan warisan karena sesuatu hal (maani', mahjub, dan dhawi al arham). Sedangkan, petunjuk hadis diarahkan pada larangan wasiat kepada ahli waris yang mendapatkan warisan. Oleh karena itu, metode al-jam'u (kompromi) dalam menghadapi dua nash yang kelihatannya terjadi kontradiksi (ta'arud ) lebih tepat digunakan daripada nasakh. Kaidah Usul al-Fiqh yang dikemukakan oleh kelompok yang menentang tentang tidak ada nasakh dalam al-Qur'an, yang berbunyi “inna al-naskh khilaf al-asl, wa mataa amkana al–tafsir bidunih wajab al- mashir ila dhalik al-tafsir" ; Sesungguhnya metode nasakh adalah menyalahi kaidah dan jika dapat dilakukan tafsir tanpa nasakh, maka wajib kembali kepada tafsir. Pengertian tafsir di sini mencakup ta'wil, yang di dalamnya terdapat metode takhsish al-'aam dan taqyid al-muthlaq. Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa ahli waris non muslim tidak dapat mewarisi dari orang tuanya atau kerabatnya yang beragama Islam, tetapi dia mendapatkan bagian melalui jalan wasiat wajibah dengan bagian tidak boleh lebih dari sepertiga harta tinggalan mayyit. Dengan demikian, penerapan wasiat wajibah melalui penafsiran al-Baqarah: 180 sebagaimana dalam kitab tafsir, secara umum lebih luas daripada penerapan wasiat wajibah pada UU di Mesir dan Siria, lebih-lebih Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang mengkhususkan pada anak dan orang tua angkat. Hukum Wasiyat Para ulama berbeda pendapat tentang hukum wasiat, sebagai berikut: a. Wajib berwasiat bagi orang yang mempunyai harta benda, baik sedikit maupun banyak, sebagimana pendapat al-Zuhry dan Abu Mihlaz. Hal ini senada dengan dengan pendapat Ibn Hazm, yang menyatakan wajib sebagaimana riwayat yang telah diterimanya dari Ibn 'Umar, Thalhah, al-Zubair, Abdullah ibn Abi Aufa, Thalhah ibn Mutharrif, Thawus, dan al-Sha'by. Mereka menggunakan dalil Q.S. alBaqarah (2): 180; M. Qurash Shihab menjelaskan, term “kutiba” yang digunakan ayat diatas bermakna wajib, sehingga ini adalah pendapat jumhur. Apalagi penutup ayat ini menegaskan itu adalah hak (haqqon ‘ala al-muttaqiin) bagi orang-orang yang bertaqwa. Selanjutnya dalam surat An-Nisa’ ayat (12) Allah menyebutkan, pembagian warisan bagi kedua orang tua. b. Wajib berwasiat kepada kedua orang tua (bapak/ibu) dan para kerabat yang tidak mendapatkan bagian warisan dari mayyit, sebagiamana pendapat Masruq, Iyaas, Qatadah, Ibn Jarir dan al-Zuhry. c. Berwasiat tidak wajib bagi orang yang tidak meninggalkan harta benda sebagimana pendapat pertama, dan tidak wajib kepada kedua orang tua dan para kerabat yang tidak mendapatkan warisan, sebagaimana pendapat kedua. Akan tetapi, hukum wasiat bergantung pada keadaannya, dapat wajib, sunnah, haram, makruh, atau bahkan ibahah (boleh). Wasiyat dan Waris Perspektif Dr. Ir. Muhammad Shahrur Dr. Ir. Muhammad Shahrur adalah seorang pemikir Syria, terkenal beraliran leberal-kontroversial mempunyai pemikiran lain yang cukup menarik untuk dikaji mengenai wasiyat dan waris dalam bukunya “Dirasaat Isamiyah Mu’ashirah Nahwa Ushul Jadidah li Fiqh al-Islami”. Beliau berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara ayat-ayat Al-Qur-an satu dengan lainnya, tidak pula dengan hadits. Kesalahan besar pemikiran ummat Islam adalah karena : - Mengutamakan waris dan hukumnya, tetapi mengesampingkan wasiyat beserta hukum yang menyertainya. - Memaksakan penghapusan (naskh) ayat-ayat wasiyat, khususnya firman Allah :“alwashiyatu li al-walidaini wa al-aqrabiin” (wasiyat untuk kedua orang tua dan kerabat), berdasarkan hadits ahad yang statusnya terputus (munqothi’) diriwayatkan oleh al-Maghazi, yaitu hadis “la washiyata li waaritsin”; - Mencampur adukkan hukum-hukum yang berkaitan dengan waris dengan hukumhukum yang berkaitan dengan wasiyat; Selanjutnya Shahrur berpendapat bahwa waris dan wasiyat adalah dua hukum yang berbeda, Al-Qur-an mengutamakan penyelesaian harta setelah kematian seseorang dengan jalan wasiyat dari pada dengan cara waris. Karena wasiyat berpotensi untuk mewujudkan keadilan yang bersifat khusus terkait dengan kepentingan pribadi dan memiliki efektifitas dalam pemanfaatan harta, pengembangan relasi sosial dan hubungan kekeluargaan disamping mencerminkan kepedulian pihak pewasiyat terhadap kepentingan pihak lain. Adapun dalam waris, terdapat keserupaan posisi pada seluruh manusia. Bagian yang diberikan ditentukan oleh posisinya dalam konstalasi pihak-pihak yang menerima harta; sebagai bapak, ibu, anak, suami, istri, saudara laki-laki atau saudara perempuan. Hal tersebut di dukung beberapa alasan: Pertama : Tentang ‘wasiyat” Allah menegaskan dengan pola kalimat (term) yang sama dengan penetapan kewajiban shalat, puasa, perang dan hukum qishas; yaitu dengan redaksi (kalimah) “kutiba ‘alaikum”; Kedua : Ayat-ayat Al-Qur-an berbicara tentang wasiyat lebih banyak dari pada ayatayat yang membicarakan waris. Dalam Al-Qur-an terdapat sepuluh ayat berbicara tentang wasiyat, sedangkan ayat ayat tentang waris hanya empat ayat saja yaitu ayat 11, 12 13 dan 156 An-Nisa’. Ketiga : Dalam empat lokasi pada ayat-ayat waris Allah telah menetapkan pengutamaan penunaian wasiyat dalam pembagian harta pusaka (tirkah) Allah Berfirman “min ba’di washiyatin yuusha biha au dain”. Keempat : Ayat 180 Surat Al-Baqoroh tersebut diturunkan lebih dahulu dari pada ayat-ayat waris dalam surat An-Nisa’ 11, 12, 13 dan 176 tersebut. Dengan alasan-alasan tersebut, syahrur menyimpulkan, bahwa ayat-ayat AlQur-an mengajarkan kepada manusia aturan proses perpindahan harta milik (tharwah) baik bergerak maupun tidak bergerak dari seseorang kepada pihak lain yang disebut namanya dalam wasiyat orang yang meninggal yang didalamnya terdapat bagian masing-masing penerima. Jika wasiyat tidak ada, maka pembagian harta kepada pihak yang berhak didasarkan atas ketentuan dalam ayat-ayat Al-Quran yang membahas masalah warisan. Dalam Al-Qur-an tidak ada ayat yang di naskh dengan ayat, apalagi dengan hadits. Penutup Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah agama wahyu yang terakhir, berdasarkan hal ini maka Al-Qur-an adalah kitab suci yang tidak hanya sesuai untuk masa Nabi dan negeri Arab delapan abad yang lalu, tetapi juga sesuai untuk segala tempat dan untuk masa-masa selanjutnya hingga akhir zaman (shalih li kulli zamaan wa makaan), oleh karena itu Al-Qur-an adalah ladang ijtihad untuk disesuaikan dengan kondisi-kondisi obyektif yang terdapat dalam komnitas manusia, jika tidak demikian maka Al-Qur-an sbagai wahyu Tuhan akan kehilangan sifat universalitasnya. Al-Qur-an baik teks maupun kandungannya adalah wahyu Allah, karena itu ia bersifat qudduus (suci/sakral) dalam arti bahwa Al-Qur-an itu eksis pada dirinya dan bahwa pemahaman terhadapnya selalu berkembang dan dinamis. Oleh karena itu untuk saat ini (kekinian) kalau menafsiran Al-Qur-an, seakan-akan Al-Qur-an itu baru diwahyukan; Dengan kata lain pandangan kita kepada Al-Qur-an seakan-akan Rasulullah baru saja wafat dan menyampaikan wahyu ini kepada kita untuk zaman kita. Setiap generasi utamanya hakim mempunyai kebebasan untuk menafsirkannya sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat, serta sesuai dengan struktur ilmu pengetahuan yang tersedia. Kebenaran dan ketepatan penafsiran harus diukur dengan apakah ia sesuai dengan situasi pada saat penafsiran itu dilakukan. Hal ini berarti bahwa manusia modern dapat menafsirkan Al-Qur-an sesuai dengan kebutuhan kontemporer, tanpa harus berkonsultasi dengan karya-karya tafsir terdahulu, karena tuntutan dan situasi masa kini berbeda dengan masa lalu. Al-Qur'an dianggap sebagai kitab yang mengandung petunjuk untuk ummat manusia dan dapat diterapkan untuk segala masa. Ini merupakan pendapat para ahli tafsir klasik yang dipelopori oleh Ibn Jariir al-Thabary dalam menyikapi pendapat Abu Muslim al-Ashfahany yang mengatakan bahwa ayat al-Qur'an tidak dapat dinasakh oleh hadis, termasuk juga Muhammad ‘Abduh dan Abd al-Hakim (ulama Indonesia). Jika demikian, maka QS. al-Baqarah (2): 180 dapat dijadikan sumber wasiat wajibah, sekaligus sebagai sumber hukum materiil pada ahli waris pengganti -seperti dalam Undang-undang Mesir; anak atau bapak angkat seperti dalam pasal 209 KHI dan ahli waris beda agama, yang belum dijadikan undang-undang. Meskipun begitu, ayat tersebut dapat digunakan oleh hakim dalam memutuskan perkara demi tercapai keadilan bagi pihak pencari keadilan. Hal ini perlu dilakukan, agar para hakim tidak hanya sebagai corong undang-undang (hukum positif), tetapi berusaha melakukan ijtihad sebagai perintah agama yang tidak boleh berhenti dengan dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan. Daftar Pustaka ’Abd al-Hamid, al -Bayan, Surabaya, Ghalia Indonesia, 1972; ’Aly al Sais, Tafsir Ayat al Ahkam , vol. 1, Beirut, Dar al-Fikr, tt; Abu Zakariya al-Anshary, Sharh al-Tahrir, Surabaya, Maktabah Salim ibn Sa'ad ibn Nabhan, tt; Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003; Al-Bajury, Hashiyah al-Bajury, Vol. 2, Mesir, 'Isaal-Babi al-Halaby wa Sharkah, tt; Al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur'an, Vol. 2, Mesir, Dar al-Katib al 'Arabiyyah wa al-Nashr; Al-Razy, Mafatih al -Ghaib, Vol. 3, Beirut, Dar al-Fikr, 1994; Al-San'any, Subul al-Salam, Vol. 2, Singapura, al-Haramain, tt; Fadhil ’Abd al-Rahman ’Abd al-Wahid, al-Anmudhaj fi Ushul al-Fiqh, Ttp., Matba'ah al-Ma'arif, 1969; Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung, PT. Al Ma'arif, 1981; Muhammad al-Sharbiny al-Khatib, al-Iqna'fi Hill Alfaz Abu Shuja’, Vol. 2, Beirut, Dar al-Fikr, 1981; Muhammad shahrur, Dirasaat Islamiyah Mu’ashirah Nahwa Ushul Jadidah li Fiqh al- Islamy, Tarjamah oleh Sahiron Syamsuddin, MA, El SAQ, Ngawen Maguwoharjo, Sleman Yogyakarta, 2004; Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol. 3, Beirut, Dar al-Fikr, 1977; Umar Said, Hukum Islam di Indonesia tentang Waris, Wasiat, Hibah, dan Wakaf, Surabaya, CV. Cempaka, 1997; Wahbah al-Zuhaily, al -Fiqh al -Islamy wa Adillatuh , Vol. 10, Beirut,Dar al-Fikr, 1999; ---------------, al -Tafsir al-Munir, vol. 2, Beirut, Dar al-Fikr, 1991;