Download Bakteriofag sebagai Potensi Baru Tata Laksana Infeksi Bakteri

Survey
yes no Was this document useful for you?
   Thank you for your participation!

* Your assessment is very important for improving the workof artificial intelligence, which forms the content of this project

Document related concepts
no text concepts found
Transcript
Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB)
Bakteriofag sebagai Potensi Baru
Tata Laksana Infeksi Bakteri Resisten
Bayushi Eka Putra,* Anis Karuniawati**
*Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
**Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Abstrak: Resistensi bakteri terhadap antibiotik merupakan kendala yang sangat serius dalam
proses terapi infeksi bakteri. Munculnya bakteri resisten antibiotik dapat menyebabkan
penyebaran infeksi dan infeksi berat sehingga berujung pada peningkatan biaya terapi, bahkan
kematian atau kecacatan pada kasus infeksi yang tidak tertangani. Bakteriofag, suatu jenis
virus yang mampu secara spesifik menyerang bakteri, telah dikembangkan sebagai alternatif
terapi. Penelitian tentang bakteriofag berkembang cukup pesat, mengingat semakin dekatnya
era post-antibiotic. Sebagai musuh alami bakteri, bakteriofag berpotensi untuk dimanfaatkan
sebagai terapi pada kasus infeksi bakteri yang resisten terhadap antibiotik. J Indon Med
Assoc. 2012;62:113-7.
Kata kunci: Resistensi antibiotik, bakteriofag, era post-antibiotic
Bacteriophage As New Potential Management of
Resistant Bacterial Infection
Bayushi Eka Putra,* Anis Karuniawati**
*Faculty of Medicine Universitas Indonesia, Jakarta
**Microbiological Department of Faculty of Medicine Universitas Indonesia, Jakarta
Abstract: Antibiotic resistance become a serious problem in the treatment of bacterial infection.
The emerge of antibiotic resistance will cause advanced spread of infection in the affected patient
leading to septic shock that increase cost of therapy, or even death if uncontrollable. Bacteriophage or so called phage, a virus that attack bacteria specifically, is now being developed to be a
therapeutic agent. The study on this microbe is progressing to anticipate the approaching postantibiotic era. As a natural enemy of bacteria, bacteriophage may be potential to be used in
therapy for special cases of infection due to bacterial resistance. J Indon Med Assoc. 2012;62:1137.
Keywords: antibiotic resistance, bacteriophage, post-antibiotic era
Korespondensi: Bayushi Eka Putra, [email protected]
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 3, Maret 2012
113
Bakteriofag sebagai Tata Laksana Infeksi Bakteri Resisten
Pendahuluan
Resistensi bakteri terhadap antibiotik merupakan
masalah serius yang harus menjadi perhatian para penyedia
layanan kesehatan. Bakteri penyebab infeksi yang resisten
terhadap sejumlah antibiotik telah ditemukan di seluruh dunia,
sebagai contoh: multidrug-resistance tuberculosis (MDRTB), extensively drug-resistant tuberculosis (XDR-TB), methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Kondisi
tersebut akan berakibat pada peningkatan biaya pengobatan,
lama perawatan pasien, serta kejadian mortalitas dan morbiditas akibat infeksi bakteri yang resisten.1
Harus disadari bahwa sebenarnya proses resistensi
bakteri merupakan fenomena alami. Hal tersebut dibuktikan
dalam penelitian yang dilakukan oleh D’costa, et al2 melalui
analisis metagenomik bahwa gen yang merepresentasikan
resistensi bakteri terhadap b-lactam sudah ditemukan bahkan
sebelum dimulainya era penggunaan antibiotik. Fenomena
resistensi teradap antibiotik kemudian dipercepat dengan
maraknya penggunaan antibiotik yang tidak rasional.
Penggunaan obat yang rasional didefinisikan oleh WHO
sebagai penggunaan obat yang tepat, dengan dosis yang
tepat, pasien yang tepat, pada jangka waktu yang tepat, dan
dengan biaya seminimal mungkin 3,4 Antibiotik yang
digunakan dengan kondisi di luar definisi di atas disebut
sebagai penggunaan antibiotik yang irasional.4,5 Sifat alami
resistensi bakteri terhadap antibiotik dan adanya penggunaan antibiotik yang irasional mempercepat peningkatan
jenis bakteri yang resisten serta sulitnya mengatasi infeksi
oleh bakteri tersebut. Kondisi ini diperberat dengan sulitnya
menemukan antibiotik jenis baru dan semakin sedikitnya
antibiotik baru yang diproduksi oleh industri farmasi.
Dalam memasuki era post-antibiotic, telah dikembangkan alternatif terapi infeksi menggunakan bakteriofag.
Penggunaan bakteriofag masih terbatas dan belum tersebar
luas, tetapi di masa mendatang memiliki potensi untuk
mengatasi masalah resistensi bakteri terhadap antibiotik.
Pembahasan mengenai bakteriofag ini dimaksudkan untuk
meningkatkan pengetahuan yang meliputi potensi dan
keterbatasan bakteriofag dalam mengatasi infeksi bakteri
yang resisten kepada sejawat sesama penyedia pelayanan
kesehatan dan peneliti pengembangan anti mikroba.
Bakteriofag
Bakteriofag merupakan virus yang memiliki sifat sesuai
dengan namanya, yaitu: “bacteria” yang berarti bakteri dan
“phagein” yang berarti makan. Sehingga diartikan sebagai
pemakan bakteri.6 Bakteriofag pertama kali diperkenalkan
oleh d’Herelle di Paris pada tahun 1919 sebagai terapi infeksi
bakteri. Namun demikian, penelitian tentang penggunaan
bakteriofag sebagai alternatif terapi penyakit infeksi
mengalami kemunduran ketika memasuki era antibiotik,
karena penggunaannya yang cenderung kurang praktis
dibandingkan dengan antibiotik.6, 7
114
Sifat Bakteriofag
Berdasarkan sifatnya dalam menginfeksi bakteri,
terdapat 2 jenis bakteriofag yaitu lytic dan lysogenic bacteriophage. Ciri virus bakteriofag yang dapat digunakan
sebagai terapi adalah memiliki kapabilitas dasar sebagai lytic
phages, yaitu menginfeksi dan membunuh sel bakteri dengan
melisiskan bakteri. Lysogenic phages merupakan jenis virus
yang berintegrasi dengan asam nukleat bakteri terinfeksi. Pada
saat ini jenis faga tersebut belum dapat digunakan sebagai
terapi, karena akan mengalami fase dorman di dalam sel
pejamu; dapat menghambat bakteriofag jenis yang sama
masuk; serta seringkali memiliki gen toksik didalam
genomnya. Penelitian untuk mengatasi hal tersebut sedang
dikembangkan, sehingga diharapkan lysogenic phages
nantinya dapat digunakan sebagai terapi.7
Klasifikasi Bakteriofag
Pada akhir abad ke 20, telah ditemukan sebanyak 5100
jenis bakteriofag yang kemudian diklasifikasikan menjadi 13
famili berdasarkan morfologi, jenis asam nukleat, serta ada
tidaknya kapsid.8
Sebagian besar bakteriofag (96% atau 4950 bakteriofag)
merupakan bakteriofag berekor, yang terdiri dari ekor dan
kepala yang ikosahedral. Bakteriofag berekor diklasifikasikan
dalam 3 famili dari bentuk morfologis ekornya:
a. Myoviridae (25,1%) yang memiliki ekor kontraktil,
contohnya: KVP20, KVP40, dan KVP241
b. Siphoviridae (60,8%) yang memiliki ekor panjang
nonkontraktil, contohnya: φMR11 dan λ
c. Podoviridae (14,1%) yang memiliki ekor sangat pendek,
contohnya: T7
Sebanyak 10 famili lainnya (4950 bakteriofag) hanya
berjumlah sekitar 4% dari total bakteriofag dengan bentuk
kubik, filamentosa, atau pleomorfik.7, 8
Cara Kerja Bakteriofag
Bakteriofag jenis lytic phages mampu melisiskan sel
bakteri melalui tahapan adsorpsi dan injeksi, replikasi, packaging, completion, dan disrupsi sel membran.
Dalam tahapan adsorpsi dan injeksi, bakteriofag
berikatan dengan reseptor pada permukaan sel bakteri yang
biasanya berupa rangkaian protein atau gula. Sebagian besar
bakteriofag bersifat spesifik terhadap reseptor tersebut,
namun ada sejumlah kecil bakteriofag disebut dengan polyvalent phages yang memiliki potensi untuk menginfeksi
berbagai macam spesies bakteri. Spesifisitas sel target yang
tinggi merupakan sebuah keuntungan, karena bila digunakan
sebagai terapi infeksi bakteri, faga tidak akan menyerang flora
normal ataupun sel tubuh manusia. Setelah terjadi adesi, DNA
bakteriofag diinjeksikan ke dalam sitoplasma bakteri. DNA
tersebut menjadi mRNA yang tugasnya membentuk bagianbagian dari virus untuk proses replikasi. Setelah komponenkomponen bakteriofag telah lengkap, asam nukleat hasil
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 3, Maret 2012
Bakteriofag sebagai Tata Laksana Infeksi Bakteri Resisten
replikasi akan masuk ke dalam kapsid (tahap packaging),
dan akan digabungkan dengan komponen lainnya seperti
bagian leher dan ekor (tahap completion). Bakteriofag yang
telah terbentuk secara sempurna akan keluar dari bakteri
dengan menggunakan enzim holin dan endolisin, yang
diproduksi melalui pengkodean DNA bakteriofag. Lisin
berfungsi sebagai hidrolase peptidoglikan, sedangkan holin
membentuk lubang pada membran sel, sehingga
mempermudah lisin untuk menembus lapisan luar bakteri
yang merupakan lapisan peptidoglikan.7, 9
Potensi dan Ciri Khusus Bakteriofag
Bakteriofag memiliki beberapa ciri khas yang sekaligus
merupakan kelebihannya dibandingkan antibiotik dalam
terapi infeksi, yaitu:
a.
Tingkat spesifisitas yang tinggi
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa bakteriofag bersifat
spesifik terhadap reseptor pada sel bakteri tertentu.
Berdasarkan sifat spesifisitasnya yang tinggi tersebut,
penggunaan bakteriofag bersifat aman karena tidak
menyerang sel lain selain bakteri yang menjadi target
utama bakteriofag tersebut, berbeda dengan antibiotik
yang juga dapat membunuh bakteri yang merupakan
flora normal.9
b. Potensi terjadinya resistensi yang rendah
Timbulnya resistensi bakteri terhadap bakteriofag bukan
tidak mungkin akan muncul, walaupun demikian
kemungkinannya jauh lebih kecil dibandingkan
terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik.
Bakteriofag memiliki kemampuan yang lebih tinggi untuk
melakukan mutasi dan replikasi dibandingkan bakteri
secara in vivo, dengan kata lain kemampuan adaptasi
bakteri cenderung lebih inferior dibandingkan bakteriofag.10 Walaupun demikian, pertimbangan untuk
terapi gabungan antara bakteriofag dengan antibiotik
dapat menjadi pemikiran selanjutnya untuk meningkatkan efektivitas kerja dari bakteriofag dan antibiotik
serta mencegah kemungkinan terjadinya resistensi.11
c.
Stabilitas yang tinggi
Bakteriofag akan selalu menyesuaikan diri dengan
jumlah bakteri yang menjadi target spesifik. Semakin
berkurangnya jumlah bakteri dalam tubuh manusia, maka
semakin berkurang jumlah bakteriofag. Hal ini terjadi
karena virus hanya dapat hidup di dalam pejamu yang
spesifik.10
Uji Coba Bakteriofag
Uji Coba Bakteriofag Secara In vitro dan In vivo
Selain penelitian paparan bakteriofag pada S.aureus,
telah dilakukan penelitian yang sama pada penyebab infeksi
nosokomial lain yaitu Clostridium difficile. C.difficile adalah
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 3, Maret 2012
penyebab diare yang seringkali sulit dieradikasi karena
berpotensi menjadi resisten terhadap beberapa macam
antibiotik, seperti metronidazol dan vancomycin. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Maeder, et al 12
penggunaan bakteriofag profilaksis secara in vitro terbukti
mencegah pertumbuhan C.difficile yang berlebihan dan
mengurangi produksi toksin. Dalam penelitian ini dibuktikan
bahwa metronidazol memiliki efektivitas kerja yang tinggi
dalam eradikasi C.difficile secara in vitro. Namun demikian,
antibiotik tersebut tidak bersifat selektif, sehingga flora normal enterokokus lainnya ikut mati diikuti peningkatan
pertumbuhan batang gram negatif. Hal ini tidak terjadi pada
penggunaan bakteriofag.
Selain secara in vitro, berbagai macam penelitian secara
in vivo membuktikan bahwa bakteriofag berhasil mengobati
infeksi oleh E.coli pada tikus, sapi muda, domba, dan babi;
serta infeksi Pseudomonas aeruginosa dan Acinetobacter
pada tikus dan hamster.
Salah satu uji coba yang dilakukan oleh Matsuzaki et
al13 adalah membandingkan kondisi tikus yang diberikan
(kelompok terapi) dan yang tidak diberikan bakteriofag
(kelompok kontrol). Kedua kelompok uji secara bersamaan
disuntik 43 jenis methycillin sensitive Staphylococcus aureus
(MSSA) dan 29 jenis methycillin resistant Staphylococcus
aureus (MRSA), yang di antaranya terdapat 2 tipe vancomycin resistant Staphylococcus aureus (VRSA). Setelah
penyuntikan S. aureus (8 x 108 sel), kelompok kontrol
mengalami bakteremia dan akhirnya mati.
Percobaan lain yang serupa dilakukan oleh Biswas, et
al,14 menggunakan bakteriofag untuk terapi infeksi oleh Vancomycin Resistant Enterococcus faecium (VRE) pada tikus.
Kelompok kontrol, yaitu tikus yang tidak diberikan terapi
bakteriofag, mengalami bakteremia dan kemudian mati setelah
diberikan injeksi bakteri sebanyak 109 CFU bakteri secara
intraperitoneal. Kelompok perlakuan, yaitu tikus yang
mendapatkan terapi bakteriofag 45 menit setelah injeksi VRE,
seluruhnya tetap hidup. Berdasarkan penelitian tersebut,
telah dibuktikan bahwa 50% tikus yang mengalami bakteremia
dapat disembuhkan setelah pemberian bakteriofag.
Terapi Bakteriofag Pada Manusia
Penggunaan bakteriofag sebagai terapi pada manusia
mulai berkembang secara pesat setelah diketahui efikasinya
pada percobaan hewan dan percobaan d’Herelle pada
manusia. Namun berbagai macam masalah timbul dalam
pengakuan penelitian tersebut karena tidak digunakan
kelompok kontrol, dan bakteriofag diujicobakan setelah
antibiotik tidak memberikan hasil yang bermakna.9
Dalam sejarah bakteriofag telah digunakan untuk terapi
pada berbagai masalah infeksi: otolaringologi, gastroenterologi, oftalmologi, dermatologi, pediatrik, ginekologi,
bedah, urologi, dan pulmonologi. 9 Salah satu contoh
penelitian yang menunjukkan efikasi bakteriofag dipaparkan
dalam studi yang dilakukan oleh Weber, et al13 dari Hirszfeld
115
Bakteriofag sebagai Tata Laksana Infeksi Bakteri Resisten
Institute of Immunology and Experimental Therapy
Polandia. Dalam studi yang dilakukan oleh Weber, subjek
penelitian adalah 94 orang pasien dengan kondisi sepsis
yang tidak berhasil ditangani dengan terapi antibiotik. Dari
seluruh pasien yang tergabung dalam subjek penelitian, 33
pasien diantaranya mengalami infeksi yang monomikrobial
(15 pasien terinfeksi Staphylococcus aureus, 8 pasien
terinfeksi Pseudomonas aerigunosa, 7 pasien terinfeksi
Escheriecia coli, 3 pasien terinfeksi Klebsiella pneumoniae)
dan 61 pasien lainnya mengalami infeksi polimikrobial. Sebanyak 71 pasien mendapatkan terapi kombinasi bakteriofag
dan antibiotik, sedangkan 23 pasien hanya bakteriofag. Hasil
terapi menunjukkan bahwa 85,1% dari seluruh pasien (80
pasien) mengalami penyembuhan secara total dan tidak
ditemukan perbedaan bermakna antara pasien yang diobati
kombinasi dan tunggal. Hasil tersebut berbeda dengan hasil
penelitian pada tikus yang tingkat penyembuhannya
meningkat dengan kombinasi antara bakteriofag dengan
antibiotik.9 Perbedaan hasil penelitian in vivo tersebut perlu
dibuktikan lebih lanjut melalui penelitian penggunaan
bakteriofag sebagai terapi tunggal dan kombinasi dengan
antibiotik.
Penerapan Terapi Bakteriofag dan Potensinya di Masa
Mendatang
Bakteriofag berpotensi maksimal apabila digunakan
untuk mengatasi kasus-kasus tertentu:
a. Pada pasien dengan imunitas yang buruk. Faga mampu
membunuh bakteri secara langsung, sedangkan antibiotik bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding
sel, protein, DNA gyrase, dan lainnya, sehingga pada
pemberian antibiotik peran sistem imun masih dibutuhkan.9, 15
b. Infeksi oleh bakteri yang resisten terhadap beberapa
antibiotik. Beberapa penelitian membuktikan bahwa jenis
bakteriofag tertentu secara in vitro dapat membunuh
84% populasi bakteri methycillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA), 98% VRE, 53% Pseudomonas
aeruginosa, serta berbagai spesies bakteri lainnya.9
c. Sebagai desinfektan permukaan benda-benda yang
berpotensi menjadi sumber infeksi di rumah sakit.9
Efek samping terapi bakteriofag yang sering dikeluhkan
oleh pasien adalah meningkatnya suhu tubuh hingga 3839oC dan sakit kepala, sedangkan efek samping yang bersifat
mematikan belum pernah dilaporkan.9
Mengingat spesifisitas bakteriofag yang tinggi, penggunaan bakteriofag sebagai terapi harus didahului penentuan
spesies bakteri penyebab infeksi.9 Pada keadaan tertentu,
identifikasi bakteri patogen dari sumber infeksi membutuhkan
waktu beberapa hari serta tidak selalu dapat dilakukan.
lakukan sebanyak satu kali, karena jumlah bakteriofag dalam
tubuh manusia akan menyesuaikan dengan jumlah bakteri.
Semakin banyak jumlah bakteri, jumlah bakteriofag akan
meningkat, dan ketika jumlah bakteri menurun, bakteriofag
akan kehilangan pejamunya sehingga jumlahnya akan
menurun. Pemberian dosis yang hanya satu kali merupakan
salah satu kelebihan dari terapi bakteriofag karena selain dapat
mempermudah pemberian terapi juga akan meningkatkan
kepatuhan minum obat dibandingkan konsumsi antibiotik.10
Kesimpulan
Resistensi bakteri terhadap antibiotik merupakan
fenomena utama yang menyebabkan perhatian para peneliti
beralih pada bakteriofag, “musuh alami” bakteri, sebagai
terapi penyakit infeksi oleh bakteri. Hingga saat ini,
bakteriofag masih dalam tahap pengembangan walaupun
telah dilakukan berbagai macam penelitian secara in vitro
dan in vivo pada hewan dan manusia. Penggunaan bakteriofag sebagai terapi memberi harapan dalam penanggulangan
infeksi oleh bakteri yang resisten dan tidak ada lagi antibiotik
yang efektif.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Dosis yang digunakan
Pemberian dosis bakteriofag secara teori dapat di-
116
14.
World Health Organization. Antimicrobial Resistance. World
Health Organization; 2012 [updated March 2012; cited 2012
April 17]; Available from: http://www.who.int/mediacentre/
factsheets/fs194/en/.
D’Costa VM, King CE, Kalan L, Moar M, Sung WW, Duane CS,
et al. Antibiotic Resistance is Ancient. Nature. 2011;477(7365):
457-61.
WHO. Medicines: rational use of medicines. World Health Organization; 2010 [updated May 2010; cited 2011 September 18];
Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs338/
en/index.html.
Sadikin ZD. Penggunaan Obat yang Rasional. J Indon Med Assoc.
2011;61(4):145-8.
Chandy SJ. Consequences of Irrational Use of Antibiotics. Indian
J Med Ethics. 2008;5(4):174-5.
Sulakvelidze A, Alavidze Z, Morris JG Jr. Bacteriophage therapy.
Antimicrob Agents Chemother. 2001 Mar;45(3):649-59.
Matsuzaki S, Rashel M, Uchiyama J, Sakurai S, Tani T, Fujieda M,
et al. Bacteriophage therapy: a revitalized therapy against bacterial infectious diseases. J Infect Chemother. 2005;11(1):211-9.
Ackermann HW. Frequency of Morphological Phage Descriptions In The Year 2000. Arch Virol. 2001;146:843-57.
Chanishvili N, Chanishvili T, Chanishvili M, Barrow PA. Phages
and their application against drug resistant bacteria. Journal of
Chemical Technology and Biotechnology. 2001;76(1):689-99.
Lorch A. Bacteriophages: An Alternative to Antibiotics. Australian Biotechnology. 1999;9(5):265-9.
Lu TK, Koeris MS. The Next Generation of Bacteriophage
Therapy. Current Opinion in Microbiology Therapy. 2011;14:
524-31.
Meader E, Mayer MJ, Gasson MJ, Steverding D, Carding SR,
Narbad A. Bacteriophage treatment significantly reduces ciable
Clostridium difficile and prevents toxin production in an in vitro
model system. Anaerobe. 2010;16:549-54.
Weber-Dabrowska B, Mulczyk M, GÛrski A. Bacteriophages as
an efficient therapy for antibiotic-resistant septicemia in man.
Transplantation Proceedings. 2003;35(4):1385-6.
Biswas B, Adhya S, Washart P, Paul B, Trostel AN, Powell B, et
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 3, Maret 2012
Bakteriofag sebagai Tata Laksana Infeksi Bakteri Resisten
al. Bacteriophage therapy rescues mice bacteremic from a clinical isolate of vancomycin-resistant Enterococcus faecium. Infect Immun. 2002 Jan;70(1):204-10.
15. Borysowski J, GÛrski A. Is phage therapy acceptable in the
immunocompromised host? International Journal of Infectious
Diseases. 2008;12(5):466-71.
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 3, Maret 2012
16. Fischetti VA. Bacteriophage endolysins: A novel anti-infective
to control Gram-positive pathogens. International Journal of
Medical Microbiology. 2010;300:357-62.
YD
117