Survey
* Your assessment is very important for improving the workof artificial intelligence, which forms the content of this project
* Your assessment is very important for improving the workof artificial intelligence, which forms the content of this project
Proyeksi Pengaruh Pencairan Es terhadap Sea Level Rise ...........................................................................(Sofian, I) PROYEKSI PENGARUH PENCAIRAN ES TERHADAP SEA LEVEL RISE DENGAN MENGGUNAKAN DATA ALTIMETER DAN MODEL (Projection of Ice Melting Contribution on the Sea Level Rise by Using Altimeter Data and Model) oleh/by : 1 Ibnu Sofian 1 Peneliti Balai Geomatika BAKOSURTANAL Jl. Raya Jakarta Bogor KM.46, Cibinong, Bogor (021) 875 6041 Email : [email protected] Diterima (received): 5 Januari 2011; Disetujui untuk dipublikasikan (accepted): 20 Mei 2011 ABSTRAK Estimasi penghitungan kontribusi mencairnya es (CIM, contribution of ice melting) terhadap Sea Level Rise (SLR) dilakukan dengan menggunakan data altimeter dan model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pengaruh CIM tidak seragam tergantung dari lokasi geografisnya.Tren SLR altimeter, SODA (Simple Ocean Data Assimilation) dan ECCO (Estimating Circulation and Climate of the Ocean), masing-masing adalah 0.67 , 0.49 dan 0.13 cm/tahun. Rendahnya SLR ECCO disebabkan karena model ECCO dihitung tanpa memasukkan ice-model dan asimilasi data observasi. Sementara itu, SODA menggunakan data observasi dalam estimasi sea level dengan metode asimilasi.Selanjutnya, tingkat kenaikan CIM berkisar antara 0.2 - 0.6 cm/tahun. Besarnya akselerasi kenaikan CIM ini lebih banyak dipengaruhi oleh kenaikan temperatur. Dengan semakin tingginya konsentrasi GRK (Gas Rumah Kaca) di atmosfir, maka tingkat kenaikan CIM akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. Selanjutnya, proyeksi CIM tahun 2030 berkisar antara 5 – 20 cm, dan tahun 2100 berkisar antara 20 – 65 cm. Pada akhirnya, bervariasinya nilai CIM menunjukkan bahwa tidak memungkinkan untuk menentukan proyeksi SLR secara presisi baik menggunakan model fisis maupun metode statistik, meskipun mungkin SLR akan mencapai 2 m pada tahun 2100. Kata Kunci: Proyeksi, Pencairan Es, Kenaikan Tinggi Muka Laut, Altimeter, Model ABSTRACT The estimation of contribution of ice melting (CIM) on sea level rise (SLR) is conducted using altimeter and model-estimated sea levels. It is found that, the impacts of CIM is inhomogeneous depends on the geographical location. Altimeter, SODA and ECCOestimated SLR are 0.67, 0.49 and 0.13 cm/yr, respectively. The low ECCO-estimated SLR is caused by the ECOO that not including the ice-model and the assimilation with the observational data. On the contrary, SODA uses the observational data for estimate the sea level by using the assimilation method. Furthermore, CIM rise rate varies from 0.2 to 0.6 cm/yr. The rising temperature mainly causes this high CIM rise rates. With the rising of green house gasses concentration in the atmosphere, the CIM rise will be getting higher. The CIM are from 5 to 20 cm and from 20 to 65 cm in 2030 and 2100, respectively. Finally, these CIM 15 Globë Volume 13 No 1 Juni 2011 : 15 - 21 show that sea level rise cannot be precisely predicted by physical model and other statistical method, although the sea level probably will be rise more than 2 m in 2100. Keywords: Projection, Ice Melting, Sea Level Rise, Altimeter, Model PENDAHULUAN Kontribusi mencairnya es terhadap kenaikan tinggi muka laut (SLR, sea level rise) merupakan topik yang cukup menarik dalam konteks pemanasan global dan perubahan iklim. Apabila semua es meleleh, masing-masing, Greenland dan Antartika Barat akan menaikkan sea level sekitar 7m dan 3m sampai 5m. Dengan demikian, mencairnya es dalam jumlah yang sedikit sekalipun, akan berpengaruh terhadapSLR yang cukup tinggi, dengan dampak sosial ekonomi yang tinggi pada daerah dataran rendah di pesisir (Cazenave and Llovel, 2010). Proyeksi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) AR4 terhadap pencairan es, didasarkan pada perbedaan massa es mencair dan massa es yang terbentuk. Karena massa es mencair lebih besar dibandingkan dengan pembentukan es, maka lapisan es di Greenland berkontribusi pada kenaikan permukaan laut (Ridley, et al, 2005). Sebaliknya, Antartika diproyeksi-kan mengalami peningkatan pembentukan dan penimbunan es, sehingga penimbunan es di Antartika dan mencairnya es di Greenland akan saling meniadakan satu sama lain. Dengan demikian, sebagian besar kontribusi mencairnya es terhadap kenaikan sea level hanya terbatas pada mencairnya gletser dan tutupan es di daerah pegunungan (Meehl, et al, 2007). Rahmstorf (2007) melakukan proyeksi Sea Level Rise (SLR) pada akhir abad ke21, dengan menggunakan hubungan antara SLR dan suhu permukaan laut.SLR pada akhir abad ke-21, berkisar antara 50 - 140cm, relatif terhadap sea level pada tahun 1990. Hasil proyeksi SLR ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil proyeksi SLR dalam IPCC AR4. Sementara itu, kontribusi penambahan massa air karena pencairan es terhadap 16 kenaikan sea level sebelum tahun 1990, hanya terbatas pada mencairnya gletser (Bindoff, et al, 2007). Sehingga, prediksi Rahmstorf's (2007) tidak termasuk SLR karena mencairnya es di Antartika dan Greenland. Abdalati (2006) berpendapat bahwa jika seluruh lapisan es di bumi mencair, maka kontribusi es ini berpotensi menaikkan sea level sekitar 70m, dan sebagian besar es ini terletak di daerah kutub yang sangat sensitif. Meskipun, perubahan besar ini mungkin akan memakan waktu ribuan tahun, tetapi dari hasil penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa respon perubahan massa es akibat perubahan iklim yang terjadi, lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya (Abdalati, 2006). Bryan (1996) menghitung thermosteric (kenaikansea level karena bertambahnya volume air laut akibat kenaikan suhu) SLR dengan menggunakan model laut untuk meniadakan pengaruh dan kontribusi mencairnya es terhadap karakteristik sea level. Hasil model menunjukkan bahwa rata-rata SLR sekitar 15 ± 5cm yang diakibatkan olehCO2di atmosfer, dengan tingkat kenaikan CO2dua kali lipat selama 80 tahun model berjalan. Di sisi lain, dengan menggunakan model laut dan data altimeter, Ishii et al (2006) menjelaskan bahwa hampir setengah dari kenaikan permukaan laut baru-baru ini, merupakan dampak dari ekspansi termal di wilayah tropis dan subtropis antara 60°S sampai 60°N. Selanjutnya, thermosteric SLR dari tahun 1955 sampai 2003 mencapai 0.35±0.08mm/tahun (Ishii et al, 2006.). Selain itu, Antonov et al. (2005) menjelaskan bahwa kontribusi ekspansi termal air laut dari kedalaman 0 - 700m sekitar 0.33mm/tahun terhadap global SLR dari tahun 1955 sampai 2003, dengan total thermosteric SLR, sekitar 1.23mm/yr dari tahun 1993 sampai 2003 berdasarkan Proyeksi Pengaruh Pencairan Es terhadap Sea Level Rise ...........................................................................(Sofian, I) data altimeter. Selanjutnya, Cabanes et al (2001) juga melaporkan bahwa total SLR dari tahun 1993 sampai 1998 sekitar 3.2±0.2mm/yr. Pencairan es di Greenland telah terjadi sejak tahun 1990-an, dan meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. Meskipun penimbunan es di dataran tinggi terus meningkat karena turunnya salju, tetapi mencair dan lepasnya lapisan es di daerah pesisir dan dataran rendah jauh lebih besar dan lebih intensif. Tingkat mencairnya es di Greenland mencapai 100 giga ton per tahun (Gt/tahun) pada akhir 1990-an, dan meningkat menjadi 200 Gt/tahun pada tahun 2006 (Steffen, et al., 2009) (360 Gt es setara dengan kenaikan 1mm SLR). Sementara itu, laju perubahan massa es di Antartika mencapai 80 Gt/tahun pada tahun 1990, dan meningkat menjadi 130 Gt/tahun pada tahun 2006 (UNEP/GRID-Arendal, 2007). Selanjutnya, pengaruh mencairnya es terhadap akselerasi kenaikan SLR sekitar 0.4mm/yr (tahun 2002 - 2005) (Velicogna and Wahr, 2006) dan 0.25mm/yr (dari tahun 1993 sampai 2003) (Abdalati, 2006), masing-masing dari Antartika dan Greenland. Gambar 1 menunjukkan hasil rekonstruksi SLR dari data pasang surut global yang menunjukkan bahwa telah terjadi kenaikan sea level sebesar 20cm sejak tahun 1870. SLR hanya 0.9mm/tahun pada awal abad ke-19 dan meningkat menjadi 3.0mm/tahun pada beberapa dekade terakhir ini. Selanjutnya, jika tingkat kenaikan SLR ini berlanjut, maka SLR rate pada akhir abad ke-21, akan mencapai 1.5cm/tahun, dan global sea level akan naik sebesar ±60cm pada tahun 2100 relatif terhadap sea level tahun 2000. Dunamic SLR pada Gambar 1, diperoleh berdasar-kan data pasang surut dan altimeter dari tahun 1993 sampai 2010 (Hansen, 2010). Studi ini dilakukan untuk menghitung kontribusi mencairnya es (CIM, contribution of ice melting) terhadap SLR di perairan Indonesia. Selain itu, studi ini juga menyajikan proyeksi SLR sampai tahun 2100 berdasarkan perubahan CIM dari hasil pengukuran dengan data altimeter relatif terhadap hasil model laut tanpa perhitungan perubahan massa air laut karena mencairnya es. Gambar 1. Dynamic SLR dari tahun 1870 sampai 2010 dengan SLR tahun 1870 sampai 2001. DATA DAN METODE PENELITIAN Data Data sea level yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Data altimeter dari tahun 1993 sampai 2008 dari AVISO dengan resolusi 0.33°Lon/Lat (AVISO, 2009). 2. Data Simple Ocean Data Assimilation (SODA) dari tahun 1993 sampai 2008 (Carton et al, 2000). 3. Data Estimating Circulation and Climate of the Ocean (ECCO) dari tahun 1993 sampai 2008. Metode Penelitian Analisa yang digunakan untuk estimasi CIM dalam penelitian ini terdiri dari: 1. Trend analysis yang merupakan analisa regresi terhadap waktu dengan menggunakan formula Persamaan 1. (1) dimana masing-masing, adalah proyeksi , , dan sea level, 17 Globë Volume 13 No 1 Juni 2011 : 15 - 21 intercept, dan rise rate. Sementara itu, adalah waktu dalam tahun. 2. Analisa komparatif dengan membandingkan antara sea level berdasarkan data observasi altimeter dan hasil model dengan menggunakan formula Persamaan 2. (2) dimana , dan altimeter, SODA dan ECCO, masingmasing adalah 0.67cm/tahun, 0.49cm/tahun dan 0.13cm/tahun. Rendahnya SLR observasi ECCO disebabkan karena model ECCO dihitung tanpa memasukkan ice-modeldan asimilasi data observasi. Sementara itu, SODA menggunakan data observasi dalam estimasi sea level dengan metode asimilasi. , masing-masing adalah kontribusi mencairnya es, sea level hasil observasi altimeter dan estimasi sea level dengan model. HASIL DAN PEMBAHASAN Estimasi CIM Time-series sea level di perairan Indonesia dari Januari 1993 sampai Desember 2008, ditampilkan pada Gambar 2. Data sea level perairan Indonesia dihitung dengan menggunakan nilai rata-rata sea level dari 90°E sampai 150°E dan -15°S sampai 15°N. Secara umum sea level hasil observasi altimeter lebih tinggi dibandingkan estimasi model ECCO maupun SODA. Perbedaan ketinggian tersebut semakin besar seiring dengan bertambahnya waktu. Sementara itu, baik altimeter dan hasil model menunjukkan pola dan karakteristik yang sama, dari tahun 1993 sampai 1998. Pengaruh variabilitas iklim seperti El Nino dan La Nina terlihat jelas pada karakteristik sea level. Selama periode El Nino 1997/1998 terlihat penurunan sea level sekitar 10cm dan kenaikan sea level pada fase La Nina 1999/2000 sekitar 10cm. Sementara itu, terlihat juga penurunan sea level dari tahun 2001 sampai 2005, yang disebabkan karena intensifnya periode El Nino lemah, pada periode ini. Selanjutnya, Gambar 2 juga menunjuk-kan bahwa tren SLR hasil observasi altimeter lebih tinggi dibandingkan dengan hasil model SODA maupun ECCO, dengan tren SLR 18 Gambar 2. Time-series sea level dari tahun 1993 - 2008, berdasarkan data altimeter SODA dan ECCO model. Selanjutnya, distribusi dampak mencairnya es dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3a menunjukkan perubahan sea level dari tahun 1993 hingga 2008 hasil pengamatan altimeter. Sedangkan, Gambar 3b dan 3c menunjukkan distribusi spasial perbedaan sea level antara altimeter dan model dari tahun 1993 sampai 2008. Kontribusi mencairnya es terhadap sea level tidak homogen tergantung dari letak geografisnya (Gambar 3b dan 3c). Estmasi sea level berdasarkan SODA model cenderung over-estimate dengan tingginya sea level di Samudera Pasifik, dan rendah di Samudera Hindia. Sehingga perbedaan sea level antara altimeter dan SODA (CIM), rendah di Samudera Pasifik dan tinggi di Samudera Hindia (Gambar 3b). Over estimasi sea level dari model SODA ini mungkin disebabkan oleh penggunaan metode asimilasi dalam perhitungan sea level dengan memasukkan data observasi Proyeksi Pengaruh Pencairan Es terhadap Sea Level Rise ...........................................................................(Sofian, I) baik altimeter maupun data pasang surut ke dalam perhitungan model. Proyeksi CIM sampai tahun 2100 Proyeksi kontribusi mencairnya es terhadap SLR ditampilkan pada Gambar 4.CIM dihitung dengan menggunakan persamaan (2) dan tingkat kenaikan CIM dihitung dengan menggunakan persamaan (1).CIM diperairan Indonesia merupakan rata-rata pengurangan sea level observasi altimeter dengan model dari 90°E sampai 150°E dan -15°S sampai 15°N. a. Altimeter b. Altimeter minus SODA Gambar 4. Tren CIM dari tahun 1993 sampai 2100 berdasarkan data altimeter, ECCO serta SODA model. c. Altimeter minus ECCO Gambar 3. Perbedaan sea level antara altimeter dan model tahun 1993 2008 Sebaliknya, ECCO model cenderung under-estimate, dengan estimasi sea level yang sangat rendah di Samudera Pasifik, dan sedikit lebih rendah di Samudera Hindia dibandingkan dengan observasi altimeter. Meskipun secara umum, CIM di perairan Indonesia, berkisar antara 2cm sampai lebih dari 20cm selama 16 tahun. Pengaruh El Nino kuat tahun 1997/1998 dan La Nina kuat tahun 1999/2000, terlihat jelas pada pola dan karakteristik CIM (altimeter-ECCO). Sementara pengaruh El Nino sedang sampai lemah tidak terlihat dengan jelas. Hal ini mungkin menunjukkan bahwa pencairan es pada periode El Nino melemah dan pada periode La Nina menguat. Hal ini ditandai dengan penguatan heat flux dari arus yang membawa masa air hangat melalui Arlindo (Arus Lintas Indonesia) pada periode La Nina dan pelemahan Arlindo pada periode El Nino (Gordon et al, 2003). Sementara itu, berdasarkan Gambar 4 terlihat juga bahwa tingkat kenaikan CIM berkisar antara 0.2cm/tahun sampai 19 Globë Volume 13 No 1 Juni 2011 : 15 - 21 0.6cm/tahun.Selanjutnya, proyeksi CIM tahun 2030 berkisar antara 5cm sampai 20cm, dan tahun 2100 berkisar antara 20cm sampai 65cm. Sementara itu, SLR pada tahun 2100 akan bervariasi dari 40cm sampai 125cm, dengan asumsi bahwa tingkat kenaikan SLR dari IPCC (2007) yang berkisar antara 20cm sampai 80cm. Besarnya akselerasi CIM ini lebih banyak dipengaruhi oleh kenaikan temperatur, yang dipicu karena konsentrasi GRK (gas rumah kaca) di atmosfir. Dengan semakin tingginya konsentrasi GRK di atmosfir, maka tingkat kenaikan CIM akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. Disamping pengaruh temperatur, akibat berkurangnya daerah yang tertutup es, akan mengakibatkan peningkatan absorbsi gelombang pendek sinar matahari oleh daratan dan lautan, dan pengurangan refleksi oleh permukaan es. Proses ini mempercepat akselerasi pemanasan global, dan pada akhirnya akan mengaki-batkan makin tingginya tingkat kehilangan es di Greenland dan Antartika. Peningkatan akselerasi pemanasan global, selanjutnya juga mempertinggi tingkat kenaikan SLR karena proses thermosteric (ekspansi termal karena peningkatan suhu laut). Sehingga, seiring bertambahnya waktu, perubahan SLR dapat berubah menjadi efek eksponensial dengan SLR lebih dari 2m pada tahun 2100. Pada akhirnya, bervariasinya nilai CIM menunjukkan bahwa tidak memungkinkan untuk menentukan proyeksi SLR secara presisi baik menggunakan model fisis maupun metode statistik, meskipun mungkin SLR akan mencapai 2m pada tahun 2100. Gambar 5, menunjukkan positive feedback mencairnya es dan peningkatan suhu permukaan (UNEP/ GRIDARENDAL, 2007) 20 . Gambar 5. Positive feedback antara mencairnya es dan peningkatan suhu permu-kaan KESIMPULAN Dari hasil dan pembahasan, beberapa hal mendasar tentang pengaruh CIM perairan Indonesia, dapat disimpulkan seperti berikut: 1. Kontribusi mencairnya es terhadap sea level (CIM) tidak homogen tergantung dari letak geografisnya. 2. Pengaruh El Nino kuat tahun 1997/1998 dan La Nina kuat tahun 1999/2000, terlihat jelas pada pola dan karakteristik CIM. Sementara pengaruh El Nino sedang sampai lemah tidak terlihat dengan jelas. 3. Penguatan heat transfer melalui Arlindo pada fase La Nina, mungkin merupakan salah satu indikator dan penyebab terjadinya penguatan CIM. Sebaliknya, pelemahan Arlindo yang membawa air hangat pada periode El Nino menye-babkan pelemahan CIM pada fase ini. 4. Tingkat kenaikan CIM berkisar antara 0.2cm/tahun sampai 0.6cm/tahun. Bervariasinya nilai CIM ini menunjukkan bahwa tidak memungkinkan untuk menentukan proyeksi SLR secara presisi baik menggunakan model fisis maupun metode statistik, meskipun dimungkinkan SLR akan mencapai 2m pada tahun 2100. Proyeksi Pengaruh Pencairan Es terhadap Sea Level Rise ...........................................................................(Sofian, I) DAFTAR PUSTAKA Abdalati, W. 2006. Recent Changes in High-Latitude Glaciers, Ice Caps and Ice Sheets, Weather-April 2006. 61, 4, 95-101. Antonov, J. I., S. Levitus and T. P. Boyer 2005. Thermosteric sea level rise, 1955–2003, Geoph. Res. Lett, VOL. 32, L12602, pp. 1-4. AVISO. 2009. Salto/Duacs User Handbook : (M) SLA and (M) ADT Near-Real Time and Delayed Time Products, SALP-MU-P-EA-21065-CLS. Edition 1.10. Bindoff, N.L., Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M. Tignor, and H.L. Miller. 2007. Observations: Oceanic Climate Change and Sea Level. In: Solomon S, et al. (eds.). Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovern-mental Panel on Climate Change. Cambridge University Press. Cam-bridge, United Kingdom. 385432. Bryan, K. 1996. The Steric Component of Sea Level Rise Associated with Enhanced Greenhouse Gasses: a Model Study. Climate Dynamic. 12, 545-555. Cabanes, C., A. Cazenave and C. L. Provost. 2001. Sea Level Rise During 40 years Determined from Satellite and In-Situ Observations. Science. 294, 840-842 Carton, J.A., G. Chepurin**, X. Cao, and B.S. Giese. 2000: A Simple Ocean Data Assimilation analysis of the global upper ocean 1950-1995, Part 1: Methodology. J. Phys. Oceanography. 30, 294-309. Cazenave, A. and W. Llovel. 2010. Contemporary of Sea Level Rise. Annual Review of Marine Science. Vol. 2, 145-173. Gordon, A. L., R. D. Susanto, and K. Vranes. 2003. Cool Indonesian Throughflow as a Consequence of Restricted Surface Layer Flow. Nature. 425, 824-828. Ishii, M., M. Kimoto, K. Sakamoto and S. Iwasaki. 2006. Steric sea level changes estimated from historical ocean subsurface temperature and salinity analysis. J. Oceanography. 62, 155-170. Meehl GA, et al. 2007. Global Climate Projections. In: Solomon S., et.al. (eds.), Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press. Cambridge, United Kingdom. 747–845. Rahmstorf, S. 2007: A Semi-Empirical Approach to Projecting Future SeaLevel Rise. Science. 315, 368-370. UNEP/GRID-ARENDAL. 2007. Global Outlook for Ice & Snow. UNEP. Arendal. Norway. 21