Download Document

Survey
yes no Was this document useful for you?
   Thank you for your participation!

* Your assessment is very important for improving the workof artificial intelligence, which forms the content of this project

Document related concepts
no text concepts found
Transcript
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002
PENGUJIAN AWAL VAKSIN BALITVET BHV-1 INAKTIF : RESPON
KEKEBALAN HUMORAL PADA SAPI YANG DIVAKSINASI PADA
KONDISI LAPANGAN
(Preliminary Study on Inactive Balitvet BHV-1 Vaccine: Post Vaccinal
Immunity Responses on Cattle in the Field)
SUDARISMAN
Balai Penelitian Veteriner, P.O. Box 151, Bogor 16114
ABSTRACT
Preliminary study on inactive BALITVET BHV-lvaccine : Post vaccinal immunity responses on cattle in the field . The aim
of this study is to evaluate the efficacy of IBR field isolate inactivated vaccine in the field . This study was undertaken in
Pangalengan district of Bandung municiple, West java. One hundred and twenty two milk producing dairy cattle are used for
this purpose . These animals were divided into four spesific group/treatments: single vaccination with one ml dose, two ml doses
and boostered vaccination with one ml and two ml doses . Each mililitre vaccine contained of 1 x 106 TCID 50 All those
treatments (1, 2, 3, and 4) were applied to 29, 29, 31, and 25 animals respectively . Antibody responses were monitored by serum
neutralization test every month for six month post vaccination . According to the highest titre of the antibody reached in every
treatment, there were slightly differences between boostered and single vaccination . Boostered vaccination had as high as 87 .5%
(49/56) compared to the single vaccination which had 86 .2 % (50/58) . Eventhough the results are not significantly different,
according to statistical analysis (P 0.01) . There were significantly different in statistical analysis (P 0.05) if the antibody
response were compared between 2 ml dose of boostered and 2 ml dose of single vaccination .
Key words : Vaccine efficacy, field condition, IBR
PENDAHULUAN
IBR adalah penyakit menular pada sapi dan kerbau
yang
disebabkan
oleh virus
BHV-1 .
IBR/IPV
disebabkan oleh virus Bovine Herpesvirus-1 (BHV-1)
yang mengakibatkan penyakit pada sapi dan kerbau .
Penyebaran virus hampir diseluruh dunia, kecuali
Denmark dan Swiss (OIE, 1996) . Keberadaan IBR di
Indonesia telah dilaporkan secara serologis oleh
MARFIATININGSIH (1982), NOOK et al. (1984), SAROSA
(1985), WIYONO et al . (1989) dan SUDARISMAN (1992)
dengan uji netralisasi serum (Serum Neutralization
Test/SNT) . Isolasi virus IBR di Indonesia dari kasus
hewan yang mengalami stress buatan dan dari semen
hewan asal Balai Inseminasi Buatan (BIB) telah berhasil
dilakukan oleh SUDARISMAN dan INDRIANI (1998) .
Penyakit ini merugikan petani, karena menimbulkan
gangguan reproduksi dan penurunan produksi susu,
gangguan pernafasan serta gangguan syaraf (GIBBS and
RWEYEMAMU, 1977) . Penularan virus terjadi melalui
alat reproduksi ataupun saluran pernafasan . Vaksin
inaktif telah dibuat pada penelitian sebelumnya
(SUDARISMAN, 2001), akan tetapi masih memerlukan
beberapa pengujian antara lain uji efikasi vaksin pada
hewan peka terhadap infeksi penyakit IBR.
Vaksin untuk IBR/IPV dibagi kedalam dua kategori
besar : Vaksin hidup ( Attenuated atau modified live
vaccine) dan vaksin mati (inactivated atau subunit
vaccine) . Vaksin mati akan menjadi lebih baik, bila
ditambahkan
adjuvant/iscom
untuk
meningkatkan
respons kekebalannya (OIRSCHOT et al., 1996) .
Pemilihan adjuvant, bahan untuk inaktifasi virus dan
jumlah/titer antigen sangat berperan serta merupakan
faktor kritis
yang
perlu
diperhatikan
untuk
mendapatkan kualitas vaksin IBR/IPV yang baik
(DUQUE et al., 1989 ; KAASHOEK et al., 1995) .
Vaksinasi dengan vaksin mati virus BHV-1 ternyata
dapat memberikan proteksi terhadap uji tantang hingga
6-9 bulan setelah vaksinasi (SAVAN et al., 1979 ; SIBBEL
et al., 1988) .
Penelitian ini dimaksudkan untuk menguji efikasi
vaksin inaktif BHV-1 isolat lapangan . Pada penelitian
ini hanya diharapkan parameter respons kekebalan dari
vaksin huatan Balitvet dalam kondisi di lapangan .
Respons kekebalan diuji melalui uji serum netralisasi .
Penelitian hanya dibatasi hingga pengamatan vaksinasi
3-4 bulan paskavaksinasi.
429
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002
METODOLOGI
Pembuatan vaksin
Vaksin dibuat berdasarkan hasil penelitian tahun
(SUDARISMAN,
2001) . Bibit vaksin yang
digunakan adalah isolat yang dipilih terbaik dari yang
dimiliki dan menginaktifasi virus melalui penambahan
formalin 0.1%. adjuvant yang digunakan adalah
Freund's incomplete adjuvant . Konsentrasi dari virus
adalah 1 x 106 TCID50 per ml.
2000
Hewan percobaan dan prosedur imunisasi
Hewan percobaan yang digunakan adalah hewan
percobaan yang ada di peternak (uji lapang) berupa sapi
perah jenis FH (Frisian Holstein) . Tiap kelompok
perlakuan dibutuhkan lebih kurang 30 ekor, dengan
kriteria hewan dewasa. Keseluruhan hewan dari
kelompok ternak yang ada diluar perlakuan yang
diberikan, dilakukan vaksinasi dengan dosis maksimal
dari dosis perlakuan yang ada. Dosis perlakuan yang
diberikan adalah 1 ml untuk kelompok I dan 2 ml untuk
kelompok II dari vaksin dengan konsentrasi 1 x 106
TCIDso per ml sedangkan kelompok III adalah sapi
dengan dosis 1 ml dan dilakukan boster dan kelompok
IV adalah kelompok sapi dengan dosis 2 ml dan
dilakukan boster selang satu bulan. Vaksinasi dilakukan
subkutan . Sebelum dilakukan vaksinasi hewan terlebih
dahulu diperiksa tingkat kekebalannya dalam serum
dengan uji serum netralisasi . Vaksinasi dimulai pada
bulan Agustus 2001 dan pengamatan berakhir pada
bulan Desember 2001.
Koleksi sampel dan analisa
Koleksi sampel adalah berupa serum dari hewan
perlakuan
dengan
sistem
yang
mengalami
pengelompokan yang diberlakukan . Koleksi dilakukan
pada saat satu bulan setelah perlakuan, 2 bulan, 3 bulan
dan 4 bulan setelah perlakuan berakhir . Analisa
dilakukan dengan uji serum netralisasi.
Analisa Statistik
Analisa statistik dilakukan dengan metoda analysis
of variance (ANOVA) dengan pengelompokan
sebanyak perlakuan yang ada .
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan vaksin
Vaksin dibuat berdasarkan hasil penelitian tahun
2000 (SUDARISMAN, 2001). Bibit vaksin yang
digunakan adalah isolat yang dipilih terbaik dari yang
430
dimiliki dan menginaktifasinya dengan formalin hingga
0.1% . Sedangkan sebagai adjuvant digunakan Freund's
incomplete adjuvant. Konsentrasi virus adalah 1 x 106
TCID50 per ml vaksin.
Hewan percobaan
Hewan percobaan yang digunakan adalah hewan
ternak dari jenis FH (Holstein Frisian) yang dimiliki
para peternak di kecamatan Pangalengan desa
Sukadjaja, kabupaten Bandung . Kelompok hewan
tersebut ternyata memiliki gangguan reproduksi yang
mengarah kepada gangguan klinis oleh penyakit IBR,
berupa mastitis sebanyak 60 ekor, endometritis sebesar
15 ekor dan abortus sebanyak 16 ekor (Data KPBS
Pangalengan, 2001). Hewan percobaan yang digunakan
sebanyak 122 ekor yang terdiri dari empat perlakuan.
Perlakuan pertama adalah sebanyak 31 ekor dengan
penyuntikan vaksin dosis tunggal sebanyak 1 ml (1 x
106 TCIDso per ml) . Perlakuan kedua adalah sebanyak
31 ekor dengan penyuntikan dosis ganda (boster)
sebanyak 1 ml selang satu bulan. Perlakuan ketiga
adalah sebanyak 31 ekor dengan penyuntikan dosis
tunggal sebanyak 2 ml dan perlakuan keempat adalah
sebanyak 29 ekor dengan penyuntikan dosis ganda
(boster) sebanyak 2 ml selang satu bulan. Akan tetapi
ternyata dengan berjalannya waktu ternyata hewan yang
dapat diukur titer antibodinya hanya 29 ekor untuk
perlakuan pertama, 31 ekor untuk perlakuan kedua, 29
ekor untuk perlakuan ketiga dan 25 ekor untuk
perlakuan keempat, sedangkan yang lainnya tidak
berada ditempat penelitian disebabkan oleh terjualnya
hewan oleh peternak. Sebelum dilakukan perlakuan
seluruh hewan diambil darahnya untuk diuji dan hewan
yang tidak divaksinasi digunakan sebagai kontrol .
Reaksitanggap kebal
Setelah perlakuan, tiap-tiap kelompok hewan
diambil serumnya sebulan sekali . Hasil tertinggi yang
dapat dicapai oleh tiap ekor hewan pada tiap perlakuan
terlihat pada tabel 1 . Satu bulan pascavaksinasi untuk
dosis tunggal terjadi pada bulan September 2001 dan
dosis boster terjadi pada bulan Oktober 2001 .
Keseluruhan perlakuan diamati hingga bulan Desember
2001 . Pada saat satu bulan pascavaksinasi ternyata titer
antibodi belum dicapai maksimal, terutama pada
perlakuan vaksinasi boster dan baru dicapai setelah dua
bulan pascavaksinasi . Titer antibodi pada dosis boster
dan dosis tunggal ada yang memperlihatkan titer hingga
2 1° (1024), walaupun hanya pada beberapa ekor hewan.
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat tanda respons
antibodi akibat vaksinasi yang cukup baik. Walaupun
respons tersebut tidak sebaik pada percobaan di
laboratorium . Apabila dilihat dari pencapaian titer yang
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002
tertinggi yang dapat dicapai dari tiap-tiap ekor hewan
dari tiap-tiap perlakuan pada Tabel 2., menunjukkan
bahwa ada perbedaan antara booster dengan dosis
tunggal, yang mana titer yang baik yang dapat dicapai
pada pemberian booster lebih tinggi yaitu 87.5
(49/56) dibanding dosis tunggal yang hanya mencapai
86 .2 % (50/58), walaupun hal ini tidak significant
berbeda nyata (P?0,01) . Akan tetapi apabila dilihat dari
dosis 2 ml booster yang dapat dicapai titer yang tinggi
sebesar 24% (6/25) dibanding dosis 2 ml tunggal yang
hanya mencapai 13 .8% (4/29), hal ini berbeda nyata
secara statistik (P:50,05) .
Pencapaian titer zat kebal seperti yang terlihat pada
hasil penelitian, masih belum sebaik hasil yang dicapai
Dalam uji
di laboratorium
di laboratorium.
(SUDARISMAN, 2001) zat kebal pada hewan yang
divaksinasi boster dengan konsentrasi 1 X 10 8 TCIDSo
tiap kali penyuntikan pada satu bulan paska vaksinasi
akhir, hampir keseluruhan hewan (9 dari 10) mencapai
titer 2 11 (2048) . Setelah itu barn menurun terus dan
hingga pada empat bulan paska vaksinasi akhir titer
masih bertahan tinggi dengan tanpa uji tantang .
Demikian pula pada hewan yang diuji tantang, titer
masih tetap tinggi hingga empat bulan paska vaksinasi
akhir. Pada pengujian di lapangan, vaksin yang
digunakan adalah vaksin dengan konsentrasi 1 x 10 6
TCIDso. Pada hewan yang dilakukan boster, titer hewan
yang divaksinasi ada juga yang mencapai 20(1024),
walaupun hanya pada empat ekor hewan . Akan tetapi
hal ini baru dicapai setelah dua bulan paska vaksinasi
akhir. Sedangkan pada satu bulan paska vaksinasi akhir,
titer zat kebal pada empat ekor hewan tersebut masih
rendah . Disamping itu, alasan lain adalah vaksin yang
digunakan pada uji efikasi tahun ini menggunakan
adjuvant yang berbeda, yaitu Freund's incomplete
adjuvant (FIA). Karena tidak adanya alternatif
penggunaan adjuvant, maka keterbatasan ini perlu
dimaklumi . Seperti diketahui FCA merupakan adjuvant
yang cukup lama dikenal dan sangat efektif untuk
meningkatkan terbentuknya zat kebal ditubuh hewan
yang divaksinasi (ALLISON, 1987; FOs et al., 2000).
Adjuvant ini telah dikenal sejak 1937 (FREUND et al.,
1937; 1940; FREUND, 1956) . Telah banyak peneliti yang
membandingkan reaksi kekebalan yang dimunculkan
dengan penambahan FCA dan ternyata FCA paling
tinggi memberikan pencapaian titer zat kebal (MALLON
et al., 1991 ; OSEBOLD, 1982 ; GUPTA et al., 1993) .
Sedangkan FIA (Freund's incomplete adjuvant) telah
pula banyak digunakan di dunia veteriner, seperti pada
vaksin FMD, rabies, distemper, hog cholera,
parainfluenza 3, hepatitis anjing dan ND (GUPTA et al.,
1993). Demikian pula pada manusia digunakan pada
penyakit influenza, polio dan ternyata dapat
meningkatkan zat kebal (immunogenicity) dari vaksin .
Tetapi FIA juga terbukti gagal untuk meningkatkan
reaksi kekebalan seperti pada penyakit yang disebabkan
oleh Adenovirus, trachoma, dan herpesvirus yang
menyebabkan penyakit MCF. Ternyata FIA bekerja
membuat depo pada tempat hewan diinjeksi dan antigen
dilepas lambat untuk menimbulkan zat kebal pada tubuh
hewan (GUPTA et al., 1993) . Oleh sebab itu pads
penelitian kali ini efek dari FIA pada vaksin IBR
memperlihatkan terbentuknya zat kebal yang lebih
lambat dari vaksin yang diberi FCA . Disamping itu FIA
tidak baik kestabilannya. Apabila emulsi yang
terbentuk, berpisah antara komponen minyak dan
komponen air maka antigen yang disuntikkan akan
buruk pemunculan antibodinya . Hal ini memperjelek
penggunaan adjuvant FIA dalam vaksin (GUPTA et al.,
1993) .
Demikian pula penggunaan formaldehyde sebagai
inaktifant, banyak disinggung oleh peneliti terdahulu
yang menyatakan bahwa formaldehyde fdak aman
sebagai inaktifant dalam pembuatan vaksin. Hal ini
terutama karena penggunan alum sebelum pemberian
formaldehyde akan mengakibatkan pembungkusan
virus, sehingga virus tidak mudah dimatikan sebagai
antigen vaksin inaktif (KING et al., 1981) . Kini telah
banyak inaktifant yang digunakan untuk inaktifasi virus
sebagai antigen vaksin inaktif, antara lain betha
propiolacton, acetylethylenemine (BROWN and CLUCK,
1959; BROWN et al., 1963) yang diproduksi oleh
Wellcome laboratories . Disamping itu juga digunakan
belakangan ini bis-ethyleneimine sebagai pengganti
acethylenemine yang dinyatakan sebagai lebih aman
untuk digunakan dalam sekala besar (BAHNEMANN,
1997) .
Hasil pengamatan hingga bulan Desember 2001,
menunjukkan vaksin yang digunakan pada penelitian ini
hanya mencapai titer 2 10 (1024) untuk vaksinasi boster
dosis 1 ml dan titer 29 (512) untuk vaksinasi boster
dosis 2 ml. Akan tetapi secara keseluruhan vaksinasi
dengan metoda booster menunjukkan hasil yang lebih
baik dari vaksinasi tunggal . Hewan-hewan yang
divaksinasi dosis booster yang bertiter baik (3-10)
menunjukkan jumlah yang tinggi dibanding vaksinasi
dosis tunggal . Hal ini menunjukkan respons vaksinasi
dari vaksin yang digunakan cukup baik untuk digunakan
di lapangan.
Hasil selama pengamatan hingga 3 bulan paska
vaksinasi untuk boster dan empat bulan untuk dosis
tunggal, ternyata menunjukkan bahwa vaksinasi dengan
boster akan memberi respons kekebalan yang lebih baik,
yaitu kenaikan titer zat kebal yang meningkat walaupun
peningkatan tersebut sangat lambat, yaitu pada dua
bulan pascavaksinasi. Sedangkan pada vaksinasi tunggal
titer zat kebal tidak teratur, dengan kata lain terjadi
penurunan dan penaikan titer tanpa irama. Hal ini
berarti belum dapat melawan infeksi khronis/latent yang
mungkin terdapat pada kelompok tersebut. Oleh sebab
43 1
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002
itu disarankan bahwa penggunaan vaksin Balitvet
diperlukan vaksinasi dengan metoda boster untuk vaksin
inaktif BHV-1 Balitvet.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa respons
serologis tidak sebaik dengan vaksin yang diuji di
laboratorium . Hal ini disebabkan karena evaluasi hanya
didasarkan pada uji serologic dan vaksin yang
digunakan berbeda dengan vaksin yang diuji di
laboratorium, yaitu vaksin tidak menggunakan FCA
tetapi menggunakan FIA. Walaupun demikian vaksin
inaktif BALITVET BHV-1 cukup baik digunakan di
lapangan dan terbukti respons akibat vaksinasi dari
kelompok boster memberikan hasil vaksinasi yang
cukup tinggi, bahkan ada yang mencapai titer 21°
(1024) . Harapan peneliti dalam kegiatan ini adalah agar
terealisir kelanjutan penelitian pada periode penelitian
yang menggunakan adjuvant serta bahan inaktifan yang
beragam, sehingga hasil pemantauan titer zat kebal
menjadi lebih baik hasilnya.
DAFTAR PUSTAKA
ALLISON, A.C . 1987 . Vaccine technology : Adjuvants for
increased efficacy. Biotechnology 5: 1041 - 1045 .
BAHNEMANN, H.G. 1997 . Inactivation of antigens for
veterinary vaccines : Viral vaccines . In Vaccine manual :
The production and quality control of veterinary
vaccines for use in developing countries. Edited by N.
MOWAT and M .
RWEYEMAMU . FAO Animal Production and Health Series No .
35 . FAO. Rome.
BROWN, F .N ., S.G. HYSLOP, J. CRICK, and A.W . MoRRow .
1963 . Th e use of acetylethylenimine in the production
of inactivated foot and mouth disease vaccines . Jour.
Hyg.Camb. 61 : 337-344
BROWN, F. and J. CRICK. 1959 . Application of agar gel
diffusion analysis to a study of the antigenic structure of
inactivated vaccines prepared from the virus of foot and
mouth disease. Jour. Immunol. 82 : 444 - 447.
DUQUE, H ., R.L . MARSHALL, B.A . ISRAEL, and G.J .
LETCHWORTH. 1989 . Effect of formalin inactivation on
bovine herpesvirus 1 glycoproteins and antibody
responses elicited by formalin inactivated vaccines in
rabbits . Vaccine 7: 513-520.
Foss, D.L . and M.P . MURTAUCH . 2000 . Mechanisms of
vaccine adjuvantticity at mucosal surfaces . Anim.Health
Res. Rev. 1 (1): 3 - 24 .
FREUND, J. 1956 . The mode of action of immunologic
adjuvants, in BIRKHAUSER, H., H. BLOCH. Advances in
tuberculosis research . New york, S.Karger. 7 :130-148 .
43 2
FREUND, J., J. CASAL-ARIET, and D.S . GENGHOF. 1940 . Th e
synergistic effect of paraffin-oil combined with heat
killed tubercle bacilli . Jour.Immunol . 38 : 67-79.
FREUND,J ., J. CASALS, and E.P . HOMER. 1937 . Sensitizatio n
and antibody formation after injection of tubercle bacilli
and paraffin oil. Proc.Soc.Exp.Biol .Med . 37 : 609.
GIBBS, E.P .J . and RWEYEMAMU. 1977 . Bovine Herpesviruses.
Part 1. Bovine Herpesvirus 1 . Vet. Bull. 47 (5): 317343.
GUPTA R.K . E.H . RELYVELD, E.B . LINBLAD, B . BIZZINI, S.B .
EFRAIM, and C.K . GUPTA. 1993 . Adjuvants a balance
between toxicity and adjuvanticity. Vaccine 11 (3):
293-305.
KAASHOEK, M.J ., A. MOERMAN, J. MADIC, K. WEERDMESTER,
M. MARISVELDHUIs, F.A .M . RUSWIJK, and J.T .
VANOIRSCHOT. 1995 . An inactivated vaccine based on a
gltycoprotein gE-negative strain of bovine herpesvirus I
induces protective immunity and allows serological
differentiation. Vaccine . 13 : 342-346
KING, A.M .Q., B.O . UNDERWOOD, D. MC .CAHON, J.W .I .
NEWMAN, and F. BROWN. 1981 . Biochemical
identification of viruses causing the 1981 outbreaks of
foot and mouth disease in the UK . Nature . 293 : 479480.
MALLON, F.M ., M.E . GRAICHEN, B .R . CONWAY, M.S . LANDI,
and H.C. HUGHES. 1991 . Comparison of antiibody
respons by use of synthetic adjuvant system and
Freund's complete adjuvant in rabbits. Am. Jour. Vet.
Res. 52 (9): 1503 - 1506 .
MARFIATININGSIH, S. 1982 . Diagnosa Infectious Bovine
Rhinotracheitis-like Disease pada sapi Bali di Lampung
Tengah . Laporan Tahunan Balai Penyidikan Penyakit
Hewan 1976 - 1981 . Direktorat Kesehatan Hewan,
Departemen Pertanian .
NOOR, M.A .R., S.I . SITEPU, M.Z . ZAMI, A. SURYADI, dan A.
PERANGINANGIN. 1983 . Penyidikan Serologi Penyakit
Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada sapi di
Beberapa Kabupaten di Sumatera Utara. Laporan
Tahunan 1981 - 1982 . Direktorat Kesehatan Hewan,
Departemen Pertanian.
O.I .E. MANUAL, 1996 . Infectious Bovine Rhinitracheitis/
Infectious Pustular Vulvovaginitis . Chapter 3.2 .5 . in the
Code . By J.T . VAN OIRSCHOT.Amandement 2a .
OIRSCHOT, J.T., M.J . KAASHOEK, and F.A .M . RuSWIJK. 1996 .
Advances in the development and evaluation of bovine
herpesvirus I vaccines . Vet .Microb. 53 : 43-54.
OSEBOLD, J .W. 1982 . Mechanisms of action by immunologic
adjuvants. J.A.V.M .A. 18 1 (10) : 983 - 987.
SAROSA, A. 1985 . Kajian Prevalensi Serologi Penyakit
Infectious Bovine Rhinotracheitis pada sapi dan kerbau
di Beberapa Daerah di Indonesia. Thesis . Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 1002
SAVAN, M., A.B . ANGULO, and J.B . DERBYSHIRE . 1979 .
Interferon, antibody responses and protection induced
by an intranasal infectious bovine rhinotracheitis
vaccine. Can.Vet.Jour. 20 : 207-210.
SUDARISMAN, 1992 . Studi Epidemiologi da Isolasi Agen
Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis pada sapi
perah di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian 1992 1993 . Balai Penelitian Veteriner. PUSLITBANGTAN,
Departemen Pertanian.
SIBBEL, R.L ., E.P . BASS, and P.C . THOMAS. 1988 . Ho w long
will a killed IBR vaccine protect against challenge?
SUDARISMAN, dan R. INDRIANI . 1998 . Isolasi Virus BHV-1
(Bovine Herpesvirus Type- 1) dari material straw semen
sapi asal Balai Inseminasi Buatan . In Press.
Vet.Med . 83 :90-93 .
SUDARISMAN . 2001 . Respons klinis sapi Bali yang divaksin
terhadap uji tantang dengan bovine herpesvirus 1 isolat
lokal. Jur.Ilmu Temak dan Veteriner 6 (3) :205-212 .
WIYONO, A., P. RONOHARDJO, R.J . GRAYDON and P.W .
DANIELS. 1989 . Diare ganas sapi : 1 . Kejadian penyakit
pada sapi Bali bibit asal Sulawesi Selatan yang baru tiba
di Kalimantan Barat. Penyakit Hewan. 21 (38) : 77 - 83 .
Tabel 2. Pengaruh pemberian dosis booster dibanding dosis tunggal vaksin inaktif BHV-1 terhadap pembentukan zat kebal
dalam tubuh hewan yang mendapat vaksinasi
Nilai (x)
0-2(R)
3-6(S)
7 -10 ( T)
E
Tunggal (%;Y-titer x/total sampel)
Booster (%;Y-titer x/total sampel)
I ml
y-
2ml
E
EE
ZEE
12 .5
6.9
6.9
20 .7
20 .7
13 .8
13 .8
7/56
7/56
2/29
2/29
6/29
6/29
8/58
8/58
39 .3
87.5
24 .1
93 .1
65 .5
79 .3
44 .8
86 .2
22/56
49/56
7/29
27/29
19/29
23/29
26/58
50/58
I ml
E
2ml
E
EE
9.7
9.7
16
16
12 .5
3/31
3/31
4/25
4/25
22 .6
90 .3
60
84
7/31
28/31
15/25
21/25
Y-
67 .7
24
48 .2
69
13 .8
41 .2
21/31
6/25
27/56
20/29
4/29
24/58
100
31/31
100
31/31
100
25/25
100
25/25
100
56/56
100
100
100
100
100
100
100
56/56
29/29
29/29
29/29
29/29
58/58
58/58
Keterangan : x= titer tertinggi yang dapat dicapai pada sapi yang digunakan; R= rendah ; S= Sedang ; T= Tinggi
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 1002
.~
b
fn
a
bA
N
cd
bq
G
0.
U
X
0. ,
A
x
.
i
i
O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O
,
i
i
N N N N N N N N N N N N N N N N N N N (14 N N N N N N N N N
,
,
,
VtN
V1 It WrON 0M-'T
O O O O) 0) t- _
r- Or- 00 00 00 O 00
W) 1- vi
O
ut
M M M M M M M -. M M M M M M ,
i
i
, 01
,
V1 ~o
ti
w
a
,
rC~
C~
M
W)
1.0
M
M
nO
IC IC
kn V)
W) ut
M M
In
M
N
^~
MN(7,
Nr~o
~O 140 O, N O) O O
h V1
V1
W) In
l-l'n
M M M M M M M
V ~o ~O r- 'It ^" r- M 00 \0 V) 00 M M
,
, I-T N Vt r-
, - ~o N ~c
0000000000000000000000000000000,
.h
y
cd
a
tx
.1
0
W
ITT E E~"~ E T T EEEEEEEE ET
-~ E EE E EE EE E
N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N
A
N
l~
z x V1
V1
M
C
X
cd
O
0.
.Q
rn
l~
V)
V1
M
DO
00
~O
00
V1 ~o C~
V)
M M M
00
I~
Ul
V)
M
l~
00
h
V)
M
M
00
W)
h
M
~O
00
V1
V1
M
V)
00
V)
W)
M
00
V1
V)
M
00
M O 01
00 01 O) 00 rV1
-+ V'1 V1
V1
V) V)
M M M M M
O
O
V) O) N M -- ~ (7) O) C, - - r- r- ~* 00
L`
lV1
V)
M
M
N
0\
\O
M
, DO a,
_O N O - r- 00 00 rN
01 C~ C~ O 00 h 00
V) rt G -"
l- "-" N -"
-r
rl "-+ \O
N \O
-~ M M M M M M M M
, r- r- ~c
M
C,
-,
00
O\
.r
V1
V1
M
M
00
,
M
M
140
V)
V)
V)
M
,
,
, 00 DD O\ 00 V) 00 l- ~~O I-
y
0. ~
3
.c
a
c
zx
b a
O
0.
~O
M
V)
V1
M
I~
M
v1
v1
M
aD
M
V)
V)
M
~
M
V)
V)
M
O
V)
v1
M
-~ N M
-~
V'1 v1 ~
'S V) N
M M M
V)
"t
W)
v1
M
-It
'q
V1
V)
M
~o
'T
V1
V)
M
0
01
V)
V)
M
0
O
M
N
M
=
'ct
V)
V)
M
M
^
V)
\O
M
O
0,
1*
N
tO\
V)
V)
M
G
O
00
v1
M
'1O
01
V1
v1
M
~t
O\
V)
,n
M
V) N
t` O) O)
-. V) V)
-kn
-- V)
M M
10
~O
~c
M
O
a1
V)
M
O)
't
N
M
M
O)
00
N
O
rh
h
M
V)
V)
M
a1
00
V)
V)
M
00
N2O)0)~O00 VtM- ."
,
00000000000000000000000000(0 0000,
=~c -0=p= .asM .c= .o .0 .o p-0p====p-0p .c= .n s -0= .0
TM
cd b0
id N
Q 0.
M
M
V)
V)
M
V)000000r-r-C7\ It r-O1C~l 00r-V 2~c 000C~ 2
I
ti.
aU
+
N
M
V)
v1
M
w
a,
-0-0
to a
C
.C
0000000000000000000000000(= 000000
EEEEEEE EE EEEEEEE EE EEEEE E E EE EEEEE
A
U ?L
F
,
~n-N
V) V) V)
z x V) V) V1
~n W) tn
M M M
C
V
_N
O
x
.C
. N M ~O V1 'ct M - t - - ~C V) V) N " ,T r- M I_
V) M V) r- "It M M In V)
EE
0
N
zx v) v)
h V)
men
00
EEEE E EEE
v)
v)
V)
M
10
v)
h
M
n
v)
V)
M
o0
v)
h
M
(7)
V)
V)
M
^"
v1
V)
M
O
v1
V)
M
N
V)
V)
M
EE EEE
M
v)
V)
M
d.
v)
v1 v1
V) N V) Y)
M O t'M M
[~
v1
V1
M
a0
h
V)
M
O)
v1
kn
M
EE E EE
O
N
v1
V)
M
N
N
v)
V)
M
N
'n
V)
M
~O
N
~n
V)
M
V1
N
v)
V)
M
Vt
a,
r-r
EE EEE
t
N
V)
V)
M
rN
V)
V)
M
00
N
v1
V)
M
O)
N
v)
V)
M
O)
r~C
~O
M
O
M
V)
V)
M
M
kn
V1
M
M ~ n ~ r o2 O) O
N M ~t V) ~ r w 0, O --~ "
- . N M 'It V1 ~O t` 00 17N a = N
-. -.
-. -. -.
-" N N N N N N N N N N M M t+)