Download M. Syamsi Ali

Document related concepts
no text concepts found
Transcript
Daftar Isi
Artikel Isnet
M. Syamsi Ali
Kumpulan artikel yang ditulis oleh anggota ISNET, M. Syamsi Ali yang pernah ditayang di pelbagai
media cetak, termasuk mailing-list di lingkungan Isnet.
Selamat Datang
Isi Lengkap
Penulis
Renungan Ramadhan
Laelatul Qadr
Menyambut Ramadhan
Khotbah Idul Fitri di New York
Haji
Pedoman Manasik
Haji Sosial
Artikel Lepas
Isra' Mi'raj
Keadilan Islam
Muhammad inisiator perdamaian
Ibadah dan Kedisiplinan
Kafir
Hijrah dan Reformasi
Kasus TKW
Opini Syamsi (tanggapan)
Perbudakan (tanggapan balik)
Kasus Ulil Absar Abdalla
Pendapat Syamsi Ali: 01, 02 (tanggapan)
WTC aftermath
Senjata makan tuan?
Umat dan Penjajahan Global
Kita dan Al-Quran
The True Furqan
Pendidikan Anak
Brief on Islam
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/toc.html (1 of 2)13/05/2006 23:42:11
Daftar Isi
Sentuhan Fitrah
Some aspects of Islam
Sosialisme
Koleksi
From Mexico to Mecca
Latinos for Islam
Latinos turning to Islam
Know this man
The Stealth Crusade
The new face of Islam
Peace to Ummah...
WTC aftermath
Another big mouth
Al-Maidah Berkumandang
Tim Rekonsiliasi
AS Diserang Habis
Links
ISNET Homepage, Index Utama, Saran
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/toc.html (2 of 2)13/05/2006 23:42:11
Pustaka Online Media ISNET
... Kumpulan Artikel Elektronik ...
... menyediakan acuan di internet untuk untuk mempercepat penyebaran informasi secara efisien dan menambah percepatan
kemajuan Indonesia tercinta ...
Komite Media ISNET
([email protected])
Islamic Network --Isnet-- merupakan sebuah jaringan maya dari para Muslim Indonesia yang
berdomisili di seluruh penjuru dunia. Jaringan maya ini, lebih menyerupai sebuah sajadah panjang,
di mana para anggotanya dapat melakukan diskusi, curhat, bahkan "berantem." Keunikan jaringan
maya ini tercermin dari keberagaman pemikiran para anggota Isnet, di atas sajadah panjang
tersebut, keberagaman tersebut ditayangkan untuk didiskusikan, tanpa ada maksud penyeragaman
dari keberagaman tersebut.
Kumpulan artikel dalam situs ini ditulis oleh anggota ISNET, M. Syamsi Ali dari New York, pernah
ditayang di pelbagai media, baik media cetak maupun media internet, termasuk mailing-list di
lingkungan Isnet.
Isi artikel yang ditayang dalam homepage ini tidak menggambarkan opini/pendapat Komite Media
ISNET maupun ISNET, namun merupakan opini/pendapat masing-masing pengarang.
Indeks Utama | Tim Media | Saran | ISNET Homepage
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/halo.html13/05/2006 23:42:20
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Kumpulan Artikel
M. Syamsi Ali
Renungan Ramadhan
●
Laelatul Qadr
●
●
Menyambut Ramadhan
Khotbah Idul Fitri di Masjid alHikmah New York 2002
Haji
●
Pedoman Manasik
●
Haji Sosial
Artikel Lepas
●
●
●
●
●
●
●
●
●
Isra' Mi'raj
Keadilan Islam
Ibadah dan Kedisiplinan
Kafir
Kasus Ulil Absar Abdalla
❍ Menyegarkan Kembali
Pemahaman "Kita"
Terhadap Islam: 01, 02
(tanggapan)
WTC aftermath
❍ Home land security:
senjata makan tuan?
Pedoman al-Quran dalam
pendidikan anak
Brief on Islam
Ajaran Rasulullah bukan
faham tetapi Dien (tanggapan
terhadap artikel Sosialisme
dalam Islam oleh AlamTulus)
●
●
●
●
●
●
●
●
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Lengkap.html (1 of 2)13/05/2006 23:42:26
Muhammad saw. sebagai
inisiator perdamaian
Kasus Tenaga Kerja Wanita
(TKW)
❍ Opini M. Syamsi Ali
terhadap komentar Gus
Dur mengenai kasus
TKW di Arab Saudi
(tanggapan)
❍ Perbudakan menurut Al
Quran oleh M. Syamsi
Ali (tanggapan balik)
Hijrah dan Reformasi
Umat dan Penjajahan Global
Kita dan Al-Quran
The True Furqan: Sebuah
Kedutaan dan Pengakuan
Kegagalan
Sentuhan Fitrah
Some aspects of Islam
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Koleksi Artikel
●
●
●
●
●
●
●
From Mexico to Mecca How a
Latino immigrant reinvented
himself in America as a Muslim
Latinos abandon Catholic
church for Islam
Ranks Latinos turning to Islam
are increasing
The new face of Islam
Peace to Ummah...from Brazil!
Know this man: Muhammad
The Stealth Crusade
●
WTC aftermath
❍ Another big mouth
❍ AS Diserang Habis,
Bagaimana Perasaan
Warganya? Ustad
Indonesia Dampingi
Bush Tinjau WTC
❍ Ustad Indonesia Tampil
di A Prayer for America
Al-Maidah pun
Berkumandang
❍ M. Syamsi Ali, Orang
Indonesia yang Jadi
Tim Rekonsiliasi New
York Sering Diminta
Ceramah Warga Arab
di Brooklyn
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang mukim di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Lengkap.html (2 of 2)13/05/2006 23:42:26
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Muhammad Syamsi Ali
Tentang Penulis
Lahir 5 Oktober 1967. Setelah menyelesaikan SD di salah satu kampung terpencil di SulSel, oleh orang tuanya dimasukkan ke Pondok Pesantren Muhammadiyah "Darul-Arqam"
Makasar. Setelah Tamat dari pesantren 1987, Syamsi Ali mengabdikan diri sebagai staf
pengajar di almamaternya hingga akhir 1988 di saat mendapat tawaran beasiswa dari
Rabithah Alam Islami untuk melanjtkan studinya pada the International Islamic
University, Islamabad, Pakistan. Tahun 1992 S1 dalam bidang Tafsir. Dilanjutkan pada
universitas yang sama dan menyelesaikan S2 dalam bidang Perbandingan Agama pada
tahnu 1994.
Selama studi S2 di
Pakistan, Syamsi
Ali juga bekerja
sebagai staf
pengajar pada
sekolah Saudi Red
Crescent Society di
Islamabad. Dari
sekolah itulah
kemudian mendapat
tawaran untuk
mengajar pada the
Islamic Education Foundation Jeddah, Saudi Arabia di awal 1995.
Pada musim haji tahun 1996, Syamsi Ali mendapat amanah untuk berceramah di
Konsulat Jenderal RI Jeddah Saudi Arabia. Dari sanalah bertemu dengan beberapa haji
luar negeri, termasuk Dubes RI untuk PBB, yang sekaligus menawarkan kepadanya untuk
datang ke New York, AS. Tanpa menyia-nyiakan, Syamsi Ali berhasil ke New York di
awal tahun 1997.
Di New York inilah kiprahnya semakin luas. Selain menjadi pengasuh masyarakat
Muslim di New York dan di AS pada umumnya, dengan menghadiri berbagai undangan
ke berbagai kota di AS, Syamsi juga aktif melakukan ceramah ke berbagai kalangan
lainnya, Muslim maupun non Muslim. Setelah tragedy 11 September silam, Syamsi
semakin sibuk memenuhi undangan untuk menjelaskan Islam ke berbagai kalangan,
termasuk mewakili umat Islam dalam Memorial Service dengan tema: "Pray for
America" bersama seluruh pemimpin agama se Amerika. Syamsi juga mewakili umat
Islam AS mendampingi Bush pada saat kunjungannya setelah tragedy 11 September 2001
lalu.
Syamsi Ali juga aktif mengkoordinir berbagai kegiatan antar komunitas Muslim. Sebagai
contoh, mendirikan Imams Council of NYC bersama tokoh-tokoh Muslim di kota New
York tahun 1998 lalu. Syamsi juga mengetahui Muslim Parade di kota New York sejak
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Penulis.html (1 of 2)13/05/2006 23:42:34
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
tahun 1998 hingga kini.
Ditengah-tengah kesibukannya sebagai aktifis Muslim sekaligus staf Perwakilan RI untuk
PBB New York, Syamsi Ali masih menyempatkan untuk melanjutkan studi pada the
Graduate Center of NYU dalam bidang ilmu politik.
Syamsi beristerikan Muthiah Malik, dan kini dikarunia 3 anak; Maryam Zakiyah 9 tahun
(lahir di Pakistan), Utsman Afifi 6 tahun (lahir di Saudi) dan Adnan Osama (lahir di New
York).
Lain-lain:
●
●
●
●
●
●
●
M. Syamsi Ali, profil dari Jawa Pos
Ustad Indonesia Tampil di A Prayer for America Al-Maidah pun Berkumandang
menerima Anugerah Ambassador for Peace dari the Inter-Religious Federation for
World Peace,
menjadi Ketua Panitia Muslim's Day Parade, 1999 & 2002, New York,
Perwakilan komunitas muslim di acara "Pray for America", sekaligus menjadi
qori'; Yankee stadium, New York
anggota American Muslim Council,
salah seorang pendiri Imams Council of New York
M. Syamsi Ali dapat dihubungi melalui telepon/email: +1 (917) 518-4083/
[email protected]
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Penulis.html (2 of 2)13/05/2006 23:42:34
Bunga Rampai Islam
IDUL FITRI DENGAN BEKAL "LAELATUL
QADAR"*
oleh M. Syamsi Ali
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Pendahuluan
Tanpa terasa Ramadhan yang kita sambut dengan riang kini bergegas meninggalkan kita.
Rasanya sedih, tamu yang agung dan penuh berkah itu, yang telah dengan sepenuh hati
memenuhi hajat-hajat keperluan mendasar kita, kini akan meninggalkan kita. Padahal, sesuai
tradisi lama, justeru tamulah yang seharusnya mendapatkan pelayanan. Tamulah yang
seharusnya dilayani sesempurna mungkin, sehingga kita bisa dicap sebagai seorang Muslim
yang "mukrimun lidhaefih" (memuliakan tamunya). Sayang, justeru perbekalan yang di
bawa oleh tamu untuk kita jauh lebih besar ketimbang usaha kita sendiri untuk memenuhi
tuntutan-tuntutannya.
Maka di penghujung Ramadhan ini, seharusnya semua kita gembira, namun juga seharusnya
lebih banyak merenungi diri akan kegagalan-kegagalan kita dalam memenuhi hak-hak tamu
kita kita. Sehingga sangat wajar kalau Rasulullah SAW mengajak para sahabatnya untuk
berdoa sepanjang tahun ke depan, agar puasa mereka tahun ini kiranya diterima oleh Allah
Yang Maha Rahman. Adakah perasaan "khawatir" ini ada dalam diri kita? Atau justeru
dengan berlalunya Ramadhan, seolah kita telah mendapatkan "garansi" kalau kita pasti akan
masuk ke dalam syurga firdaus. Akibatnya, seolah puasa selama sebulan itu telah menjadi
"penutup" dari seluruh ibadah dan segala dosa-dosa mendatang. Maka sering kita lihat, di
saat Ramadhan masjid-masjid masih melimpah ruah jama'ahnya, shalat sunnah malam
terjaga, demikian pula bacaan al Qur'an, dst. Tapi setelah Ramadhan terlewatkan, seolah
semua selesai. Maka jangankan yang sunnah-sunnah, yang wajib sekalipun terkadang
cenderung terabaikan.
Untuk itu, sikap yang betul adalah menempatkan diri di antara "al khauf war
Rajaa" (khawatir dan harapan). Kita khawatir akan kekukarangan-kekukarangan yang ada,
namun kiranya kita patut juga bergembira, walau dengan berbagai ketidak sempurnaan,
kiranya kita juga telah selesai menunaikannya sesuai daya dan kemampuan yang ada. Untuk
itulah, pada akhirnya kita memang patut berhari raya, untuk menandai rasa syukur dan
kegembiraan kita dengan sebanyak-banyaknya membesarkan Asma Ilahi. Allah berfirman:
"Dan sempurnakan bilangan puasa, dan hendaklah kamu membesarkan Asma Allah atas
petunjuk yang diberikannya kepadamu, dan semoga kamu dapat bersyukur kepadaNya" (Al
Baqarah: 185).
Ada banyak tentunya yang harus kita syukuri, termasuk puasa, tarawih, sadaqah, bacaan
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/Laelatul.html (1 of 12)13/05/2006 23:42:43
Bunga Rampai Islam
Qur'an, dan berbagai ibadah lainnya, tentu dengan segala kesadaran akan kekurangankekurangannya. Semua kesyukuran ini seharusnya terkait dengan nilai ibadah yang telah
dilakukan. Sayang, terkadang kegembiraan kita terkait oleh kegerlapan duniawi yang
dipersiapkan sedemikian rupa untuk menyambut Idul Fitri. Sehingga kegembiaraan kita
tidak menggambarkan rasa syukur "ta'abbudi", melainkan kegembiraan duniawi yang lebih
didominasi oleh kemubadziran atau sikap berlebih-lebihan. Silaturrahim atau saling
mengunjungi terkadang disulap menjadi ajang pamer makanan, pakaian atau peralatan
rumah tangga lainnya. Akibatnya, dengan berlalunya Ramadhan, berlalu pula pesan-pesan
moral puasa, untuk hidup sederhana serta semakin sensitive dengan penderitaan sesama di
sekitar kita.
Merayakan Laitul Qadar
Dari sekian banyak hal yang patut kita rayakan di akhir Ramadhan ini, saya yakin salah satu
yang terpenting adalah merayakan sebuah malam yang telah dilalui. Sebuah malam yang
ternyata lebih bermutu ketimbang seribu bulan di masa-masa mendatang dalam hidup kita.
Malam (Laelatul) Qadar adalah sebuah malam yang dinanti-nantikan oleh setiap insan
Muslim, dan disambut kedatangannya dengan berbagai bentuk pengabdian, baik berupa
qayamullael (shalat tahajjud), qiraah al qur'an (bacaan al qur'an) atau bermacam bentuk
ibadah lainnya. Bahkan tidak jarang sebuah masjid melakukan berbagai kegiatan ibadah
semalam suntuk.
Apakah "Malam Qadar" itu? Dan kenapa demikian penting di mata insaninsan Muslim? Jawabannya tentu ditemukan pada S. Al Qadar:
"Sungguh Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada Malam Al Qadr.
Tahukah anda apa Malam Al Qadr itu? Malam Al Qadr itu lebih baik dari
seribu bulan".
Pada ayat pertama Allah menegaskan bahwa di malam yang disebut "Laelatul Qadr" itulah
diturunkan Al Qur'an. Lalu untuk menarik perhatian pembaca surah ini, Allah mengajukan
sebuah pertanyaan: "Dan tahukah engkau apa yang disebut Malam al Qadr?", yang
kemudian dijawabnya sendiri: "Malam al Qadr itu lebih baik dari seribu bulan".
Kalau seandainya ada yang kemudian mempertanyakan, kenapa "Laelatul Qadr" itu lebih
baik dari seribu bulan? Apa dasar dan alasannya? Apakah ada kwalitas yang dimiliki secara
khusus tanpa malam yang lain? Apakah "khaeriyah/imtiyaz" (kebaikan/keistimewaan)
malam itu karena malam (sebuah potongan masa) sendiri? Apakah karena Muslimnya yang
sedang beribadah malam itu? Atau sebenarnya karena apa?
Beragam respon yang diberikan oleh kaum Muslimin. Sebagian besar, diantaranya, menilai
bahwa "keistimewaan" malam itu adalah karena malamnya tersebut. Sehingga malam itu
dijadikan (seolah) malam yang disucikan secara khusus, yang memiliki tanda-tanda lahir
misalnya malamnya sejuk dengan terpahan angin lembut, langit di malam itu hampir tidak
berawan dengan bulan yang terang benderang. Demikian juga di pagi harinya, tiba-tiba saja
mentari terang benderang hampir tak terhalangi oleh sedikit awan pun.
Sebagian lain menilai, keistimewaan malam itu dikarenakan bahwa beribadah pada
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/Laelatul.html (2 of 12)13/05/2006 23:42:43
Bunga Rampai Islam
malamnya akan menghasilkan pahala senilai lebih dari beribadah selama seribu bulan pada
malam-malam yang lain. Untuk itu, sebagian umat yang menafsirkan demikian, beribadah
dengan sebanyak-banyaknya dan sekaligus cenderung mengkalkulasi secara matematis
"nilai" pahala yang dijanjikan oleh Allah SWT. Dengan kata lain, sebagian umat ini
cenderung bersikap materialistis dalam menyikapi malam al Qadr ini. Akibatnya, dengan
merasa telah mendapatkan "Laelatul Qadr", cukuplah kiranya ibadah perbekalan untuk
menuju akhirah. Toh, kalau dihitung-hitung ke depan tidak mungkin lagi hidup seribu bulan
untuk menyamai satu malam tersebut. Maka selepas Ramadhan, rasa ringan untuk
meninggalkan kewajiban bukanlah masalah, karena semua itu telah tertutupi oleh ibadah
semalam (laelatul Qadr) itu.
Saya melihatnya, bukanlah masalah jika memang cenderung dinilai demikian. Bukankah
disunnahkannya "I'tikaf" di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan juga memang terkait
dengan upaya mengoptimalkan ibadah pada malam-malam yang dianggap "kemungkinan
besar" jatuhnya "Malam Besar" itu. Seorang Muslim termotivasi untuk melakukan ibadah
sebanyak-banyaknya merupakan hidayah tersendiri. Sebab memang aneh, jika di awal-awal
ramadhan masjid pada ramai tapi di penghujung Ramadhan justeru yang datang hanya
segelintir. Padahal, sebaik-baik nilai amalan itu adalah "khawatimuha" (penutupnya).
Beribadah secara maksimal di akhir-akhir Ramadan bisa jadi merupakan indikasi "Husnul
Khaatimah" Ramadhan itu sendiri bagi seseorang.
Qadr (Kekuatan) Malam itu pada Kekuatan Al Qur'an
Hanya saja, saya pribadi cukup menyayangkan kalau kehebatan malam itu hanya terbatas
pada jumlah dan bentuk ibadah-ibadah yang kita persembahkan. Apalagi kalau penilaian kita
dibatasi oleh malam, dalam arti sepotong masa dari bulan ini sendiri. Saya sayangkan
demikian karena sesungguhnya Allah Maha Adil, tidak pernah membedakan antara waktuwaktu yang ada, semuanya tergantung pemanfaatannya saja. Untuk itu, maksimalisasi
"Laelatul Qadr", menurut saya, justeru tidak terletak pada jumlah dan bentuk ibadah-ibadah
yang kita lakukan. Maksimalisasi "Kekuatan Malam" itu justeru terletak pada ayat pertama
dari Surah Al Qadr: "Sungguh Kami telah turunkan pada malam Al Qadr".
Sebenarnya, kalau dikembalikan pada urutan-urutan pertanyaan tadi: "Dan tahukah kamu
apa Laelatul Qadr itu?- Laelatul Qadr lebih baik dari seribu bulan-". Lalu pertanyaan yang
timbul kemudian dari kita: "kenapa kiranya malam itu lebih baik dari seribu bulan?".
Jawaban yang tepat adalah karena " Sungguh Kami menurunkan al Qur'an pada Malam Al
Qadr itu". Artinya, keistimewaan malam itu sangat erat terkait dengan diturunkannya sebuah
Kitab yang sangat istimewa (Al Qur'an). Itulah sebabnya, Allah menyebutkan: "Sungguh
Kami turunkan (al Qur'an) pada malam yang diberkahi" (Ad-Dukhaan: 3). Sekali lagi, Allah
mengaitkan "keberkahan" malam itu dengan diturunkannya Kitab yang membawa berkah (al
Qur'an).
Dengan demikian, kehebatan/kekuatan/keunikan/keistimewaan/kelebihan Laelatul Qadr
tidak lain karena terkait dengan kehebatan/kekuatan/keunikan/keistimewaan/kelebihan yang
ada pada "al munazzal" (yang diturunkan berupa al Qur'an) pada malam itu. Sehingga saya
sendiri sangat terkejut menyaksikan beribu-ribu umat menyatakan menang dengan "Laelatul
Qadr", hanya karena shalat-shalat sunnah yang dilakukan, terlebih lagi jika dirasakan sebagai
penutup dari kekurangan-kekuarangan di masa depan, sementara "hidayah qur'ani" diabaikan
dalam proses hidup selanjutnya. Saya justeru menilai bahwa ibadah seseorang pada malam
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/Laelatul.html (3 of 12)13/05/2006 23:42:43
Bunga Rampai Islam
itu, tapi dalam proses selanjutnya "substansi" (hidaya/al Qur'an) diabaikan justeru seperti apa
yang dikatakan Rasulullah: "Refleksi akal semalam seorang alim itu lebih baik ibadah yang
dilakukan seorang 'aabid dalam seribu malam".
Dengan demikian, sesungguhnya kalaulah kita ingin untuk meraih malam yang jauh lebih
baik dari seribu malam itu, sebaiknya selain diperbanyak amalan-amalan ibadah, juga sangat
penting untuk dipergunakan untuk "mentadabburi" ayat-ayat Ilahi yang datang pada malam
itu dan menjadikan malam itu menjadi istimewa. Satu malam yang dipergunakan untuk
merefleksikan "hidayah" Allah, dihayati, dimengerti dengan komitmen diamalkan, tentu jauh
lebih baik dari sekedar shalat-shalat sunnah yang terkadang bertujuan menghitung-hitung
pahala semata. Kehidupan semalam dengan naungan "petunjuk" sebagai bekal dalam
menggapai sisa-sisa kehidupan ke depan, jauh lebih baik dari kehidupan seribu bulan lagi
atau sekitar 84 tahun, namun jauh dari hidayah-Nya Allah SWT. Karena nilai hidup manusia
bukan pendek dan panjangnya, tapi ditentukan oleh nilai "kesadaran kebesaran Ilahi (taqwa)
yang dimiliki seseorang.
Sisi Qadr (kekuatan) Al Qur'an
Adalah memang sangat wajar kalau Al Qur'an dinilai sebagai sebuah kekuatan besar. Al
Qur'an sendiri dengan tegas mengatakan: "Kalau seandainya Al Qur'an ini Kami turunkan di
atas sebuah gunung maka gunung itu akan guncang karena takut kepada Allah" (Al Hasyar:
21). Al Qur'an adalah kalam Ilahi yang "mu'jiz", yang memiliki kekuatan luar biasa yang
mengalahkan segala tandingan dari sudut dan aspek mana saja. Saya sangat yakin, hanya
akal-akal kerdil saja yang masih meragukan akan kehebatan Al Qur'an, dan cenderung untuk
meletakkan Al Qur'an pada posisi yang sejajar dengan akalnya yang terbatas.
Barangkali pada kesempatan ini, saya tidak sempat membahas semua sisi kekuatan Al
Qur'an. Saya rasanya malu menjadi anak kampungan yang diajak jalan-jalan ke pinggir
pantai, dan serta merta menyatakan bahwa pantai itu tak bernilai, kotor dan hanya penuh
dengan kotoran. Sebab saya hanya tukang cangkul kebun yang hanya bisa melihat pinggiran
laut yang maha luas itu. Kalaulah saya menjadi ahli laut, bisa menyelam dan melihat
"values" yang ada di kedalaman laut itu, tentu saya tidak kampungan mengambil kesimpulan
seperti tadi.
Itulah Al Qur'an, sebuah lautan yang seandainya seluruh laut dijadikan tinta untuk
menggalinya, niscaya air laut ini akan habis walau didatangkan sebanyak itu lagi, tak akan
selesai digali. Kedalaman dan keluasan ilmu yang terkandung dalam Al Qur'an menjadikan
kita semua hanya bisa terkagum-kagum, justeru tidak semakin menyombongkan diri
menngingkari kehebatannya. Lebih celaka, karena pengingkaran kita ditambah lagi dengan
keangkuhan seolah "pemahaman" kita jauh lebih hebat dari kandungan Al Qur'an itu sendiri.
Kesombongan insan tidak lagi sebatas menantang "penafsiran" ulama lain, tapi telah berada
pada batas menantang "kehebatan" Kalam Ilahi itu sendiri. Suatu kesombongan yang sangat
luar biasa, bahkan suatu kenaifan yang sebenarnya sangat menjijikkan, karena penantangan
seperti itu hanya semakin memperlihatkan "kejahilan" yang hebat dari seseorang. "Walan
taf'aluu" (dan kamu tak akan bisa melakukan penantangan itu) tantang Al Qur'an. Itulah
sebabnya, semakin direndahkan Al Kitab ini, justeru semakin menampakkan kemuliaaannya.
Allah sendiri meyakinkan: "Wa Qul Jaa al Haq wa zahaqa al baathilu, innal baathila kaana
zahuhuqa" (dan katakan: sungguh kebenaran telah tiba dan kebatilan telah lenyap, dan
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/Laelatul.html (4 of 12)13/05/2006 23:42:43
Bunga Rampai Islam
sungguh (jika bertabrakan) kebatilan itulah yang akan lenyap). Sesungguhnya inilah yang
menjadikan "ahli bathil" terkadang panik dalam menyampaikan ide-idenya, karena dari hari
ke hari ide-ide mereka semakin tidak populer, walau itu didukung oleh berbagai fasilitas
yang lebih hebat dan canggih.
Kekuatan yang Membawa Perubahan
Kalau bisa saya istilahkan, al Qur'an sebenarnya adalah "Quwwah Taghyyiriyah" atau
kekuatan yang membawa perubahan (changing power) dalam kehidupan manusia.
Barangkali istilah klasik yang kita kenal, kerubahan dari alam yang gelap gulita ke alam
yang terang benderang, perubahan dari pengabdian kepada "thaguut" kepada pengabdian
semata kepada "Allah", Pencipta alam semesta. Sebuah kekuatan yang membawa perubahan
dari kehidupan yang "jahiliyah", kebodohan, kesemprawutan, keterbelakangan, kemiskinan
dan penderitaan, kepada kehidupan yang "illuminated", intelektualitas, kedisiplinan,
kemajuan, kemakmuran dan kebahagiaan.
Mungkin pertanyaan klasik akan muncul. Kalaulah al Qur'an itu adalah sebuah kekuatan
perubahan, tapi kenapa kehidupan umat ini jauh dari seperti yang diharapkan? Sebenarnya
terjawab dengan kenyataan hidup umat itu sendiri, betapa umat ini jauh dari al Qur'an.
Kenyataan hidup umat yang menyedihkan saat ini bukan dikarenakan ajaran al Qur'an, tapi
sebaliknya dikarenakan umat ini telah jauh dari ajaran Al Qur'an yang sebenarnya. Umat
Islam dalam sejarah, tidak pernah dan tak akan pernah menjadi jaya dengan mejauhkan diri
dari Kitab Sucinya. Yang terjadi adalah sebaliknya, bahwa keterpurukan yang dialami oleh
umat Islam tidak lain disebabkan semakin menjauhnya mereka dari "petunjuk" Allah SWT.
Allah berfirman: "Dan jika datang kepadamu petunjuk dariKu, maka barangsiapa yang
mengikut petunjukKu, maka atas mereka tiada takut dan sedih. Tapi mereka yang
mandustakan ayat-ayatKu, merekalah ahli "Neraka", mereka kekal di dalamnya (Al Baqarah:
38-39)
Neraka (penderitaan) yang dialami oleh umat manusia saat ini, termasuk neraka-neraka
duniawi (adzaab al adnaa) adalah akibat dari kelalaian mengikut kepada petunjuk Allah
SWT. Sebaliknya, mereka mengejar kejayaan dengan bertaqlid buta kepada "petunjukpetunjuk" lain (subul), ibarat mengejar "fatamorgana", sebuah ilusi dalam kehidupan yang
tiada berkesudahan.
Ada tiga perubahan dasar yang dibawa oleh Al Qur'an:
1. Perubahan Hati dan Jiwa (Taghyiir al Quluub/ Nafsiyah)
Dalam Al Qur'an, seringkali Allah sebelum menyebutkan kemuliaan ayat-ayat KalamNya,
disebutkan perumpamaan berupa "turunnya air hujan dari langit ke bumi dan tiba-tiba
menyuburkan tanah, dan dari tanah tumbuh tumbuh-tumbuhan dan menghasilkan buahbuahan sebagai rezki bagi manusia" (lihat Al Baqarah: 22 misalnya). Setelah itu, Allah
menantang siapa saja yang merasa bisa menciptakan petunjuk yang sehebat Al Qur'an untuk
mendatangkan satu pasal saja (surah) yang seperti salah satu surahnya. (Al Baqarah: 23).
Pertanyaan yang kemudian timbul, kenapa Allah menyambung kedua hal itu (hujan dan
bumi di satu sisi dan ayat-ayat Al Qur'an dan perilaku manusia di sisi lain)? Jawabannya
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/Laelatul.html (5 of 12)13/05/2006 23:42:43
Bunga Rampai Islam
adalah Jika air hujan yang diturunkan ke bumi ini merupakan penyubur tanah dan dari tanah
subur yang subur inilah timbul tumbuh-tumbuhan sehat yang membuahkan buah-buah yang
segar. Buah-buah segar inilah yang diperlukan oleh jasad manusia untuk tetap sehat lestari
memakmurkan bumi ini. Maka wahyu al Qur'an adalah air hujan ruh, yang diturunkan untuk
menyuburkan jiwa manusia. Dari jiwa yang subur ini, tumbuh pepohonan yang kokoh kuat,
akar-akarnya menghunjam ke dalam tanah, dahangnya mencakar langit dan menghasilkan
buah-buah setiap saat dengan izin Tuhannya (S. Ibrahim: 24).
Kenyataan ini yang kemudian dikuatkan oleh Rasulullah SAW: "Sungguh pada diri setiap
insan itu ada segumpal darah, yang jika baik akan baik seluruh amalannya. Namun jika rusak
maka rusaklah seluruh amalannya. Itulah dia hati" (hadits).
Kenyataan inilah yang menjadikan al Qur'an menjadi sebuah kekuatan hebat yang secara
khusus dirancang oleh "Sahibul Kalaam" (Allah SWT) untuk merombak jiwa-jiwa yang
yang melenceng. Al Qur'an adalah obat apa yang ada di dada, penyejuk jiwa, penentram
kalbu. Generasi pertama dari umat ini, adalah hasil bentukan qur'ani. Hati-hati mereka yang
tadinya keras (qaashiyah), menjadi lembut dengan gemblengan al Qur'an. Hati yang tadinya
liar menjadi jinak terhadap "masalih insaniyah" (kemaslahatan manusia). Inilah yang
menjadikan "penaklukan" kota Makkah (Fath Makkah) tidak menjatuhkan korban kecuali
tiga orang dari kalangan Qurays. Dalam sejarah kehidupan manusia, penaklukan mana yang
tidak menjatuhkan ratusan, ribuan bahkan jutaan manusia?
Sayang sekali, bahwa hati-hati yang menerima al Qur'an jauh lebih keras dari sebuah
bebatuan yang dijatuhi air hujan. Allah memberikan perbandingan antara batu-batu yang
dijatuhi air hujan dan hati-hati yang keras yang tak mau tunduk pada firman Allah:
"Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras
lagi. Padahal di antara batu-batu itu ada mengalir sungai-singai darinya dan
darinya pula ada yang terbelah lalu keluarlah air dan dari padanya ada yang
meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Dan sekali-kali Allah tiada lengah
dari apa yang kamu kerjakan" (Al Baqarah: 74).
Ayat di atas menjelaskan bahwa betapa batu-batu yang keras masih dapat diharapkan
memberikan manfaat berupa dari selah-selahnya terpancar sungai-sungai atau batu itu
sendiri yang terpecah dan tiba-tiba keluar air darinya. Namun hati yang keras, tiada harapan
kecuali bahwa hati seperti ini hanya akan bisa bermanfaat di hari Akhirat nanti karena
dijadikan bagian dari kayu bakar api Neraka (al Baqarah: 24). Dari kenyataan inilah, al
Qur'an seringkali menantang hati-hati yang keras ini. "Tidakkah sudah masanya bagi orangorang yang beriman untuk hatinya takut terhadap Allah dan terhadap apa yang diturunkan
dari kebenaran?" (Al Hadid: 16). "Apakah mereka tidak mentadabburi al Qur'an, ataukah
pada hati-hati mereka terdapat penghalang?" (An Nisaa: 82).
Dari kenyataan-kenyataan di atas jelas, bahwa jauhnya buah-buah keimanan berupa amalamal kebaikan dalam kehidupan kaum Muslimin tak lain disebabkan oleh ketumpulan jiwa.
Jiwa tumpul nan gersang, hanya melahirkan buah-buah pahit yang meracuni kehidupan.
Untuk itu, perilaku moral, karakter dan tindak tanduk umat ini yang semakin jauh dari nilainilai kebenaran sesungguhnya adalah indikator langsung dari kebekuan jiwa yang tidak
tersinari oleh "nur hidayah" Ilahi. Jika saja korupsi merajalela di kalangan pemimpin
Muslim, suap menyuap menjadi sesuatu yang lumrah, tipu menipu, memakan riba, pelacuran
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/Laelatul.html (6 of 12)13/05/2006 23:42:43
Bunga Rampai Islam
merebab di mana disusul oleh aborsi yang mengumum, pamakaian narkotika dan obat-obat
terlarang lainnya,..semua ini merupakan hasil dari hati-hati yang rusak. Dan pada titik ini
pulah al Qur'an sebagai sebuah kekuatan datang untuk merubahnya. Merubah hati-hati yang
bergelimang dengan kegelapan menuju kepada hati-hati yang dipenuhi cahaya Ilahi.
2. Perubahan Cara Pandang (Taghyiir 'aqliyah tsaqafiyah)
Kekeliruan dalam melihat kehidupan ini menjadikan banyak orang yang keliru dalam
mengarungi kehidupan itu sendiri. Berbagai penderitaan yang menimpa umat manusia,
disadarinya atau tidak, adalah akibat langsung dari kesalahan dalam menjalani kehidupan
yang merupakan buah langsung dari persepsi yang salah terhadap kehidupan itu sendiri.
Ada tiga cara pandang manusia dalam melihat kehidupan ini:
●
●
●
Cara Pandang Materialistik
Cara Pandang Spiritualistik
Cara Pandang Islami
Cara pandang pertama adalah cara pandang yang menumpukan segala sesuatu pada materi
duniawi. Kesuksesan, kemajuan, ketentraman, dan bahkan angan-angan kebahagiaan,
semuanya didasarkan pada pijakan materi. Seseorang dianggap sukses jika telah
mendapatkan keberuntungan materia duniawi yang tak terbatas, tanpa melihat lagi apakah
materi itu diperoleh dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT atau tidak. Seorang ayah atau
ibu merasa berhasil mendidik anaknya, jika anak tersebut berhasil meraih gelar pendidikan
tertinggi dari sebuah universitas yang terkenal, walau sang anak tak lagi sadar atau faham
akan agama yang dianutnya. Dalam sebuah rumah tangga, yang diperhatikan adalah perabot
rumah yang mahal, mewah namun jauh dari ruh hidayah yang mendatangkan rahmat Allah
SWT. Demikian seterusnya, benda atau materi duniawi menjadi ukuran dalam segala hal.
Ada tiga indikasi utama dari seseorang yang memiliki cara pandang materialistik atau
duniawi ini:
●
Selalu lalai akan tibanya masa akhir hidupnya
Allah menegaskan: "Mereka tahu hal-hal lahiriyah dari kehidupan dunia ini. Namun mereka
lalai dari kehidupan akhirat" (Ar Rum: 3). Allah juga menegaskan: "Yang mengumpulkan
harta dan menghitung-hitungnya. Dia menyangka kalau hartanya itu akan
mengekalkannya" (Al Lumazah). Bahkan Allah secara gamblang mengingatkan, betapa
banyak manusia yang dilalaikan oleh perlombaan mencari harta yang lebih banyak, hingga
masa di mana mereka sadar di alam kuburnya masing-masing (At Takaatsur). Fakta inilah
yang menjadikan dunia itu seringkali dinamai "Laahii" atau sesuatu yang mejadikan orang
lupa. Dalam S. Al Jumu'ah Allah menegaskan hal ini.
●
Terjadi kedzaliman-kedzaliman dalam hidupnya
Kedzaliman atau ketidak adilan yang terjadi dalam hidup manusia, diakibatkan oleh persepsi
materialistik yang dimilikinya. Kedzaliman tertinggi tentunya adalah kedzaliman yang
dilakukan terhadap hak-hak Pencipta kita sendiri. Kalaulah sesat kita berfikir, merefleksikan
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/Laelatul.html (7 of 12)13/05/2006 23:42:43
Bunga Rampai Islam
kebesaran dan keagungan ni'mat yang Allah karuniakan, lalu kita bandingkan apa-apa yang
telah kita persembahkan untuk mendapatkan ridhaNya, alangkah naifnya kita. Sehingga,
wajar saja kalau untuk masuk syurgaNya Allah di Hari Akhir nanti, hanya bisa dengan
karunia rahmat Allah dan bukan karena hasil kerja-kerja yang kita lakukan. Sebab logikanya,
kalaupun kita telah berhasil melakukan secuil kebajikan, bukankah itu juga karena "kerunia"
hidayah dan daya yang Allah berikan? Lalu di mana letak logikanya jika kita harus merasa
"bisa" melakukannya sendiri?
Kezaliman pada diri sendiri adalah akibat cara pandang materialistik semata. Bahwa
manusia menjadi manusia karena dua sisi hidupnya yang tidak terpisahkan; materi dan ruh.
Tapi karena keinginan untuk memenuhi kebutuhan materi (hajah jasadiyah), kita
mengabaikan hajat mendasar yang lain berupa hajat ruhiyah (spiritual need). Akibatnya,
manusia hidup gersang, kering bathin, walau di tengah-tengah tumpukan materi. Manusia
mati secara spirit, walau sehat sehat secara jasad. Maka terjadilah kuburan-kuburan yang
berjalan. Mungkin dunia saat ini adalah dunia yang paling merana karena kezaliman manusia
pada dirinya sendiri.
Kezaliman pada keluarga, khususnya anak-anak juga karena akibat cara pandang
materialistik ini. Betapa banyak orang tua, atas nama masa depan anak, ternyata hakikatnya
membawa bencana besar bagi sang anak itu sendiri. Pendidikan anak dalam dunianya
memang sukses, mencapai tingkat Ph.D, menjadi seorang lawyer yang terkenal, ahli
ekonomi, politisi, dst. Tapi sadarkah seorang tua, jika semua itu telah dicapai lalu sang anak
tidak sama sekali sadar akan agamanya lagi? Apalah makna Ph.d atau sederetan gelar yang
lain, jika ternyata pada akhirnya sang anak hanya akan masuk ke dalam neraka? Mereka ke
neraka karena siapa? Kalau ternyata karena kelalaian orang tua, walau atas nama masa depan
anak, maka orang tua seperti ini adalah orang tua yang zalim, yang di Hari Akhirat nanti
akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT.
Demikian pula kezaliman-kezaliman yang terjadi di antara sesama makhluk Allah SWT.
Kezaliman telah merajalela dalam kehidupan manusia, akibat cara pandang yang materilisitk
ini. Zalim pada keluarga dalam hubungan silaturrahim, pada guru (ahli ilmu), pada tetangga,
pada sesama Muslim, sesama manusia, dan bahkan kepada makhluk-makhluk yang lain.
Kezaliman kepada alam sekitar, termasuk lingkungan hidup adalah akibat cara pandang
materialisitk, termasuk penebangan hutan secara liar misalnya. Akibatnya, kejahilan ini
kembali kepada umat manusia itu sendiri (lihat Ar Rum: 41).
●
Terjadinya pengingkaran (kekufuran)
Logikanya, dunia ini tak akan pernah mendatangkan kebahagian final. Manusia yang
memburu kepuasan dengan dunai semata, justeru akan semakin tidak puas. Barangkali
gambaran sederhana yang diberikan adalah "ibarat seorang haus yang meminum air laut,
semakin diminum akan semakin mendatangkan rasa haus". Untuk itulah, justeru manusia
yang memiliki cara pandang duniawi ini, semakin memburunya justeru semakin tidak puas,
dan pada akhirnya tidak akan pernah merasakan keni'matan Allah SWT. Akibatnya, mereka
justeru cenderung mengingkari kebesaran Allah atas mereka. Allah menegaskan hal ini:
"Sesunggunya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada
Tuhannya. Dan sesungguhnya manusia irtu menyaksikan (pengingkarannya).
Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta" (al
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/Laelatul.html (8 of 12)13/05/2006 23:42:43
Bunga Rampai Islam
'Aadiyat: 6-8).
Akibat ketidak mampuan mensyukuri, terjadilah penyelewengan-penyelewengan pamakaian
ni'mat Allah. Sebab mensyukuri ni'mat berarti, salah satu indikasi terpenting, adalah
memakai harta itu di jalan yang diridhai oleh Pemberinya (al Mu'thii). Sebaliknya, jika
ternyata mereka yang dianugerahi harta memakainya untuk kepentingan yang justeru
mendatangkan "murka" Allah, menandakan bahwa yang bersagkutan tidak sama sekali bisa
mampu bersyukur atas karunia ni'mat yang didapatkannya.
Itulah tiga akibat besar yang ditimbulkan oleh cara pandang manusia yang materialistik
terhadap kehidupan dunia ini. Al Qr'an datang sebagai kekuatan pengrubah, yang harus
mampu merubah cara pandang mereka yang mengimaninya. Untuk itu, keimanan kepada Al
Qur'an tidak mungkin bisa bersatu dengan cara pandang materialisitk duniawi. Sebab cara
pandang seperti ini adalah sesuatu yang diantipati oleh kandungannya.
Cara pandang kedua adalah yang menilai bahwa kehidupan dunia ini hanyalah "ilusi" (bukan
realita), dan bahkan dinilai menjadi penghalang bagi seseorang dan Tuhannya. Untuk itu,
untuk memperoleh ridha Allah, seseorang harus menghindarkan diri dari kehidupan ini dan
mengkonsentrasikan diri "semata" dalam kehidupan spiritualnya. Bagi seorang Muslim yang
berfikiran seperti ini, akan mengurung diri sepanjang siang dan malam dirinya dalam rumahrumah ibadah, melakukan dzikir dan tasbih, serta bermunajat semoga diberikan kebahagiaan
dunia akhirat.
Cara pandang seperti ini juga adalah cara pandang yang keliru dari sudut pandang Islam.
Sebab dalam agama ini tidak ada "rahbanisme" (celibacy). Rasulullah bahkan memarahi tiga
sahabat yang seolah tidak ingin lagi melibatkan diri dalam kehidupan dunia ini. Umar
memarahi seorang pemuda yang berdoa sepanjang hari dalam masjid meminta rezki namun
tidak pergi ke pasar untuk mencari rezki yang telah dimintanya itu. Bahkan pada saat perang
Tabuk yang terjadi di musim panas, seorang sahabat tetap melakukan ibadah puasa,
Rasulullah menegurnya dengan mengatakan "Laa khaera di haadza" (tiada kebaikan dengan
cara seperti ini).
Dengan fakta-fakta yang banyak dalam Al Qur'an, semuanya menjelaskan secara gamblang
bahwa kehidupan dunia adalah bagian integral dari ajaran Islam, dan mengingkarinya adalah
juga mengingkari sebagain dari ajaran agama ini. Bahkan jelas dalam agama ini, menjalani
kehidupan dunia ini adalah juga merupakan ibadah yang tidak kurang nilainya dari ibadahibadah (ritual) sekalipun.
Cara pandang yang ketiga adalah kombinasi kedua cara pandang di atas dan adalah
merupakan cita-cita agung al Qur'an. Itulah cara pandang Islami, yang mendatangkan
keridhaan Allah SWT. Dalam banyak ayat al Qur'an, Allah mengingatkan: "Carilah
kehidupan akhiratmu, tapi jangan lupa pula kehidupan duniamu". Bahkan Allah
menjelaskan: "Jika shalat Jum'at dikumandangkan, maka berusaha keraslah untuk datang
kepada dzkrullah (shalat) dan tinggalkan seluruh hal yang menyibukkan (business). Hal itu
lebih baik bagimu jika kamu tahu". Namun Allah meneruskan perintah ini dengan
firmanNya: "Dan jika shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah di atas bumi dan carilah
rezki Allah dan ingat Allah sebanyaknya, semoga kamu beruntung" (Al Jumu'ah).
Cara pandang Islami adalah yang menilai kedua perintah di atas sama-sama memiliki status
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/Laelatul.html (9 of 12)13/05/2006 23:42:43
Bunga Rampai Islam
hukum yang sama. Yaitu kewajiban yang harus ditunaikan. Seorang Muslim wajib
memenuhi ajakan shalat, namun pada saat shalat telah ditunaikan, dia merasakan kewajiban
yang lain berupa bertebaran di atas permukaan bumi mencari rezki Allah SWT. Muslim
tidak dikehendaki diskriminatif terhadap kedua perintah ini. Hendaknya tidak dilihat bahwa
perintah menunaikan shalat adalah kewajiban yang nilainya 100%, sementara mencari rezki
hanya 50%. Tidak ada kewajiban 100% sementara yang lain 50% atau kurang. Semua
kwajiban adalah 100%. Untuk itu, membangun dunia ini, dalam rangka akhirah kita adalah
kewajiban yang juga nilainya 100%.
Al Qur'an sebagai sebuah kekuatan "mughayyir" (changing power) harus merubah cara
pandang kita terhadap "track" yang benar ini. Umat kita telah lama terbelakang, hampir
dalam segala aspek kehidupan. Dan saya kira masanya kita memburu keterbelakangan ini,
tapi harus menjadi umat yang materislistik. Kita maju dengan cara pandang dan orientsi
hidup kita sendiri. Kita tidak perlu mengharuskan diri bercermin kepada "Timur atau Barat"
dalam upaya mendapatkan kemajuan kita. Karena sesungguhnya kemajuan umat ini terletak
dalam ajarannya sendiri. Dan inilah Al Qur'an, kekuatan yang datang untuk membawa umat
ini kepada kemajuan yang hakiki.
3. Perubahan Peradaban (Taghyiir Hadhary)
Ajaran Al Qur'an adalah kehidupan itu sendiri. Kehidupan tanpa dinaungi oleh sinar wahyu
Ilahi adalah kehidupan hampa tanpa makna. Untuk itu Allah memanggil umat ini untuk
meraih kembali kehidupannnya lewat ajaran al Qur'an:
"Wahai orang yang beriman, penuhilah ajakan Allah dan rasulNya jika kamu
diajak kepada kehidupanmu" (Al Anfal:24)
Para ahli tafsir mengatakan bahwa kehidupan yang dimaksud di sini adalah Al Qur'an atau
Al Islam itu sendiri. Artinya, kehidupan yang membawa berkah, bermakna, maju, tidak
semrawut, berdisiplin, bercahaya, dan bahagia itu adalah kehidupan yang mengikut kepada
petunjuk Al Qur'an (al Islam). Maka di saat kita berbicara tentang peradaban, kita
sebenarnya berbicara tentang kehidupan manusia itu sendiri. Peradaban adalah kehidupan
manusia secara menyeluruh, dalam segala aspeknya. Dan Al Qur'an pun datang untuk
memberikan petunjuknya dalam upaya membangun peradaban yang bermutu ini.
Dalam menyikapi peradaban ini, umat Islam terkadang hanya bisa bangga dengan masa
lalunya. Kita bangga dengan kajayaan Islam hingga ke Eropa ketika itu, dan akhirnya kita
hanya mengakui "turats" yang sekarang jusetru dimiliki orang lain. Sementara yang lain
sibuk mendialogkan apa yang dinamakan "dialog antar peradaban", namun peradaban tidak
akan tercipta dalam sebuah ruangan ber AC.
Manusia muslim menjadi manusia yang beradab, karena dalam kehidupan individunya
mempraktekkan moralitas. Keimanan kepada Allah, tidak melanggar hak-hak sesama,
menjaga keharmonisan rumah tangga, dst. Tapi sayang, peradaban kita masih terbatas
kepada peradaban individuil, kalaupun ada, dan belum menyentuh kehidupan manusia yang
lebih luas. Akibatnya, terkadang ketika peradaban kita rasakan dipaksakan dalam kehidupan
kita, seperti dunai senia (film, dll.) kita hanya bisa reaktif, tapi belum mampu memberikan
pengganti atau alternatif.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/Laelatul.html (10 of 12)13/05/2006 23:42:43
Bunga Rampai Islam
Inilah barangkali yang harus dirubah oleh kekuatan pengrubah (changing power), Al Qur'an.
Al Qur'an sebagai kekuatan harus diterima sebagai petunjuk sempurna, yang mampu
melakukan perumbakan total kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Al Qur'an
memberikan alternatif sisitm hidup yang syamil-kamil-mutakamil, yang diterapkan secara
logis dan praktis, serta menempuh jalur menusiawi yang diterima secara konsensus. Artinya,
kalaulah ajaran Islam ini diterapkan secara benar, maka ia akan dilihat oleh umat manusia
sebagai ajaran penyelamat dari penderitaan panjang yang telah diderita oleh manusia sejak
berabad-abad. Sayang, sekali lagi, umat ini sendiri yang ragu terhadap ajarannya, dan
kalaupun meyakininya mereka mempraktekkannya secara keliru dan terkadang dikotori
dengan kecenderung-kecenderung hawa nafsunya sendiri. Maka terjadilah perjuangan atas
nama Islam, tapi sesungguhnya diperuntukan untuk kepentingan-kepentingan sesaat.
Kedamaian Hingga Fajar
Menyambut Laelatul Qadr dengan pengertian seperti inilah yang kemudian membawa
kehiduoan "rabbany", yaitu suatu kehidupan yang senantiasa menjaga nilai-nilai kesuciannya
bersama Ilahi. Kehidupan yang di dalamnya tidak merajalela kemungkaran, dan bahkan
terkadang menjadi bagian dari kehidupan yang dianggap normal (kasus lokalisasi pelacuran
dan perjudian). Penggambaran kehidupan seperti ini yang disebutkan dalam ayat: "Turunlah
para malaikat pada malam itu dan juga Ruh (jiblril) dengan izin Tuhanya dengan segala
urusan". Suatu kehidupan yang jauh dari cahaya Ilahi tidak mungkin akan diasosiasikan
dengan malaikat karena malaikat adalah simbiol kesucian, makhluk yang tidak pernah
bersentuhan dengan dosa-dosa. Gambaran ini diperkuat dengan ayat Allah: "Seandainya
penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, sungguh Kami akan bukakan bagi mereka pintupintu berkah dari langit dan bumi, tapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami
adzab mereka atas upaya mereka sendiri" (al A'raaf: 96).
Kehidupan yang penuh berkah inilah, yang di dalamnya dipenuhi ketaatan, ketakwaan,
kesadaran ilahiyah, kehidupan Rabbany, akan membawa kedamaian sejati.
"Salaam" (kedamaian, ketentraman, kesejukan) hidup akan dirasakan oleh semua pihak
"hingga terbitnya fajar" di pagi hari. Fajar kematian, menemui ajal dengan tenang pada
tataran individu, dan mengakhiri peradaban manusia dengan datangnya Kiamat pada tataran
kehidupan sosial. Dan ketenangan seseorang dalam menghadapi maut, serta ketentraman
peradaban hingga datangnya Kiamat hanya bisa diraih dengan kesuksesan kita meraih
"Buah" Laelatul Qadr; Al Qur'an al Kariim.
Allahumma ar hamnaa bil Quraan, waj'alhu lanaa imaaman wa nuuran wa hudaan warahma.
Allkahumma 'allimnaa minhu maa jahilna wadzakkirnaa minhu maa nasiina. War zuqnaa
tilaawatahu 'anaal lael wa athraafan nahaar. Waj'alhu lanaa hujjatan ya Rabbal'aalamiin.
Amin ya Rabbal 'aalamiin!!
*(catatan-catatan ceramah Laelatul Qadr dan nuzul al Qur'an).
New York, 4 Desember 2002
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/Laelatul.html (11 of 12)13/05/2006 23:42:43
Bunga Rampai Islam
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/Laelatul.html (12 of 12)13/05/2006 23:42:44
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
MENYAMBUT RAMADHAN
M. Syamsi Ali
For emergency, dial 911!
Itulah kalimat singkat yang kita temukan hampir di semua tempat di negeri ini. 911
adalah nomor emergency atau nomor darurat yang dapat dikontak setiap saat jika ada halhal yang tidak menguntungkan. Namun sejak 11 September lalu, 911 tidak lagi selalu
dikonotasikan dengan sesuatu yang "darurat". Nomor-nomor tersebut saat ini lebih
diartikan tragedi 11 September yang menelan ribuan korban. Tapi adakah 911 ini lepas
makna "emergency contact"? Ataukah jangan-jangan justeru 911 kali ini bukan nomor
kontak dari manusa, tapi kontak langsung dari Dia Yang Maha Kuasa. Allahu A'lam!
Allah Maha Pencipta dan Allah pula Yang Maha Kuasa dan Pengatur. Manusia hanyalah
secuail dari alam semesta ciptaan Ilahi. Dan alam semesta beserta seisinya ini pun tunduk
dan patuh pada kekuasaan dan pengaturanNya. Sebab hanya dengan ketundukan dan
kepatuhan kepadaNya, terwujud keharmonisan alam dan kehidupan. Sunnah Allah dalam
penciptaan, ketentuan dan aturan-aturanNya mengikat secara menyeluruh menyeluruh.
Manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan segenap makhluk berunsur air ataupun tidak,
semuanya tunduk di bawah aturanNya. Aturan inilah yang disebut "Dien". Dan
kehidupan yang mengikut kepada Dien inilah yang disebut kehidupan yang "teratur".
Sayangnya, manusia yang diberi porsi kemuliaan berupa "kebebasan memilih" (hurriyat
al ikhtiyar), justeru lebih banyak memilih "penentangan" terhadap keteraturan
penciptaanya sendiri.
Pada saat manusia semakin jauh dari kehidupannya yang teratur inilah Allah SWT sekalisekali men-dial 911 sebagai peringatan. Allah melakukan "kontak" ini lewat tangantangan manusia itu sendiri. Di S. Ar Rum Allah menjelaskan: "Zhahara al fasaadu fil
barri wal bahri bimaa kasabat aedinnaas liyudziiqahum ba'dhalladzi 'amiluu la'allhum
yarji'uun" (Telah nampak destruksi di darat dan di laut sebagai akibat dari tangan-tangan
manusia, agar Allah menjadikan mereka merasakan akibatnya, sehingga semoga
dengannya, mereka kembali ke mereka yang teratur).
Ayat ini menjelaskan bahwa kerusakan itu terjadi karena tangan-tangan (simbol
kapabilitas) manusia sendiri. Kerusakan ini juga berakibat negatif yang pasti dirasakan
oleh mereka (manusia). Tapi dalam hal ini, Allah memakai kata "liyudziqahum" (artinya,
walaupun manusia sendiri yang melakukan, namun Allah-lah yang menjadikan mereka
merasakan akibat kerusakan tersebut. Dengan kata lain, Allah memberikan balasan
setimpal kepada manusia lewat tangan-tangan mereka sendiri. Itulah kehebatan Allah.
Untuk apa? "la'allahum yarji'uun", yaitu agar mereka sadar, instropeksi, lalu segera
kembali ke jalan hidup yang teratur (fitrah) tadi.
Kita dan 911
Mungkin ada yang berpendapat, tragedi ini ditujukan kepada bangsa Amerika atau non
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/911.html (1 of 4)13/05/2006 23:42:48
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Muslim semata. Sementara ummat Islam harus merasakannya sebagai a "gift". Persepsi
ini di satu sisi ada benarnya. Sebab seorang Muslim akan selalu melihat segala
sesuatunya dalam perspektif "optimisme". Kata Rasulullah SAW: "'ajaban li amrill
mu'min. Inna amrahu kullahu khaer. In ashobahu khaerun syakar, wa in ashobahu syarrun
shobara" (sungguh ajaib urusan orang-orang beriman itu. Semua urusannya mengandung
kebajikan. Jika ditimpa kebaikan dia bersyukur, namun jika ditimpa musibah dia
bersabar). Maka dari perspektif ini, Muslim boleh saja melihat tragedi 911 sebagai a
"gift".
Namun sebaliknya, jika dilihat dari perspektif yang lebih luas, maka kejadian ini boleh
jadi sebelum ditimpakan pada orang lain hendaknya dipandang sebagai sesuatu yang
ditujukan pada kita sendiri. Boleh jadi, bahwa cobaan untuk umat ini didatangkan melalui
tangan-tangan orang lain. Boleh jadi, bahwa datangnya "emergency call" ini ditujukan
untuk kita, namun melalui saluran telefon yang dimiliki oleh tetangga kita. Untuk itulah,
yang terbaik bagi ummat ini adalah melakukan "muhasabah" (introspeksi) sedalamdalamnya, apa sih rahasia semua kejadian ini? Sampai di mana "amanah" penjagaan
keteraturan (fitrah) kehidupan telah kita jaga? Sampai di mana amanah "risalah", ruh
kehidupan fitri kita tegakkan? Mungkin kita telah lalai, sehingga terkantuk-kantuk di
tengah terpahan angin spoi-spoi dalam sebuah taman keindahan yang fana, atau mungkin
kita telah tertidur pulas dalam kesemuan duniawi. Sehingga amanah kerisalahan, amanah
da'wah dan bahkan amanah diri kita sendiri telah terkhianati. "Yaa ayyuhalladziina aman
Dari Sya'ban Menuju Ramadhan
Dial 911 segera disusul dengan datangnya Sya'ban dan Ramadhan. Dua bulan yang secara
khusus memiliki makna historis yang penting dalam sejarah perjalanan ummat. Bulan
Sya'ban yang dikenal sebagai pintu menuju Ramadhan, memiliki makna historis, karena
pada bulan inilah, tepatnya pada pertengahannya yang disebut "Nisf Sya'ban", terjadi
peristiwa maha penting dalam sejarah peradaban Islam. Peristiwa penting tersebut adalah
dipenuhinya hasrat kuat Rasulullah SAW untuk kembali menghadapkan wajahnya ke
arah "al Ka'bah as Musyarrafah" di saat melangsungkan komunikasi langsung (mi'raj)
dalam bentuk shalat dengan Sang Khaliq. "Tahwiil al Qiblah" atau perubahan kiblat
itulah merupakan lambang kemenangan kembali di atas semua dominasi kiblat lainnya.
Dialihkannya kembali kiblat ke arah Ka'bah merupakan simbol kembalinya kemenangan
sejati ke tangan Rasulullah dan ummatnya. Simbol kemenangan al haqq di atas al bathil.
Oleh karena itulah, ayat pertama yang berbicara mengenai hal ini adalah "sayaquulus
sufahaa minan naas" (manusia jahil akan berkata). Mereka, karena kebodohan,
mempertanyakan, apa sih yang menjadikan Muhammad SAW mengalihkan Kiblatnya?
Allah dengan tegas menjawab: "barat dan timur itu adalah milik Allah". Maknanya,
hakikat kiblat itu bukan timur atau barat, Mekah atau Jerusalem. Tapi kiblat itu lebih
ditentukan oleh "hidayah" (yahdii man yasyaa ilaa shiraatin Mustaqiim). (2:142)
Segera setelah penjelasan gamblang tersebut, disusul dengan sebuah realita pula, bahwa
ummat ini adalah "ummatan wasathan". Ummat penengah, bukan karena tidak punya
pendirian. Tapi justeru karena pendiriannya kepada kebenaran sehingga ummat ini
menjadi "wasit". "Wakadzaalika ja'alnaakum ummatan wasathan" (demikianlah Kami
jadikan kamu sebagai umat penengah). Bukan penengah yang tak tahu diri, bukan pula
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/911.html (2 of 4)13/05/2006 23:42:48
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
penengah yang pasif dan masa bodoh. Melainkan penengah yang bersikap
"syahid" (latakuunuu syuhadaa 'alan naas). Yaitu ummat yang mempersaksikan dalam
segala aspek kehidupannya idaman hidup. Ummat yang mendemonstrasikan (syahadah)
kehidupan yang fitrah, yang "thayyibah", baik pada tataran fardiyah (individu) maupun
tataran jama'ah (sosial), dan dalam segala aspeknya, ekonomi,politik, sosial budaya
maupun hankam. Sehingga dengan kehidupan seperti ini, Allah akan mendatangkan
"ghufrannya". Sebagaimana ditegaskan: "Baldatun Thayyibatun wa Rabbun
Ghafuur" (Negeri yang baik dan Tuhan yang Penuh ampunan). Artinya,
Dengan ini dapat dikatakan bahwa sesungguhnya perintah peralihan kiblat adalah
perintah untuk kembali kepada "hudan" (petunjuk) hidup yang asli. Yaitu sistem hidup
yang dibangun di atas nilai-nilai fitrah (Al Islam), yang memang kepadanya kita selalu
dituntut untuk menghadapkan wajah (kehidupan) kita: "faaqim wajhaka liddiini haniifan
fithratallah allati fatharan naasa 'alaeha laa tabdiila likhalqillah" (maka tegakkanlah
wajahmu kepada agama yang lurus. Yaitu fitrah Allah yang dengannya manusia
diciptakan. Nilai penciptaan yang tiada mungkin tergantikan) (Ar Rum).
Sayang, dalam realitanya, ummat berada di persimpangan jalan. Ummat Islam saat ini
berdisiplin tinggi menghadapkan wajahnya ke arah kiblat di satu sisi. Namun pada sisi
lain, rela membelakangi "kiblat" mereka sendiri. Pada diri ummat ini, sedang terjadi
double standard dan contradicted attitude yang gamblang. Bahwa secara lahiriyah mereka
menghadapkan wajah ke kiblat yang benar, namun pada tataran bathin dan kenyataan
hidupnya, mereka membelakanginya dan mencari kiblat-kiblat sesuai kepentingannya
masing-masing. Dan pada intinya, di sinilah letak kehancurannya dan sekaligus
kegagalannya dalam mengemban amanah "wasthiyah" dalam peradaban kemanusiaan.
Kiblat kapitalisme, sosialisme, komunisme dan berbagai isme-isme lainnya telah
membagi-bagi umat ini pada perkiblatan yang berbeda. Sehingga sangat wajar, ummat
yang pada asalnya punya satu "kiblat" tidak mampu menjadi satu umat. Dan di sinilah
letak "fasyal" (kegagalan) yang paling nyata (sebagaimana dijelaskan di al Anfal).
Ramadhan, bulan Kemenangan
Tiada disangkal bahwa bulan Ramadhan adalah bulan penuh kemenangan, kemenangan
individu hingga kemenangan sosial yang lebih luas. Di bulan inilah, umat diharapkan
melakukan "muhasabah" merenung sejenak, siapa,apa dan bagaimana kita seharusnya.
Siang dan malam dijadikan masa untuk beribadah, menajamkan senjata serta memperkuat
perbekalan dalam memerangi musuh yang selama setahun yang lalu menaklukkan fitrah
(kemanusiaan) kita. Untuk itulah, di ujung bulan Ramadhan, Muslim di mana saja,
mengakhirinya dengan sebuah perayaan khusus yang disebut "idul fitri". Yaitu perayaan
yang dilakukan karena kegembiraan atas kembalinya kita ke fitrah kehidupan yang
sesungguhnya. Tapai akankah perayaan ini menjadi sebuah perayaan bohong-bohongan?
Akankah perayaan ini lebih menambah justifikasi double standard dan contradicted
attitude ummat ini? Tergantung indikatornya. Jika ternyata setelah Ramadhan, kehidupan
ngawur ngidul, ngiblat kiri kanan sesuai hawa nafsu, berarti perayaan itu tak lebih dari
sebuah sandiwara atau kebo.
New York, 7 Nopember 2001
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/911.html (3 of 4)13/05/2006 23:42:48
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/911.html (4 of 4)13/05/2006 23:42:48
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
KHOTBAH IDUL FITRI DI MASJID AL-HIKMAH NEW
YORK
Khatib: Ustadz M. Ali Syamsi
Kamis 5 Desember 2002.
Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah, kiranya para hamba Allah di pagi hari ini mempunyai dua perasaan yang
berbeda yang mungkin bertolak belakang. Di satu sisi gembira karena baru saja selesai
malakukan ibadah puasanya selama sebulan penuh; kita puasa disiang hari untuk
mendirikan shalat malam (tarawih) membaca kitab suci Al-Quran dan berbagai bentuk
ibadah lainnya. Nabi Mohammad saw bersabda: “Barang siapa melakukan puasa disiang
hari pada bulan Ramadhan karena dorongan iman dan karena mengharap pahala dari
Allah, maka Allah swt akan memberikan ampunan atas segala dosanya dimasa yang lalu.
Barang siapa yang mendirikan shalat di malam hari di bulan Ramadhan karena dorongan
iman dan mengharap pahala dariNya, Allah swt akan memberi ampunan atas segala
dosanya dimasa yang lalu.
Dilain pihak, saudara-saudara sekalian, mungkin kita pula khawatir sebab kita telah
banyak melakukan banyak kegiatan ibadah selama bulan puasa, tapi kita ternyata tidak
mendapat apa-apa dari bulan puasa itu. Sebagaimana Nabi Muhammad saw bersabda:
“Banyak orang yang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, tapi mereka tidak
dapat apa-apa kecuali hanya lapar dan dahaga. Banyak orang yang melakukan shalat
Tahajud dimalam bulan Ramadhan, tapi mereka tidak dapat apa-apa kecuali rasa
mengantuk.
Saya yakin bahwa setiap orang islam sadar bahwa semua bentuk ibadah-ibadah ritual
dalam Islam memiliki dampak-dampak sosial (social impact). dalam kehidupan kita,
termasuk tentunya puasa di bulan Ramadhan. Puasa sendiri mempunyai kedudukan yang
khusus dalam islam. Seperti halnya Allah berfirman dalam Al-Qur'an: Allah swt secara
langsung menghubungkan antara keimanan sesorang dengan ibadah puasanya, tapi tidak
dengan shalat, ibadah haji, ataupun zakat. Kenapa Allah swt menempatkan kedudukan
ibadah puasa mempunyai hubungan langsung dengan Iman kita, ini menunjukan bahwa
ibadah puasa adalah suatu ibadah yang mempunyai hubungan pribadi antara Allah swt
dengan umatNya. Sabda Nabi Muhammad saw dalam hadits Qudsi: Semua kegiatan amal
ibadah sudah diturunkan lewat semua keturunan Nabi Adam saw kecuali puasa, sebab
puasa hanyalah untukKU, dan akan saya beri pahalanya langsung nanti dihari kemudian.
Inilah janji Allah swt.
Itulah sebabnya saudara-saudara sekalian, tujuan utama dari puasa adalah untuk
meningkatkan rasa taqwa yang lebih tinggi kepada Allah swt. Dan taqwa adalah level
yang tertinggi dari karakter manusia, sebagai sarana menuju kepada kemuliaan yang
tertinggi didalam masyarakat. Sebagaimana Allah swt katakan dalam Al-Qur'an: "Yang
termulia di antara kalian disisi Allah swt adalah yang paling bertaqwa. Nabi Muhammad
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/khotbahied2002.html (1 of 6)13/05/2006 23:42:52
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
saw juga bersabda: Tiada kelebihan suku/bangsa Arab di atas suku/bangsa yang bukan
suku bangsa Arab, dan tiada superioritas non Arab di atas Arab kecuali dengan
ketaqwaan semata. Kalau hal ini kita tarik dalam kenyataan hidup kita saat ini, maka
tiadalah superioritas orang perorang atau bangsa tertentu kecuali dengan ketakwaan
semata.
Ada beberapa indikasi keberhasilan puasa yang telah kita lakukan:
Pertama: Meningkatkan keikhlasan.
Sebagaimana saya katakan tadi bahwa ibadah puasa adalah suatu ibadah yang sangat
personal sifatnya antara seorang hamba dengan Allah swt. Untuk itu, puasa sudah
seharusnya melahirkan prilaku iklhlas yang tinggi dalam diri seorang hamba. Bahwa
sungguh hidupnya, ibadahnya, segala pengorbanannya dan bahkan matinya hanya untuk
Allah semata. Prilaku ikhlas ini akan menghindarkan seseorang dari "kesyirikan" halus,
termasuk kesyirikan kejiwaan, di mana seseorang terkadang mencita, membenci bukan
lagi karena Allah tapi demi seseorang. Padahal, Rasulullah menggariskan bahwa
prasyarat untuk mendapatkan cinta Allah adalah karena mencintai dan atau membenci
karena Allah semata. Jadi dengan melakukan ibadah puasa itu keikhlasan kepada Allah
swt akan semakin bermutu.
Kedua: Tumbuhnya Rasa Muraqabatullah
kita yakin bahwa Allah swt mengetahui dan melihat segala hal yang kita lakukan.
Sesungguhnya tiada yang tersembunyi dari Allah SWT. Allah swt mempunyai
kemampuan segala-galanya, Allah swt mengawasi tindak tanduk kita. Mungkin contoh
Umar dapat menjadi tauladan bagi kita, bahwa suatu ketika beliau sedang melakukan
inspeksi di saat beliau menjabat sebagai khalifah, menemukan seorang ibu yang seolah
sedang memasak dengan kobaran api yang besar. Sementara anak-anaknya di
sekelilingnya pada menangis. Beliau mendekat dan menanyakan, apa gerangan yang
terjadi. Maka serta merta, sang perempuan yang tidak sadar kalau yang hadir
disampingnya adalah Khalifah, mencaci dan mengutuk Khalifah Umar. Khalifah,
menurut perempuan itu, tidak bertanggung jawab, tidak punya perhatian sehingga kami
kelaparan. Kami tidak memiliki apa-apa untuk di masak. Umar bertanya: "Lalu masak
apakah kamu?" Perempuan itu menjawab:
"Saya merebus batu-batu dengan api ini agar anak-anak saya terhibur".
Mendengar jawaban itu, segera Umar kembali ke "baitul maal" mengambil
sekarung gandum dan beberapa lauk pauk. Karung itu digendong sendiri,
sehingga beberapa sahabat yang menemuinya di jalan berkeinginan agar
karung itu diambil dari sang Kahlifah. Namun dengan tegas Umar
menjawab: "Tidak, di hari kiamat nanti, anda tidak mungkin mengambil
dariku dan memikul tanggung jawab ini".
Umar membawa gandum tersebut ke perempuan, lalu dimasakkannya, dan kemudian
disuapinya anak-anaknya. Setelah semua itu dilakukan, segera perempuan itu dengan rasa
malu bertanya: "Siapa gerangan engkau?". Umar menjawab: "Saya adalah orang yang
engkau katakan tidak bertanggung jawab tadi. Saya melakukan ini karena mungkin apa
yang engkau katakan tadi adalah betul. Untuk itu, mohon maaf dan semoga Allah
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/khotbahied2002.html (2 of 6)13/05/2006 23:42:52
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
mengampuniku karena kelalaianku".
Itulah kiranya prilaku seorang pemimpin yang punya "sense of Muraqabatullah". Dia
akan merasa bertanggung jawab, tidak saja kepada rakyatnya tapi lebih penting adalah
kepada Allah SWT diakhirat nanti. Bahkan sejak itu, Umar mengeluarkan pernyataan
yang dicatat oleh sejarah: "Seandainya ada seekor keledai mati karena kelaparan di
daerah Palesitina, maka aku akan bertanggung jawab di akherat nanti".
Kisah lain tentang Umar adalah suatu ketika beliau pernah melakukan perjalanan dari
Madinah ke Makkah. Di tengah jalan beliau bertemu dengan seorang pemuda yang
miskin, penggembala kambing. Umar mencoba ke-amanahan pemuda yang miskin, tidak
terdidik, dan bahkan hidup di tengah kampung tiada jauh dari kebisingan kota. Umar
berkata kepadanya: "Maukah anda menjual satu dari kambingmu yang banyak itu?".
Pemuda dengan tegas menjawab: "Saya bukan pemilik kambing-kambing itu. Saya hanya
penggembala". Oleh Umar dicoba: "Katakan saja kepada tuanmu kalau seeokor srigala
telah datang memakannya". Tapi dengan sangat tegas pemuda itu menjawab:
"Faenallah" (lalu di mana Allah). Umar menangis dengan ketegasan pemuda itu, dan
keesokan harinya beliau menemui tuannya dan dibelinya kambing itu sehingga pemuda
itu bisa dibebaskan dari perbudakan. nilah seorang pemuda yang memiliki "sense of
Muraqabatullah", yaitu rasa perasaan yang senanatiasa diawasi oleh Allah Yang maha
Tahu dan Melihat. Saudara-sudara sekalian, kisah Umar r.a ini dapat kita jadikan
barometer dari sukses tidaknya kita meraih makna puasa di masa-masa mendatang. Kalau
semangat untuk untuk jujur semakin meningkat, semangat untuk takut karena ada
"Being" yang selalu mengawasi walau tanpa inspektor dari manusia, maka puasa telah
membawa makna positif dalam kehidupan kita. Jika tidak, maka berarti kita telah gagal
untuk meraih buah moral dari puasa Ramadhan lalu.
Ketiga: Tumbuhnya Kepedulian Sosial
Puasa adalah "riyadhah mubasyarah" (latihan langsung) untuk merasakan kepedihan dan
rintihan mereka yang kurang beruntung. Kita lapar, kita dahaga, dan bahkan kita kurang
tidur, semua itu melatih kita untuk menumbuhkan rasa kepedualian terhadap berbagai
ketidak beruntungan hidup yang ada di sekitar kita. Islam menghendaki setiap seorang
muslim untuk mengembangkan keimananya secara pribadi, kita dituntut untuk menjadi
manusia yang sholeh secara individu. Tapi pada saat yang sama, Allah tidak
menghendaki kita menjadi seorang muslim yang egois. Kesalehan individu tidak pernah
cukup untuk dianggap menjadi kesalehan yang sempurna dalam Islam. Oleh sebab itulah
maka didalam Al-Qur'an Allah memberikan contoh bagaimana Askhabul Kahfi ketika
mereka berada dalam gua. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya kami menyembah
hanya Tuhan yang satu, yang meng indikasikan bahwa setiap individu diantara mereka
mengembangkan keimanan yang kuat, personal righteousness. Tapi pada saat yang sama
mereka juga mengatakan: "Mereka itu kaumku, telah menjadikan sembahan-sembahan
selain Allah".
Artinya, seorang Muslim selain dituntut untuk menjadi hamba yang saleh secara individu,
juga dituntut untuk selalu "resah" (peduli) dengan berbagai ketidak salehan yang ada di
sekitarnya. Dan dalam persepsi saya, ketidak salehan yang cukup meresahkan umat saat
ini adalah "kebodohan dan kemiskinan". Untuk itu, puasa seharusnya mempertajam jiwa
kita yang harus resah dengan penderitaan sesama Muslim di sekeliling kita. Rasulullah
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/khotbahied2002.html (3 of 6)13/05/2006 23:42:52
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
saw mengatakan dalam haditsnya: "Tidak beriman diantara kalian, pada saat kalian tidur
nenyak karena kenyang , sementara tetangganya tidak bisa tidur karena kelaparan".
Seandainya kita menengok sekali lagi, dengan semangat salaam atau keinginan untuk
menebarkan "kesejahteraan" kepada siapa saja di sekeliling kita (terutama di Indonesia),
kita dapatkan betapa banyak tetangga kita yang kelaparan. Puasa yang kita lakukan ini
seharusnya melahirkan suatu "Sense of Ulfah", suatu perasaan trenyuh/iba hati terhadap
kemiskinan yang diderita oleh saudara-saudara kita.
Sebagaimana saya katakan tadi, ada dua beban berat yang dialami oleh saudara-saudara
kita di berbagai belahan dunia saat ini; Ignorence (Al-jahal) dan Poverty (al Faqr). Dalam
ini, Rasulullah saw sejak 15 abad yang lalu telah mengingatkan: "Hampir saja kefakiran
itu membawa kepada kekufuran". Akibatnya, betapa di bulan Ramadhan sekalipun masih
ada Saudari-Saudari seiman kita ada yang melacurkan diri hanya karena tuntutan sesuap
nasi. Oleh sebab itulah saudara saudara sekalian, kita dapati bahwa betapa ada orangorang Islam yang murtad karena dua ini; miskin dan bodoh. Sementara di di negaranegara majud seperti AS ini, orang masuk Islam karena makmur dan pintar. Mereka
belajar Islam dan alhamdulilah mereka confinced dengan kebenaran Al Islam. Kejadian
di negara-negara Islam inilah adalah pembuktian bahwa betapa kemiskinan sudah
menjadi alat kekafiran di berbagai negara Islam, termasuk negara kita tercinta.
Anehnya, umat islam seringkali lalai dari situasi ini. Bahkan terkadang in the name of
islam, in the name of obedience, justeru kita melanngar ajaran mendasar dari ajaran
agama kita. Kita masih sering mendengar kalau wanita Islam tidak perlu ke masjid
mendengar ceramah atau belajar agama karena nanti menjadi fitnah? Memang betul,
perlu aturan-aturan dan adab-adab di masjid kita, tapi melarang perempuan ke masjid
karena alasan fitnah justeru semakin menjadi fitnah. Pertama, karena orang lain akan
melihat justifikasi tuduhan bahwa Islam diskriminatif terhadap kaum wanita. Kedua,
mereka adalah the first hands to handle our generation. Kalau mereka tidak tahu, apa
yang akan mereka ajarkan kepada anak-anak kita? Untuk itu, kita harus benar jeli dalam
melihat, mana ajaran Islam yang sesungguhnya dan mana kultur setempat yang terkadang
dianggap ajaran mendasar dari adama kita. Sebab jika tidak, kita akan terperangkap
dalam sikap yang justeru merugikan ajaran Islam tapi kita merasa memperjuangkannya.
Saudara-saudara sekalian, dalam S. Al A'raf Allah mengaskan bahwa Rasul yang
"ummy" (Rasulullah SAW) punya tugas utama dalam tiga hal yang menjadi kewajiban
kita mengikutinya:
1. Amar ma'ruf-nahi mungkar (ya'muruhum bil ma'ruuf wa yanhahum 'anil munkar)
Untuk tugas pertama ini, al-hamdulillah, telah banyak yang berupaya untuk
mengikutinya. Di genara kita tercinta, banyak bintang film sekalipun yang
kemudian menjadi da'i. Saya rasa patut disyukuri karena semakin banyak
berda'wah tentu akan semakin baik. Toh togas da'wah itu bukan hanya tugas para
kyai dan ustadz.
2. Halal-Haram (Yharrimu 'alaehil Khabaaits)
Menghalalkan yang baik-baik dan mengharamkan yang tidak baik. Artinya, sudah
pasti apa yang dilarang oleh Allah itu tidak baik, walau kita diberikan hak untuk
mencari tahu kenapa dilarang. Tapi kalau keinginan untuk tahu itu justeru
menjadikan kita ragu, maka sungguh sudah snagat tidak masuk akal. Tugas kedua
Rasul ini harus kita ikuti dalam upaya menjadi Muslim yang bersih. Makanan,
minuman, atau apa saja, seharusnya jelas mana yang halal dan haram. Jangan
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/khotbahied2002.html (4 of 6)13/05/2006 23:42:52
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
sampai main hantam kiri kanan, sehingga aturan halal dan haram terabaikan.
3. Meringankan beban dan kesulitan (yadha'u anhum Ishrahum wal Aghlaal)
Jelas bahwa beban utama umat ini adalah "kebodohan dan kemiskinan".
Seharusnya telah menjadi kewjiban kita untuk meringankan beban ini. Tidak saja
dalam bentuk jangka pendek, berupa sadaqah, infaq, dll. Tapi perlu upaya
sistimatis untuk membangunkan perekonomian umat yang kuat. Sayang bahwa
sebagian ulama masih sibuk berkelahi dengan masalah-masalah khilafiyah,
sementara umat menderita siang malam dan hampir saja dimurtadkan oleh
keadaan menyedihkan itu. Saya jusetru yakin bahwa di Akhirat nanti, jika ditanya
tentang keadaan umat kita saat ini, kita tidak mungkin menjawab bahwa kami ya
Allah sibuk melakukan dzikir dan tasbih. Atau karena kesibukan kita membaca
wirid dan bahkan kesibukan kita shalat malam. Apakah kita bisa merasakan
tanggung jawab ini? Ataukah setelah keluar Ramadhan justeru kita semakin
merasa terjamin masuk syurga, sementara saudara-saudara kita strugling untuk
bisa hidup?
Keempat: Keseimbangan Hidup
Saudara-saudara sekalian, puasa seharusnya melahirkan prilaku hidup yang bertawazun
(balance of life). Kehidupan yang tidak imbang akan melahirkan beberapa bahaya:
1. Betapa tidak, banyak orang lalai akan mati hanya karena terlalu cinta dalam
kehidupan ini.
2. Menjadikan kezaliman-kezaliman dalam hidup, termasuk zalim pada diri sendiri.
3. Terjadi pengingkaran terhadap Allah swt.
Kelima: Sukses dengan Laelatul Qadr
Indikasi terakhir berhasil tidaknya puasa kita Ramadhan ini adalah, mampukah kita
keluar dari Ramadhan ini dengan "laelatul Qadr?". Mampukah kita keluar dengan
kekuatan malam itu? Tapi apakah kekuatan malam itu? Apakah shalat sunnah kita?
Apakah dzikir kita? Sebenarnya jawaban yang paling tepat adalah kita keluar dengan
sebuah "means of power" yang didatangkan pada malam itu, dan itulah dia Al-Qur'an.
Maka seharusnya umat Islam, setelah berakhirnya Ramadhan ini kembali melakukan
"empowering" dengan kekuatan Al Qur'an. Kita maju, kuat dengan Al Qur'an. Umat ini
hanya bisa maju, sukses, bahagia dengan petunjuk Allah SWT. Sebaliknya, umat ini tidak
akan pernah maju, sukses, bahagia dengan mengabaikan Al Qur'an.
Sayang terkadang kita memahami laelatul Qadr dengan hanya shalat tahajjud sebanyakbanyaknya, dzuikir sepanjang-panjangnya, shalat tasbih, dan berbagai bentuk ibadah
lainnya. Sementara konten dari Laelatul Qadr berupa Al Qur'an kita abaikan. Semoga
laelatul Qadr kali ini, tidak saja telah menyibukkan kita dengan berbagai ritual tadi, tapi
juga telah memotivasi kita untuk mendalami Al Qur'an, elemen yang seusungguhnya
menjadikan malam itu mulia.
Saudara-Saudara sekalian, demikian lima poin indikator keberhasilan puasa kita. Kalau
satupun dari lima ini belum ada pada diri kita di masa mendatang, tentu kita patut
menyesal sekaligus berharap semoga kita masih hidup di masa depan, sehingga kita bisa
semakin meningkatkan kwalitas ibadah kita. Semoga puasa kita diterima dan semoga
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/khotbahied2002.html (5 of 6)13/05/2006 23:42:52
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
dosa-dosa kita telah diampuni olehNya. Amin!
“Selamat hari Raya saudara-saudar sekalian, Minal 'Idin wal faidzin.”
Wassalamu'alaikum Wr.Wb.
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/khotbahied2002.html (6 of 6)13/05/2006 23:42:52
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
PEDOMAN MANASIK HAJI*
M. Syamsi Ali
MASJID AL-HIKMAH
NEW YORK
Makna Haji
Kata "haji" berasal dari "hajja-yahijju-hijjun" (kata benda) dan "hajja-yahujju-hajju" (kata
sifat). Namun kata ini juga bisa berbentuk "hajja-yahujju-hujjatun", yang memiliki makna
lain.
Hajja yang menghasilkan kata "hijjun" maupun "hajjun" inilah yang diartikan sebagaiu
ibadah haji, atau perjalanan yang disengaja. Sedangkan hajja yang menghasilkan
"hujjatun" bermakna "alasan, tanda atau alamat".
Definisi Haji
Secara syar'I, haji berarti "melakukan perjalanan dengan disengaja ke tempat-tempat suci
dengan amalan-amalan tertentu dengan niat beribadah kepada Allah SWT".
Sedangkan defenisi lain, sesuai makna kedua dari haji, adalah "melaksanakan rukun
Islam yang kelima sebagai alamat penyempurnaan keislaman seorang Muslim".
Hukum dan Kedudukan Haji
Sepakat para ulama dan seluruh ummat bahwa haji merupakan "kewajiban dan fardhu
'ain" atas semua Muslim, pria maupun wanita, yang telah memenuhi persyaratannya,
sekali dalam seumur.
Sedangkan kedudukan haji dalam Islam adalah Rukun Islam yang kelima.
Syarat-Syarat Kewajiban Haji
●
●
●
●
●
●
Islam.
Berakal.
Baligh.
Merdeka.
Mampu (istitha'ah)
Muhrim (bagi wanita, menurut Imam Ahmad)
Macam-Macam Pelaksanaan Haji
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/manasik.html (1 of 8)13/05/2006 23:42:57
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
●
●
●
Ifrad: Yaitu melakukan niat haji semata (tanpa umrah). Tanpa DAM
Qiran: Melakukan niat haji dan Umrah sekaligus. Dam diharuskan
Tamattu': Berniat umrah pada bulan-bulan haji, lalu pada tgl 8 Dzulhijjah
melakukan niat haji. DAM diharuskan, atau berpuasa 3 hari di tanah suci dan 4
hari jika telah kembali ke negara asal.
Rukun-Rukun Haji (jika ditinggalkan, haji menjadi
batal)
●
●
●
●
●
●
- Ihram
- Wukuf di Arafah
- Thawaf Ifadhah
- Sa'I
- Tahallul
- Berurut (Syafi'I)
Wajib-wajib Haji (jika ditinggalkan, wajib memotong
DAM)
●
●
●
●
●
●
●
●
- Berihram dari Miqat
- Mengucapkan Talbiyah (minimal sekali)
- Memakai pakaian khusus (pria: 2 potong kain tak berjahit. Wanita pakaian
Muslimah)
- Berada di Arafah hingga terbenam matahari
- Mabit di Muzdalifah (minimal lewat ½ malam)
- Melempar Jumrah (hari pertama hanya Aqabah. Disusul 2-3 hari melempar
seluruh Jumrah)
- Mabit di Mina (2-3 malam)
- Tawaf Wada'
Penjelasan Rukun-Rukun Haji
RUKUN PERTAMA: IHRAM
Yaitu melakukan ritual "niat" haji atau umrah dan/atau haji sekaligus dari Miqat yang
telah ditentukan dengan bacaan yang telah ditentukan karena Allah ta'aala. Niat haji
dilakukan dengan mengucapkan bacaan berikut:
(Labbaeka Allahumma hajjan wa 'umratan) - bagi yang berhaji qiran.
(Labbaeka Allahumma hajjan) - bagi yang berhaji Ifrad
(Labbaeka Allahumma 'umratan) - bagi yang berumrah/berhaji tamattu'
Wajib-wajib Ihram:
●
Melakukannya di Miqat atau sebelumnya. Ada lima miqat yang telah ditentukan.
Bagi kita, tergantung arah kedatangan pesawatnya.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/manasik.html (2 of 8)13/05/2006 23:42:57
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
●
●
●
Membaca Talbiyah: (Labbaeka Allahumma Labbaek. Labbaeka laa syariika laka
labbaek. Innal hamda, wanni'mata laka wal mulk, laa syariika lak).
Memakai pakaian tidak berjahit (pria) dan Muslimah (wanita)
Menjaga larangan-larangannya (lihat larangan Ihram).
Sunnah-Sunnah Ihram:
●
●
●
●
●
Mandi / Wudhu
Mencukur/memotong (kuku, kumis, bulu ketiak, kemaluan)
Berwangian sebelum membaca niat (di badan)
Shalat sunnah 2 raka'at
Memperbanyak "talbiyah"
Larangan-Larangan Ihram (ada ketentuan dendanya):
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
●
Mencabut rambut.
Menggunting kuku.
Memakai wangi-wangian.
Membunuh hewan buruan.
Mencabut pepohonan di tanah suci
Mengenakan pakaian berjahit (bagi laki-laki).
Menutupi kepala dengan sesuatu yang menempel (bagi pria)
Memakai tutup muka dan kaos tangan (bagi wanita)
Menutupi mata kaki (bagi pria)
Melangsungkan pernikahan, menikah atau menikahkan.
Berhubungan suami isteri.
Bercumbu (bermesraan) dengan syahwat.
Keluarnya airmani karena sengaja.
Sanksi pelanggaran larangan Ihram:
●
●
●
Ia melakukannya tanpa udzur (alasan), maka ia berdosa dan wajib membayar
fidyah (tebusan).
Ia melakukannya untuk suatu keperluan, seperti memotong rambut karena sakit.
Perbuatannya ter-sebut dibolehkan, tetapi ia wajib membayar fidyah.
Ia melakukannya dalam keadaan tidur, lupa, tidak tahu atau dipaksa. Dalam
keadaan seperti itu ia tidak berdosa dan tidak wajib membayar fidyah.
Jika yang dilanggar itu berupa mencabut rambut, menggunting kuku, memakai wangiwangian, bercumbu karena syahwat, laki-laki mengenakan kain yang berjahit atau
menutupi kepalanya, atau wanita memakai tutup muka (cadar) atau kaos tangan maka
fidyah-nya antara tiga, boleh memilih salah satu daripadanya:
●
●
●
●
Menyembelih kambing (untuk dibagikan kepada orang-orang fakir miskin dan ia
tidak boleh memakan sesuatu pun daripadanya).
Memberi makan enam orang miskin, masing-masing setengah sha' makanan.
(setengah sha' lebih kurang sama dengan 1,25 kg.).
Berpuasa selama tiga hari di tanah suci dan 7 hari jika kembali ke negara asal.
Jika yang dilakukan adalah larangan-larangan berikut
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/manasik.html (3 of 8)13/05/2006 23:42:57
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
●
●
●
Melamar atau melangsungkan pernikahan, tidak ada ketetapan. Namun ada yang
berpendapat dengan memotong kambing.
Membunuh binatang buruan (darat) dengan memotong hewan yang dibunuhnya
(kambing dengan kambing)
Bersetubuh (dan ia adalah larangan yang paling besar). Jika ia melakukannya
secara sengaja sebelum tahallul pertama, hajinya batal, menyembelih onta serta
wajib melakukannya kembali pada tahun berikutnya. Jika dilakukan setelah
tahallul pertama, maka dendanya adalah memotong kambing (jumhur ulama).
RUKUN KEDUA: WUKUF DI ARAFAH
Wukuf berarti "berhenti". Sedangkan dalam pengertian Syaria'h: "Tinggal di padang
Arafah sejak tergelincir matahari pada tgl 9 dzulhijjah dengan niat ibadah karena Allah".
Arafah adalah nama sebuah padang, sekitar 8 mil dari kota Makkah. Padang ini dinamai
"arafah" berarti "mengenal", karena riwayat menyebutkan bahwa di padang inilah Adam
dan Hawa kembali saling bertemu dan mengenal setelah masing-masing diturunkan ke
bumi pada tempat yang berjauhan.
Dengan demikian, wukuf di Arafah dapat berarti berhenti sejenak untuk mengenal
kembali. Sebagian ahli hikmah mengatakan bahwa pengertian ini mengandung makna
pentingnya bagi manusia untuk sejenak berhenti (introspeksi) dalam rangka melakukan
pengenalan (pada dirinya sendiri dan juga lingkungan sekitarnya). Tanpa mengenal
dirinya sendiri, manusia mustahil untuk mengenal Penciptanya secara benar. Tanpa
mengenal Rabb-nya, manusia akan mustahil mampu untuk menyikapi kehidupannya
secara rasional.
Wukuf di Arafah merupakan rukun haji yang paling utama. Rasulullah bersabda: "Alhajju
'arafah" (haji itu adalah Arafah". Sehingga barangsiapa yang tidak sempat melakukan
wukuf, walau telah melakukan semua rukun yang lain, hajinya dianggap tidak ada.
Wajib Wukuf:
1. Dilakukan di dalam daerah Arafah (Kalau sempat keluar walau sejengkal sebelum
terbenam, diwajibkan memotong)
2. Dilakukan hingga terbenam matahari (kalau mengakhirinya sebelum terbenam,
wajib memotong).
Sunnah-Sunnah Wukuf:
1. Melakukan shalat Zhuhur dan Asar (jama' qashar)
2. Mendengarkan Khutbah Arafah
3. Memperbanyak dzikir, doa atau baca Al Qur'an. Doa terafdhal adalah: "Laa ilaaha
illallah wahdahu laa syraiika lah, lahul Mulku walahul hamdu yuhyii wa yumiit
wahuwa 'alaa kulli syaein Qadiir".
Masuk daerah Arafah sebelum zhuhur (setelah Zhuhur masih sah, tapi kehilangan
sunnahnya).
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/manasik.html (4 of 8)13/05/2006 23:42:57
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
RUKUN KETIGA: THAWAF:
Thawaf berarti "mengelilingi". Dalam pengertian syari'ah, thawaf difahami sebagai
mengelilingi Ka'bah selama tujuh kali dengan niat ibadah karena Allah Ta'aala.
Macam-Macam Thawaf:
Ada 4 macam thawaf:
1. Thawaf Qudum, yaitu thawaf selamat datang. Thawaf ini hanya berlaku bagi
mereka yang melakukan haji Ifrad.
2. Thawaf Ifadhah, yaitu thawaf rukun (haji / umrah).
3. Thawaf Sunnah, yaitu thawaf-thawaf yang dilakukan kapan saja bilamana ada
peluang.
4. Thawaf Wada', yaitu thawaf selamat tinggal, yang dilakukan jika seorang haji
akan meninggalkan tanah haram.
Syarat-syarat Thawaf:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Wudhu
Menutup aurat
Di luar Ka'bah
Di dalam masjid al Haram
Ka'bah di sebelah kiri
Sempurna tujuh keliling
Dimulai dan berakhir di sudut al hajar al aswad
Sunnah-Sunnah Thawaf:
1. Mencium hajar al Aswad (jika tidak memungkinkan, dengan mengacungkan
tangan dan menciumnya) sambil membaca: "Bismillah Allahu Akbar, abda' bimaa
badaaLLAHU wa Rasuluhu bihi"
2. Membaca doa: "Allahumma imaanan bika watishdiikan bikitaabika wattibaa'an
lisunnati nabiyyika Muhammadin Sallallahu 'alaihi wasallam"
3. Pada 3 putaran pertama, bagi laki-laki melakukan harwalah (berlari-lari kecil)
4. Idhtiba' (menggantungkan kain atas di bawah ketiak)
5. Melambaikan tangan ke Rukun Yamani (tanpa mencium)
6. Membaca "Rabbana Aatina fidddunya hasanah wa fil Akhirah hasanah waqinaa
'adzaabannar" antara sudut keempat dan pertama (yamani-hajar al aswad)
7. Memperbanyak doa, dzikir atau bacaan al Qur'an (sesuai kemampuan dan tanpa
ikatan dengan doa puataran pertama, kedua, dst.)
8. Shalat di belakang "Maqam Ibrahim" dengan membaca: pada raka'at pertama
alfaatihah dan Al Kaafirun dan pada raka'at kedua al faatihah dan Al Ikhlas
9. Berdoa di depan "Multazam" (sesuai hajat masing-masing).
10. Meminum air zamzam (turun menuju tempat sumur zam zam).
RUKUN KEEMPAT: SA'I
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/manasik.html (5 of 8)13/05/2006 23:42:57
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Sa'I berarti "berusaha keras". Secara syar'I diartikan: "Berkeliling antara bukit Shafa dan
Marwa selama tujuh kali dengan niat ibadah karena Allah ta'ala".
Syarat-Syarat Sa'i:
1.
2.
3.
4.
Wudhu (sebagian tidak melihatnya keharusan)
Tujuh keliling
Dimulai dari Shafa dan berakhir di Marwa
Arah yang benar
Sunnah-Sunnah Sa'i:
1. Saat memulai dengan menghadap Ka'bah, melambaikan tangan sambil membaca:
"Bismillah abda' bimaa badaaLLAHU Wa Rasuluhu bihi"
2. Mulai berjalan sambil membaca: "Innas Shafa wal Marwata min Sya'aairiLLAH.
Famanhajjal baeta awi'tamara falaa junaaha 'alaehi an yatthawwafa bihimaa.
Famantathawwa'a khaeran fainnaLLAH syaakirun 'aliim". (dibaca setiap
mendekati Shafa atau Marwa)
3. Berlari-lari di antara dua lampu pijar (bagi pria)
4. Memperbanyak doa, dzikir atau bacaan Al Qur'an
5. Mengakhiri dengan berdoa menghadap Ka'bah
RUKUN KELIMA: TAHALLUL
Pengertian "Tahallul" adalah menghalalkan kembali apa-apa yang tadinya dilarang ketika
masih dalam keadaan ihram. Tahallul ada dua macam; tahallul pertama dan tahallul
kedua.
Tahallul pertama adalah melakukan pemotongan rambut baik secara keseluruhan atau
hanya sebagianm walau hanya sepanjang 2 inci oleh Syafi'I, setelah melakukan dua rukun
ditambah satu wajib haji. Jadi setelah melakukan ihram (rukun 1) lalu wukuf (rukun 2),
dilanjutkan dengan melempar Jamrah Aqabah, sesorang haji telah diperbolehkan untuk
melakukan tahallul pertama. Orang yang telah melakukan tahallul I, telah dapat
melakukan larangan-larangan ihram, kecuali hubungan suami isteri (jima').
Tahallul kedua adalah jika semua rangkaian rukun haji telah dilakukan, termasuk thawaf
ifadhah dan Sa'I haji. Tahallul kedua tidak dilakukan pemotongan, melainkan jatuh
dengan sendirinya jika kedua hal di atas telah dilakukan. Setelah tahallul kedua jatuh,
semua larangan ihram boleh dilakukan kembali, termasuk hubungan suami isteri.
Amalan-Amalan Mina.
Sebagaimana disebutkan terdahulu, amalan-amalan Mina termasuk dalam kategori wajib
haji. Jadi melempar Jumrah Aqabah pada hari I, dilanjutkan dengan melempar ketiga
jamarat pada hari kedua dan ketiga (nafar Awal) atau pada hari ketiga (nafar tsani), dan
juga melakukan mabit pada malam-malam selama malam pelemparan tersebut,
hukumnya adalah wajib. Yaitu jika tidak dilaksanakan maka diharuskan memotong atau
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/manasik.html (6 of 8)13/05/2006 23:42:57
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
membayar DAM.
a. Melempar Jumrah Aqabah (10 Dzulhijjah pagi)
●
●
●
Hanya dari Satu arah (menghadap Makkah)
Setiap lemparan (7 lemparan) dengan membaca "Bismillah-Allahu Akbar".
Setelah melempar berdoa menghadap Ka'bah (doa bebas).
b. Melempar 3 Jumrah: Ula, Wustha, Aqabah (11 dan 12
Dzulhijjah).
●
●
●
Dimulai dari Ula lalu Wustha dan diakhiri di Aqabah
Setiap lemparan membaca bacaan di atas
Setelah melempar ketiganya berdoa menghadap Makkah
c. Mabit di Mina (tgl 10 malam dan tgl 11 malam Dzulhijjah)
●
●
Selama mabit memperbanyak dzikir dan doa
Mabit artinya berada pada tempat tersebut pada malam hari. Minimal sebelum
midnight hingga setelah tengah malam.
Catatan: Ada dua macam pelemparan dan Mabit di Mina. Pertama: Nafar Awal, yaitu
melempar hanya dua hari dan mabit hanya dua malam. Bagi yang mengambil nafar awal,
harus meninggalkan Mina sebelum matahari terbenam pada tgl 12 Dzulhijjah. Kedua:
Nafar Tsani, yaitu menambah semalam lagi di Mina pada tgl 12 Dzulhijjah malam, dan
esoknya melempar kembali tiga Jumrah.
THAWAF WADA'
Tawaf Wada' artinya thawaf "Selamat tinggal" karena seseorang akan meninggalkan
tanah haram menuju kembali ke tempat tinggal aslinya dan dianggap sebagai bagian dari
Wajib Haji. Cara melakukannya sama dengan thawaf lain, dengan catatan tidak boleh lagi
melakukan kegiatan, kecuali dharurat seperti makan karena lapar, setelahnya.
Haji dan Ziarah Madinah
Ada semacam asumsi yang berkembang bahwa ziarah ke Madinah dengan shalat arba'iin
(shalat 40 kali waktu tanpa masbuq) di masjid Nabawi menjadi penentu afdhal tidaknya
haji seseorang. Padahal, sebenarnya hubungan antara haji dan ziarah ke masjid Nabawi di
Madinah adalah dua entity ibadah yang terpisah. Haji adalah wajib dan menjadi rukun
kelima Islam, sementara ziarah sekedar sunnah yang dianjurkan oleh Rasululah SAW.
Untuk itu, sebenarnya kedua-duanya tidak ada hubungan serta tidak saling menanmbah
atau mengurangi bobot ibadahnya.
(Allahumma ij'alhu hajjan mabruuran wa sa'yan masykuuran wa dzanban maghfuuran wa
tijaaratan lan tabuur) Amin!
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/manasik.html (7 of 8)13/05/2006 23:42:57
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
New York, 3 Januari 2003
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/manasik.html (8 of 8)13/05/2006 23:42:57
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
HAJI SOSIAL
M. Syamsi Ali
Bagi orang Islam, menunaikan ibadah haji adalah karunia khusus, keni'matan, dan bahkan
kebanggaan tersendiri. Berangkat ke tanah suci, ibaratnya berangkat menemui seseorang
yang telah lama dirindukan. Luapan kerinduan yang mendalam diiringi bara iman yang
menggejolak, meringankan langkah seorang Muslim menuju keridhaan Ilahi yang
Rahman.
Betapa tidak, haji merupakan kewajiban yang memiliki konotasi sbb:
1. Memenuhi panggilan Ilahi. Melaksanakan suatu ajaran agama, apa saja wujudnya,
adalah realita pemenuhan terhadap panggilan Allah. Namun ibadah haji memiliki
konotasi khusus dengan panggilan ini. Oleh sebab itu, di saat seorang memulai
niatnya untuk beribadah (ihram), ia diharuskan untuk mengucapkan "Labbaik
Allahumma Labbaik" (Aku datang memenuhi panggilanMu ya Allah).
2. Ibadah haji adalah merupakan rukun Islam yang kelima (terakhir). Sehingga
dengan menunaikannya dapat diartikan sebagai pemenuhan terhadap keseluruhan
ajaran Islam. Atau dengan kata lain, melakukan ibadah haji berarti pula seorang
Muslim menyempurnakan keislamannya
3. Masdar (asal) kata haji, dapat juga melahirkan makna lain selain dari "hajjun atau
hijjun" yang berarti haji. Makna tersebut adalah "hujjatun" yang berarti "tanda,
bukti, alasan. Dengan demikian, haji dapat menjadi tanda kesempurnaan Islam,
menjadi bukti akan keislaman, serta menjadi alasan bagi keselamatan seorang
Muslim, dunia Akhirat.
4. Dari segi material, pelaku haji juga memiliki konotasi "kemampuan", yang pada
umumnya ditafsirkan sebagai kemampuan material. Sehingga dapat ditafsirkan
bahwa pelaku haji termasuk ke dalam golongan orang-orang yang berpunya (the
haves).
5. Dengan predikat hajinya, seorang haji akan semakin termotivasi untuk mendalami,
menghayati dan mengamalkan ajaran Allah, sebab alangkah ganjilnya bila
seseorang bergelar haji tapi keislamannya semakin semrawut. Shalat lima waktu
tidak terjaga, zakat tidak terperhatikan, prilaku terhadap sesama semakin jauh dari
norma-norma kislaman, dll.
Kelima hal tersebut di atas, antara lain, yang menjadikan seseorang bangga dengan
predikat haji yang dimilikinya. Sebab memang wajar jika saat ini berhaji begitu terndy,
serta cenderung dijadikna sebagai ukuran kesalehan, disamping merupakan prestise sosial
bagi pemiliknya. Tentu disayangkan jika kemudian prediket "haji" dijadikan "taqiyah"
alias pelindung pelakunya dari berbagai penyelewengan dan dosa yang dilakukannya.
Artinya, terkadang seseorang semakin merasa aman untuk berbuat jahat, hanya karena
bersembunyi di balik gelar haji yang dimilikinya.
Al Qur'an secara gamblang menyebutkan bahwa menunaikan ibadah haji dapat
menghasilkan dua macam kebanggaan; dunia semata, dan ini yang sia-sia karena di
Akhirat kelak pelakunya tidak mendapatkan keuntungan apa-apa. Atau dunia-Akhirat,
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/hajisosial.html (1 of 4)13/05/2006 23:43:02
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
dan pelakunya kelak dapat terjaga dari kobaran api neraka (lihat S. Al Baqarah: 200-201,
dan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya yang semuanya berhubungan dengan masalahmasalah haji). Dengan kata lain, bukanlah sesuatu yang keliru jika seseorang berhaji,
disamping dalam rangka mencari nilai akhiratnya, sekaligus mencaru nilai duniawinya
Hal ini digambarkan oleh Allah: "Tidaklah dilarang bagi kamu untuk mencari fadhilat
Tuhanmu, maka jika kamu telah keluar dari Arafah maka ingatlah Tuhanmu di sisi
Masy'aril haram" (Ayat). Yang keliru memang adalah jika haji dijadikan justifikasi atau
pembenaran terhadap kecenderungan untuk menyeleweng.
Haji Sosial
Istilah haji sosial sesungguhnya bukanlah hal baru dalam pembahasan ibadah dalam
Islam. Karena pada hakekatnya, keseluruhan ibadah ritual dalam agama Islam memiliki
konsekwensi sosial, baik langsung maupun tidak langsung. Bahkan lebih tegas, seolaholah ibadah ritual yang tidak menghasilkan buah "kepedulian sosial" ibaratnya pohon
yang tidak berbuah (lihat misalnya S. Al Ma'uun).
Shalat, yang dimulai dengan takbir "Allahu Akbar" menunjukkan bahwa hidup seorang
Muslim itu didasarkan kepada relasi "Uluhiyah" yang kokoh atau pengabdian kepada
Allah Yang Maha Besar (Al Akbar), dan memberikan efek sosial yang tinggi,
menyebarkan perdamaian dan keselamatan (Salaam) bagi semua pihak, baik yang di kiri
maupun yang di kanan.
Puasa adalah ibadah yang khusus hanya antara Allah dan hambaNya. "Puasa adalah
bagiKu dan hanya saya yang membalasnya". Namun implikasi sosialnya jelas,
diharapkan dengan menahan diri dari berbagai kesenangan duniawi itu (makan, minum
dan hubngan seksual), seseorang akan mampu merasakan perasaan metreka yang kurang
beruntung. Sehingga wajar sekali jika seseorang, karane satu dan lain hal, tidak mampu
melakukan ibadah puasa tersebut, harus menggantinya dengan "fidyah" (memberi makan
kepada orang miskin).
Demikian halnya dengan dzikir, menyebut Asma Allah. Tanpa melahirkan bukti-bukti
sosial, sia-sia jadinya, bahkan dapat membawa kemurkaan Ilahi. Ibnu Umar mengatakan
"Mengagumkan Asma Allah tanpa memuliakan hamba-hambaNya, mendatangkan laknat
bagi pelakunya".
Ibadah haji, sebagai rukun Islam yang kelima, di samping menekankan nilai ritualnya,
juga sarat dengan pesan-pesan sosial kemanusiaan, politik, hubungan internasional,
perekonomian, dll. Sehingga wajar, sebagaimana disebut terdahulu, bahwa ayat-ayat yang
berbicara mengenai ibadah haji dalam al Qur'an berhubungan erat dengan pembicaraan
mengenaim kehidupan manusia secara luas.
Ibadah haji yang ditunaikan atas dasar "istitha'ah" (kemampuan) pada masa sekarang
memiliki makna tersendiri. Jumlah penduduk miskin semakin bertambah, yang
konsekwensinya semakin menambah kepedulian kita untuk membantu mereka. Sehingga
sangat diharapkan bahwa ibadah haji tidak lagi dilakukan oleh jutaan manusia hanya
sekadar tradisi ritual keagamaan semata, tapi hendaknya melahirkan sifat kepedualiaan
sosial yang solid bagi pelakunya. Dengan kata lain, ibadah haji diharapkan tidak saja
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/hajisosial.html (2 of 4)13/05/2006 23:43:02
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
menumbuhkan kesalehan infiradi (individu), melainkan juga menyuburkan kesalehan
jama'i (kesalehan sosial).
Haji Mabrur Tanpa Haji
Tersebutlah dalam suatu kisah sufi bahwa seseorang yang menunaikan ibadah haji
tertidur lelap ketika wukuf di tengah teriknya matahari di padang Arafah. Dalam tidurnya
ia bermimpi berjumpa dengan Rasulullah SAW.
Perasaan berjumpa dengan Rasulullah ini memberikan harapan dalam dirinya bahwa
hajinya telah menjadi haji mabrur. Namun untuk kepastian, ia memberanikan diri
bertanya kepada Rasulullah SAW: "Siapakah di antara mereka yang diterima hajinya
sebagai haji mabrur wahai Rasulullah?" Rasulullah SAW seraya menarik napas dalamdalam, menjawab: "Tak seorangpun dari mereka yang diterima hajinya, kecuali seorang
tukang cukur tetanggamu".
Serta merta sang haji tersebut kagum dan terkejut. Betapa tidak, ia tahu persis bahwa
tetangganya itu adalah orang miskin, dan terlebih lagi bahwa tahun ini ia tidak
menunaikan ibadah haji.
Dengan digeluti perasaan sedih, dadanya serasa sesak, ia terbangun dari tidurnya.
Sepanjang melakukan wukuf sang haji tersebut mengintrospeksi diri, memikirkan dalamdalam apa arti di balik mimpi tersebut.
Sekembali dari Mekah, ia segera menemui tetangganya si tukang cukur. Ia menceritakan
segala pengalamannya selama menunaikan ibadah haji. Tapi cerita yang paling ingin
disampaikan adalah perihal diri si tukang cukur itu sendiri Dengan sikap keheranan, ia
pun bertanya: "amalan apakah yang anda telah lakukan sehingga anda dianggap telah
melakukan haji mabrur?"
Tetangganya pun dengan tenang bercampur haru bercerita: "bahwa sebenarnya, ia telah
lama bercita-cita untuk dapat menunaikan ibadah haji. Dan telah bertahun-tahun pula ia
mengumpulkan biaya. Namun ketika biaya telah cukup, dan tibalah pula masa untuk
berhaji, tiba-tiba seorang anak yatim tetangganya ditimpa musibah yang hampir
merenggut jiwanya. Maka si tukang cukur termaksud menyumbangkan hampir
keseluruhan biaya yang telah bertahun-tahun dikumpulkan itu untuk membiayai anak
yatim tersebut, sehingga ia gagal menunaikan ibadah haji".
Sejak itu, pak haji baru sadar, bahwa ternyata kita sering salah langkah dalam upaya
mencari ridha Allah. RidhaNya terkadang diburu dengan semangat egoisme yang
berlebihan dan tanpa disadari justeru bertolak belakang dengan keridhaanNya. Dengan
kata lain, betapa ibadah-ibadah kita sering ternoda oleh lumpur kepicikan egoisme
pelakunya, jauh dari nilai-nilai "kasih sayang" (rahmatan lil'alamin).
Tidakkah terpikirkan oleh mereka yang berhaji, khususnya yang berhaji sunnah (berhaji
lebih dari satu kali), akan nasib berjuta-juta anak yatim akibat "musibah" perekonomian
saat ini? Akibat krisis ini telah berjuta manusia yang kehilangan "induk" (pegangan)
dalam hidupnya. Atau belumkah masanya kaum Muslimin untuk meletakkan prioritasfile:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/hajisosial.html (3 of 4)13/05/2006 23:43:02
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
prioritas dalam kehidupannya sebagai ummat? Kalaulah misalnya, dari sekian ribu
Muslim yang berhaji sunnah (lebih dari sekali) ditunda melakukannya, dan uang ongkos
haji tersebut dimanfaatkan untuk biaya sekolah anak-anak ummat ini, batapa cerahnya
masa depan kita.
Masalahnya, sekali lagi, sampai di mana pengaruh ibadah-ibadah yang kita lakukan
dalam kehidupan sosial kita? Mungkin para penda'i perlu kembali mensosialisasikan S.
Al Maa'uun kepada ummat ini. Abu Bakar ditanya tentang haji mabrur, beliau menjawab:
"Lihatlah jikalau anda telah kembali ke Madinah". Jawaban ini membuktikan bahwa haji
mabrur hanya dapat diidentifikasi pada saat pelaku haji berada di kampung halaman
masing-masing. Sampai di mana "predikat haji" tersebut mampu mendongkrak kesalehan,
baik dalah kehidupan fardi maupun kehidupan jama'inya.
Akhirnya, kepadaNya semata kita berserah diri. Semoga haji kita dapat merubah
moralitas kita menuju pada tingkatan yang lebih ilahiyah sifatnya tanpa mengurangi rasa
kepedulian terhadap "mas'uliyah ijtima'iyah" (tanggung jawab sosial) kita terhadap
sesama. Dengan kata lain, semoga ibadah haji dapat mengantar pelakunya menjadi insaninsan taqi (bertakwa), tidak saja pada tataran individual namun juga pada tataran
sosialnya.
M. Syamsi Ali
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/hajisosial.html (4 of 4)13/05/2006 23:43:02
Bunga Rampai Islam
ISRA' MI'RAJ RASULULLAH SAW
oleh M. Syamsi Ali
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah hidup (siirah) Rasulullah SAW
adalah peristiwa diperjalankannya beliau (isra) dari Masjid al Haram di Makkah menuju
Masjid al Aqsa di Jerusalem, lalu dilanjutkan dengan perjalanan vertikal (mi'raj) dari
Qubbah As Sakhrah (terletak sekitar 150 meter dari Masjid al Aqsa) menuju ke Sidrat al
Muntaha (akhir penggapaian). Peristiwa ini terjadi antara 16-12 bulan sebelum Rasulullah
SAW diperintahkan untuk melakukan hijrah ke Yatsrib (Madinah).
Allah SWT mengisahkan peristiwa agung ini di S. Al Isra (dikenal juga dengan S. Bani
Israil) ayat pertama:
"Maha Suci Allah Yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu
(potongan) malam dari masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami
berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tandatanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat".
Memang "Subhanallah", sebuah ungkapan indah yang terucapkan baik dalam kerangka
kesadaran maupun diluar kesadaran seorang Mu'min di saat menyaksikan, merasakan atau
mengalami sebuah kejadian yang "luar biasa" (kharij 'anil 'aadah). Ungkapan ini tidak pernah
dan tak mungkin tertujukan kepada sang makhluk, termasuk Rasulullah SAW. Sebab sesuatu
yang sifatnya "khalqi" atau makhluqi, tidak mungkin dikategorikan sebagai "kharij 'anil
'aadah" (luar biasa). Semua kejadian yang terjadi karena makhluk adalah biasa, dan tidak
mungkin dianggap luar biasa.
Itulah sebabnya "tasbihh" pada kata "Subhanallah" senantiasa bergandengan dengan Allah
SWT. Bukankah memang kreasi-kreasi Ilahi dalam persepsi manusia semuanya adalah "di
luar kemampuan kendali manusiawi"? Sehingga wajar, peristiwa Isra' wal Mi'raj, di mana
Allah dengan sangat enteng memperjalankan hambaNya ('abdihi), Muhammad SAW,
dengan jarak yang sangat-sangat jauh bahkan tak terbayangkan seorang manusia dapat
terjadi, apalagi pada zaman kegelepan/kebodohan seperti itu. Tapi dengan akal yang sama,
adakah yang tidak bisa terjadi dengan Pencipta semua yang manusia anggap biasa maupun
luar biasa? Kalau sekiranya teori Black Holes menyatakan bahwa "pengetahuan manusia
tentang alam hanyalah sekitar 3% saja, sedangkan 97% berada di luar kemampuannya",
maka apakah secara akal pula, akal yang begitu naïf itu mampu mempertanyakan "ke Maha
luar biasa-an" Allah SWT?
Saya justeru khawatir, jikalau banyak umat Islam yang terikut oleh kaum empiris dan
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/IsraMiraj.html (1 of 7)13/05/2006 23:43:07
Bunga Rampai Islam
rasionalis yang rela menghinakan "nurani" dan "qalbu"nya dalam memahami wahyu Ilahi
secara proporsional, menjadi "murtad" tanpa sadar jika mengingkari berbagai kejadian "luar
biasa" yang terjadi karena Allah seperti informasi Al Qur'an, termasuk Isra' wal Mi'raj. Dan
oleh karenanya, saya hanya mengingatkan dua "sikap" manusia terhadap pertistiwa agung
itu. Sikap "imani" yang ditempuh oleh para sahabat agung seperti Abu Bakar, dan sikap
"kufri" yang ditempuh oleh kafir Qurays dengan standar akal pemikiran yang sempit. Umat
Islam, dalam hal ini, kiranya tahu diri dan pintar-pintar bersikap sehingga tidak jatuh ke
dalam perangkap "keraguan" yang ditembakkan oleh penjahat-penjahat iman. Pendekatan
yang terbaik adalah pendekatan "imaniy", seperti yang ditempuh oleh Abu Bakar Al-Siddiq,
seperti yang tercakup dalam ucapannya: "Apabila Muhammad yang mengatakannnya,
pastilah benar adanya. Sungguh saya telah mempercayainya lebih dari itu".
Untuk itu, ketimbang terkooptasi oleh perbincangan yang berbahaya, atau minimal
membawa kepada kesia-siaan, tidakkah akan lebih baik jika memontem ini dipergunakan
untuk mentadabburi "hikam" atau "'ibar" (hikmah dan pelajaran) yang terkandung di
dalamnya. Sebab memang, salah satu kelemahan umat Islam di hadapan untaian sejarah
perjalanan Islam dan segala yang terkait dengannya, termasuk berbagai sejarah yang
diungkapkan oleh Al Qur'an adalah bahwa umat Islam hanya mampu menyelami pesisir
sejarah yang sesungguhnya "dalam" tersebut. Kisah Fir'aun, Qarun, Haman, Tsamud, Abu
Lahab, dan berbagai kisah masa lalu perjalanan kehidupan, tak jarang dihafal namun tidak
ditangkap secara jernih dan teliti makna-makna yang terkandung di dalamnya.
Lalu apa pelajaran yang dapat diambil dari perjalanan Isra wal Mi'raj ini? Barangkali catatan
ringan berikut dapat memotivasi kita untul lebih jauh dan sungguh-sungguh menangkap
pelajaran yang seharusnya kita tangkap dari perjalanan agung tersebut:
Pertama: Konteks situasi terjadinya
Kita kenal, Isra' wal Mi'raj terjadi sekitar setahun sebelum Hijrahnya Rasulullah SAW ke
Madinah (Yatsrib ketika itu). Ketika itu, Rasulullah SAW dalam situasi yang sangat
"sumpek", seolah tiada celah harapan masa depan bagi agama ini. Selang beberapa masa
sebelumnya, isteri tercinta Khadijah r.a. dan paman yang menjadi dinding kasat dari
penjuangan meninggal dunia. Sementara tekanan fisik maunpun psikologis kafir Qurays
terhadap perjuangan semakin berat. Rasulullah seolah kehilangan pegangan, kehilangan
arah, dan kini pandangan itu berkunang-kunang tiada jelas.
Dalam sitausi seperti inilah, rupanya "rahmah" Allah meliputi segalanya, mengalahkan dan
menundukkan segala sesuatunya. "warahamatii wasi'at kulla syaein", demikian Allah
deklarasikan dalam KitabNya. Beliau di suatu malam yang merintih kepedihan, mengenang
kegetiran dan kepahitan langkah perjuangan, tiba-tiba diajak oleh Pemilik kesenangan dan
kegetiran untuk "berjalan-jalan" (saraa) menelusuri napak tilas "perjuangan" para pejuang
sebelumnya (para nabi). Bahkan dibawah serta melihat langsung kebesaran singgasana
Ilahiyah di "Sidartul Muntaha". Sungguh sebuah "penyejuk" yang menyiram keganasan
kobaran api permusuhan kaum kafir. Dan kinilah masanya bagi Rasulullah SAW untuk
kembali "menenangkan" jiwa, mempermantap tekad menyingsingkan lengan baju untuk
melangkah menuju ke depan.
Artinya, bahwa kita, saya dan anda semua, adalah "rasul-rasul" Rasulullah SAW dalam
melanjutkan perjuangan ini. Betapa terkadang, di tengah perjalanan kita temukan tantangan
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/IsraMiraj.html (2 of 7)13/05/2006 23:43:07
Bunga Rampai Islam
dan penentangan yang menyesakkan dada, bahkan mengaburkan pandangan objektif dalam
melangkahkan kaki ke arah tujuan. Jikalau hal ini terjadi, maka tetaplah yakin, Allah akan
meraih tangan kita, mengajak kita kepada sebuah "perjalanan" yang menyejukkan. "Allahu
Waliyyulladziina aamanu" (Sungguh Allah itu adalah Wali-nya mereka yang betul-betul
beriman". Wali yang bertanggung jawab memenuhi segala keperluan dan kebutuhan.
Kesumpekan dan kesempitan sebagai akibat dari penentangan dan rintangan mereka yang
tidak senang dengan kebenaran, akan diselesaikan dengan cara da metode yang Hanya Allah
yang tahu. Yang terpenting bagi seorang pejuang adalah, maju tak gentar, sekali mendayung
pantang mundur, konsistensi memang harus menjadi karakter dasar badi seorang pejuang di
jalanNya. "Wa laa taeasuu min rahmatillah" (jangan sekali-kali berputus asa dari rahmat
Allah).
Kedua: Purifikasi/Pensucian Hati
Disebutkan bahwa sebelum di bawah oleh Jibril, beliau dibaringkan lalu dibelah dadanya,
kemudian hatinya dibersihkan dengan air zamzam. Apakah hati Rasulullah kotor? Pernahkan
Rasulullah SAW berbuat dosa? Apakah Rasulullah punya penyakit "dendam", dengki, iri
hati, atau berbagai penyakit hati lainnya? Tidak…sungguh mati…tidak. Beliau hamba yang
"ma'shuum" (terjaga dari berbuat dosa). Lalu apa signifikasi dari pensucian hatinya?
Rasulullah adalah sosok "uswah", pribadi yang hadir di tengah-tengah umat sebagai, tidak
saja "muballigh" (penyampai), melainkan sosok pribadi unggulan yang harus menjadi
"percontohan" bagi semua yang mengaku pengikutnya. "Laqad kaana lakum fi Rasulillahi
uswah hasanah".
Memang betul, sebelum melakukan perjalanannya, haruslah dibersihkan hatinya. Sungguh,
kita semua sedang dalam perjalanan. Perjalanan "suci" yang seharusnya dibangun dalam
suasa "kefitrahan". Berjalan dariNya dan juga menuju kepadaNya. Dalam perjalanan ini,
diperlukan lentera, cahaya, atau petunjuk agar selamat menempuhnya. Dan hati yang intinya
"nurani" (cahaya yang menerangiku), itulah lentera perjalanan hidup.
Cahaya ini berpusat pada hati seseorang yang ternyata juga dilengkapi oleh gesekan-gesekan
"karat" kehidupan (fa alhamaha fujuuraha). Semakin kuat gesekan karat, semakin jauh pula
dari warna yang sesungguhnya (taqawaaha). Dan oleh karenanya, di setiap saat dan
kesempatan, diperlukan pembersihan, diperlukan air zamzam untuk membasuh kotorankotoran hati yang melengket. Hanya dengan itu, hati akan bersinar tajam menerangi
kegelapan hidup. Dan sungguh hati inilah yang kemudian "penentu" baik atau tidaknya
seseorang pemilik hati. "Alaa inna fil jasadi mudhghah. Idzaa soluhat, soluhat sairu 'amalihi.
Wa idza fasadat, fasada saairu 'amalihi".
Disebutkan bahwa hati manusia awalnya putih bersih. Ia ibarat kertas putih dengan tiada
noda sedikitpun. Namun karena manusia, setiap kali melakukan dosa-dosa setiap kali pula
terjatuh noda hitam pada hati, yang pada akhirnya menjadikannya hitam pekat. Kalaulah
saja, manusia yang hatinya hitam pekat tersebut tidak sadar dan bahkan menambah dosa dan
noda, maka akhirnya Allah akan akan membalik hati tersebut. Hati yang terbalik inilah yang
kemudian hanya bisa disadarkan oleh api neraka. "Khatamallahu 'alaa quluubihim".
Di Al Qur'an sendiri, dalam rangka menjaga sinar "nurani" ini (kalbu), disebutkan dalam
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/IsraMiraj.html (3 of 7)13/05/2006 23:43:07
Bunga Rampai Islam
berbagai bentuk urgensi membersihkan dan menjaga kebersihan hari. "Sungguh beruntung
siapa yang mensucikannya, dan sungguh buntunglah siapa yang mengotorinya". Maka
sungguh perjalanan ini hanya akan bisa menuju "ilahi" dengan senantiasa membersihkan
jiwa dan hati kita, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah sebelum perjalanan
sucinya tersebut.
Ketiga: Memilih Susu - Menolak Khamar
Ketika ditawari dua pilihan minuman, dengan sigap Rasulullah mengambil gelas yang
berisikan susu. Minuman halal dan penuh menfaat bagi kesehatan. Minuman yang
berkalsium tinggi, menguatkan tulang belulang. Rasulullah menolak khamar, minuman yang
menginjak-nginjak akal, menurunkan tingkat inteletualitas ke dasar yang paling rendah.
Sungguh memang pilihan yang tepat, karena pilihan ini adalah pilihan fitri "suci".
Dengan bekal jiwa yang telah dibersihkan tadi, Rasulullah memang melanjutkan
perjalanannya. Di tengah perjalanan, hanya memang ada dua alternatif di hadapan kita.
Kebaikan dan keburukan. Kebaikan akan selalu identik dengan manfaat, sementara
keburukan akan selalu identik dengan kerugian. Seseorang yang hatinya suci, bersih dari
kuman dosa dan noda kezaliman, akan sensitif untuk menerima selalu menerima yang benar
dan menolak yang salah. Bahkan hati yang bersih tadi akan merasakan "ketidak senangan"
terhadap setiap kemungkaran. Lebih jauh lagi, pemiliknya akan memerangi setiap
kemungkaran dengan segala daya yang dimilikinya.
Dalam hidup ini seringkali kita diperhadapkan kepada pilihan-pilihan yang samar. Namun
sensitivitas jiwa yang bersih akan dengan mudah mengidentifikasi mana yang terbaik untuk
diambil dan ditolak. Kejelian dalam memilih yang terbaik bagi keselamatan kita di dunia dan
akhirat, akan ditentukan oleh ketajaman kalbu dan nurani itu sendiri. Inilah inti dari fitrah
insani. Fitra menjadi acuan, lentera, pedoman dalam mengayuh bahtera kehidupan menuju
tujuan akhir kita (akhirat). Dan oleh karenanya, jika ternyata kita dalam melakukan pilihanpilihan dalam hidup ini, ternyata kita seringkali terperangkap kepada pilihan-pilihan yang
salah, buruk lagi merugikan, maka yakinlah itu disebabkan oleh tumpulnya firtah insaniyah
kita. Agaknya dalam situasi seperti ini, diperlukan asahan untuk mempertajam kembali fitrah
Ilahiyah yang bersemayam dalam diri setiap insan.
Keempat: Arah Perjalanan; Vertikal - Horizontal
Perjalanan dua arah, satau menuju Jerusalem dan satu lagi menuju ke atas di Sidratul
Muntaha. Perjalanan horizontal yang kemudian dilanjutkan dengan perjalanan vertikal.
Dalam perjalanan horizontal ini beliau digambarkan bertolak dari masjid ke sebuah masjid,
dari masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Artinya, bahwa dalam kita melangkahkan kaki di
tengah perjalanan kita menuju tujuan akhir, alangkah pentingnya diperhatikan awal langkah.
Motivasi dasar atau niat kita dalam melakukan sesuatu harus karena "masjid" (sujud) atau
dalam kerangka ketaatan kepada Sang Khaliq. Lalu tujuan dari dilakukannya sesuatu itu pula
tidak lain sekedar untuk menuju kepada masjid (sujud) atau ketaatan pula. Pertautan niat dan
tujuan (karena ketaatan), menjadikan setiap langkah yang kita lakukan akan selalu harmonis
dengan keduanya. Bagaimana mungkin seseorang melakukan karena dan untuk Allah,
namun melakukannya dengan cara yang tidak diridhai olehNya? "Qul Inna shalaati wa
nusuki wamahyaaya wamamaati lillaahi Rabbil'aalimiin".
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/IsraMiraj.html (4 of 7)13/05/2006 23:43:07
Bunga Rampai Islam
Perjalanan horizontal di atas mutlak bersambungan dengan perjalanan vertikal menuju
kehariabaanNya. Dalam agama Islam, setiap amalan "ta'abbud umuumi" (mu'amalaat) selalu
bersambungan dengan "ta'abbud khushushi" (ibadah khassah). jika kamu telah menunaikan
shalat, maka bertebaranglah di atas bumi dan carilah rezki Allah. Dan ingatlah kepada Allah
yang banyak", demikian perintah Allah SWT.
Perjalanan horizontal yang dilakukan adalah proses menuju arah vertikal. "Addunya
mazra'atul aakhirah" (dunia itu adalah tempat bercocok tanam untuk akhirat) jelas Rasulullah
SAW. Maka kemanapun langkah kaki, dalam dunia horizontalnya, akhirnya jua akan menuju
ke atas. "Kullu nafsin dzaaiqatul maut" (semua jiwa akan merasakan kematian), firman
Allah. Maka lakukanlah langkah-langkah horizontal kita secara baik, karena itu akan
menentukan proses langkah selanjutnya menuju atas. Kedua arah perjalanan kaki dalam
kehidupan ini kemudian menjadi penentu ketentraman, kebahagiaan, keharmonisan dan
kesuksesan hidup insani. Allah menggariskan: "Kenistaan dan kemiskinan akan menimpa
mereka di mana saja mereka berada, kecuali menjalin hubungan dengan Allah dan hubungan
dengan sesama manusia". Hubungan vertikal yang solid dan juga hubungan horizontal yang
mantap.
Kelima: Imam Shalat Berjama'ah
Shalat adalah bentuk peribadatan tertinggi seorang Muslim, sekaligus merupakan simpol
ketaatan totalitas kepadaYang Maha Pencipta. Pada shalatlah terkumpul berbagai hikmah
dan makna, bekal dalam melanjutkan sisa-sisa langkah kehidupan seorang insan. Shalat
menjadi simbol ketaatan total dan kebaikan universal yang seorang Muslim senantiasa
menjadi tujuan hidupnya.
Maka ketika Rasulullah memimpin shalat berjama'ah, dan tidak tanggung-tanggung
ma'mumnya adalah para anbiyaa (nabi-nabi), maka sungguh itu adalah suatu pengakuan
kepemimpinan dari seluruh kaum yang ada. Memang jauh sebelumnya, Musa yang menjadi
pemimpin sebuah umat besar pada masanya, bahkan diakui telah diberikan keutamaan di
atas seluruh umat manusia (wa annii faddhaltukum 'alalaamiin), juga mengakui
kepemimpinan Rasulullah SAW. Bahkan Ibrahim, Eyangnya banyak nabi dan Rasul,
menerima menjadi Ma'mum Rasulullah SAW. Beliau menerima dengan rela hati, karena
sadar bahwa Rasulullah memang memiliki kelebihan-kelebihan "leadership", walau secara
senioritas beliaulah seharusnya menjadi Imam.
Kempimpinan dalam shalat berjama'ah sesungguhnya juga simbol kepemimpinan dalam
segala skala kehidupan manusia. Allah menggambarkan sekaligus mengaitkan antara
kepemimpinan shalat dan kebajikan secara menyeluruh: "Wahai orang-orang yang beriman,
ruku'lah, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu serta berbuat baiklah secara bersama-sama.
Nisacaya dengan itu, kamu akan meraih keberuntungan" Sungguh, ruku dan sujud secara
bersama-sama menjadi bagian integral dari penyembahan Allah bersama serta menjadi
landasan dalam setiap perbuatan yang baik. Dalam situasi seperti inilah, seorang Muhammad
telah membuktikan bahwa dirinya adalah pemimpin bagi seluruh pemimpin umat lainnya.
Sehingga adalah menjadi "logic" jika umat Muhammad SAW juga seharusnya menjadi
"pemimpin" bagi seluruh umat manusia. "Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat
pertengahan, agar kamu menjadi penyaksi-penyaksi atas manusia yang lain, sebagaimana
Rasul Allah telah menjadi penyaksi atas kamu".
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/IsraMiraj.html (5 of 7)13/05/2006 23:43:07
Bunga Rampai Islam
Masalahnya, umat Islam saat ini tidak memiliki kriteria tersebut. Kriteria "imaamah" atau
kepemimpinan yang disebutkan dalam Al Qur'an masih menjadi "tanda tanya" besar pada
kalangan umat ini. "Dan demikian kami jadikan di antara mereka pemimpin yang
mengetahui urusan Kami, memiliki kesabaran dan ketangguhan jiwa, dan adalah mereka
yakin terhadap ayat-ayat Kami". Mengetahui urursan Kami. Itu adalah kriteria awal.
Pengetahuan atau "keilmuan" menandakan bahwa seorang pemimpin itu mutlak memiliki
"leadership skill" yang tinggi. Sehingga wajar saja kalau Rasulullah juga mensyaratkan
kepemimpinan shalat misalnya dengan dua hal; "aqraukum" (terbaik bacaannya) dan
"a'lamukum bilhadits" (yang paling berilmu dalam hadits). Ilmu hadits di sini tentunya
adalah mengetahui secara baik tatatanan kehidupan Rasulullah sebagai pemimpin secara
baik.
Dilemma umat terbesar adalah bahwa belum ada bukti kongkrit kepemimpinan yang dapat
menjadi "bargaining". Sehingga ketika menklaim kepemimpinan, orang boleh saja bertanya:
"Dalam hal apakah anda akan memimpin kami"? Politik, ekonomi, sosial budaya, atau
bahkan moralitas? Saya heran termangu-mangu, ketika menyaksikan di dunia Islam orang
berebutan naik bus umum. Orang tua, kaum wanita, orang lemah tak ada yang menolong
apalgi memberikan "prioritas", sementara di dunia Barat, Amerika misalnya, mereka
merupakan elemen masyarakat uyang mendapat perhatian khusus. Lalu apakah yang akan
ditawarkan? Akankah kita tawarkan teori muluk yang ternyata belum mampu menyentuk
kehidupan riil kita sendiri?
Kita umat Islam, yang seharusnya menjadi pemimpin umat lainnya, ternyata memang
menjadi salah satu pemimpin. Sayang kepemimpinan dunia Islam saat ini terbalik, bukan
dalam shalat berjama'ah, bukan dalam kebaikan dan kemajuan dalam kehidupan manusia.
Tapi menurut laporan sebuah majalah baru-baru ini, menjadi salah satu negara terburuk
(terkorup) dan termiskin di dunia. Inilah kepemimpinan sebagian dunia Islam masa kini.
Murid saya di Labor Union (Retiree program) mengatakan: "I love your country, but not
much your people". Saya bertanya: "Why?" Murid saya yang berumur 76 tahun ini
menjawab: "They stole my wallat. In the immigration, they force me to pay them for
nothing". Menyakitkan, tapi itulah realita.
Keenam: Kembali ke Bumi dengan Shalat
Setiap kali kita membicarakan Isra' wal Mi'raj, yang tergambar jelas dalam persepsi kita
adalah perjalanan dari masjidil Haram ke masjidil Aqsa, dilanjutkan ke Sidratula Muntaha di
al Baitul Ma'muur. Sangat sedikit yang menyadari, bahwa segera setelah selesai perjalanan
suci itu, Rasulullah kembali ke bumi dengan satu bekal kehidupan yang paling penting, yaitu
shalat.
Ada dua sisi pada poin ini. Pertama adalah kembalinya ke bumi. Kedua adalah
dibekalkannya beliau dengan shalat.
Perjalanan singkat yang penuh hikmah tersebut segera berakhir, dan dengan segera pula
beliau kembali menuju alam kekiniannya. Rasulullah sungguh sadar bahwa betapapun
ni'matnya berhadapan langsung dengan Yang Maha Kuasa di suatu tempat yang agung nan
suci, betapa ni'mat menyaksikan dan mengelilingi syurga, tapi kenyataannya beliau memiliki
tanggung jawab duniawi. Untuk itu, semua kesenangan dan keni'matan yang dirasakan
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/IsraMiraj.html (6 of 7)13/05/2006 23:43:07
Bunga Rampai Islam
malam itu, harus ditinggalkan untuk kembali ke dunia beliau melanjutkan amanah
perjuangan yang masih harus diembannya.
Demikianlah seharusnya semangat spiritualitas seorang Muslim, yang senantiasa terkait
dengan dunia "atas", namun kenyataannya dunia "bawah" juga merupakan kenyataan yang
harus dilalui. Menelusuri alam materi duniawi adalah keniscayaan. Mencari dunia adalah,
tidak saja tuntutan hajat manusiawi, tapi menjadi kewajiban agama sekaligus. "Dan bekerja
keraslah untuk akhiratmu, namun jangan lupa nasibmu di dunia ini", pesan Allah. Bahkan Al
Qur'an, sebagaimana diperintahkan untuk sungguh-sungguh pergi mengingat Allah (fas'au
ilaa dzikrillah), dan bahkan diperintahkan mengabaikan "kesibukan jual beli" (wadzarul
bae'), juga segera setelah itu disusuli dengan perintah berlawanan: "faidzaa qudhiyatis
Shalaah fantasyirru fil ardh wabtaghuu min fadhlillah". Kedua perintah tersebut adalah
datang dari Tuhan yang sama. Dan oleh karenanya, harus disikapi secara sama pula. Artinya,
kewajiban memenuhi ajakan untuk shaklat Jum'at adalah 100%, memenuhi aturan-aturanNya
juga 100%. Namun pada saat yang sama, memenuhi ajakan kedua tadi, bertebaran mencari
rezki Allah adalah juga perintah 100% dan juga harus memenuhi aturanNya 100%.
Inilah sikap seorang Muslim. Kita dituntut untuk turun ke bumi ini dengan membawa bekal
shalat yang kokoh. Shalat berintikan "dzikir", dan karenanya dengan bekal dzikir inilah kita
melanjutkan ayunan langkah kaki menelusuri lorong-lorong kehidupan menuju kepada
ridhaNya. "Wadzkurullaha katsiira" (dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak), pesan
Allah kepada kita di saat kita bertebaran mencari "fadhalNya" dipermukaan bumi ini. Persis
seperti Rasulullah SAW membawa bekal shalat 5 waktu berjalan kembali menuju bumi
setelah melakukan serangkaian perjalanan suci ke atas (Mi'raj).
Demikia sekilas makna Isra wal Mi'raj, mohon maaf atas keterbatasan saya, semoga kalau
ada manfaatnya diterima oleh Allah SWT. Dan kalau seandainya banyak kesalahan, dan saya
yakin itu karena itulah hakikat saya, semoga Allah Yang Rahman dan rahim berkenan
mengampuni saya.
Wassalam,
Syamsi Ali
New York, 5 Oktober 2002
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/IsraMiraj.html (7 of 7)13/05/2006 23:43:07
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
KEADILAN ISLAM
M. Syamsi Ali
Jika ajaran Islam didalami secara teliti, didapati bahwa inti dari semua linea ajarannya
bertumpu pada satu kata "keadilan" atau "al 'adl". Kenapa demikian? Karena keadilan
adalah sentral kehidupan, di mana kehidupan akan mengalami kehancurannya tanpa
tegaknya keadilan. Dengan kata lain, sesungguhnya tiada kehidupan tanpa keadilan itu
sendiri.
Kenyataan di atas didukung oleh sebuah ayat dalam al Qur'an (S. Ar Rahman: 7-9). Allah
menggambarkan bahwa alam semesta ini ditegakkan dengan sebuah
"keseimbangan" (mizan).
Tanpa keseimbangan ini, alam semesta termasuk langit dengan segala perangkat celestial
(kelompok planet) akan ambruk. Penggambaran ini kemudian dikembalikan kepada
manusia agar tidak menghilangkan "keseimbangan" (keadilan)nya dalam hidup ini. Sebab
jika itu terjadi, ambruklah kehidupannya. Manusia yang tidak adil alias zalim dalam
kehidupannya akan mengalami kejatuhan, baik pada tataran individunya maupun pada
skala sosialnya (moralitas). Akan ambruk pada aspek kehidupan ekonomi, politik, budaya
maupun hankamnya.
Keadilan dalam Islam adalah universal dan tidak mengenal boundaries (batas-batas), baik
batas nasionalitas, kesukuan, etnik, bahasa, warna kulit, berbagai status (sosial, ekonomi,
politik), dan bahkan batas agama sekalipun. Kedailan dalam Islam justeru ditegakkan
walau itu untuk memenuhi hak-hak makhluk Allah yang lain, termasuk hewan. Mungkin
kita masih ingat, seorang wanita dihukum karena menganiaya seekor kucing, tidak diberi
makanan dan juga tidak dibiarkan untuk mencari makannya sendiri. Keadilan ini harus
diterapkan secara "tegas" tanpa ada kecenderungan diskriminatif. Kesimpulannya,
keadilan Islam hanya mengenal dua batas, yaitu "kebenaran" dan "kebatilan". Keadilan
akan selalu memihak kepada yang benar, dan akan selalu menentang yang salah tanpa
pandang kepada batas-batas tadi.
Universalisme keadilan Islam juga terpatri dalam cakupannya, yang mencakup seluruh
sisi kehidupan. Manusia, dituntut adil tidak saja dalam berinteraksi dengan sesama
manusia, tapi yang lebih penting adalah adil dalam berinteraksi dengan Khaliknya dan
dirinya sendiri. Kegagalan berlaku adil kepada salah satu sisi kehidupannya, hanya
membuka jalan luas bagi kesewenang-wenangan kepada aspek kehidupannya yang lain.
Ketidak adilan dalam berinteraksi dengan Sang Khalik misalnya justeru menjadi sumber
segala bencana kehidupan. Allah menjelaskan:
"Telah nampak kerusakan di bumi dan di laut sebagai akibat kejahilan
tangan-tangan manusia, yang dengannya, Allah menjadikan mereka
merasakan akibat sebagian dari apa yang mereka telah lakukan, dan
semoga dengannya, mereka kembali kepadaNya" (ar Rum)
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Adil.html (1 of 7)13/05/2006 23:43:12
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Kerusakan-kerusakan di atas, baik di darat maupun dilaut dan bahkan di angkasa luar saat
ini, karena ulah manusia itu sendiri. Kenapa manusia berulah demikian? Allah
merincinya pada ayat selanjutnya, bahwa semua itu terjadi karena "kezaliman/kesyirikan
yang dilakukan oleh manusia:
"Maka berjalanlah kamu di atas bumi ini dan perhatikan bagaimana akibat
orang-orang sebelum mereka (kerusakan tadi), kebanyakannya adalah
melakukan kesyirikan" (ar Rum).
Mengabdi kepada Allah secara tidak proporsional, diluar ukuran timbangan (mizan), juga
dapat mengakibatkan kezaliman pada sisi yang lain. Mungkin kepada keluarga, orang
lain, atau mungkin kepada diri sendiri. Kecenderungan "rahbanist" atau menihilkan
kehidupan duniawi dengan alasan ibadah adalah suatu bentuk kezaliman di sisi lain.
Shalat malam secara terus menerus, puasa sunnah tanpa berhenti, sengaja tidak mencari
keutamaan Allah (fadhlullah) dalam dunia kekinian (materi), bahkan sebagian menilai
menikahi wanita adalah bentuk "ketidak taatan", adalah bentuk-bentuk kezaliman yang
lain.
Keadilan dalam Islam juga tidak mengenal pembatas "kekeluargaan", "pertemanan" dan
bahkan "permusuhan" sekalipun. Keadilan harus ditegakkan, walau itu menyentuh
kepentingan diri, keluarga, teman kita sendiri. Bahkan menurut al Qur'an, tegakkan
keadilan itu walau demi memnerikan hak kepada siapa yang kita anggap sebagai musuh.
Dengan kata lain, "like and dislike" tidak boleh menjadi ukuran dalam penegakan
keadilan dalam Islam. Allah menegaskan:
"Dan janganlah kiranya kebencianmu kepada suatu kaum menjadikanmu
melenceng dari keadilan. Adillah, keran keadilan itu dekat kepada
ketakwaan, dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha
mengetahui seluruh perbuatanmu".
Adil dalam berinteraksi dengan Pencipta
Allah menggambarkan bahwa persaksian Dia, para mailakat serta seluruh umat beriman
akan keesaanNya, dikategorikan sebagai penegakan keadilan. Dengan demikian, m
engimani kemaha tunggalan Allah SWT dalam segala aspeknya, baik secara Rububiyah,
Uluhiyah maupun dalam
kaitan Asma dan Sifatnya mengindikasikan komitmen yang sangat tinggi untuk
menegakkan keadilan. Allah berfirman:
"Allah bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Dia, para
malaikat dan juga para ahli ilmu menegakkan keadilan. Tiada Tuhan selain
Dia, Yang Maha Perkasa lagi Bijaksana" (Al Imran)"
Allah juga menggambrakan bahwa mereka yang mengesakan Allah adalah tidak saja
melakukan atau menegakkan keadilan, tapi juga menjadi "penyeru" kepada keadilan
tersebut. Sebaliknya, mereka yang tidak beriman kepada Allah adalah mereka yang
lemah, selalu tergantung kepada orang lain, serta tidak pernah mendatangkan kebajikan
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Adil.html (2 of 7)13/05/2006 23:43:12
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
dalam kehidupan. Penggambaran ini diberikan oleh Allah dalam firmanNya:
"Dan Allah memberikan dua contoh lelaki. Yang satu adalah buta, tidak
memiliki kekuatan sedikit pun, serta dia bergantung kepada tuannya, di
mana saja dia diperintah dia tidak pernah membawa kebajikan. Apakah
orang ini sama dengan yang siapa yang memerintahkan kepada keadilan
serta berada di jalan yang lurus?"
Sebaliknya, kesyirikan yang dilakukan oleh manusia dalam hidupnya merupakan bentuk
ketidak adilan atau kezaliman tertinggi dalam Islam. Allah menjelaskan:
"Dan mereka yang beriman dan tidak mencampur baurkan iman mereka
dengan "dzulm" atau kezaliman, maka baginya adalah keamanan dan
merekalah yang berada di atas petunjuk"
Pada ayat lain, Allah menjelaskan:
"Ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya: Wahai anakku janganlah
kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik itu adalah bentuk
kezaliman yang besar"
Adil dalam berinteraksi dengan diri sendiri
Adil pada diri sendiri menjadi begitu penting, karena tanpa keadilan ini kehidupan akan
menjadi timpang dan tidak lengkap. Kehidupan manusia dilengkapi tiga kebutuhan dasar
yang tidak terpisahkan, yaitu kebutuhan material, spiritual, dan intelektual. Ketiga
kebutuhan tersebut mutlak terpenuhi pada kadar yang telah ditentukan. Memenuhi
kebutuhan fisik dengan menelantarkan keperluan spiritual akan melahirkan sosok yang
kuat namun liar. Bak kuda liar yang akan menerjang kiri kanan tanpa aturan. Sebaliknya,
memenuhi kebutuhan spiritual dengan menelantarkan hajat material, juga melahirkan
sosok yang "saleh" namun lemah. Kekuatan intelektual semata juga melahirkan kelicikan
yang hanya membahayakan diri dan manusia di sekitarnya.
Untuk itulah, Rasulullah dalam banyak hadits menganjurkan agar manusia adil dalam
menyikapi dirinya sendiri. Ketika seorang sahabat beribadah secara berlebihan, beliau
mengingatkan bahwa sesungguhnya mata, telinga, hidung, perut dan bawah perut,
semuanya punya hak-hak untuk dipenuhi. Ketika tiga sahabat nabi bertekad untuk
membagi tugas "rahbanis", yaitu satu tidak ingin tidur untuk shalat sepanjang malam,
satu lagi tidak ingin makan untuk puasa sunnah secara berterusan, dan satu lagi tidak
ingin nikah karena tak ingin terganggu dalam kegiatan ibadahnya kepada Allah,
Rasulullah marah dan menasehati mereka untuk tidak bersikap demikian. Malah beliau
menegaskan: "Barangsiapa yang tidak mengikuti sunnahku (bersikap adil/imbang), maka
bukanlah dari kalangan umatku".
Adil dalam berinteraksi dengan anggota keluarga
Salah satu dilemma besar yang dihadapi oleh dunia modern saat ini adalah kezaliman
terhadap kehidupan keluarga. Ironisnya, terkadang kezaliman ini dibangun justeru di atas
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Adil.html (3 of 7)13/05/2006 23:43:12
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
persepsi "membangun" keluarga bahagian/sejahtera. Sebagai misal, seorang ayah yang
bekerja dari pagi hingga sore.
Berangkat di pagi hari di saat anak-anak masih tidur pulas, dan pulang sore di kala anakanak telah bergegas utuk menuju tempat tidur. Komunikasi jarang terjadi, apalagi dalam
konteks edukasi, atau lebih specifik lagi mengajarkan anak-anaknya akhlak yang baik.
Jarangnya terjadi komunikasi antara ayah dan anak ini menjadi masalah dalam masalah,
karena di sinilah seorang anak walau seluruh kebutuhan materinya terpenuhi, namun
merasa ditinggalkan. Lebih celaka lagi, jika kedua suami-isteri memiliki kesibukan yang
sama. Generasi Amerika dikenal sebagai "the angry and lonely generation" tidak lain
karena jarangnya komunikasi antara anak-anak dan orang tua.
Sepintas kerja keras seorang ayah di atas adalah untuk kebaikan keluarga itu sendiri,
namun tanpa disadari sesungguhnya telah terjadi ketidak adilan dalam berinteraksi
dengan anggota keluarga. Hal ini juga bisa menyentuh hubungan suami-isteri, yang
terkadang masing-masing punya "schedule" dalam kesehariannya. Sehingga tanpa
disadari, kemakmuran materi yang dihasilkan diselimuti oleh kegersangan "relasi" di
antara anggota keluarga itu sendiri.
Untuk itulah, Rasulullah secara khusus menegaskan:
"Sungguh bagi keluargamu memiliki hak atas dirimu"
Dalam hal pendidikan, terkadang semangat untuk melihat anak-anak kita sukses dalam
dunianya, menjadikan sebagian orang tua lupa akan usaha-usaha kesuksesannya di dunia
mendatang (akhirat). Menyikapi pendidikan anak yang seperti ini juga merupakan bentuk
"kezaiman" yang tidak disadari.
Adil terhadap sesama Muslim
Dalam al Qur'an disebutkan bahwa jika ada dua kelompok Muslim bertkai, maka
diupayakan perbaikan/rekonsiliasi di antara keduanya. Jika dalam prosesnya, salah satu
dari keduanya berbuat zalim (baghy), maka kelompok tersebut harus diperangi dengan
tujuan agar kembali ke jalan Allah (kebenaran). Jika telah sadar, dan ingin berbuat secara
adil, maka sekali lagi didamaikan di antara keduanya dengan "ukuran keadilan" yang
sangat dan esktra hati-hati (wa aqshituu).
Al Qur'an menyinggung sejak awal existensi masyarakat Muslim sekalipun bahwa suatu
hari pada suatu tempat akan terjadi "benturan-benturan" di antara kaum Muslimin
(iqtataluu). Kata iqtataluu menggambarkan bahwa benturan ini memang wujudnya
"ramai", berkali-kali, sering kejadiannya. Untuk itu, diperlukan pihak ketiga dari
kalangan umat ini sendiri (bukan orang luar) untuk mengupayakan rekonsiliasi di antara
kedua kelompok yang bertikai. Kenapa penegasannya bahwa rekonsiliator harus dari
kalangan umat ini sendiri? Karena mustahil kita mengharapkan keadilan dari siapa yang
tidak mengenal apa dan bagaimana keinginan orang-orang Islam itu dari kalangan luar.
Selain itu, mereka dalam melakukan upaya-upaya rekonsiliasi tentu punya agenda dan
kepentingannya sendiri.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Adil.html (4 of 7)13/05/2006 23:43:12
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Adil terhadap sesama manusia
Sebagaimana disebutkan terdahulu, keadilan Islam tidak mengenal pembatas, kecuali
pembatas kebenaran dan kebathilan. Ukuran keadilan ditegakkan di atas asas kebenaran.
Kalau ternyata dalam sebuah kasus, kebenaran adalah milik seorang non Muslim, maka
Islam wajib memberikan kepadanya hak tersebut. Kisah Khalifah Ali, yang pernah
menemukan baju besinya di rumah seorang yahudi. Maka Ali pun mengadukan yahudi itu
kepada pengadilan. Sayangnya, Ali sendiri tidak bisa membuktikan bahwa baju besi itu
adalah miliknya. Maka hakim memutuskan bahwa yang salah adalah Bapak Presiden
(khalifah Islam), dan yang berhak atas baju itu adalah sang yahudi. Walau ternyata Ali
benar, namun kebenaran persaksian perlu dibuktikan. Kisah ini menjadikan sang yahudi
memeluk Islam, melihat kemurnian penegakan keadilan dalam agama ini.
Berbagai perjanjian yang dibuat rasulullah SAW dengan non Muslim di Madinah
menunjukkan bahwa Islam begitu luas meperlakukan non Muslim secara adil. Salah
satunya sebagai misal, adalah delegasi Kristen Nejran yang datang dari kampung Nejran
untuk melaukan dialog dengan Rasulullah dalam berbagai masalah teologi, termasuk
tentang Allah dan Isa AS. Di ujung dialog mereka tetap dalam kekufurannya dan
menolak kerasulan Muhammad SAW, namun Rasulullah justeru membuat perjanjian
yang dikenal "'Ahd Nagran". Perjanjian tersebut, salah satunya, menegaskan jaminan
keadilan kepada mereka, jika mereka menuntut keadilan itu kepada orang-orang Muslim.
Kedailan dirasakan oleh seluruh non Muslim di seantero dunia di bawah kekuasaan
Muslim di masa lalu. Di Spanyol kaum yahudi dan Kristen hidup secara tenteram
bersama kaum Muslimin, menikmati segala fasilitas yang ada secara bersama-sama tanpa
ada diskriminasi sekalipun. Ketika umat Islam terusir dari kawasan tersebut oleh
penguasa Kristen, kaum yahudi yang kemudian dieksekusi secara sadis oleh penguasa
Kristen Spanyol, lebih memilih melarikan diri ke negara-negara Islam di Afrika Utara
dan Tukia, karena merasa mendapat perlindungan dari penguasa Muslim.
Demikian pula kaum Nasrani di bawah pemerintahan Islam di Baghdad ketika itu, hidup
secara damai, tenteram dan sejahtera bersama-sama dengan penduduk Islam. Bahkan
ketika dominasi Kristen barat memasuki wilayah itu, banyak di antara mereka yang
justeru lebih nyaman berada di bawah pemerintahan Islam ketimbang Kristen barat yang
memiliki sistim keagamaan tersendiri.
Adil dalam berinteraksi dengan makhluk Allah yang lain
perilaku zalim yang dilakukan manusia seringkali juga dialami oleh makhluk-makhluk
Allah yang lain, termasuk hewan, tumbuh-tumbuhan, maupun lingkungan hidup.
Kebuasan dan kerakusan dalam mengumpulkan keuntungan materi, dan atas nama
kemakmuran dan kesejahteraan, justeru menimbulkan berbagai "ketidak adilan" dalam
kehidupan. Banyak jenis hewan yang mengalami keterputusan jenis, hutan dan pohon
diteban secara liar, polusi udara semakin menjadi-jadi, yang pada akhirnya manusia
jugalah yang menanggung akibatnya.
Untuk itulah, dalam Islam diajarkan berbagai metode untuk menjaga keseimbangan/
keadilan di alam semesta tersebut. Pada saat berihram misalnya diajarkan agar jangan
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Adil.html (5 of 7)13/05/2006 23:43:12
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
membunuh binatang atau mencabut tumbuh-tumbuhan, yang sesungguhnya merupakan
pelajaran untuk menjaganya dalam kehidupan keseharian. Kisah seekor anjing yang
diselamatkan oleh seseorang yang haus, kisah sarang semut yang dibakar oleh para
sahabat, semua menunjukkan bahwa jauh sebelum organisasi hak-hak hewan tumbuh
menjamur di bara, Islam telah memperlihatkan compassion dan cintanya yang tinggi
kepada makhluk Allah yang lain. Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah:
"Akankah kita mendapat pahala karena menyelamatkan semut-semut itu?
Beliau menjawab: "Pada semua makhluk hidup ada pahala yang dapat
diraih".
Demikian uraian ringan tentang keadilan Islam, yang tidak saja menjadi keharusan bagi
umatnya untuk ditegakkan tapi telah menjadi "fitrah Islam" itu sendiri. Artinya, berislam
dan mengaku Muslim dan pada saat yang sama melakukan kezaliman-kezaliman, adalah
sama kalau berislam secara tidak alami. Mungkin Islam itu adalah islam "kekuasaan" dan
prestise semata, serta dengan tujuan-tujuan duniawi lainnya. Maka tidak mengherankan,
banyak penguasa mengaku beragama Islam bahkan menjalankan syariat Islam, tapi dalam
menjalankan kekuasaannya jauh dari nilai-nilai keadilan. Di negara-negara yang justeru
berpenduduk mayoritas Muslim, keadilan sedemikian direndahkan. Jika para elit
melakukan penyelewengan maka seribu satu cara dilakukan sehingga terlepas dari jeratan
hukum, sementara rakyat jelata yang terkadang karena keterpaksaan mencuri, maka tidak
tanggung-tanggung ditegakkan keadilan. Dan ternyata, itu pula penyebab kehancuran
bangsa tersebut. Kata Rasulullah:
"Sesungguhnya kaum sebelum kamu hancur, karena jika yang melakukan
kesalahan adalah yang lemah maka hukum ditegakkan, namun jika yang
melakukannya adalah para elit dan yang berkuasa, maka mereka dibiarkan
saja"
Maka Rasulullah SAW ingin membuktikan dengan ucapannya:
"Kalaulah seandainya Fathimah, putri Muhammad, mencuri maka akan
kupotong tangannya".
Inilah keadilan Islam, keadilan yang harus ditegakkan walau itu menyentuh langsung
interest pribadi, keluarga, kerabat dan teman, serta mereka yang dianggap memiliki
kelebihan-kelebihan status sosial. Keadilan Islam, sekali lagi, hanya mengenal satu
"ukuran", yaitu ukuran kebenaran dan kesalahan.
Wallahu A'lam!
New York, 2 Juli 2002
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Adil.html (6 of 7)13/05/2006 23:43:12
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Adil.html (7 of 7)13/05/2006 23:43:12
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
MUHAMMAD SAW: INISIATOR PERDAMAIAN
M. Syamsi Ali
Umat Islam di seluruh penjuru dunia saat ini umumnya memperingati Maulid atau
Kelahiran Rasulullah SAW. Terlepas dari perdebatan sisi hukum syariatnya, mempelajari
dan menghayati kehidupan dan pengorbanan Rasulullah SAW adalah suatu keharusan
dan, bahkan tidak berlebihan jika dikatakan, menjadi kewajiban syara' (agama) bagi
setiap Muslim. Ada dua alasan pokok yang dapat dikemukakan:
Pertama: Islam menghendaki "ketaatan" kepada Allah. Tanpa ketaatan kepada Allah,
sesungguhnya tiada Islam. Untuk taat kepada Allah dibutukan "ketaatan" kepada
Rasulullah. Berbagai ayat dalam Al Qur'an memerintahkan ketaatan kepadaNya, namun
sekaligus memerintahkan ketaatan kepada RasulNya. Sebaliknya, bermaksiat kepada
Allah dikaitkan langsung dengan kemaksiatan kepada RasulNya.
Kedua: Rasulullah telah dijadikan, tidak saja sebagai "muballigh" (conveyer), namun
sekaligus sebagai contoh tauladan "hidup" bagi seluruh pengikutnya. Ketauladanan
menuntut sebuah komitmen untuk mengikut. Sedangkan untuk mengikut kepada
seseorang atau sesuatu diperlukan pengetahuan tentangnya.
Dengan demikian, dan sesuai dasar Ushul fiqh: "Maa laa yatimmu bihil waajibu illa bihii
fahuwa wajibun" (sesuatu yang hanya dengannya suatu kewajiban menjadi terlaksana,
maka ia menjadi wajib), maka mendalami sirah (sejarah hidup) Rasulullah adalah
merupakan kewajiban yang tidak dapat ditawar. Hanya dengan mengetahui sirah
Rasulullah SAW, kita mampu melakukan ketaatan yang benar serta mampu mengikuti
jejak langkah kehidupan Rasulullah dalam kehidupan ini.
Mispersepsi Mengenai Rasulullah SAW
Tak disangkal bahwa mispersepsi (kesalah fahaman) mengenai Rasulullah banyak terjadi,
yang boleh jadi karena beberapa factor, yang dapat disebutkan antara lain, karena
memang kebodohan akan Islam dan Rasululullah SAW, manipulasi informasi yang
sesungguhnya khususnya oleh media massa, dan juga lebih karena disebabkan oleh sikap
dan perilaku dari pengikut Muhammad SAW yang masih jauh dari suri tauladan beliau.
Salah satu kekeliruan faham yang sering kita temui adalah bahwa Rasulullah SAW
merupakan sosok yang keras, kaku, serta berwatak anti damai. Lebih jauh, watak ini
ditafsirkan bahwa sesungguhnya Islam itu telah disebarkan ke seluruh penjuru dunia
dengan mata pedang. Tapi betulkah bahwa Rasulullah SAW berwatak kasar serta anti
damai perdamaian? Betulkah pula bahwa Islam telah disebarkan dengan kekuatan
pedang?
Mengawali respon kepada klaim tersebut di atas, ada baiknya dimulai dengan beberapa
kutipan dari para tokoh dunia maupun cendekiawan yang justeru dari pihak agama lain:
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Muhammad.html (1 of 7)13/05/2006 23:43:16
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Mahatma Gandhi (The Young Indian, 1924):
"I wanted to know the best of the life of one who holds today an undisputed
sway over the hearts of millions of mankind. I became more than ever
convinced that it was not the sword that won a place for Islam in those days
in the scheme of life. It was the rigid simplicity, the utter self-effecement,
his devotion to his friends and followers, his fearlessness and his absolute
devotion and trust in his Lord. These and not the sword carried everything
before them"
Sir George Bernard Show (1936):
"If any religion had the chance of ruling over England and Europe within
the next hundred years, it could be Islam. I have always held the religion of
Muhammad in high estimation because of its wonderful vitality. It is the
only religion which appears to me to passes that assimilating capacity to
the changing phase of existence which can make itself appeal to every age.
I have studied him - the wonderful man and in my opinion far from being
anti Christ, he must be called the savior of humanity"
De Lacy O'Leary (1923):
"History makes it clear, however, that the legend of fanatical Muslims
sweeping through the world and forcing Islam at the point of swords upon
conquered races is one of the most fantastically absurd myths that
historians have repeated".
Demikian beberapa kesaksian non Muslim sekaligus tokoh terkenal tentang ketinggian
budi dan kelembutan perilaku serta jauhnya Rasulullah SAW dari tuduhan kekerasan dan
anti perdamaian. Pada intinya, banyak ahli yang sepakat bahwa Muhammad telah
membawa ajaran yang damai serta telah disampaikan ke penjuru alam dengan pendekatan
damai, jauh dari kekerasan dan pemaksaan seperti yang digambarkan selama ini. Bahkan
tuduhan penyebaran Islam dengan memakai pendekatan kekerasan/pemaksaan, dinilai
sebagai bentuk mitos yang sangat luar biasa.
Memang dapat ditegaskan bahwa tidak ada dan tak akan ada suatu agama maupun sistim
sosial lainnya yang akan mampu menyamai cara pendekatan Islam dan Rasulullah SAW
dalam membangun dan memelihara perdamaian dan keadilan bagi umat manusia. Baik
ditinjau dari sisi ajaran maupun sejarah, keduanya menunjukkan bahwa Islam dan
RasululNya telah mampu, tidak saja menjadi simbol perdamaian tapi justeru menjadi
inisiator dan pencipta perdamaian (peace maker). Beberapa alasan dapat dikemukakan
untuk mendukung perntaan ini, al:
Pertama: Fleksibilitas dalam Melakukan Perjanjian Damai
Bukti pertama akan ketinggian komitmen Rasulullah dalam upaya perdamaian adalah
kelapangan dada dan fleksibilitas beliau dalam menerima hasil-hasil pembicaraan damai,
yang justeru oleh pertimbangan kebanyakan orang awam dianggap sebagai kekalahan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Muhammad.html (2 of 7)13/05/2006 23:43:16
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Tapi oleh Rasulullah, demi menghindari konflik dan peperangan, beliau menerimanya
dengan visi dan tujuan yang lebih besar. Kebesaran visi menyadarkan beliau bahwa
kemenangan justeru tidak selalu diraih lewat sebuah keberhasilan jangka pendek.
Berikut dikutip sebagian dari sekian banyak persetujuan (perjanjian/treaties) yang belia
telah lakukan bersama warga lain sepanjang sejarah hidup beliau:
1. Jauh sebelum Rasulullah SAW diangkat menjadi Rasul Allah SWT, beliau telah
menunjukkan diri sebagai juru damai bagi berbagai kelompok suku yang sering
terlibat dalam peperangan itu. Salah satu yang dapat disebutkan, ketika "Hajar
Aswad" (batu hitam) terjatuh dari tempat aslinya di sudut Ka'bah akibat banjir.
Ketika itu, hampir saja terjadi pertumpahan darah karena semua suku merasa
paling berhak untuk mengembalikan ke tempat aslinya, dipandang sebagai salah
satu kehormatan dan prestise kesukuan bangsa Makkah.
Muhammad SAW, yang ketika itu baru berumur belia, justeru keluar dengan ide
yang cemerlang dan diterima oleh semua suku yang bersengketa. Beliau
mengusulkan bahwa penentuan siapa yang berhak mengembalikan "hajar aswad"
ke posisi semula ditentukan oleh siapa yang paling dini memasuki masjidil haram.
Ternyata, dari sekian banyak pembesar Makkah yang berminat memasuki masjidil
haram pertama kali, beliau jugalah yang melakukannya. Namun demikian, beliu
menyadari bahwa kendati beliau berhak melakukan pengembalian hajar aswad,
pasti akan timbul rasa "kurang enak" di kalangan para pembesar suku Makkah itu.
Untuk itu, beliau menaruh "hajar aswad" dengan tangannya ke atas sebuah sorban,
lalu semua kepala suku dipersilahkan untuk mengangkatnya secara bersama-sama
dan diletakkan kembali ke posisi aslinya. Subhanallah!
Tindakan cemerlang nan bijak tersebut telah menghindarkan pertumpahan darah,
bahkan lebih jauh mengajarkan kebersamaan dan keinginan untuk mencapai
kebaikan secara gotong royong. Keberhasilan Muhammad muda SAW tersebut
merupakan cerminan watak asli yang damai serta memiliki komitmen yang tinggi
untuk mewujudkan perdamaian di antara sesama manusia.
2. Di awal hijrah Rasulullah, beliau menerima kedatangan utusan kafir Makkah di
Madinah yang berakhir dengan beberapa kesepakatan. Salah satu isi kesepakatan
tersebut bahwa "jikalau ada pengikut Muhammad SAW melarikan diri dari
Madinah ke Makkah, yang bersangkutan tidak harus dikembalikan ke Madinah.
Sebaliknya, jika ada pengikut Muhammad yang melarikan diri dari Makkah ke
Madinah, yang bersangkutan harus dipulangkan ke Makkah".
Bagi pemikiran umum, persetujuan tersebut sangat tidak adil. Namun Rasulullah,
dengan komitmen yang sangat tinggi untuk menghindari konflik dan membangun
perdamaian, mau menerimanya.
3. Perjanjian Hudaibiyah adalah salah satu perjanjian yang sangat popular dalam
sejarah Islam. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah bahwa Rasulullah tahun itu
harus kembali ke Madinah, dan hanya boleh melakukan ibadah ke Makkah
setahun kemudian. Selain itu, nama yang dipakai pada perjanjian tersebut tidak
boleh menggunakan title "Rasulullah", tapi memakai kebiasaan arab
membaggakan nama bapaknya, yaitu Muhammad bin Abdullah.
Bagi kebanyakan sahabat, isi perjanjian tersebut sangat melecehkan, bahkan
dianggap kekalahan di pihak Rasulullah SAW. Umar bahkan meng-ekspresikan
resistensinya kepada Rasulullah untuk tidak menerima persetujuan tersebut.
Namun demikian, ternyata sang pecinta damai (peace loving man), Rasulullah
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Muhammad.html (3 of 7)13/05/2006 23:43:16
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
SAW, tidak berkeberatan untuk menerima hasilnya.
4. Perjanjian dengan delegasi Najran (Treaty of Najran) juga menjadi saksi sejarah
kebesaran jiwa Rasulullah SAW serta komitmennya yang tinggi dalam upaya
mewujudkan perdamaian. Pada tahun 10 Hijrah (631 M), beliau didatangi oleh 60
orang delegasi dari penduduk Kristen Najran, sebuah daerah yang terletak sekitar
450 mil sebelah selatan Madinah. Mereka diterima oleh Rasulullah di masjid
Nabawi dan diperbolehkan untuk melakukan ibadah dalam masjid sesuai
keyakinan dan tatacara agama mereka.
Selama tiga hari tiga malam, mereka dan Rasulullah SAW melakukan dialog
tentang "tabiat" Tuhan (nature of God) dan Isa a.s. Namun akhirnya mereka tetap
pada pendirian mereka, dan menyatakan bahwa ajaran Muhammad SAW tidak
akan bisa diterima karena bertentangan dengan ajaran Kristen yang mereka yakini.
Kendati perbedaan teologis dengan mereka, Rasulullah SAW tetap melakukan
persetujuan damai yang dikenal dengan "'Ahd Najran" (Treaty of Najran).
Perjanjian damai tersebut berisikan antara lain, bahwa "warga Kristen Najran
mendapat keamanan Allah dan rasulNya, baik bagi kehidupan, agama, harta
kekayaan mereka. Tidak akan ada intervensi dalam agama dan peribadatan
mereka. Tak akan ada perubahan dalam hak-hak dan kelebihan bagi mereka. Tak
akan ada pengrusakan bagi rumah ibadah atau symbol-simbol keagamaan lainnya.
Jika ada di antara mereka yang mencari keadilan atas orang-orang Islam, maka
keadilan akan ditegakkan di antara mereka".
Treaty atau berbagai perjanjian yang disebutkan di atas, menunjukkan komitmen
yang luar biasa dari seorang rasul dan pemimpin, negarawan, politikus sekaligus
diplomat ulung yang tiada bandingnya dalam sejarah. Yang mengagumkan dari
semua itu, betapa visi beliau begitu jauh ke depan melihat kemaslahatan yang
lebih besar diatas kepentingan jangka pendek. Komitmen Rasulullah SAW kepada
kedamaian dan perdamaian menjadi karakter dasar dari semua ini.
Kedua: Rasulullah Membuktikan Ajaran Islam yang Cinta Damai
Rasulullah SAW adalah pembawa risalah yang agung. Sebagai pembawa risalah, tentu
beliau dituntut untuk, tidak saja menyampaikan, tapi sekaligus mencontohkannya secara
konkrit bagaimana pelaksanaanya. Untuk itu, jika kita kembali kepada ajaran-ajaran dasar
Rasulullah SAW (al-Islam), akan didapati dengan mudah bahwa Islam memang
mengajarkan dan mewujudkan kedamaian serta menjunjung tinggi perdamaian.
Pengambilan nama bagi agama ini, yaitu Islam yang bersumber dari "salama" yang
berarti selamat dan juga "silm dan salaam" (damai) menegaskan karakter dasar dari ajaran
Islam itu sendiri. Berbagai aspek Islam kemudian, semuanya bermuara kepada aspek
luhur ini, bahkan termasuk perintah berperang sekalipun, tidak lain bertujuan untuk
menegakkan kedamaian dan keadilan. Sehingga tak satupun substasi agama Islam kecuali
membawa kepada nilai-nilai kedamaian dan perdamaian.
Shalat misalnya, adalah bentuk ibadah tertinggi dalam Islam. Shalat dimulai dengan
takbir, yaitu menjunjung tinggi Asma Allah menhunjam erat ke dalam jiwa sang pelaku.
Maka shalat adalah bentuk dzikir (mengingat Allah) tertinggi, yang dengannya seorang
Muslim merasakan kedamaian bathin yang tak terhingga. Namun kedamaian jiwa tidak
berakhir, tapi harus diteruskan dengan kedamaian yang lebih luas, yaitu kedamaian
sosial. Untuk itu, shalat tak akan menjadi valid ketika tidak diakhiri dengan komitmen
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Muhammad.html (4 of 7)13/05/2006 23:43:16
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
menyebarkan perdamaian kepada sesama. Salam yang diucapkan di akhir shalat adalah
bentuk komitmen tertinggi dari seorang Muslim dalam mewujudkan perdamaian sosial.
Demikian pentingnya "damai" dan "perdamaian" dalam pandangan Islam, Rasulullah
SAW pernah bersabda, "Kamu tak akan masuk Syurga sehingga kamu saling mencintai.
Hendakkah saya tnjukkan padamu sesuatu yang jika kamu melakukannya, niscaya kamu
akan saling mencintai?" Sahabat menjawab: "Betul wahai Rasulullah". Sabda beliau:
"Tebarkan salam (damai) di antara kalian".
Menyebarkan salam menurut hadits tersebut tentu bukan hanya mengumbar kata-kata.
Tapi yang terpenting, adanya komitmen kita untuk mewujudkan salam yang menyeluruh
(comprehesive peace); salam (damai) secara individu danjuga damai secara sosial.
Dimulai dengan kata, dihayati dalam jiwa dan dibuktikan dengan amalan nyata.
Orang-orang beriman seperti inilah yang digelari "hamba-hamba
Allah" ('IbaadurRahmaan), yang jika berjalan di atas bumi ini, mereka rendah hati.
Bahkan jika disapa secara jahil (uncivilized manner) oleh orang-orang bodoh, mereka
tetap merespon dengan "Salaam" (in peaceful manner). Mereka tidak akan dan tidak perlu
melakukan reaksi spontan yang terjatuh dari norma-norma damai. Mereka sadar, bahwa
Islam sangat meninggikan reaksi positif yang dilandaskan kepada kemaslahatan besar
serta senantiasa berbasiskan kedamaian.
Ketiga: Al Qur'an Diturunkan dalam Suasana Damai
Selain mengandung berbagai komitmen damai dan perdamaian, al Qur'an juga
digambarkan diturunkan dalam sebuah malam yang penuh kedamaian. Di S. al Qadar
disebutkan: "Dan para Malaikat turun ke bawah dan juga Ruh (jibril) atas perintah Tuhan
mereka dengan (membawa) semua perintah. (Malam itu penuh dengan) "Salaam" atau
kedamaian sehingga fajar telah tiba".
Gambaran turunnya Al Qur'an seperti ini tidak lain dimaksudkan bahwa ia datang dalam
suasana yang sangat damai, dan sudah pasti ditujukan untuk menciptakan suasana damai
yang abadi, sehingga masa yang ditunggu tiba, yaitu Kiamat. Kata-kata "salaam hiya
hatta mahtla'il fajar" boleh jadi gambaran kedamaian abadi sehingga "fajar" kebesaran
Ilahi tiba dalam bentuk al Qiyaamah tiba kelak.
Keempat: Suasana Syurga Digambarkan penuh dengan "Kedamaian"
Nama Syurga itu sendiri, salah satunya, adalah "Rumah Kedamaian" (Daarussalam).
Allah menfirmankan: "Dan Bagi mereka "Darussalam / Rumah Kedamaian di sisi
Tuhannya dan Allah adalah Wali bagi mereka atas apa yang mereka telah perbuat".
Di saat Allah ditemui oleh para hambaNya di Syurga kelak, mereka mengucapkan
"Salaam" (Kedamaian). Allah berfirman: "Salam penghormatan kepada mereka di saat
menjumpaiNya adalah "Salaam", dan Allah menyediakan bagi mereka pahala yang besar".
Setiap kali Malaikat memasuki dan menjenguk mereka, para Malaikat mengucapkan
"Salaam": "Dan para malaikat masuk kepada mereka seraya berkata: Salaam (selamat/
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Muhammad.html (5 of 7)13/05/2006 23:43:16
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
peace) atas kamu semua atas kesabarannya. Sungguh indah rumah abadi (Syurga)".
Kelima: Allah Menamakan diriNya serta Sumber Kedamaian (Salaam)
Allah sendiri menamai diriNya dengan, salah satunya, as-Salaam (Yang Damai). "Dialah
Allah, tiada tuhan selain Dia yang Menguasai, Yang Suci, Yang Damai…". Bahkan Allah
disebutkan oleh Rasulullah dalam salah satu sunnah dzikir sebagai "Sumber dan tempat
kembali" kedamaian abadi, sebagaimana disebutkan dalam dzikir: "Allahumma Antas
Salaam wa minKa as Salaam, fahayyinaa Rabbanaa bissalaam…..".
Keenam: Perintah Allah untuk Berbuat Baik (al-ihsan)
Allah dalam Al Qur'an memerintahkan RasulNya untuk berbuat baik tanpa ada batasan
dan diskriminasi: "Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat kepadamu".
Sebagian ulama menilai, perintah kepada Rasulullah ini adalah perintah yang sangat luar
biasa. Bagaimana mungkin Rasulullah yang manusia biasa, dengan segala keterbatasan
manusiawi seperti pertimbangan akal, perasaan, dll., akan mampu menyamai Allah dalam
perbuatan baik (ihsan)? Untuk itu, tidak ada maksud lain dari ayat ini kecuali bahwa
perbuatan baik dalam kacamata Islam tidak dibatasi oleh berbagai batasan manusia.
Kiranya, perbuatan baik (ihsan) tidak dilakukan secara diskriminatif karena suku,
golongan, warna kulit, tingkat sosial ekonomi, bahkan keyakinan agama sekalipun.
Rasulullah SAW telah membuktikannya. Beliau bertetanggan dengan Yahudi,
mengadakan perjanjian dengan kaum Kristiani, dan semua mengakui ketinggian
"ihsan" (budi luhur) Rasulullah SAW. Maka sangat wajar, jika Allah sendiri yang
memberikan pengakuan: "Sungguh tiada kuutus kamu kecuali sebagai rahmatan bagi
seluruh jagad". Bahkan lebih jauh: "Engkau adalah sosok yang berbudi luhur yang maha
tinggi" (S. al Qalam).
Rasa kasih dan sayang Rasulullah ini, tidak saja terbatas pada bangsa manusia apalagi
kaum Muslim saja. Tapi juga telah dibuktikan terhadap seluruh makhluk ciptaan Allah,
bahkan kepada hewan sekalipun. Beliau menceritakan: "Suatu ketika, ada seorang lelaki
yang sangat kehausan karena panas terik yang menggigit. Untuk menghapus rasa dahaga
tersebut, sang lelaki menemukan sebuah sumur yang dalam. Beliau pun memasukinya
dan minum sepuasnya, lalu memanjat ke atas. Sesampai di atas, beliau menemukan
seekor anjing yang kehausan dan hampir mati darinya. Maka beliau sekali lagi memasuki
sumur tersebut, mengisi sepatunya dengan air dan menggigitnya seraya memanjat dinding
sumur ke atas. Sesampai di atas, belaiu memberikanya kepada sang anjing. Karena
perbiatan baiknya kepada anjing ini, Allah mengampuni dosanya dan memasukkannya ke
dalam Syurga" Para sahabat bertanya: "Adakah pahala yang didapatkan dari seekor
hewan?" Belaiu menjawab: "Pada semua makhluk hiudp ada pahala kebaikan".
Bahkan suatu ketika, beliau menemukan sebuah saran semut dibakar. Beliau bertanya:
"Siapa yang melakukan ini?" Para sahabat menjawab bahwa merekalah yang
melakukannya. Beliau kemudian mengatakan: "Tidak ada yang berhak mempergunakan
api untuk membakar kecuali Tuhan api itu sendiri".
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Muhammad.html (6 of 7)13/05/2006 23:43:16
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Semua ini membuktikan bahwa "ihsan" (komitmen kebaikan) Rasulullah SAW adalah
universal, tanpa ada diksriminasi, bahkan kepada hewan sekalipun. Jauh sebelum
organisasi-organisasi hak-hak hewan (animal rights organizations) tumbuh di dunia barat,
Islam dan RasulNya telah mengajarkan kasih sayang kepada hewan. Hadits lain
mengisahkan: "Seorang wanita masuk neraka hanya karena mengikat seekor kucing tanpa
memberikan makan, dan tidak juga membiarkannya mencari makannya".
Akhirnya, tuduhan klasik yang tidak berdasar terhadap Rasulullah masih dapatkah
dipertahankan? Apakah tuduhan bahwa Rasulullah SAW adalah sosok yang kaku, keras,
serta anti damai masih dapat diterima? Saya yakin, dengan berbagai fakta sejarah dan
merujuk kepada kenyataan ajaran Islam yang sedemikian agung, tak seorang manusia
berakal pun yang akan menolak bahwa Muhammad, Rasulullah SAW, tidak saja
merupakan simbol kedamaian dan perdamaian sejati, tapi telah menjadi "Peace Initiator"
dan "Peace Maker" sepanjang sejarah manusia.
New York,
20 Mei 2002
(Insya Alla akan bersambung...)
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Muhammad.html (7 of 7)13/05/2006 23:43:16
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
IBADAH DAN KEDISIPLINAN
M. Syamsi Ali
Setiap Rabu, 10-12 siang, saya mengajar pada International Brotherhood of Teamsters
(Retiree Division) tentang Middle East: an Overview of Traditions. Awalnya saya
menyangka bahwa murid-murid senior tersebut, berumur kira-kira 65 - 80-an tahun, ingin
mengetahui adat atau tradisi orang-orang di Timur Tengah. Ternyata ketika saya memulai
diskusi, semuanya ingin belajar Islam yang sesungguhnya. Bahkan seorang yahudi
mengatakan: "I just wanted to share with you, Muslims, that we need to come back to our
history. Muslims are nice guys, kind people, they protected us in Spain, and during the
hardship we fled to Turkey and some North African countries the Muslim rulers of the
Ottoman Caliphs received us will full protection".
Ketika seorang mempertanyakan kebijakan sebagian penguasa Muslim yang dianggapnya
memarjinalkan minoritas (Kristen khususnya) di beberapa negara Islam, justeru yang lain
mengingatkan "inquisasi" (pembunuhan besar-besaran) yang dilakukan oleh pengasa
Kristen di Eropan dan Spanyol khususnya ketika itu. Ketika seorang mempertanyakan isu
poligami dalam Islam, yang lain nyeletuk: "Don't you realize what our modern society
does it today?" Bahkan mereka dengan sigap mengatakan bahwa praktek poligami
memiliki justifkasi pada semua agama. Tinggal bagaimana masing-masing pemeluk
agama memahaminya.
Tulisan ini tidak dimaksudkan mengulas kembali berbagai dialog atau diskusi yang
terjadi di dalam kelas. Tapi yang ingin saya sampaikan adalah, betapa murid-murid saya
yang berumur rata-rata di atas "puncak" semangat, masih bersemangat dan bahkan sangat
"prepared" untuk melakukan dialog di kelas. Dengan kata lain, seniorotas umur mereka
seharusnya menjadikan mereka tak ambil pusing, tak ingin tahu, apalagi berhubungan
dengan masalah agama, yang nota benenya dipropagandakan sebagai agama yang "lain".
Tapi yang saya dapati justeru, umur mereka bukanlah penghalang untuk datang belajar,
untuk mengetahui dari sumber yang benar. Saya bisa merasakan "kedisiplinan" dan
"kesungguhan" yang tinggi. Dan lebih penting, sikap "appreciative" dan penghargaan
terhadap sesuatu, termasuk menghargai waktu adalah sesuatu yang bisa ditauladani.
Sesungguhnya kalau kita jeli, apa lagi sih yang kurang dari agama kita? Semua sisi ajaran
agama kita, secara konseptual, bermula dari konsep keimanan, konsep peribadatan,
hingga kepada konsep-konsep mu'amalat, bertujuan untuk membentuk kepribadian atau
corak karakter seorang Muslim. "Shibghah shakhshiyah" atau bentuk kepribadian agung
ini memang menjadi tujuan mendasar agama kita, sehingga Rasulullah SAW
menegaskan: "Innamaa buitstu liutammima makaarimal akhlaaq" (Sesungguhnya saya
diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia). Artinya, kalaulah Islam itu sebuah
tanaman, maka harapan tertinggi dari tanaman tersebut adalah buahnya.
Sayang sekali bahwa Islam yang seharusnya mewarnai karakter dan tingkah laku kita,
terkadang hanya menjadi buah bibir dan goresan pena. Tidak jarang kita dengarkan
seorang penceramah atau khatib dengan sangat menggugah, menyatakan ketinggian budi
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Disiplin.html (1 of 3)13/05/2006 23:43:20
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
luhur yang diajarkan Islam. Namun ketika kita sejenak menoleh kepada realita kehidupan
umat di lapangan, ternyata "ketinggian" itu masih bersifat "baying-bayang", yang
sesungguhnya justeru karakter asli umat ini menjadi gunung tinggi yang menghalangi
sinar mentari Islam. perilaku sebagian umat menjadi penghalang "cahaya" Islam untuk
sampai kepada umat manusia. (Al Islaam mahjuub bil Muslimiin).
Kita tentu tidak perlu silau dengan ketinggian kedisiplinan orang barat, atau ketinggian
motivasi baca yang dimiliki oleh Jepang, atau kekukuhan usahanya orang China, dll.
Namun kita seharusnya mempertanyakan, dimana dampak-dampak sosial dan ibadahibadah yang telah kita lakukan? Shalat yang diwajibkan dengan ketentuan waktu yang
jelas (kitaaban mawquuta), seharusnya mengajarkan kedisiplinan dalam melakukan
segala sesuatu pada frame waktu yang jelas. Bukankah waktu dalam Islam tidak sekedar
uang (time is not only money), tapi waktu adalah hidup itu sendiri. Setiap detik, menit,
jam maupun hari-hari yang berlalu, bukankah itu menunjukkan jata hidup juga sedang
melalui kita?
Waktu itu ibarat pedang, kata Rasulullah SAW. Jika kamu tidak memotongnya, maka
waktulah yang akan memotongmu (hadits). Bahkan ketika Allah menggambarkan
"untung-ruginya", berhasil-gagalnya seorang insan dalam hidupnya, Allah memulai
dengan penyebutan sepotong masa dalam bentuk sumpah. Di hari Akhirat nanti, anak
cucu Adam tidak akan tergerak kakinya dari Padang Mahsyar, kecuali setelah ditanya 4
hal, salah satunya tentang umurnya, dan lebih khusus lagi adalah masa mudanya. Waktu
adalah "amanah", maka sungguh tidak menggunakannya merupakan pengkhianatan,
apalagi kalau terpakai untuk menentang Dia Yang memberikan amanah. Sungguh sebuah
pengkhianatan yang tak tanggung-tanggung.
Ibadah puasa dengan waktu imsak dan ifthar yang jelas, ibadah zakat dengan konsep
"haul" yang jelas, demikian juga ibadah haji pada "asyhur ma'luumat", semua ini
mengajarkan urgensi mendisiplinkan diri untuk menghargai waktu. Sesungguhnya, sekali
lagi, menghargai waktu adalah menghargai hidup kita sendiri. Menyia-nyiakannya adalah
menyia-nyiakan hidup kita sendiri.
Akhirnya, untuk menghindarkan diri dari "kesilauan" mata terhadap kemajuan orang lain,
umat Islam harus kembali memantapkan keislamannya. Memantapkan keislaman tidak
berarti selama ini lemah iman atau keyakinan, namun iman dan keyakinan umat harus
mampu ditranform ke dalam sebuah realita kehidupan. Iman yang terwujud nyata dalam
kehidupan, menjadi sebuah "civilisasi" atau kebudayaan, yang insya Allah dapat menjadi
alternative civilization for humanity. Jika tidak, maka propaganda dialogue among
civilizations hanya menjadi wacana, karena kenyataanya kita hanya mengakui punya
civilisasi namun masih dalam bentuk konsepsi. Mungkin, minimal sebagai justifikasi
pelarian, kita bangga dengan masa lalu kita. Tapi apalah makna masa lalu jika itu hanya
menjadi kenangan manis.
Laesal fataa man yaquulu abii, walakinnal fataa man yaquulu haa ana dzaa. Demikian
pepatah arab, yang kira-kira berarti: "Bukanlah pemuda yang bangga dengan bapaknya
(masa lalu), tapi seorang pemuda adalah yang mampu menunjukkan dirinya sendiri".
Kapankah umat ini mampu menjadi pemuda yang gagah berani, tampil di depan dengan
kreasi-kreasi alternatifnya? Sungguh dunia kita membutuhkan pemuda itu. Sungguh
dunia kita menghampiri masa jompo, dan kini diperlukan pemuda itu untuk bangkit ke
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Disiplin.html (2 of 3)13/05/2006 23:43:20
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
depan untuk masa depan yang penuh harapan. Semoga!
New York,
9 Oktober 2002
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Disiplin.html (3 of 3)13/05/2006 23:43:20
Bunga Rampai
Kafir
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Berhati-hati Dengan Pengkafiran
Deringan suara pedang demikian deras. Tiba-tiba seorang sahabat menjatuhkan lawannya
dari kubu kafir ke atas tanah Tanpa sangka-sangka, tiba-tiba saja sang kafir berucap "Laa
ilaaha illallah-Muhammadan Rasulullah". Sang sahabat berfikir, apa yang diucapkannya itu
adalah kebohongan semata. Maka pedangnya pun melebat menebas leher musuhnya tadi. Ia
pun meninggal dengan ucapan terakhir "Kalimah Laa ilaaha illallah-Muhammadan
Rasulullah".
Mendengar kejadian tersebut, Rasulullah SAW memanggil sahabat yang mulia itu. Seorang
sahabat yang dikenal kekentalan iman dan loyalitasnya terhadap kebenaran dan pembawanya
(Rasulullah SAW). Begitu mendekat, beliau menanyakan: "Apa gerangan yang menjadikan
kamu membunuhnya?" Dengan hati yang mantap dijawabnya: "Ia mengucapkan itu karena
ketakutan ya Raulullah". Namun Rasulullah kembali menanyakan dengan suatu ungkapan
yang tak perlu dijawab karena sekaligus merupakan jawaban (Suaal istifhami): "Hal
syaqaqta min qalbih?" (Apakah anda telah membuka hatinya?). Mendengar itu, sang sahabat
agung terdiam seribu bahasa. Serentak ia berkata kepada rekan-rekannya: "Rasanya saya
baru saja masuk Islam".
Kata kafir dalam bahasa Arab berasala dari "kafara-yakfuru-kufran" yang berarti
"menutupi". Peribadatan yang dilakukan karena suatu pelanggaran dalam peribadatan itu
sendiri disebut kaffarat. Misalnya "Puasa kaffarah" dll. Sementara itu, dalam bahasa Arab
para petani, selain kata "fallah" juga disebut dengan istilah "kuffar" sebagaimana dalam S.
Muhammad (Yu'jibuzzurra' al kuffar), karena mereka dikenal menutupi benih tanaman yang
diharapkan tumbuh dan memberikan buah-buah segar bagi kelangsungan manusia. Dan
banyak lagi contoh-contoh yang lain.
Dengan demikian, pengingkar kebenaran dinamakan kafir, karena secara prinsip mereka
menutupi kebenaran yang seharusnya tumbuh subur dan memberikan buah-buah segar dalam
kehiduapn manusia. Benih kebenaran ini dikebal dengan istilah "Syajarah Thayyibah" dalam
S. Ibrahim. "Wa matsalu kalimatin thayyibatin ka syajaratin thayyibatin ashluha tsaabitun wa
far'uha fissama tu'ti ukulaha kulla hiinin biidzni Rabbiha". (Perumpamaan kalimah thayyibah
seperti pohon yang bagus. Akarnya menghunjam ke dalam tanah dan cabang-cabangnya
mencakar langit. Memberikan buahnya setiap saat dengan izin Tuhannya".
Dengan demikian, keimanan atau fitrah manusia seharusnya tumbuh subur, yang setiap saat
buahnya dirasakan oleh manusia. Buah keimanan ini akan dirasakan oleh semua pihak, tidak
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/Kafir1.html (1 of 4)13/05/2006 23:43:25
Bunga Rampai
mengenal batas dan lintas golongan maupun teritorial dalam hubungan internasional "Laa
syarqiyah wa laa gharbiyyah" (tidak hanya timur, dan hanya pula barat). Semua kalangan,
tan discriminasi kulit, suku, bangsa, dan bahkan agama sekalipun. Konsep ini tentunya
membawa pula kita kepada konsep-konsep manusia yang lain, apakah sosialisme,
kapitalisme, dst.
Hanya saja, bahwa dalam kenyataannya banyak manusia yang menutupi keberadaan benihbenih kebenaran tersebut. Mereka ingkar, mereka mendustai, mereka mengaburkan, serta
melakukan berbagai upaya sehingga kebenaran tersebut tidak nampak ke permukaan bumi
ini. Manusia yang melakukan inilah disebut sebagai manusia yang kafir atau penimbung
kebenaran. Dengan kata lain, kaum kafir sesungguhnya bukan tidak memiliki kebenaran
dalam dirinya, karena kebenaran atau fitrah dalam diri setiap insan itu abadi sifatnya
"Fitratallah al ladzi fatarannasa 'alaeha, laa tabdiila likhalqillah" (Itulah fitrah, yang di
aatasnya diciptakan setiap insan. Fitrah itu tidak mungkin terubah) (Rum:30). Yang terjadi
kemudian adalah "kufrun" atau upaya-upaya untuk menutupi kebenaran Ilahi agar tidak
tampil ke atas permukaan bumi.
Macam-macam Kekafiran
Merujuk ke berbagai ayat maupun hadits, disimpulkan bahwa kekafiran terbagi kepada dua
bagian, yaitu kufrun I'tiqaadi dan kufrun 'amali.
Pertama, "kurfrun I'tikaadi" adalah penyembunyian atau pengingkaran dalam hal keimanan
(akidah) terhadapa kebenaran yang datang dari Allah. Inilah yang diungkapkan misalnya
oleh Allah di S. Albaqarah: "Sesungguhnya orang-orang yang kafir adalah sama bagi
mereka, apakah kamu memberikan petunjuk kepada mereka atau tidak, mereka tidak akan
beriman" (Al Baqarah:6). Mereka memang secara imani atau I'tikadi menyembunyikan apa
yang sesungguhnya sesuai dengan fitrah atau nurani (mungkin diistilahkan hati kecil)nya itu
sendiri.
Pengingkaran tersebut dapat dirasakan oleh mereka sendiri, atau memang tidak dirasakan
sebagai suatu pengingkaran. Para pembesar qurays ketika itu sadar dan bahkan dalam hati
kecilnya insaf (mengakui kebenaran) yang dibawa Muhammad SAW. Namun karena
"gengsi" yang disebabkan oleh "kesombongan" mereka terpaksan mengatakan "tidak".
Sebaliknya, Fir'aun betul-betul tidak menyadari lagi "nurani"nya saat itu. Ini disebabkan
karena "fitrah" yang bersemayam dalam hatinya itu telah terkungkung oleh jiwa keangkuhan
yang berlebihan. Sehingga ketika Musa dan harun datang kepadanya, mengajaknya kepada
penyembahan Ilahi, ia berkata: "Wa maa rabbukuma ya muusa wa haaruun" (Siapa sih
Tuhanmu wahai Musa dan harun?"
Namun ketidak sadaran Fir'aun itu menjadi alam kesadaran pada saat jiwa kesombongannya
mencair oleh situasi alam sekitarnya. Pada saat ia tenggelam di laut merah, tak seorang pun
yang mampu menolongnya, termasuk dirinya sendiri walau mengaku tuhan, ia pun menjerit
dan berucap: "Al aana amantu birabbil 'alamiin, Rabbi Musa wa harun" (Sekarang saya
beriman kepada Tuhan semesta alam, Tuhannya Musa dan harun". Ia mengakui Allah,
walaupun masih dengan ungkapan kesombongan, seolah Allah hanya Tuhannya Musa dan
Harun saja.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/Kafir1.html (2 of 4)13/05/2006 23:43:25
Bunga Rampai
Kelompok lain dari kategori kufur pertama ini adalah mereka yang hipokrit (munafik).
Mereka, kendati memperlihatkan amalan-amalan imani dan islami, namun secara imani atau
I'tikadi menolak kebenaran tersebut. Kelompok manusia seperti ini, jika ditinjau dari sudut
pandang strategi perjuangan justeru lebih berbahaya. Oleh sebab itu, wajar saja jika S.
Albaqarah yang turun dalam konteks perjuangan Rasulullah SAW menegakkan "Islamic
Society" secara panjang lebar menceritakan kriteri mereka ini.
Kedua, "kufrun 'amali" adalah menyembunyikan kebenaran dalam perbuatan, tapi secara
imani menerimanya sebagai kebenaran. Oleh para ulama, disimpulkan bahwa siapa saja yang
pernah mengucapkan "kalimah Thayyibah" (Laa ilaaha Illallah-Muhammadan rasulullah)
dengan ikhlas, sungguh-sungguh dalam pengucapannya, lalu kemudian terjerumus dalam
perilaku yang bertentangan dengan ucapannya itu, maka ia masuk dalam kategori "Kufrun
'amali". Namun dengan satu catatan bahwa keterjerumusannya dalam suatu tindakan yang
bertentangan dengan islam tidaklah menyentuh daerah keyakinannya.
Sebagai misal, di dalam ayat disebutkan bahwa: "Waman yaqtul Mu'minan muta'ammidan,
fajazaauhu jahannam khaalidanÉdst" (An Nisa: 93) Artinya: "Barangsiapa yang membunuh
mu'min dengan sengaja maka balasannya adalah jahannam, kekal di dalamnya dstÉ".
Konteks ayat di atas adalah pembicaraan mengenai hukum-hukum hubungan antar Muslim.
Dengan demikian, yang dimaksud pembunuh pada ayat itu adalah Muslim. Masalahnya
adalah apakah makna dari kekal dalam jahannam? Bukankah dalam haditsnya, Rasulullah
SAW pernah mensabdakan: "Man Qaala Laa ilaah illaLLah Mukhlisan min qalbih dakhalal
Jannah" (Siapa yang mengucapkan Laa ilaah illallah ikhlas dari hatinya, akan masuk ke
dalam Syurga). Lalu bagaimana seorang yang membunuh sesama Muslim tapi pernah
mengucapkannya dengan ikhlas? Apakah arti mengucapkan Laa ilaah illallah dengan ikhlas
menytransfer manusia menjadi malaikat sehingga tidak lagi berbuat salah?
Para Ulama menyimpulkan bahwa hadits tidak dimaksudkan bahwa jika seseorang
mengucapkannya dengan ikhlas lalu tidak akan lagi terjerumus ke dalam kesalahankesalahan. Bukankah kesalahan itu sendiri adalah ciri khusus yang tidak terpisahkan dari
hidup manusia? Bakan terkadang menjadi ciri ketakwaan, asal saja diikuti dengan
"pengakuan dan permohonan ampun" (Dan orang-orang yang jika melakukan kekejian atau
menzalimi diri mereka sendiri, mereka ingat Allah dan mereka beristghfar memohon
ampunan untuk dosa-dosa mereka).
Pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman terhadap sesama Mu'min,
selama tidak diyakini bahwa membunuh itu adalah "halal" dianggap sebagai "kabirah" atau
dosa besar. Jika dalam kehidupannya tidak segera disusuli dengan "Taubat" maka jelas kata
Allah, akibatnya adalah Jahannam kekal di dalamnya. Kekal di sini adalah kekal dalam arti
waktu yang cukup lama. Sebagaimana Allah berfirman: "Khaalidiina fiiha ahqaaba" (mereka
kekal di dalamnya dalam beberapa fase yang lama) (An Naba). Artinya kekalnya seorang
pendosa Muslim pasti berbeda dengan kekalnya seorang yang memang secara "I'tiqaad"
tidak beriman. Sebab jika sama, lalu di mana kita dudukkan sifat Allah yang Maha Adil?
Tentu banyak contoh yang dapat kita ajukan. Namun kesimpulan yang akan diambil adalah
bahwa kekafiran itu ada dua macamnya. Justeru kita harus berhati-hati melabelkan kekafiran
kepada sesama Muslim, terlepas dari perilaku yang dialkukannya. Karena sesungguhnya hati
dan nuraninya hanya dia dan Allah yang tahu. Maka kalau kita kembali kepada cerita di awal
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/Kafir1.html (3 of 4)13/05/2006 23:43:25
Bunga Rampai
tulisan ini, memang seharusnya kita berhati-hati. Jangan-jangan kita mengkafirkan
seseorang, padahal dalam dirinya masih terbersit serpihan iman sekecil apapun. Jika ini
terjadi, maka sesungguhnya kita sudah melakukan pelanggaran ketuhanan, sebab hak
menilai iman dan kafirnya seseorang hanyalah hak Allah Yang Maha Tahu. Wallahu a'lam!
M. Syamsi Ali
New York.
Date: Wed, 19 Apr 2000 11:53:14 EDT
From: [email protected]
To: [email protected], [email protected]
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/Kafir1.html (4 of 4)13/05/2006 23:43:25
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
HIJRAH DAN REFORMASI
M. Syamsi Ali
Hari ini, Senin 1 Muharrom 1422 H, merupakan hari bersejarah bagi ummat Islam.
Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan, hari ini adalah hari paling bersejarah dalam
rentetan perjalanan sejarah ummat. Hari di mana Rasulullah dan serombongan sahabatnya
memulai suatu tekad dan komitmen baru, untuk bangkit kembali setelah melalui fase
yang sangat berat bahkan mengalami stagnasi. Tekad dan komitmen baru ini yang
kemudian secara simbolik dilakukan dengan perpindahan ke sebuah tempat (Yatsrib)
yang kemudian berubah menjadi "pusat peradaban" (Madinah).
Setelah terbukanya kota Mekah (Fathu Makkah), sesungguhnya tidak ada lagi hijrah
secara fisik. Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain dengan niat hijrah tidak lagi
diperkenankan dalam agama (Laa hijrata ba'dal fathi). Namun demikian, secara
substansial, anjuran hijrah tetap berlaku sepanjang zaman, selama hayat di kandung
badan. Oleh sebab itu, kendati di satu sisi Rasulullah melarang hijrah dengan hadits di
atas, namun di sisi lain, berbagai ayat tetap mengangkat derajat orang-orang yang
konsisten dengan melakukan hijrah (Falladziina haajaru wajaahaduu, ulaaika a'dzamu
darajah).
Eep Saifullah Fatah, dalam uraian Tahun Baru yang disampaikan di New York kemarin
menyimpulkan bahwa ummat Islam di Indonesia yang saat ini hidup di tengah derasnya
arus perubahan (yang diistilahkan dengan besi panas) mengalami empat hal; repolitisasi,
reintegrasi, refragmantasi dan pengulangan terhadap kekeliruan politik di masa lalu.
Mengutip ulasannya terdahulu tentang beberapa kesalahan ummat Islam, Eep kembali
menyampai empat kekeliruan ummat Indonesia; pertama, suka kerumun tapi tidak tahu
menciptakan barisan (shaf). Kedua, pandai marah namun tidak dapat melakukan
perlawanan (muqawamah). Ketiga, bersemangat menciptakan organisasi namun tidak
pintar membuat jaringan. Keempat, terlalu sibuk dengan kulit namun gagal membenahi
isi (sathy).
Eep juga menyatakan bahwa teori "konspirasi" terkadang hanya menjadikan ummat
terlupa bahwa sesungguhnya perubahan itu hanya akan terjadi jika ummat ingin memulai
membenahi dirinya sendiri (Innallaha laa yughayyiru maa biqaumin hatta yughayyiru
maa bianfusihim). Ummat terkadang terlalu terkooptasi sengan sebuah persepsi bahwa
kegagalan ummat Islam karena disebabkan oleh sebuah "outsider grand makar", yang
hanya melahirkan kemarahan pada pihak lain, namun gagal menyadarkan ummat untuk
melakukan pembenahan secara ke dalam.
Untuk itu, ada beberapa agenda mendesak yang harus dilakukan oleh ummat ke depan;
pertama, menyokong reformasi menyeluruh yang ditandai dengan terjadinya
kepemimpinan yang otentik (Imam 'Adil), perubahan karakter kekuasaan, perubahan
sistem serta yang terpenting terjadinya perubahan paradigma ummat. Kedua, perlunya
ummat ini membangun publik yang kokoh, yang memiliki sense of "Amr ma'ruf nahi
mungkar". Ketiga, urgensi membangun oposisi permanen, yang diartikan sebagai
kelompok yang selalu melakukan "tawashaw bilhaqq watawashaw bisshabar".
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Hijrah.html (1 of 4)13/05/2006 23:43:29
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Pada akhirnya ditegaskan bahwa dari sekian banyak hal yang perlu dibenahi oleh ummat
ini, pendidikan menjadi prioritas terpenting. Kesalahan dalam melakukan pendidikan
terhadap ummat menjadikan banyak dari kalangan ummat ini yang tidak mampu
melakukan idealisasi, melainkan idolisasi (dari kata idol/berhala), termasuk
pemberhalaan perhadap figuritas tertentu yang akhir-akhir ini marak terjadi.
Pilar-Pilar Hijrah
Terlepas dari perdebatan diskusi tentang istilah, uraian Eep sesungguhnya telah
menggambarkan esensi hijrah dengan sangat baik. Membaranya besi Makah (penyiksaan,
kezaliman dan berbagai penyelewengan terhadap pengikut rasulullah) ketika itu,
menjadikan Rasulullah SAW diperintahakn untuk melakukan perpindahan syar'I (hijrah)
dari Mekah ke Madinah. Perpindahan ini sendiri adalah awal dari tekad perubahan atau
dalam istilah apapun (reformasi, tajdid, islah, dll.) dari situasi yang tidak menguntungkan
kepada situasi yang lebih menguntungkan. Dari situasi yang stagnan terhadap situasi
yang lebih dinamis.
Tulisan kali ini hanya menggambarkan poin per poin pilar-pilar hijrah yang harus
dilakukan ummat ini dari masa ke masa:
Pertama: Hijrah 'aqadiyah. Yaitu tekad dan komitmen penuh untuk melakukan hijrah
dari berbagai "tuhan" dalam hidup kita, termasuk tuhan-tuhan tokoh, harta, kedudukan,
persepsi, dll. Menuju kepada Tuhan Yang Maha Tunggal, Allah SWT. Barangkali,
wacana ketuhanan Ibrahim akan sangat membantu kita dalam hal ini. Ibrahim memulai
menemukan tuhannya dalam bentuk bintang-bintang. Namun karena timbul bulan yang
kelihatannya lebih besar dan bersinar, ia pun memiliki keberanian untuk mengetakan "no"
kepada bintang-bintang tersebut. Beberapa masa kemudian, ternyata bulan seolah
mengilang dari pancaran mentari yang bersinar. Maka dengan kebesaran jiwa yang
dimilikinya, Ibrahim mampu melepaskan diri dari mempertuhankan bulan menuju kepada
keyakinan akan ketuhanan matahari. Tapi tatkala matahari tenggelam, ia pun
berkesimpulan, "inni wajjahtu wajhiya lilladzi fatarassamawati walardh haniifan
musliman wa maa ana minal musyrikiin".
Proses pencapaian kemurnian akidah Ibrahim ini adalah contoh kongkrit yang sering
terjadi dalam kehidupan kita. Betapa kekaguman kita terhadap seorang tokoh misalnya,
namun jika pada akhirnya fakta mengharuskan kita untuk mengambil sikap bersebelahan,
maka kita harus melakukannya. Sikap sebagian ummat selama ini, yang cenderung
mengidolasasikan (memberhalakan) pemimpin sesudah masanya diilhami oleh hijrah
(perpindahan positif) ke arah yang lebih positif.
Kedua, Hijrah Ta'abbudiyah. Yaitu tekad dan komitmen penuh dari ummat ini untuk
melakukan perubahan konsepsi terhadap ibadah dalam Islam. Selama ini, ummat masih
memahami makna ibadah sebagai kegiatan-kegiatan ritual yang terlepas dari masalahmasalah sosial dalam kehidupannya. Konsekwensinya, terjadi "personal
split" (personalitas yang kontradiktif), di satu sisi merasa menjadi hamba yang saleh
karena banyak melakukan haji, namun di sisi lain, tanpa menyadari, menjadi hamba yang
korup dalam berbagai bentuknya.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Hijrah.html (2 of 4)13/05/2006 23:43:29
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Pemahaman terhadap konsepsi ibadah di atas sudah masanya dirubah, direform, sehingga
ummat ini tidak lagi kehilangan banyak kunci-kunci syurga. Kunci-kunci syurga dalam
bentuk amal-amal kemasyarakatan, termasuk dalam pengelolaan negara dan bangsa.
Untuk ini (mengutip Eep), khutbah jum'at sudah harus dirubah isinya, yang selama ini
melihat pembicaraan mengenai hal-hal politis (tanpa bermaksud politiking), dianggap
tabu. Sebab hanya dengan menyadarkan ummat akan makna ibadah dalam proses amar
ma'ruf, penegakan keadilan dan penanaman motivasi agar ummat bangkit melakukan
kewajiban dan memperjuangkan hak, ummat akan terhindari dari perilaku penguasa yang
cenderung memperbudak.
Ketiga, Hijrah Akhlaqiyah. Yaitu perubahan perilaku, baik lahir maupun bathin (Al
Akhlaq wassuluk), ke arah yang islami. Akhlaq yang diajarkan oleh Islam sesungguhnya
adalah perilaku manusia yang universal. Satu contoh misalnya, ketika di musim haji anda
akan merasakan betapa "attitude" manusia akan beragam, termasuk yang sangat
"kasar" (melompat di atas kepala sesama yang lagi duduk berdzikir) misalnya. Padahal,
dalam hadits disebutkan bahwa dilarang duduk di antara dua orang tanpa seizinnya
(hadits). Lalu bagaimana melompati kepala orang?
Keempat, Hijrah 'Aqliyah Tsaqaafiyah. Yaitu tekad untuk membenahi sistem pemikiran
dan cara pandang kita sebagai Muslim. Salah satu ajaran penting Islam dalam hal ini
adalah bahwa manusia telah dimuliakan dengan kemampuan intelektual ('allama Aadam).
Oleh sebab adalah pengingkaran terbesar terhadap ni'mat Allah jika kemampuan ini tersiasiakan, dengan mengekor kepada cara pandang orang lain tanpa reserve. Termasuk cara
pandang dalam melihat kehidupan misalnya. Amerika yang dipersepsikan sebagai "the
most super power" and by some others perceived to be the most civilized country,
cenderung diikuti dalam berbagai kebijakannya. Tanpa disadari sebagian ummat ini
terlibat dengan perilaku ini, yang seusngguhnya pada saat yang sama terjatuh dalam
sebuah penjajahan baru, yaitu intellectual colonization (penjajahan intellektual).
Kelima, Hijrah Usrawiyah. Yaitu tekad dan komitmen baru untuk melakukan perubahan
dalam pola pembangunan keluarga. Keluarga disebutkan secara khusus karena keluarga
merupakan institusi terpenting untuk melakukan pembenahan-pembenahan dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan. Gagalnya institusi keluarga merupakan kegagalan
dalam institusi kemasyarakatan yang lebih luas.
Kalau selama ini, sebagian ummat terlalu "materialistic minded" dalam membangun
kehidupan keluarganya, mungkin sudah masanya dilakukan pembenahan dengan
peruabahan ke arah yang lebih seimbang antara "material dan spiritual". Jika ummat
terlalu termotivasi untuk mendidik anak ke jenjang tertinggi, Ph.Ds dalam ekonomi,
politik, dll. Mungkin sudah masanya dibarengi dengan pendidikan tertinggi pula daklam
hal kerohaniaan. Intinya, hijrah ke arah kehidupan keluarga yang Islami, yang ditndai
oleh kesuksesan dunia akhirat (fiddunya hasanah wa fil aakhirati hasanah).
Keenam, Hijrah Ijtima'iyah. Tekad dan komitmen dari semua anggota ummat ini untuk
melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih positif dalam kehidupan jama'ahnya,
dalam segala skala kehidupannya, baik politik, ekonomi, legal dan hukum dll. Untuk
mencapai perubahan ini, diperlukan strategi-strategi yang sesuai, yang menuntut
kemampuan ijtihadiyah dari anggota ummat ini. Mungkin akan keliru, jika ada di
kalangan ummat ini yang mengakui bahwa metode pencapaian jama'ah islam (istilah
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Hijrah.html (3 of 4)13/05/2006 23:43:29
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
apapun namanya, negara atau khilafah islamiyah) adalah miliknya semata. Berbagai
kelompok, yang berada pada jalur ini (upaya pencapaiannya), berada pada persimpangan
"ijtihadi" yang mungkin benar dan mungkin salah. Yang pasti, bahwa memang ada
perbedaan kadar kebenaran dan kesalahan yang dimiliki masing-masing kelompok
tersebut. Tinggal bagaimana agar kebenaran yang ada pada masing-masing pihak dapat
dikoordinasikan sehingga mampu menutupi kekurangan-kekurangan yang ada.
Demikian sekilas refleksi hijrah. Selamat Tahun Baru 1422 H. Semoga perjalanan kita,
dalam setiap langkah yang diambil mendapat ridha dan hidayah serta ma'unah Allah
SWT.
Wassalam,
M. Syamsi Ali
New York
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Hijrah.html (4 of 4)13/05/2006 23:43:29
Perbudakan Dalam Islam
Perbudakan Dalam Islam
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Kasus Tenaga Kerja Wanita di Saudi Arabia
Subject: [mus-lim] Pemahaman yang sangat menyimpang
Date: Thu, 2 Mar 2000 15:39:01 EST
From: [email protected]
Reply-To: [email protected]
To: [email protected], [email protected]
Assalamualaikum,
Dalam jawabannya terhadap suatu pertanyaan yang diajukan kepadanya, Gus Dur kembali
menyampaikan omongan yang tidak berdasar, baik dari sudut syar'i juga dari sudut fakta di
lapangan (lihat potongan berita dari Suara Merdeka di bawah ini).
Gus Dur mengatakan bahwa terjadinya pemerkosaan di Saudi diakibatkan oleh pemahaman
orang-orang Saudi yang menilai bahwa pembantu Rumah Tangga adalah budak wanita
(amatun). Dengan kata lain, menurut Gus Dur, bagi orang Saudi melakukan hubungan
dengan pembantunya adalah legal, karena mereka menerapkan hukum Islam kuno, di mana
budak wanita dapat digauli begitu saja.
Kekeliruan Gus Dur pertama adalah tidak memahami secara kaaffah ruh syariat dalam
perihal perbudakan. Selama ini, kata budak wanita dalam Al Qur'an disebut dengan dua
istilah:
Pertama, jika budak itu disebutkan secara umum bukan dalam konteks hubungan suamiisteri (seksual), maka ia disebut "AMATUN" (wa laamatun mu'minatun khaerun min
musyrikatin walaw a'jabatkum" (Al Baqarah: 221).
Kedua, jika budak itu disebut dalam konteks hubungan seksual, maka ia disebut "Milkul
yamiin" (Aw maa malakat aemaanukum) di S. an Nisa: 4 misalnya.
Dari kedua penyebutan di atas jelas, bahwa dalam Islam seandainya memang ada budak, tak
akan dibenarkan untuk digauli sampai terjadi proses hukum yang disebut "NIKAH". Jika
seorang "AMATUN" tadi dinikahi maka secara otomatis akan berubah statusnya menjadi
"Milkul-yamin" (milik tangan kanan, yang dapat diartikan dimiliki secara sah), yang
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TKW1.html (1 of 3)13/05/2006 23:43:34
Perbudakan Dalam Islam
sebenarnya statusnya bukan lagi budak, tapi isteri sah dari bekas tuannya.
Contoh terdekat dari kasus ini adalah Ibrahim. Hingga saat ini, orang-orang Yahudi masih
memandang rendah orang-orang Arab, karena dianggap keturunan budak. Maklumlah,
Ismail itu adalah anaknya "HAJAR" yang merupakan hadiah "budak perempuan" (amataun)
dari seorang raja untuk Ibrahim. Namun setelah diizinkan oleh Sarah untuk dinikahi,
statusnya berubah dari budak/amatun menjadi milkul yamiin atau perempuan yang dimiliki
secara sah atau isteri.
Penjelasan ini sesuai dengan ruh Islam yang datang dengan tujuan, salah satunya,
membebaskan perbudakan di atas bumi ini. Salah satunya dengan menganjurkan kepada para
tuan untuk mengawini budaknya sehingga secara otomatis terbebas dari perbudakan.
Nah, dengan demikian, jelas sekali bahwa pemahaman Gus Dur terhadap ayat-ayat Al
Qur'an sangat parsial.
Kekeliruan kedua GD adalah mengatakan bahwa perkosaan disebabkan karena anggapan
orang Arab yang salah di atas.
Saya berani mengatakan, ucapan ini adalah ungkapan yang tidak berdasar serta 100% keliru.
Saya pernah tinggal di Saudi kurang lebih 3 tahun. Sebagai orang yang bekerja di Kantor
Da'wah, dan banyak berhubungan dengan masyarakat, saya tahu persis apa sesungguhnya
yang terjadi di kalangan TKW kita.
Pertama, tidak ada jaminan hukum bagi pekerja informil.
TKW dalam hubungan antar bangsa diangap sebagai pekerja informil. Ternyata, pembantu
rumah tangga Indonesia belum memiliki jaminan hukum yang menjamin hak-haknya. Baik
di pihak Saudi Arabia maupun Indonesia. Sehingga, jika terjadi pelanggaran, tidak ada
kewajiban formal apapun bagi pihak pemerintah manapun untuk bertanggung jawab, baik
pemerintah Saudi maupun Indonesia. Itulah sebabnya, beberapa kali kita lihat pekerja kita
punya masalah, namun pihak KBRI tidak tahu menahu, karena memang, secara formal tidak
ada kewajiban pemerintah setempat untuk memberitahu pemerintah Indonesia.
Ini salah satu penyebab sehingga para majikan itu leluasa untuk memperlakukan pembantu
rumah tangganya.
Kedua, ketertutupan.
Kita tahu bahwa tradisi kehidupan di Saudi sangat tertutup. Sehingga banyak kejadiankejadian yang sebenarnya dapat diantisipasi sebelum mencapai bahaya besar, namun tidak
dapat dilakukan karena ketertutupan tersebut.
Ketiga, Tidak adanya penyesuaian.
Kehidupan orang-orang Arab adalah tertutup dari kebiasaan "tabarruj". Beberapa TKW kita
ternyata belum mampu menyesuaikan diri dengan kebiasaan hidup ini. Sehingga seringkali
dianggap pancingan oleh majikannya.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TKW1.html (2 of 3)13/05/2006 23:43:34
Perbudakan Dalam Islam
Keempat, dalam beberapa kasus memang moral orang-orang Arab sangat bejat. Adanya
TKW di sekelilingnya terkadang dijadikan pelampiasan dari ketertutupan tadi.
Kelima, ada juga memang dilakukan secara rela oleh TKW kita. Ini diakibatkan karena
kehidupan yang tertutup tadi dengan fasilitas tontonan yang cukup memadai, film-film dari
Israel mudah dijangkau di Saudi hingga di Mekah sekalipun. Apalagi, banyak di antara
TKW ini yang sudah bersuami lalu berpisah bertahun-tahun dengan suaminya. Dapat
dibayangkan, bagaimana naluri kewanitaannya tersebut.
Demikian seterusnya, saya kira para pembisik Gus Dur perlu membisiki segera Gus Dur
tentang hal ini. Supaya Gus Dur dapat tahu bagaimana ngomong yang benar.
Wassalam,
M. Syamsi Ali
New York
(Artikel Asli, Versi ANTARA, Tanggapan, Tanggapan Balik)
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TKW1.html (3 of 3)13/05/2006 23:43:34
Perbudakan Dalam Islam
Perbudakan Dalam Islam
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Kasus Tenaga Kerja Wanita di Saudi Arabia
M. Syamsi Ali: Gus Dur mengatakan bahwa terjadinya pemerkosaan di Saudi
diakibatkan oleh pemahaman orang-orang Saudi yang menilai bahwa
pembantu Rumah Tangga adalah budak wanita (amatun). Dengan kata lain,
menurut Gus Dur, bagi orang Saudi melakukan hubungan dengan
Pembantunya adalah legal, karena mereka menerapkan hukum Islam kuno, di
mana budak wanita dapat digauli begitu saja.
Abdul Ghofur Maemun: *** Saya kok melihatnya tidak sejauh itu apa yang dikehendaki
oleh GD. Ini hanya soal tradisi yang sudah melekat di hati orang-orang Teluk sana. Menurut
cerita orang tuaku, waktu beliau belajar di Makkah, sekitar tahun 1950-an, di Saudi masih
ditemui budak-budak (laki-laki dan perempuan) kulit hitam. Entah dari mana mereka ini.
Orang tua saya bilang: budak syubhat!! Jadi ketika ada ledakan tenaga kerja wanita, ada
semacam "kerinduan" untuk kembali ke masa lalu.
Memang terlalu berlebihan kalau ada anggapan bahwa orang Saudi menganggap TKW
sebagai amat. Ini menurut saya sama sekali kurang berdasar. Entah kalau GD punya data
atau pengalaman pribadi mengenai ini.
Yang jelas, memang banyak orang Saudi yang bejat moralnya. Di Mesir, jika musim panas,
yang ngeba'i klub-klub tari perut itu ya orang-orang teluk itu.
Tapi juga harus diketahui bahwa tidak sedikit pekerja wanita asing (Asia) yang kelakuannya
"njelehi". Tiga kali saya pergi ke Saudi, sudah cukup untuk menilai orang-orang kita di sana.
Bahkan kalau diantara kalian ada yang sempat mengunjungi "kam-kam pengungsian" bagi
para pekerja yang melarikan dari majikannya, weleh-weleh.
Na'udzu billah !! Lanang-wedok dadi siji, gak genah kabeh.
M. Syamsi Ali: Saya justeru melihatnya tidak demikian. Orang-orang Arab tidak melihat
PRTnya sebagai budak. Buktinya, kalau memang mereka budak dalam pandangan mereka,
ngapain dihubungi sembunyi-sembunyi, bohongin isteri dsb. Penilaian ini tentunya tidak
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TKW2.html (1 of 11)13/05/2006 23:43:40
Perbudakan Dalam Islam
absolut. Namun semoga penilaian Ortu anda tidak juga dianggap penilaian absolut. Karena
memang masalahnya bukan pada apakah orang Saudi menganggap PR sebagai budak atau
bukan. Masalah utama di sini adalah betulkah Islam membolehkan menggauli budak tanpa
nikah atau atau harus lewat proses nikah.
Saya sendiri tidak mengingkari itu. Ada bahkan banyak diantara mereka yang memang
demikian. Dalam hal "wanita" bagi orang lain harus mengikut kepada aturan Islam.
Buktinya, jika anda masuk airportnya saja, anda akan dipisah jauh-jauh dari penumpang
kaum wanita (istilah mereka, haramaÉharamÉ) namun bagi mereka sendiri, kelihatannya
halal-halal saja tuh.
Bukti yang anda lihat di kamp-kamp itu menguatkan kesimpulan saya, bahwa
penyelewengan seksual terhadap TKW, salah satunya, karena mereka sendiri. Bayangkan
mas, seorang ibu muda meninggalkan suami bertahun-tahun. Hidup dalam rumah yang
tertutup, makanan lemak, tontonan yang juga wah! Apa nggakÉ.Tafsirkan aja mas! Dari
Madura ya Mas, kok nampaknya perbendaharaan bahasa Indonesia nggak cukup ya,
sehingga harus pakai bahasa Madura?
M. Syamsi Ali: Kekeliruan Gus Dur pertama adalah tidak memahami secara
kaaffah ruh syariat dalam perihal perbudakan.
Abdul Ghofur Maemun: Wah, percaya diri banget. Nyalahkan orang sak enaknya sendiri.
Saya yakin sepenuhnya, yang nulis beginian pasti anti banget sama GD. Poko-e waton
suloyo.
M. Syamsi Ali: Sayang saya nggak banyak faham logat French atau Spanish anda Mas. Lain
kali, pakai bahasa Indonesia aja, kalau tidak ya bahasa Fir'aun (maksud saya yellowyellownya orang Mesir) sajalah.
Setiap Muslim memang dituntut untuk percaya diri dalam limit-limit kebenaran. Yang
disayangkan memang kalau percaya diri dengan kebatilan yang diyakininya. Atau demi
ulama "kami" (saya sengaja pakai kata kami dengan maksud 'ashobiyah), kita kehilangan
kepercayaan diri untuk melihat kebenaran sebagai kebenaran.
M. Syamsi Ali: Selama ini, kata budak wanita dalam Al Qur'an disebut
dengan dua istilah:
Pertama, jika budak itu disebutkan secara umum bukan dalam konteks
hubungan suami-isteri (seksual), maka ia disebut "AMATUN" (wa laamatun
mu'minatun khaerun min musyrikatin walaw a'jabatkum" (Al Baqarah: 221).
Abdul Ghofur Maemun: *** Anda kurang teliti, budak perempuan dalam al Quran juga
kadang disebut "fataah"
... Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu (fatayaatikum)untuk
melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TKW2.html (2 of 11)13/05/2006 23:43:40
Perbudakan Dalam Islam
kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa
mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu ... QS. 24:33
*** Apa toh yang dimaksud dengan "secara umum tidak dalam konteks hubungan suamiistri (seksual)"? Soalnya kalimat yang terdiri dari suku kata "amat" disebut dua kali dalam al
Quran. Keduanya membahas tentang masalah perkawinan.
Adakah ini termasuk kategori "seksual"?
Kedua kalimat tsb. adalah:
Pertama: QS 02:221 Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak (amat) yang mu'min lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.
Kedua: QS 24:32 Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian [1036] diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hambahamba sahayamu yang perempuan (imaa ikum). Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui. [1036] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita-wanita
yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
M. Syamsi Ali: Anda betul dalam hal ini Mas. Walaupun dengan catatan bahwa ungkapan
"fatayaatikum" adalah ungkapan untuk hamba-hamba sahaya yang muda. Jadi ada semacam
pengkhususan dari hamba sahaya wanita (amatun). Karena memang konteksnya adalah
melacurkan, yang mana pada umumnya diperlakukan kepada budak-budak wanita yang
muda-muda. Jadi, tetap penamaan tersebut adalah "amatun" (lihat ayat 32 dengan kata
"imaa" plural dari amatun) untuk budak wanita.
Lho, anda misunderstand Mas. Ayat-ayat di atas berbicara mengenai proses pernikahan. Jadi
mereka belum dinikahi. Oleh sebab itu, penyebutan budak di sini dengan kata "amatun dan
imaa jama' dari amatun" tadi karena memang mereka masih berstatus "single" (lajang).
Sehingga ayat-ayat yang anda sebut itu semakin menguatkan saja persepsi saya bahwa
penamaan amatun atau pluralnya imaa ditujukan kepada mereka yang telah melalui proses
nikah.
M. Syamsi Ali: Kedua, jika budak itu disebut dalam konteks hubungan
seksual, maka ia disebut "Milkul yamiin" (Aw maa malakat aemaanukum) di
S.an Nisa: 4 misalnya.
Abdul Ghofur Maemun: Budak yang disebut dengan "milkul yamin", dalam al Quran
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TKW2.html (3 of 11)13/05/2006 23:43:40
Perbudakan Dalam Islam
tedapat dalam --Surat an Nisaa: 03 (bukan 04 seperti yang Anda tulis), 24, 25, 36, --Surat an
Nahl: 71, --an Nuur: 33, 58, -- ar Ruum: 28. Juga terdapat dalam Suratal Mu minuun:06, al
Ahzab:50 (malakat aimaanuhum), al Ma'aarij:30, an Nur:31, al Ahzab:55,50 (malakat
yamiinuk) dan 52.
Tentu tidak mungkin menyebutkan satu persatu ayar-ayat di muka. Hanya saja, ada dua hal
yang perlu saya catat.
Pertama: Tidak semua "milkul yamiin" dalam al Quran menunjukkan arti feminin, ada
diantaranya yang menunjukkan arti maskulin dan bahkan ada yang umum untuk keduanya.
(Artinya: tidak semua milkul yamin berarti "amat" yang telah dikawin oleh sayyid-nya.
Bahkan menurut saya, tidak ada "milkul yamin" dalam al Quran yang mempunyai arti
demikian ini)
Untuk "milkul yamin" yang mempunyai arti maskulin diantaranya tersebut dalam SQ 24:58
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak yang kamu miliki,
dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu
tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu
menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'.
(Itulah) tiga 'aurat bagi kamu [1048]. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula)
atas mereka selain dari (tiga waktu) itu [1049]. Mereka melayani kamu,
sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah
Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. [1048]
Maksudnya: tiga macam waktu yang biasanya di waktu-waktu itu badan banyak terbuka.
Oleh sebab itu Allah melarang budak-budak dan anak-anak dibawah umur untuk masuk ke
kamar tidur orang dewasa.
Dan untuk "milkul yamin" yang bersifat umum diantaranya terdapat dalam SQ 24:33
... Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian,
hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka [1037], jika kamu mengetahui
ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari
harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu... [1037] Salah satu cara dalam
agama Islam untuk menghilangkan perbudakan, yaitu seorang hamba boleh
meminta pada tuannya untuk dimerdekakan, dengan perjanjian bahwa budak
itu akan membayar jumlah uang yang ditentukan. Pemilik budak itu hendaklah
menerima perjanjian itu kalau budak itu menurut penglihatannya sanggup
melunasi perjanjian itu dengan harta yang halal.
Catatan kedua: tidak semua "milkul yamin" yang menunjukkan arti feminin bermakna amat
yang telah dinikahi oleh sayyid-nya. Bisa saya contohkan di sini
SQ. 04:25 ...Dan barangsiapa diantara kalian (orang-orang merdeka) yang
tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman,
ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kalian
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TKW2.html (4 of 11)13/05/2006 23:43:40
Perbudakan Dalam Islam
miliki...
Perlu saya jelaskan, bahwa budak wanita ini bukan milik orang yang hendak mengawininya.
Lihat kembali beberapa tafsir-tafsir klasik.
Ini tentu saja mengacu pada bahwa perkawinan tidak masuk dalam "konteks hubungan
seksual". Kalau tidak, maka sesungguhnya Anda telah melakukan kontradiksi dengan diri
Anda sendiri: amat dalam al Quran juga dalam konteks perkawinan ini yang berarti juga
konteks hubungan seksual, padahal Anda mengatakan bahwa amat dalam al Quran tidak
dalam konteks hubungan seksual.
Contoh lain dari "milkul yamin feminin" yang tidak dalam konteks hubungan seksual adalah
QS. 24:31 Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,
atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanitawanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki (maa malakat
aimaanuhunn-a), atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang
aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Dari sini, bisa saya simpulkan bahwa penyebutan "milkul yamin" tidak ada pertaliannya
sama sekali dengan konteks hubungan seksual atau non seksual. Bahkan kesemuanya ini
kembali pada siyaq (context) al kalam.
M. Syamsi Ali: Anda masih "wise" sehingga mengatakan "menurut saya". Yang keliru kalau
anda mengatakan bahwa memang Al Qur'an tidak memakai kata ini untuk maksud ini. Bolehboleh saja kok, namanya pendapat Anda. Sebaliknya untuk saya kan boleh-boleh saja,
namanya juga pendapat saya. Walaupun saya akui (mungkin anda tidak) masih sangat
terbatas dalam memahami ayat-ayat Allah. Terima kasih pula atas kutipan seluruh ayat-ayat
berkenaan dengan kata "milkul yamiin". Suatu saat dapat kita lihat satu persatu konteks
penyebutan tersebut.
Mas, mungkin keliru kalau anda menyimpulkan bahwa ayat di atas menunjukkan hanya
maskulin semata. Teliti kembali terjemahan depag yang anda pakai. Kelihatannya di sini
anda kurang jujur, karena anda tidak kutip apa yang dikutip depag dalam kurun (lelaki dan
wanita).
Apa yang saya fahami di sini adalah walaupun Allah memakai kata "milkul yamiin' untuk
keduanya (pria dan wanita) namun dari sekian kali kata ini dipakai, pada umumnya
diperuntukkan bagi "budak wanita". Oleh sebab itu, saya tetap melihat bahwa kita dalam
menilai sesuatu seharusnya memakai standar umum. Bukan sebaliknya, masalah khusus
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TKW2.html (5 of 11)13/05/2006 23:43:40
Perbudakan Dalam Islam
yang dijadikan standar umum.
Mas, lihat konteks pembicaraan ayat secara keseluruhan. Kenapa setelah penyebutan "milkul
yamin di atas disebutkan "fatayaat" (budak wanita muda?). Karena konteks pembicaraan
ghalibnya pada budak wanita. Sementara budak-budak lelaki pada ayat sebelumnya dinaakan
"'ibaad". Dengan demikian, walaupun kedua jenisnya masuk dalam kata itu, namun konteks
ayat dengan penyebutan itu tetap aghlabiyahnya pada budak wanita.
Dalam banyak hal, secara tekstual anda betul. Namun, bukankah dalam memahami suatu
ayat perlu difahami dalam konteks menyeluruh. Artinya, terkadang mengartikan suatu ayat
belum tentu telah memahami konteks ayat secara keseluruhan. Dalam hal ini, diperlukan
pemahaman menyeluruh, karena saya yakin keseluruhan ayat-ayat Al Qur'an itu saling
terkait. Untuk penjelasan ini, lihat keterangan saya diakhir tulisan ini.
M. Syamsi Ali: Dari kedua penyebutan di atas jelas, bahwa dalam Islam
seandainya memang ada budak, tak akan dibenarkan untuk digauli sampai
terjadi proses hukum yang disebut "NIKAH". Jika seorang "AMATUN" tadi
dinikahi maka secara otomatis akan berubah statusnya menjadi "Milkulyamin" (milik tangan kanan, yang dapat diartikan dimiliki secara sah), yang
sebenarnya statusnya bukan lagi budak, tapi isteri sah dari bekas tuannya.
Abdul Ghofur Maemun: Dari mana Anda mengambil kesimpulan semacam ini? Kalau dari
"konteks hubungan seksual atau non seksual", maka sesungguhnya ini telah saya
"mentahkan" sebagaimana di muka. Sesuai dengan apa yang saya ketahui, seseorang boleh
kumpul dengan wanita dengan dua cara.
Pertama dengan cara nikah, dan kedua melalui cara at tasarry (mengambil kesenangan
dengan amat tanpa melakukan nikah). --lih: tafsir al Alusy dan at Tahrir wa Attanwir dalam
QS. 04:03-Adapun dalil al Qur an dan al Hadist mengenai yang kedua ini adalah sebagai berikut:
Al Qur an: QS. 23:01-07. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya...dan orangorang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau
budak yang mereka miliki (maa malakat aimaanuhum)***; maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di
balik itu [996] maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [996].
Maksudnya: zina, homosexueel, dan sebagainya.
*** Andaikan budak-budak ini dinikahi dulu, tentu ia telah masuk pada bagian sebelumnya
(istri-istri mereka).
SQ. 70:29-30: Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali
terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TKW2.html (6 of 11)13/05/2006 23:43:40
Perbudakan Dalam Islam
QS.33:50: Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteriisterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang
kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang
dikaruniakan Allah untukmu. (bagian pertama (istri-istrimu) tentu bukan
bagian kedua)
Al Hadist: Raja Agung Mesir --al Moqouqis-- memberi hadiah dua putri jariah bersaudara -Mariah al Qibthiayah dan Sireen-- kepada Rosul. Kemudian Rosul SAW. mengambil yang
pertama dan yang kedua beliau hadiahkan kepada Hassaan bin Staabit. Tidak pernah
diriwayatkan (sepengetahuan saya) bahwa Rosul SAW. menikahi Mariah. Bahkan hingga
Mariah melahirkan Ibrahim kemudian sampai wafatnya enam belas atau delapan belas bulan
kemudian, Roosul SAW.-pun belum menikahinya. Ini berdasarkan pada kenyataan bahwa
hingga wafatnya Ibrahim, Mariah masih menempati rumah di dataran tinggi di pinggiran
kota Madinah, tepatnya di daerah yang sekarang dinamakan Masyrabat Ummi Ibrahim. Bila
memang beliau telah menikahinya, maka, sebagaimana istri-istri-nya yang lain, ia tentu juga
mendapatkan rumah (bilik) di samping Masjid Nabawy. --Lih: Hayatu Muhammad,
Mohammad Hosain Haekal--.
Dalil al fiqhy: yang saya maksudkan di sini adalah sistem perbudakan dalam Islam. Kalau
Anda mempelajarinya, tentu Anda menganal apa yang diistilahkan dengan Ummu al Walad,
yakni amat yang hamil dari hubungannya dengan sayyid-nya. Amat yang demikian ini
statusnya masih tetap dalam ke-amatan-nya, namun kelak secara otomatis ia akan merdeka
setelah Sayyid-nya meninggal dunia.
Makanya, ia tidak boleh dijual juga tidak boleh dihadiahkan. (Amat manapun yang
melahirkan dari sayyid-nya, maka ia menjadi merdeka setelah kematian sang Sayyid. HR.
Ibnu Majjah dan al Hakim). Artinya, bahwa amat tsb. saat dikumpuli oleh sayyid-nya juga
setelah melahirkan sang anak, masih berstatus amat (budak) dan bukan berstatus istri yang
telah merdeka.
M. Syamsi Ali: Ada beberapa poin yang anda sampaikan di atas:
Pertama, mengenai ayat di S. Al Mu'minuun ayng anda kutip, sepintas betul. Namun
seandainya kita dibenarkan untuk mencari penfsiran/pemahaman yang tidak bertentangan
dengan ruh Qur'an itu sendiri, maka saya melihatnya penyebutan "milkul yamiin" terpisah
dari "azwaaj" yang berarti "pasangan-pasangan" (bukan hanya isteri-isteri), sekedar untuk
memperjelas statusnya sebagai "mantan budak". Artinya, sebagimana saya jelaskan
terdahulu, bahwa penyebutan ini sebenarnya jangan lagi difahami sebagai budak, melainkan
seseorang yang telah dimiliki secara sah dengan proses pernikahan. Sebab jika difahami
bahwa mereka adalah budak, maka bagaimana anda memahami kata "azwaaj" itu sendiri. Di
mana kata ini diperuntukkan untuk kaum lelaki sekaligus untuk kaum wanita.
Nah, jika yang dimaksud menjaga kemaluannya adalah kaum wanita, lalu siapa milkul
yamiinnya? Rumit bukan?
Oleh sebab itu, diperlukan penafsiran dengan konteks Qur'ani. Penafsiran yang tidak hanya
terbatas pada ayat itu sendiri, melainkan penafsiran yang mengakomodasi konteks Qur'an
secara syamil.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TKW2.html (7 of 11)13/05/2006 23:43:40
Perbudakan Dalam Islam
Kedua, Mengenai hadiah Raja yang menghadiahkan Rasulullah 2 budak wanita, kemudian
satu di antaranya diambil oleh Rasulullah sebagaiÉ..(bagaimana anda mengistilahkanya?
Gundik?). Iyaa, emangnya seluruh isteri-isteri nabi itu diceritakan secara detail
perkawinannya dengan Rasulullah SAW? Terus, emangnya seluruh isteri Nabi itu tinggal di
sekitar mesjid nabawi? Mohon dikaji kembali sejarah itu baik-baik lagi. Dalam beberapa
ungkapan sejarah, Maria tetap disebut sebagai zawjun Nabi. Bahkan saya belum menemukan
bahwa beliau (Maria) itu disebut sebagai hamba sahayanya nabi.
Jika kesimpulan anda menyatakan bahwa Maria adalah hamba sahaya nabi, maka di sini
rasanya terjadi kontradiksi dengan misi Rasulullah SAW yang salah satunya membebaskan
manusia dari perbudakan terhadap sesama. Kok sampai tega rasulullah SAW masih
memperbudak, berhubungan lagi dengan budak itu hingga lahir beberapa anak darinya. Di
mana anda mendudukkan rasulullah dalam hal ini?
Ketiga, istilah "ummulwalad" dalam buku-buku fiqhi juga masih menjadi perdebatan
panjang. Sayang sekali maraji' saya tidak ada dengan saya saat ini. Tapi silahkan kaji
kembali mengenai hal ini, lihat bagaimana perselisihan para ulama mengenai apakah budak
wanita yang dinikahi secara otomatis merdeka atau setelah suaminya meninggal. Hal ini
sekaligus menjawab poin yang anda kemukakan di bawah ini.
Keempat, dalil fiqhi yang anda pakai mengenai pembagian kehalalan hubungan dengan
wanita kepada 2 cara: Nikah dan Tasarry adalah penafsiran bung. Masalah ini menjadi
masalah rumit dan kompleks yang diperdebatkan oleh para ahli fiqhi kita. Tentu
pertimbangannya banyak. Maksud saya, sistem tasarry yang disebutkan dalam beberapa
buku fiqhi masih dipermasalahkan. Jangan lalu anda mengambil kesimpulan, seolah-olah
kedua macam hubngan dengan wanita di atas sudah menjadi baku.
M. Syamsi Ali: Penjelasan ini sesuai dengan ruh Islam yang datang dengan
tujuan, salah satunya, membebaskan perbuadakan di atas bumi ini. Salah
satunya dengan menganjurkan kepada para tuan untuk mengawini budaknya
sehingga secara otomatis terbebas dari perbudakan.
Abdul Ghofur Maemun: Ya !!! Islam memang terobsesi untuk menghilangkan sistem
perbudakan di muka bumi. Makanya penjelasan-penjelasan saya jangan difahami sebagai
usaha untuk menghidupkan kembali sejarah yang telah masuk kotak. Namun harus difahami
sebagai upaya menjelaskan apa yang sebetulnya telah terjadi. Jangan sampai sejarah
dimanipulasi demi kepentingan yang tampak amat luhur.
Ya !!! Islam memang menganjurkan kepada para tuan untuk menikahi amatnya, tapi jangan
langsung ditandaskan bahwa dengan menikahinya, secara otomatis sang amat menjadi
merdeka. HR. Bukhori dan Muslim: "Barangsiapa mempunyai jariah (amat) kemudian ia
mengajarinya dan berlaku baik padanya, dan kemudian ia memerdekakannya dan
mengawininya maka ia berhak mendapatkan dua pahala".
Jadi sebelum menikahi, ia harus memerdekakannya dahulu. Coba Anda buka tafsir al Alusi
Surat an Nisaa ayat tiga (ayat yang Anda jadikan dalil untuk menjustifikasi kemerdekaan
amat dengan cara pernikahan), Anda akan mendapati bahwa para ulama tidak
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TKW2.html (8 of 11)13/05/2006 23:43:40
Perbudakan Dalam Islam
memperbolehkan seseorang mengawini amat-nya. karena ini akan mengakibatkan terjadinya
dua "akad" yang saling bertentangan pada satu objek. Nikah berkonskwensi kesetaraan
sementara ar riqq (perbudakan) meniscayakan penghambaan.
Maka arti ayat tiga tsb. begini: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil [265], maka (cukuplah) seorang saja (dengan cara kawin), atau
budak-budak yang kamu miliki(dengan cara tasarry). Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya.
Perbedaan "dengan cara kawin " dan "dengan cara tasarry" tsb. dalam gramatika Arab
disebut 'athof gaya "'alaftuhaa tibnan wa maa an baaridaa". Semoga Anda pernah
mempelajarinya !?
M. Syamsi Ali: Mengenai urutan penyebutan pada hadits di atas, menurut saya, bukanlah
kemutlakan. Artinya, tidak harus difahami bahwa jika ingin menikahi budak wanita harus
dimerdekakan dahulu. Sebab terkadang memang terjadi penyebutan terdahulu walaupun
statusnya di belakang. Boleh juga tidak harus di belakang atau didepan. Hadits kaffarah
puasa misalnya, disebutkan pembebabasan budak, lalu puasa dua bulan berturut-turut, lalu
memberikan makan 60 orang miskin. Namun oleh para ulama, urutan ini bukanlah suatu
kemutlakan. Boleh saja, orang justeru mengambil yang ketiga, yaitu memberi makan 60
orang miskin. Jika mengambil istilah "'adamul kafaah" (tidak imbang, karena satunya
merdeka dan satunya budak) sehingga harus dimerdekakan dulu, maka kenapa pada S. An
nisa 25 diperbolehkan untuk menikahi budak-budak wanita? Bukankah itu pernikahan yang
sebenarnya batil karena tidak memenuhi persysratan, namun dibolehkan? Saya justeru
melihatnya dengan pernikahan itu sendiri menjadikan kedua insan itu seimbang. Lihat ayat
25 An Nisa di atas "Wallahu a'lam niimanikum".
"'Athof ghayah"nya kan berarti bertujuan memenuhi kebutuhan biologisnya. Artinya, lakilaki dapat memuaskan kebutuhan bilogisnya dengan menikah, dan dapat pula memenuhi
kebutuhannya dengan berhubungan dengan budak wanitanya tanpa nikah. Itu kan maksud
anda? Lalu bagaimana anda mempertanggung jawabkan hal ini setelah memahami konteks
Qur'an secara menyeluruh dan maqaasidus syari'ah, yang salah satunya hifzunnasala
(menjaga kemurnian keturunan)? Atas dasar ini, sebagian ulama mempermasalahkan
"tasarry" tersebut.
M. Syamsi Ali: Nah, dengan demikian, jelas sekali bahwa pemahaman Gus
Dur terhadap ayat-ayat Al Qur'an sangat parsial.
Abdul Ghofur Maemun: Apa ndak terbalik?
M. Syamsi Ali: Nampaknya sih nggak mas, hanya saja kalau kita memandang hanya dengan
sebelah mata (maaf bukan berarti satu matanya buta), maksud saya mengambil Al qur'an ini
secara parsial, maka pemahamannya akan demikian.
M. Syamsi Ali: Keempat, dalam beberapa kasus memang moral orang-orang
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TKW2.html (9 of 11)13/05/2006 23:43:40
Perbudakan Dalam Islam
Arab sangat bejat.
Adanya TKW di sekelilingnya terkadang dijadikan pelampiasan dari
ketertutupan tadi.
Abdul Ghofur Maemun: Benar, Mas. Wong Saudi memang gak ilok tenan.
M. Syamsi Ali: Wah, ini bahasa apa lagi. Tapi bukan bahasanya Fir'aun dari Mesir bukan?
M. Syamsi Ali: Demikian seterusnya, saya kira para pembisik Gus Dur perlu
membisiki segera Gus Dur tentang hal ini. Supaya Gus Dur dapat tahu
bagaimana ngomong yang benar.
Abdul Ghofur Maemun: Semakin banyak nampaknya orang yang terlalu yakin akan
kebenaran dirinya sendiri.
M. Syamsi Ali: Memang gitu mas, jangan kita bersikap seperti yahudi menyikapi rahibrahibnya. Ibaratnya omongan Kyai-nya suci saja. Padahal, manusia ya namanya manusia.
Yang ma'shum hanya Rasulullah toh? Selama pendapat itu masih dipertanggung jawabkan
dengan mendasarkannya kepada pemahaman yang benar terhadap ayat-ayat Al Qur'an dan
Sunnah, tidak apa-apa kan kita berbeda.
Penutup
Mas AG:
Saya ingin menutup respon ini dengan hal-berikut:
Pertama, saya melihat terkadang kita tidak jujur pada diri kita sendiri. Terkadang kita
bersikukuh menafsirkan ayat-ayat Al Qur'an secara harfy, tanpa ingin melihat kepada
konteks Al Qur'an secara kaaffah dan syamil dengan melihat pula kepada konteks ajaran
yang diperjuangkan Al Qur'an, hanya karena hal ini untuk menjustifikasi pendapat "Kami".
Sifat 'ashobyah seperti ini cukup lama mematikan daya nalar dan intellectual capabilities
yang kita miliki.
Kedua, Islam sejak awal memiliki komitmen untuk menghapuskan perbudakan. Saya kira,
salah satu makna inti dari "syahadah" kita adalah menghapuskan seluruh bentuk perbudakan,
khususnya perbudakan formal seperti yang pernah terjadi itu. Jika ternyata Al Qur'an sendiri,
bahkan anda menyangka rasulullah SAW sendiri mempraktekkannya, maka di mana anda
bisa mempertemukan dua hal yang bertolak belakang ini?
Ketiga, salah satu tujuan utama syariat kita adalah "hifzun nasal" (menjaga kemurnian
keturunan) sehingga perzinahan diharamkan. Nah, jika menggauli budak dibenarkan dan
kemudian dibiarkan dinikahi oleh lelaki lain, seperti anjuran Allah pada ayat 25 An Nisaa
itu, maka dapatkah maqshad syar'I ini dipertahankan?
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TKW2.html (10 of 11)13/05/2006 23:43:40
Perbudakan Dalam Islam
Masih banyak hal yang perlu saya sampaikan, insya lain kali. Semoga diskusi ini diredhai
Allah, tentu dengan I'tikad yang baik dari kita semua disertai kelapangan dada tanpa diikat
oleh kecenderungan-kecenderungan 'ashobiyah". Sungguh saya bahagia, karena saya
dilahirkan dari keluarga NU beristerikan seorang dari kalangan Muhammadiyah.
Mengenyam pendidikan Muhammadiyah, namun berkprah di beberapa mesjid NU. Karena
bagi saya, kedua pergerakan ini bertujuan bersama-sama untuk menegakkan kebenaran, laa
ghaer.
Wassalam, SA.
(Artikel Asli, Tanggapan, Tanggapan Balik)
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TKW2.html (11 of 11)13/05/2006 23:43:40
Perbudakan Dalam Islam
Perbudakan Dalam Islam
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Kasus Tenaga Kerja Wanita di Saudi Arabia
Subject: [mus-lim] Budak Wanita dalam Al Qur'an (tanggapan terhadap KBNU Mesir)
Date: Sun, 23 Apr 2000 21:42:43 EDT
From: [email protected]
Reply-To: [email protected]
To: [email protected], [email protected]
Assalamualaikum,
Saya ucapkan terima kasih atas tanggapan anda (KMNU/Komite Mahasiswa NU?) atas tulisan saya terdahulu
mengenai "betulkan budak dapat digauli tanpa nikah" sebagai tanggapan terhadap komentar GD yang menyatakan
bahwa TKW banyak diperkosa karena konsep perbudakan dalam Islam klasik yang masih dianut oleh orang-orang
arab.
Pertama, saya sudah yakin bahwa betapapun benar argumentasi yang akan saya sampaikan pasti akan disalahkan oleh
anda (KMNU) misalnya, karena tulisan saya menyanggah penyataan seorang K.H. yang dijuluki "wali". Ibaratnya,
saya telah terlalu berani untuk bersinggungan dengan "wali" yang terkadang ucapannya dianggap suci, sehingga
jangan-jangan saya mendapat laknat. Dan ternyata betul, tulisan saya dengan penuh semangat ditanggapi dan bahkan
mungkin dilaknat anda.
Tanggapan anda pada intinya mencakup 3 hal:
Pertama, bahwa saya menulis tersebut karena membenci Gus Dur.
Kedua, membela Gus Dur yang menyatakan bahwa terjadinya pemerkosaan terjadap TKW di Saudi karena hukum
Islam klasik yang membenarkan hubungan seksual dengan budak wanita tanpa nikah.
Ketiga, diskusi sekitar arti budak wanita dalam Islam itu sendiri.
Dari ketiga masalah yang diungkapkan, saya menangkap dengan jelas betapa semangat membela "wali" itu begitu
tinggi, kendati mungkin harus bertentangan dengan rasio dan semangat kejujuran intelektual itu sendiri. Ketika
menyadari ini, saya mengingat kembali percakapan antara Rasulullah SAW dan Adi bin Abi Hatim. Suatu ketika
rasulullah SAW menyatakan bahwa kaum Yahudi dan Nasara menjadikan para Rahib dan Nabinya sebagai
sembahan-sembahan selain Allah. Adi yang masuk Islam dari agama Nasrani, protes dan mengatakan bahwa "Kami
tidak pernah menyembah mereka wahai rasulullah". Rasulullah kemudian bertanya: 'Tidakkah mereka
mengharamkan apa-apa yang dihalakan oleh Allah, lalu kamu ikut mengharamkannya? Tidakkah mereka
menghalalkan apa-apa yang dihalalkan Allah, lalu kamu ikut menghalalkannya?". Jawab Adi: "Betul wahai
rasulullah". Sabda baginda Rasul: "Itulah bentuk penyembahan mereka kepada selain Allah", seraya membaca ayat
31 dari S At Taubah.
Saya menangkap demikian dari tanggapan anda, karena tuduhan pertama terhadap saya adalah bahwa saya membenci
Gus Dur. Artinya, saya menulis dan menanggapi GD karena saya benci kepadanya. Padahal, bukankah keinginan
seorang Muslim untuk mengeritik seorang Muslim yang lain, apalagi dengan cara yang hikmah dan didukung oleh
wawasan intelektual (keilmuan) yang jelas adalah merupakan bentuk kasih sayang kepada sesama Muslim? Tapi
kenapa anda berkesimpulan bahwa saya menulis ini karena sangat benci dengan GD? Jawabannya karena anda
nampaknya telah melihat GD sebagai "wali" yang kata-katanya tidak mengandung kesalahan. Jika kesimpulan saya
ini benar (saya berharap semoga salah), maka anda telah menyikapi GD sebagimana kaum yahudi menyikapi rahibfile:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TKW3.html (1 of 4)13/05/2006 23:43:47
Perbudakan Dalam Islam
rahib mereka. Wal'iyaadzu billah!
Kasus TKW
Dikatakannya bahwa pemerkosaan kepada TKW Indonesia di Saudi disebabkan karena adanya sisa-sisa pemahaman
orang-orang saudi tentang hukum Islam klasik yang masih membenarkan hubungan seksual dengan budak wanita.
Hal ini boleh saya katakan mendekati mustahil, karena selama 3 tahun lebih saya tinggal di Saudi, persisnya di
Jeddah, dengan pekerjaan yang banyak berhubungan dengan para pekerja (tau'iyah atau tugas da'wah dari kantor
da'wah Jeddah), saya mendapati penyebab-penyebab pemerkosaan karena hal-hal yang saya sebutkan terdahulu.
Orang-orang saudi, kalaupun ternyata ada yang berfaham demikian, maka itu adalah bagian dari penyelewengan
pemahaman terhadap hukum Islam yang benar mengenai hal ini (budak wanita), sebagimana GD salah
memahaminya. Sebab bagaimanapun juga, dan anda akan baca di bawah ini, Islam tidak pernah dan tak akan pernah
membenarkan hubungan seksual dengan siapa saja, termasuk dengan budak wanita, tanpa proses pernikahan.
Anda sebutkan penampungan yang demikian ...saya lupa istilah Madura anda. Saya mengetahui banyak
penampungan (tempat di mana para TKW ditampung jika melarikan diri dari majikan) karena saya seringkali
mengunjukinya untuk melakukan tau'iyah. Pada umumnya penampungan ini sifatnya ilegal di kota Jeddah. Di tempat
ini memang seringkali terjadi penyelewengan seksual, tapi hal itu bukanlah justifikasi untuk menyatakan bahwa hal
itu adalah karena konsep perbudakan. Saya justeru melihatnya, justeru tidak ada hubungannya dengan masalah yang
kita bicarakan. Pemandangan yang dilihat di panmpungan itu sendiri merupakan pembenaran terhadap kesimpulan
saya, bahwa pemerkosaan banyak terjadi karena salah satu penyebabnya adalah para tkw sendiri yang getol atau gatal.
Konsep perbudakan dalam Qur'an
Cuku panjang uraian anda. Namun say belum bisa menarik benang merah sebagai kesimpulan dari uraian yang cukup
berbelit-belit itu. Sayangnya pula, anda tidak menyampaiakn pendapat anda yang jelas, apakah budak wanita dalam
pandangan Islam dapat digauli tanpa nikah, atau harus dengan pernikahan yang sah. Karena, penamaan perbedaan
penamaan budak yang sudah dikawini (menurut saya milkul yamiin) dan yang budak wanita lajang (amatun) menurut
saya bukan titik poin peemasalahan. Poin utama permasalahan adalah, bolehkah budak digauli tanpa nikah???
Walaupun demikian, dengan berbagai contoh-contoh ayat yang anda berikan, saya kali ini hanya akan merujuk
kepada satu ayat (satu saja, supaya terkonsentrasi dalam memahaminya dan tidak berbelit-belit) dalam kaitannya
dengan hukum hubungan seksual antara seorang majikan dan budak wanita tersebut. Lihat s. An Nisa: 24-25
misalnya. Berikut terjemahan lengkap dan catatan kaki Depag (sengaja saya pakai terjemahan Depag supaya jangan
disangka saya membuat-buat terjemahan):
"Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu
miliki sebagai ketetapanNya atas kamu. Dan dihalakan bagi kamu selain yang demikian. (Yaitu)
mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah
kamu ni'mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna),
sebagai suatu kewajiban: dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang telah saling
merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana"
"Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini
wanita-wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang
kamu miliki, Allah mengetahui keimananmu; sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain, karena itu
kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut,
sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan pula wanita yang
mengambil laki-laki sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin,
kemudian mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman
wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang
yang takut kepada kemasyarakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang" (4: 24-25).
Dari berpedoman kepada satu ayat ini saja, keraguan anda terhadap kesimpulan saya yang menyatakan bahwa adalah
dilarang seorang Muslim untuk menggauli budaknya tanpa proses pernikahan telah terjawab sudah.
Pertama, Konteks pembicaraan di ayat 24 adalah sambungan dari pembicaraan di ayat 23 sebelumnya, yaitu tentang
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TKW3.html (2 of 4)13/05/2006 23:43:47
Perbudakan Dalam Islam
wanita-wanita yang diharamkan untuk dinikahi (muhrim). Lalu pada ayat 24 disebutkan satu lagi macam wanita yang
dilarang, yaitu mereka yang masih dalam status bersuami. Kemudian dilanjutkan oleh Allah, "kecuali budak-budak
yang kamu miliki". Karena konteksnya adalah mengenai siapa-siapa yang tidak boleh dinikahi, maka tafsiran ayat
"illa maa malakat aemaanukum" di sini adalah "Kecuali budak-budak wanita yang kamu miliki dapat dinikahi,
walaupun masih dalam status punya suami. Dalam banyak penafsiran dijelaskan bahwa budak wanita yang bersuami
namun dapat dinikahi yang dimaksud pada ayat tersebut adalah budak-budak yang ikut menjadi tahanan perang dan
atau dijual oleh tuannya. Jika seorang budak wanita ikut dalam tawanan dan suaminya tidak tertahan, maka oleh
sebagian ulama dianggap telah bercerai dengan sendirinya. Demikian pula, jika seorang budak wanita dijual oleh
tuannya, sementara suaminya tidak ikut terjual bersamanya, maka secara otomatis pula terceraikan dari suami
tersebut. Dengan demikian, jika seorang Muslim ingin menikahi budak wanita seperti ini, jangan ragu (boleh) karena
tidak lagi berstatus bersuami.
Dengan demikian, ayat 24 yang sering disalah fahami sebagai ayat pembenaran untuk menggauli budak tanpa nikah,
justeru sesungguhnya sebaliknya. Kejelasan ini semakin nampak jika baca secara teliti ayat 25 tersebut.
Ayat 25 dimulai dengan "dan jika kamu tidak memiliki kemampuan untuk menikahi wanita-wanita merdeka".
Artinya, konteksnya adalah menikahi. Kalimat ini lalu dilanjutkan: "Fa mimmaa malakat aemaanukum min
fatayaatikumul mu'minaat". Oleh departemen agama secara lugas dan transparan diterjemahkan: "ia boleh mengawini
wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki". Potongan ayat ini saja sudah jelas, bahwa jika tak
mampu menikahi wanita merdeka (biasanya karena maharnya terlalu mahal) maka demi menjaga kehormatan lelaki
tersebut, tidaklah apa-apa menikahi (mengawini) wanita mu'min dari kalangan budak. Jadi bukan karena tidak
mampu menikahi wanita merdeka, lalu boleh menggauli budak tanpa nikah.
Akan semakin jelas, jika anda baca lanjutan ayat tersebut: "Fankihuuhunna biidzni ahlihina, waatuuhunna
ujuurahunna bil ma'ruuf" (Maka nikahilah mereka, -yaitu budak-budak wanita tersebut- dengan izin walinya dan
berikanlah maharnya dengan cara yang baik).
Dengan potongan ayat ini, apakah tidak nampak sinarnya mentari kebenaran di depan mata anda, bahwa memang
betul Islam tidak pernah dan tak akan pernah menghalalkan hubungan seksual seorang majikan dengan budak
wanitanya tanpa nikah. Dengan demikian, jika ada orang yang memahami bahwa hukum Islam (apalagi dengan
embel kata klasik) pernah menghalalkan hubungan seksual dengan budak wanita tanpa nikah, adalah keliru dan
pertanda kekurang telitian dalam melihat ayat-ayat al Qur'an.
Demikian tanggapan singkat saya, sengaja saya tidak mengupas keseluruhan ayat-ayat yang anda kutip karena
disamping ayat ini cukup representatif untuk menjustify pendapat saya, juga saya tidak mau bertele-tele tanpa
kesimpulan yang jelas. Pertanyaan saya yang terakhir, apa sebenarnya sikap anda, betulkah Islam membenarkan
hubungan seksual dengan budak tanpa nikah, atau Islam membolehkan hubungan tersebut hanya dengan proses
pernikahan?
Ada beberapa catatan ringkas dari tanggapan anda, seolah hanya anda yang pernah belajar bahasa Arab. Disamping
itu, references yang anda ungkapkan juga mengambil yang terlalu asing. Padahal jika saja anda merujuk kepada tafsir
Ibnu Katsir mengenai hal ini, khususnya penafsiran ayat di atas, kekeliruan anda bersama Gus Dur akan terjawab.
Saya ingin ulangi lagi, bahwa diwajibkanya seorang majikan untuk menikahi budak wanitanya jika ingin
berhubungan adalah merupakan salah satu upaya penghapusan perbudakan dalam Islam. Tentu Islam memiliki
banyak cara, namun dengan mewajibkan kepada lelaki menikahi budak wanita jika ingin melakukan hubungan
adalah salah satu dari upaya-upaya tersebut. Sebab jika seorang budak wanita telah dinikahi oleh pria merdeka, maka
secara otomatis dia menjadi wanita yang merdeka pula.
Sekali lagi, saya ingin tegaskan bahwa penyelewengan seksual yang terjadi kepada atau di kalangan TKW kita bukan
karena hukum Islam yang pernah membenarkan hubungan seksual dengan para budak wanita, terlepas benar tidaknya
apakah majikan TKW itu melihat pembantunya sebagai budak atau tidak. Sebab sekalipun mereka melihat
pembantunya sebagai budak, toh Islam tidak membenarkan hubungan tersebut. Terjadinya pemerkosaan atau
penyelwengan seksual pada umumnya disebabkan karena hal-hal yang saya sebutkan terdahulu.
Wassalam,
M. Syamsi Ali
New York
(Artikel Asli, Tanggapan, Tanggapan Balik)
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TKW3.html (3 of 4)13/05/2006 23:43:47
Perbudakan Dalam Islam
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TKW3.html (4 of 4)13/05/2006 23:43:47
Liberalisme dan Fundamentalisme
Menyegarkan Kembali Pemahaman "Kita"
Terhadap Islam
oleh: Syamsi Ali
(Pemerhati masalah keislaman yang tinggal di New York)
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Sebagaimana saya sampaikan terdahulu, saya sebenarnya lebih memilih untuk tidak
menanggapi Ulil. Kekhawatiran saya adalah jangan sampai saya terbawa arus "wacana" Ulil
ini dan menjadikan saya sibuk berdebat tapi kemudian lupa berbeda diri, keluarga, dan
tetangga.
Selain itu, tulisan Ulil ini cukup sensitif dan memang bersentuhan dengan sensitifitas.
Sehingga mau tidak mau akan nampak emosi, walau emosi kadang dibutuhkan, tapi sekali
lagi akan dituduh mengendepankan otot dan bukan otak. Seolah kita yang reaktif ini hanya
bisa emosi tapi tidak rasional.
Untuk itu, menyambung permintaan beberapa rekan sejak Ramadan kemarin, saya mencoba
memperjelas apa yang ada di "benak" Ulil. Saya yakin, dan ini husnu dzann saya, sebagai
seorang Muslim Ulil tentu tidak bermaksud melecehkan agamanya sendiri. Karena kalau itu
terjadi, sebaiknya pak Khalil Bisri menjewer telinganya saja.
Bagian pertama dari tanggapan saya terlampir.
Wassalam,
Syamsi Ali
Sdr. Ulil Abshar-Abdala, dalam sebuah artikelnya yang dimuat harian Kompas beberapa
waktu lalu, menyampaikan ide-ide yang dianggapnya baru dan segar. Seolah pemikiran yang
berseberangan dengan idenya adalah ide mati (monumen mati), sementara ide Ulil adalah ide
yang hidup.
Pada tataran ini saja sebenarnya, terlihat sebuah arogansi dan penghakiman terhadap pihak
lain, oleh justeru orang menganggap dirinya menghormati proses demokrasi dalam dunia
intelektualitas. Saya yakin, pada sikap dan cara berfikir Ulil telah terjadi kontradiksi yang
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TanggapanSegar6.html (1 of 9)13/05/2006 23:43:56
Liberalisme dan Fundamentalisme
jelas, sehingga dengan sendirinya hanya menggambarkan "keputusasaan" dan sebenarnya
"tingkat emosional" yang cukup tinggi.
Kita sadari, sejak awal 70-an pun golongan yang merasa Muslim liberal di negara kita telah
melakukan berbagai upaya untuk mengkampanyekan ide dan pemikiran mereka. Barangkali
polemik antara Prof. Harus Nasution dengan Prof. Rasyidi, juga lemparan ide-ide yang
mengejutkan dari Nurcholis Majid, Abdurrahman Wahid serta Munawir Syadzali, dll.,
merupakan contoh kongkrit dari upaya-upaya terdahulu itu.
Gebrakan-gebrakan Nurcholis Majid di tahun 80-an sebenarnya memiliki nuansa politis
yang cukup besar ketika itu. Bahwa di satu sisi dengan ide demikian, beliau berhasil
melunakkan atau mungkin upaya menghindarkan "tabrakan" antara pergerakan Islam dengan
kekuasaan Orba di bawah kendali Kelompok anti Islam. Pada sisi lain juga dimaksudkan
sebagai upaya pribadi Cak Nur untuk mendapat "legalisasi" (pengakuan) bagi diri dan
kelompoknya.
Sementara itu, Gus Dur sendiri melakukan kampanye-kampanye pemikiran liberalis untuk
tujuan sekali mendayung dua pulau yang dituju. Bahwa dalam kerangka legalisasi pribadi
dan kelompoknya, juga ditujukan untuk memberikan "kesenangan" kepada mereka yang
kurang senang dengan pergerakan Islam saat itu. Maka seringkali di satu sisi Gus Dur
nyolonong ke kuburan-kuburan keramat, duduk dengan kyai yang bersorban dan bersarung
dengan sandal jepit, namun di satu sisi juga bergandengan tangan dengan jenderal yang
tangannya berlumuran dengan darah umat Islam.
Posisis Gus Dur sendiri dalam kaitan ini sangat aneh. Bahwa di satu sisi mendakwahkan
"sekularisme" dengan terang-terangan, namun dalam melakukan gebrakan politiknya tidak
tanggung-tanggung menggunakan symbol-simbol keagamaan. Barangkali kita masih
diingatkan oleh semangat 'jihad' untuk membela Gus Dur jika dijatuhkan dari kedudukannya
sebagai Presiden RI. Sebuah sikap dan realita yang kontradiktif, karena jihad adalah
"terminologi agama" yang dipakai untuk kepentingan politik. Hal ini sekaligus menyatakan
bahwa pendukung "ide sekularisme" sebenarnya setengah hati dan tergantung kemanfaatan/
interest duniawi
Fakta di atas mengingatkan saya, bahwa ketika seorang muda semacam Ulil bersemangat
seperti ini, juga tidak terlepas dari kepentingan duniawi di belakangnya. Mungkin saya tidak
perlu mendetailkan, apa dan bagaimana "interests" tersebut, tapi pada tataran filosofis
sekalipun mengatakan demikian (lihat Al Qur'an: 45-35). Betapa kecenderungan untuk tidak
menseriusi agama ini banyak terkait oleh motivasi duniawi.
Tuduhan Ulil yang mengatakan bahwa para penganut faham "Islam sempurna" selalu
menawarkan hitam putih "take it or leave it" adalah dakwaan yang diada-diadakan. Sebab
jika terjadi demikian, bukannya Ulil yang perlu menentang sikap dan cara berfikir demikian,
melainkan Allah sendiri yang melakukannya. Al Quran sendiri dalam berbagai tempat dan
cara selalu menantang alam intelektualitas Muslim dalam upaya memahami ajarannya. Kata
terbanyak dalam Al Qur'an setelah kata "Allah" itu sendiri adalah kata "ilmu" dalam
berbagai bentuknya. Sehingga konsekwensi wajar dari semua itu adalah bahwa Islam hanya
bisa "diambil" atau diamalkan jika didasarkan kepada pemahaman yang benar dan sejati.
Barangkali sejarah membuktikan, Rasulullah SAW telah merubah perilaku jiwa dan raga
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TanggapanSegar6.html (2 of 9)13/05/2006 23:43:56
Liberalisme dan Fundamentalisme
pengikutnya ketika itu dengan sebuah pendekatan yang "Rabbany" yang didasarkan pada
pemahaman dan kesadaran individual (al wa'yul fardy), sehingga pada tataran implementasi
hukum semua berjalan atas dasar "volunteerism". Kisah perempuan yang berzina dan
menghadap Rasulullah untuk dirajam barangkali contoh kongkrit dari semua ini. Kisah
pengharaman "minuman keras" juga menjadi catatan sejarah yang agung.
Dengan demikian, tuduhan bahwa dalam upaya mengamalkan Islam secara konsisten,
paripurna dan sungguh-sungguh sekarang ini ditempuh dengan cara-cara "otoriter" adalah
keliru. Walau mungkin dalam prakteknya ada yang memperlihatkan cara-cara demikian, tapi
wajarkah kemudian Islamnya sendiri yang dikorbankan? Kecenderungan memaksa, otoriter
dalam bersikap adalah perilaku individu yang mungkin banyak dilatar belakangi oleh
kecenderungan-kecenderungan eksternal. Tapi Islam sendiri tidak pernah mengajarkan
"hitam putih" sebagaimana klaim Ulil tersebut.
Pemaksaan tidak pernah dikenal Islam dan tanpa didahului dengan upaya-upaya pendekatan
Rabbany (biasa diistilahkan kelompok Ulil sebagai pendekatan humanis) terlebih dahulu.
Bagaimanapun kita sadar, hirarki penyampaian Islam ini melalui tiga tahap yang tidak
terpisahkan; tabligh, takwin dan tanfidz. Proses tabligh adalah proses yang berputar-putar di
tempat jika tidak ditindak lanjuti dengan proses takwin. Sementara pelaksanaan Islam
(tanfidz) adalah sesuatu yang absurd jika tidak didahului oleh upaya "pentakwinan". Proses
inilah yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW. Dan proses inilah yang memperlihatkan
buah generasi Qur'ani dengan peradaban Qur'ani, yang buah-buahnya masih dicicipi oleh
umat manusia di dunia barak khususnya saat ini.
Isu Pertama: Penafsiran non-literal
Saya setuju dengan Ulil bahwa penafsiran harus non-literal sifatnya. Kata tafsir itu sendiri
mengandung makna "pemahaman dari sebuah teks" dan bukan makna teks itu sendiri.
Dengan demikian, ketika Ulil mengatakan penafsiran non-literal, sebenarnya terjadi
"pengulangan dua kata" (redundant), karena tafsir berarti "pemahaman non-literal".
Dengan demikian kata "tafsir" itu sendiri sudah mengindikasikan makna "non-literal".
Menafsirkan artinya memahami "wujuuh al ma'aany" dari teks yang berupaya difahami.
Sehingga "wujuuh" (kemungkinan-kemungkinan) makna sudah menjelaskan dengan
sendirinya posibilitas perbedaan pemahaman dari mereka yang berupaya memahaminya.
Dan inilah nilai dasar demokrasi dalam Islam, yang sejak zaman dulupun telah dipraktekkan
dengan penuh kesadaran oleh para sahabat Rasulullah SAW.
Namun demikian, perlu disadari bahwa Islam selain memiliki pintu-pintu "pemahaman"
yang beragam, juga terdapat "pintu utama" (main gate) pemahaman yang mengikat pintupintu yang lain. Artinya, silahkan memakai "pintu" samping, kanan,kiri, belakang, dll., tapi
tetap menuju kepada ruang yang diperbolehkan. Jangan memasuki pintu belakang misalnya,
tapi bertujuan memasuki "private room" karena anda mungkin justru melakukan pelanggaran
yang luar biasa.
Amerika Serikat adalah negara demokrasi yang memberikan peluang sama kepada imigran
untuk datang ke negara ini. Tapi untuk masuk ke negara AS, perlu persyaratan-persyaratan
yang harus dipenuhi. Artinya, kebebasan dan demokrasi tidak akan pernah disamakan
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TanggapanSegar6.html (3 of 9)13/05/2006 23:43:56
Liberalisme dan Fundamentalisme
dengan "seenak perut" dalam melakukan apa saja.
Realita ini juga berlaku dalam upaya memahami ajaran agama ini. Semua manusia, baik
yang mengimaninya atau yang mengkafirinya, memiliki hak dan kebebasan untuk
memahaminya. Dan pendekatan yang dipakai pun boleh bermacam-macam, termasuk
pendekatan spiritualistic oleh kalangan ahli tasawuf, pendekatan rasionalitas oleh para
cendekiawan, pendekatan hukum formal oleh para ahli fiqh, dll. Namun pemahaman dengan
berbagai ragam cara ini, tetap mengacu pada "main gate" Islam, yaitu tidak menginjak-injak
kesempurnaan ajaran Islam itu sendiri. Atau yang lebih tragis, dengan menafikan eksistensi
ayat-ayat Al Qur'an itu sendiri, sehingga cenderung dilihat sebagai tulisan yang sebenarnya
hanya "valued" dalam peradaban padang pasir.
Kita ambil kasus jilbab misalnya. Masalahnya jelas, karena secara tekstual disebutkan secara
gamblang dalam Al Qur'an. Hadits Rasulullah juga menjelaskan hal ini, khususnya kasus
Asma datang kepada Rasulullah SAW. Walau tidak mengikat, khususnya bagi kaum
liberalis, semua ulama terdahulu mewajibkannya. Lalu bagaimana kita menyikapinya?
Akankah difahami dengan pemahaman yang beragam? Silahkan, asal jangan menafikan
adanya kewajiban tersebut, karena kewajiban memakai jilbab adalah "main gate" dari
memahami ayat tersebut. Keragaman pemahaman tetap mengacu pada "main gate" yaitu
kewajiban memakainya. Keragaman faham berkisar pada teknis pelaksanaannya, semisal
bentuk, warna, model, dll. Menafikannya berarti telah meniadakan kemungkinan "berbeda
faham", sebab apa yang diperbedakan jika telah ditiadakan seperti keinginan Ulil?
"Public decency" atau kepatutan umum yang disampaikan Ulil terlalu "naïf", karena kalau
semua memakai standar "public decency", maka tentu akan membawa kepada situasi
"chaotic" yang tak berujung. Saya masih ingat, dua tahun lalu di Kanada kaum wanita protes
karena mereka diharuskan memakai BH ketika berada di tempat-tempat publik pada musim
panas, sementara kaum pria tidak. Untuk itu, mereka meminta agar mereka juga diizinkan
bisa berjalan di pinggir pantai, di jalanan raya, di toko-toko tanpa BH. Kalau seandainya
diizinkan oleh pengambil kebijakan ketika itu, lalu menjadi praktek umum, akankah hal ini
dianggap sebagai "kepatutan umum" oleh Ulil?
Dalam sebuah "Springer show" diperlihatkan seorang ibu menangisi anaknya karena masih
berumur 8 tahun, namun pakaiannya dan penampilannya menjadi atraksi yang memalukan.
Namun anak itu dengan sigap mengatakan bahwa "what is wrong with that?. Is there any
rule forbids me to wear such dress?".
Dalam sebuah instansi, pemerintahan atau swasta misalnya, mengharuskan pegawainya
memakai pakaian tertentu. Anda ingat, betapa gerahnya seseorang executive muda di Jakarta
naik bus umum tanpa AC dengan dasi di lehernya. Namun karena hal itu adalah sebuah
kewajaran dari proses kemasyarakat hukum, maka ia mesti memakainya. Bahkan sebuah
perusahaan mengharuskan pegawai wanitanya untuk memakai pakaian yang setengah "you
can see", karena itulah cara untuk menarik para costumer/pelanggan.
Untuk mendekatkan pemahamannya Ulil, konon kabarnya isterinya adalah seorang anak
Kyai yang cukup terkenal lagi beragama. Apakah cara berpakaian isterinya Ulil yang cukup
sopan karena "standar" kepatutan setempat, atau memang karena sebuah kesadaran akan
nilai religiusitas. Alangkah risinya seorang isteri atau anak kyai memakai pakaian yang
hanya relatif menutupi "genital" di jalanan umum. Akankah dikatakan "pantas" secara sosial,
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TanggapanSegar6.html (4 of 9)13/05/2006 23:43:56
Liberalisme dan Fundamentalisme
jika isteri Ulil jalan-jalan di pusat pertokoan Jakarta dengan hanya memakai celana dalam,
walau itu misalnya sudah menjadi "trendy" atau patut secara sosial. Demikian seterusnya,
dapat dikembalikan pada kesadaran dan hati nurani sebenarnya.
Dengan demikian, sebuah aturan itulah yang seharusnya menjadi ukuran "kepatutan umum".
Manusia pada dasarnya memerlukan aturan, dan aturan itulah yang menentukan kepatutan
umum baginya. Sesuatu yang menyalahi aturan, sesungguhnya tidak patut dikatakan sebagai
"public decency" tapi sebaliknya dilihat sebagai sebuah pelanggaran publik. Untuk itu,
aturan pakaian bagi wanita Muslimah dengan jilbab adalah standar kepatutan umum di
masyakat Muslim. Kalau sekiranya ada yang masih belum memakai, hal ini bukanlah alasan
untuk menafikannya dari status hukum, melainkan karena kelemahan kita masing-masing.
Toh, shalat saja yang merupakan Rukun Islam kedua masih banyak yang belum
melakukannya secara konsisten.
Sekali lagi, ijtihad yang diperbolehkan adalah ijtihad untuk mencari formula teknis,
termasuk cara pemakaian, model, warna, dll. Namun ijtihad dalam upaya "menafikan"nya
dari standar hukum bukanlah sebuah ijtihad, melainkan upaya perusakan "standar" kepatutan
umum (hukum). Sebuah upaya pemahaman yang tidak bertanggung jawab, sekaligus
penempatan kepintaran pada tempat yang melanggar. Sekali lagi, penafsiran dalam Islam
tidak pernah ditujukan sebagai tujuan untuk "menafikan" eksistensi aturan yang ada alias
"pengingkaran".
Isu Kedua: Islam antara Nilai Dasar dan Kreasi Budaya Lokal
Islam hanya satu. Islam dalam istilah Al Qur'an adalah "Laa syarqiyah laa gharbiyah".
Celupan Islam untuk kehidupan itu adalah yang terbaik (Wa man ahsanu minallahi
Shibghah?). Barangkali yang dimaksudkan oleh Ulil adalah "metode pendekatan" itu bisa
beragam, namun Islam itu adalah agama universal yang tidak terkotak-kotak dengan
pengkotakan etnik dan nasionalitas.
Pertanyaan mendasar sebenarnya adalah, bagaimana kita menempatkan Islam ini dalam
kerangka budaya lokal. Islam adalah "muhaemin" (wa muhaeminun 'alaihi), artinya bahwa
Islam itu datang untuk menundukkan semua bentuk "perilaku manusia" yang kerap disebut
tradisi dan budaya, jika ternyata tradisi dan budaya tersebut menentang ajaran Islam yang
datang. Bukan sebaliknya, justeru Islam dianggap sebagai sumber budaya/tradisi lokal itu
sendiri.
Rasanya terlalu naif bagi Allah untuk menurunkan ayat-ayat Al Qur'annya, dan kemudian
ternyata apa yang dikandung oleh ayat-ayat itu hanya sebuah ekspresi budaya lokal.
Pemahaman ini sekaligus menentang tabiat Islam yang universal dan ditujukan untuk seluruh
umat manusia. Akan terlalu kecil "tugas" dan "tujuan suci" Al Qur'an kalau hanya datang
dengan pesan-pesan lokal.
Contoh-contoh yang disebutkan oleh Ulil menunjukkan ketidak peduliannya terhadap
agamanya itu sendiri. Sebab pemberian contoh tidak membeda-bedakan mana sesungguhnya
yang diwajibkan secara fundamental, dan mana yang memang tradisi lokal. Kasus jilbab
tidak mungkin disamakan dengan kasus memakai jubah bagi lelaki, karena memang
statusnya hukumnya dalam agama berbeda. Demikian pula masalah-masalah hukum pidana
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TanggapanSegar6.html (5 of 9)13/05/2006 23:43:56
Liberalisme dan Fundamentalisme
adalah "ceroboh" jika didudukkan dengan hukum memelihara jenggot misalnya.
Pencampuradukkan ini sesungguhnya menunjukkan betapa Ulil memang sudah tidak peduli
dengan masalah-masalah agama. Ulil hanya bersemangat menjustifikasi apa yang dilihat
oleh orang lain sebagai "kebekuan". Jadi sebenarnya Ulil sendiri sepertinya hanya
penyambung lidah dari orang lain (???).
Masalah-masalah hukum pidana (qishas, potong tangan disebutkan oleh ayat al Qur'an dan
rajam oleh hadits, kecuali bahwa penzinah yang belum nikah dihukum dengan didera),
adalah masalah-masalah yang jelas. Sebagai seorang Muslim yang sejati, ijtihad dalam halhal yang digariskan oleh al Qur'an adalah wajar, tapi bukan untuk mengingkarinya.
Malainkan mencari formulasi praktis dalam upaya melakukannya. Sangat disayangkan Ulil
dan pengikut madzhabnya berijtihad justeru untuk menafikan eksistensinya. Dan inilah
bentuk ijtihad yang tidak bertanggung jawab karena ditempatkan pada tempat yang tidak
proporsional.
Memang sekarang ini terasa, seolah upaya penegakan Syariat Islam ternyata hanya dikaitkan
dengan masalah-masalah pidana. Seolah Syariat Islam itu hanya menyentuh potong tangan,
rajam, qishas, dll. Padahal, masalah-masalah pidana dalam Islam adalah masalah-masalah
yang datang kemudian. Artinya, terjadinya potong tangan itu karena kegagalan dalam
"mempraktekkan" Syariat Islam dalam kehidupan masyarakat. Jika perekonomian "dzalim"
yang diterapkan, di mana si miskin semakin miskin, si kaya dan kuat semakin semena-mena,
maka Syariat Islam pasti meng-address masalah-masalah ini terdahulu. Ingat, pada zaman
Umar seorang perempuan (janda) miskin yang banyak anak mencuri. Umar justeru
memarahi tetangganya yang mampu tapi tidak memberi perhatian. Beliau justeru
memberikan "support" agar bisa menghidupi keluarganya tanpa melakukan pelanggaran.
Inilah wajah syariat Islam sesungguhnya. Persepsi orang banyak, termasuk Ulil, tentang
Syariat islam menunjukkan "ketidak pedulian" atau memang "kejahilan" akan agamanya
sendiri.
Masalah jilbab barangkali sudah saya jelaskan terdahulu. Namun masalah baju jubah
(tentunya untuk lelaki) adalah masalah memang tidak pernah dilihat dalam Islam sebagai
suatu keharusan. Memakai janggut adalah "sunnah" sesuai tingkatan perintahnya.
Memakainya adalah "kerelaan" untuk mendapatkan nilai pahala yang lebih, jika mampu.
Yang salah dalam masalah sunnah kalau itu ditingkatkan kepada tingkat "kewajiban". Atau
menilai ketakwaan seseorang dari lebat tidak janggutnya. Masalahnya memang, jangan
semrawut dalam menempatkan "masalah-masalah" umat, di mana janggut kadang dilihat
lebih penting dari "menyelamatkan" seorang pelacur dari pelacuran dengan membangun
sistim perekonomian yang adil.
Saya menilai bahwa keresahan Ulil dan groupnya, karena disangka dengan memberlakukan
Syariat Islam akan membawa kepada keterbelakangan dan keterkungkungan. Pada dasarnya,
jika pelaksanaan semua aturan dilakukan secara proporsional, tepat dan sesuai prosedur
hukum itu sendiri pasti tidak akan dirasakan sebagai suatu beban. Aturan-aturan Islam bukan
bertujuan untuk memberatkan, justeru dihadirkan sebagai "solusi" terhadap berbagai
kebekuan hukum manusia yang ada. Hukum Islam dilandaskan pertama kali kepada
"keimanan". Dan keimanan itu adalah kesadaran tertinggi (highest consciousness) yang
dimiliki seseorang. Untuk itu, persepsi "keterpaksaan" dalam melaksanakan ajaran Allah,
memakai jilbab misalnya, adalah persepsi yang misguided. Seharusnya jika non Muslim
menilai pelaksanaan hukum Islam sebagai keterpaksaan, mungkin masih bisa difahami,
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TanggapanSegar6.html (6 of 9)13/05/2006 23:43:56
Liberalisme dan Fundamentalisme
karena mereka memang "ignorants" dengan ajaran ini. Tapi kalau yang berpersepsi demikian
adalah Ulil, tentu dipertanyakan sampai di mana dia memahami "nature" ajaran agama ini.
Isu Ketiga: Universalisme Manusia
Di sini sekali lagi terlihat sikap kontradiktif dari Ulil. Di satu sisi mengkampanyekan
"keragaman" dan "perbedaan-perbedaan" dalam kerangka universalisme, namun di satu sisi
seolah mengingkari adanya perbedaan dalam universalitas manusia. Manusia itu satu dan
bersumber dari Yang Satu melalui satu manusia (Adam). Tapi Al Qur'an kemudian
menyampaikan kenyataan, "dan Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa", suatu
bentuk keragaman pada masa itu. Artinya, tanpa melupakan "nature" universalisme tersebut,
namun juga perlu diakui adanya perbedaan-perbedaan di antara manusia itu sendiri.
Perbedaan bukan diciptakan untuk bermusuhan dan membenci. Tapi diciptakan untuk
kerangka menejemen kehidupan, menuju kepada arah yang lebih baik. Salah satu bentuk
perbedaan itu, sebagai salah satu kerangka kedinamisan hidup, adalah perbedaan agama dan
keyakinan. Pada semua agama dan keyakinan, ada aturan-aturan formal yang harus
dipegangi sehingga agama dan keyakinan tersebut lestari eksistensinya. Jika tidak, maka
sebuah agama akan lebur dan akhirnya tidak memiliki eksistensi, walau barangkali masih
dianggap esksis di tengah-tengah masyarakat.
Untuk itu, dalam perkawinan misalnya, pada agama Katolik tidak diperkenankan untuk
menikahi pasangan dari agama lain, baik itu seorang pria menikahi wanita beragama lain
ataupun seorang wanita menerima lamaran dari pria beragama lain. Aturan ini juga
sebenarnya ada pada agama Yahudi misalnya, dan seterusnya. Masalahnya, dari sekian
banyak agama yang menganut aturan ini, nampaknya Islamlah yang konsisten dengan
aturannya.
Apakah aturan ini melanggar nilai "universalisme" manusia? Saya yakin tidak sama sekali.
Sedangkan pada tataran logika manusia saja, mencari pasangan itu tidak lepas dari
pertimbangan-pertimbangan masa depan. Seorang Muslim sadar, menjaga generasi agar
tetap Muslim itu adalah sesuatu yang harus. Anak adalah "amanah" yang harus dijaga agar
tetap Muslim di masa depan. Untuk itu, adalah sangat logis jika seorang pasangan akan
mencari pasangannya dengan "wawasan" penjagaan generasi tersebut. Akankah Ulil rela
anaknya yang selama ini telah diajar Al Qur'an, shalat, serta ibadah lainnya dinikahi oleh
seorang pria katolik misalnya. Akankah Ulil sudih melihat cucu dari anaknya yang selama
ini diajarkan shalat, kini ikut beribadah setiap minggu di gereja misalnya? Saya mengajak
Ulil untuk kembali ke nuraninya.
Manusia sesungguhnya bisa dinilai sebagai manusia karena 3 hal; fisikal, spiritual, dan
intelektual. Dalam hal fisik, keragaman juga terjadi. Sehingga secara sosial, jika jujur diakui,
lelaki putih lebih tertarik juga pada wanita berkulit putih, demikian sebaliknya. Walau ada
pengecualian, tapi secara umum dikaui demikian. Demikian pula dalam masalah spiritual,
akan menjadi "guncangan batin" bagi pasangan yang berbeda keyakinan, karena disadari
atau tidak akan terjadi "gesekan-gesekan" dalam rumah tangga. Dari gesekan ini, yang
paling visible untuk menjadi korban (victims) adalah anak-anak itu sendiri. Untuk itulah,
jalan terakhir untuk menyelamatkan anak dari gesekan-gesekan ini adalah dengan
memberikan kebebasan pilihan. Masalahnya, nurani Ulil akankah melihat cara ini sebagai
sebuah "responsibilitas" keagamaan dari sang orang tua?
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TanggapanSegar6.html (7 of 9)13/05/2006 23:43:56
Liberalisme dan Fundamentalisme
Isu Keempat: Pemisahan Politik dari Agama (Secularism)
Ulil mengulangi klaim lama bahwa agama hanyalah urusan pribadi, sedangkan kehidupan
publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat lewat proses demokrasi.
Selanjutnya dengan "arogan" dinyatakan bahwa "Hukum Tuhan" itu tidak ada, walau
tentunya yang dimaksud di sini adalah hukum-hukum Tuhan dalam masalah-masalah
mu'amalah. Yang ada menurutnya, hanya prinsip-prinsip umum yang dikenal dalam kajian
hukum Islam sebagai "maqashid as syari'ah".
Saya dalam hal ini tidak sepenuhnya bertentangan dengan Ulil. Namun kelihatannya Ulil
kebablasan dengan mengatakan secara lantang bahwa "hukum Tuhan" itu tidak ada. Dalam
banyak ayat, Allah menegaskan: "Alaa innal hukma lillah", "afahukmul jaahiliyah
yabghuun?", dst. Artinya, bahwa pada tataran filosfis, hukum Tuhan itu adalah acuan dalam
segala perilaku hamba-hambaNya. Sehingga walaupun tataran praktek, manusia akan
mencari formulasi yang tepat bagi urusan duniawi mereka (antum a'lamu bi umuri
dunyakum), namun mereka akan selalu mengacu pada "kesucian" perilaku serta merasa
diikat oleh nilai-nilai ketuhanan tersebut. Jika tidak, sejujurnya manusia tidak akan pernah
bisa diatur. Manusia bisa menciptakan aturan, tapi manusia lebih pintar mencari dalih untuk
melanggar aturan tersebut. Namun jika diikat oleh nilai-nilai ilahiyah, maka sebenarnya rasa
"accountability" yang diwujudkan dalam bentuk "responsibility" akan lebih mudah terjadi.
Untuk itu, ada aturan-aturan umum yang sebenarnya secara "nature" manusia
menyetujuinya. Misalnya, dalam berdagang tidak "menipu", tidak "monopoli", tidak
melakukan transaksi "riba" dll. Aturan-aturan umum inilah yang kemudian mengikat aturanaturan praktis yang boleh jadi dilahirkan oleh manusia itu sendiri. Dalam upaya
mendapatkan profit yang besar misalnya, tidak perlu melakukan "penipuan dan monopoli"
atau melakukan transaksi-transaksi ribawi. Kiranya keterikatan dengan Allah tadi menjadi
aturan yang mengilhami semua perilaku bisnis selanjutnya. Demikian seterusny.
Dengan demikian, hukum atau aturan Allah tetap menjadi "acuan" (hudan/petunjuk) dalam
proses-proses kehidupan antar manusia maupun dengan alam sekitarnya. Kenyataan ini
adalah kenyataan yang tidak perlu diingkari, karena di AS sendiri nilai Ilahiyah dalam segala
hal menjadi "source of guidance". Sebagai negara sekuler, AS secara formal tidak
memperkenankan beribadatan di tempat-tempat umum, apalagi pemerintahan. Tapi
kenyataaanya, semua unsure pemerintahan mempunyai "chaplainship", atau bimbingan
kerohaniaan. Bagi saya, hanya sikap "malu-malu kucing" saja yang menjadikan orang
mengatakan bahwa agama tidak diperlukan dalam dunia sosial, karena agama adalah
masalah pribadi dengan Tuhan.
Sangat riskan pernyataan Sdr. Ulil tentang tidak adanya hukum Allah dalam masalahmasalah mu'amalah ini. Makan dan minum adalah bagian mu'amalah. Hubungan antar
manusia secara umum adalah bagian mu'amalah. Lalu masuk akalkah jika petunjuk Allah
datang untuk mengatur manusia, tapi dalam melakukan hubungan di antara manusia itu
sendiri Al Qur'an tidak memberikan perhatian? Bagaimana Ulil Akan mendudukkan hukum
"makan daging babi", minum khamar, penyelewengan seksual, dll?
Sebagai ilustrasi, kalau seandainya isteri Ulil menyeleweng dengan seorang pria lain.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TanggapanSegar6.html (8 of 9)13/05/2006 23:43:56
Liberalisme dan Fundamentalisme
Bagaimanakah Ulil menyikapi hal ini? Akankah Ulil memakai adat Makasar, dengan
tusukan badik misalnya? Atau mengikut kepada "public opini" barat yang asal tidak
mengganggu orang ketiga? Atau mungkin Ulil akan terlibat dalam faham "poliyarisme" atau
faham "unlimited love". Artinya, nggak apa-apa asal dilakukan suka sama suka saja.
Bukankah ini sudah menjadi "public decency?" Sekali lagi, saya hanya ingin mengajak Ulil
untuk kembali ke nuraninya. (bersambung…!)
Syamsi Ali (mailto:[email protected])
From: [email protected]
Date: Thu, 19 Dec 2002 12:08:31 EST
To: [email protected]
CC: [email protected], [email protected]
Subject: [mus-lim] K.H. Bisri menjewer Ulil
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TanggapanSegar6.html (9 of 9)13/05/2006 23:43:56
Liberalisme dan Fundamentalisme
Menyegarkan Kembali Pemahaman "Kita"
Terhadap Islam
oleh: Syamsi Ali
(Pemerhati masalah keislaman yang tinggal di New York)
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Isu Kelima: Ketauladanan Rasulullah SAW
Penyataan Ulil sesungguhnya serba gamang dan serba tabrakan (kontradiktif). Di satu sisi
diakui bahwa Rasulullah SAW adalah panutan (uswah) yang "harus" diikuti, namun di lain
pihak Rasulullah dinilai sebagai sosok yang "banyak" kekurangan. Kalaulah Rasul itu adalah
sosok yang "banyak kekurangan", maka kenapa "keuswahan/ketauladan" diharuskan ke
beliau? Untuk apa beruswah ke pribadi yang banyak kekurangannya?
Saya pribadi, bisa menangkap niat baik dari Ulil dalam pemikirannya. Tapi tampak dengan
jelas betapa Ulil "over confidence" dan "lepas kendali" dalam mengekspresikan idenya,
sehingga yang sampai di permukaan justeru, disadari atau tidak, merupakan
"humiliasi" (penghinaan) terhadap "Nubuwah" dan "Risalah" (kerasulan) seorang
Muhammad. Menempatkan Muhammad pada posisi yang tidak "berhati-hati" atau tidak
proporsional, hanya menjadi awal dari pengkhianatan kepada "risalah islamiyah" itu sendiri.
Muhammad SAW memang manusia biasa. Qul Innamaa ana basyarun mitslukum…saya kira
Al Qur'an tegas dalam hal ini. Tapi yang menjadi masalah kemudian, ketika dengan
sembrono dikatakan, bahwa karena Muhammad adalah manusia biasa maka dia "memiliki
banyak kesalahan". Pernyataan ini saya anggap sembrono dan lancing, serta tidak diterima
secara syar'I sekaligus juga kontradiktif dengan basis aqli. Secara syar'I, karena beliau adalah
Rasul yang ma'shuum (terjaga, dan bukannya suci). Kema'shuman beliau tentu terkait
dengan "kemurnian" wahyu yang ditablighkan (disampaikan). Artinya, secara logik tentu
tidak bisa diterima jika Rasul itu banyak melakukan kesalahan, karena dengan demikian
pasti melakukan juga "kesalahan-kesalahan" dalam menyampaikan wahyu tersebut.
Sehingga dengan sendirinya dapat difahami kalau Ulil tidak mengimani "wahyu" secara
utuh, karena memang dari sononya (perantaranya) memang dicurigai membuat banyak
kesalahan.
Selain itu, salah satu tugas utama Rasulullah SAW adalah "mubayyin" dari wahyu yang
diturunkan. Yaitu bertugas memberikan interpretasi, walau interpretasi ini, khususnya yang
berkenaan dengan masalah-masalah duniawi yang tidak disebutkan secara "tegas" dalam
wahyu, sangat kontekstual sifatnya. Jika Rasul berfungsi sebagai "mubayyin", namun pada
saat yang sama banyak bersalah, akan ditempatkan di mana "confidence" keimanan kita
kepada semua yang dituturkan?
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TanggapanSegar6a.html (1 of 5)13/05/2006 23:44:00
Liberalisme dan Fundamentalisme
Contoh negara Madinah adalah contoh idel pada masanya. Inipun diakui oleh Ulil dan orangorang yang tidak mengimaninya sekalipun. Sejujurnya, secara mabda' Ulil setuju kalau
negara Madinah bisa menjadi acuan dalam merancang sebuah negara ideal masa depan. Citacita dan values yang dikandung oleh negara Madinah merupakan ideal sebuah negara
"modern" di masa depan. Tentunya, ketika berbiacara tentang negara Madinah, kita tidak
berbicara tentang sistim transportasi dengan onta, atau situasi umum secara fisik. Tapi nilainilai dasar negara Madinah seharusnya sangat ideal menjadi acuan pembangunan negara
yang menjadi cita-cita umat.
Dengan demikian, semangat untuk mengikuti kemajuan ala barat sekarang ini, tidak perlu
dilakukan dengan mengingkari "Madinah" sebagai negara percontohan. Mencontoh negara
Madinah merupakan ideal yang baik, dan saudah tentu dalam konteks kebutuhan hidup masa
kini. Departemen Agama mengelolah perhajian, tidak perlu tentunya memelihara
sebanyaknya keledai atau onta sebagai alat transportasi, melainkan mengembangkan
teknologi pesawat terbang yang lebih canggih. Maksud saya, mari menghiasi dan
meninggikan bangunan rumah kita, tapi tidak perlu merubuhkannya dari fondasi aslinya.
Karena saya yakin, fondasi Islam inilah yang dapat menjaga kehidupan dari keruntuhan
peradaban yang menyakitkan.
Isu Keenam: Wahyu dan Pemikiran
Wahyu dalam istilah Ulil ada dua macam; verbal dan non verbal. Intinya, wahyu verbal
memang telah selesai, dan seolah dengan demikian, telah usanglah. Sementara wahyu non
verbal, yaitu daya fikir/intelektualitas manusialah yang terus ada dan berkembang. Sehingga,
secara tidak langsung, Ulil ingin mengatakan bahwa tanpa keimanan kita kepada wahyu (Al
Qur'an) pun, kita bisa tertunjuki (guided) karena daya intelektualitas kita yang dinamis dan
berkembang bekerja secara konsisten.
Ungkapan ini kelihatan cantik. Tapi nampak pula "kejahilan" sikap dalam berinteraksi
dengan "Kitab Allah". Wahyu memang telah selesai. Meyakini ketidak sempurnaan
penyampaian wahyu hanya ada pada kalangan masyarakat Syi'ah, yang menurutnya
diteruskan oleh Imam-Imam yang ma'shum tersebut. Walau demikian, bukan berarti wahyu
menjadi usang dan oleh karenanya digantikan posisinya oleh wahyu "non verbal" atau akal
manusia.
Wahyu dan akal adalah dua sisi yang harus saling berinteraksi secara proporsional.
Keberadaan wahyu tanpa didukung oleh akal, hanya akan menjadi bacaan penuh "berkah"
yang kurang membawa "berkah" (makna hidup). Di bulan Ramadhan umat Islam berkali-kali
khatam AlQur'an, namun bacaan itu tidak mampu manjadi "changing power" dalam
kehidupan umat. Maka sebenarnya, wahyu dan kedinamisannya sangat terkait dengan akal
pemikian kita. Wahyu pada dirinya dinamis, namun kedinamisan wahyu tidak efektif tanpa
didukung oleh kedinamisan berfikir. Dan oleh karenanya, Al Qur'an mengatakan "Afalaa
yatadabbaruuna al Qur'an am 'alaa quluubihim aqfaaluha" (Artinya, membaca Al Qur'an
tanpa memahaminya dijuliki dengan ketertutupan jiwa).
Sebaliknya, proporsionalisasi akal manusia sangat ditentukan oleh wahyu dalam rangka
pemahamanyang benar. Akal manusia, seringkali terkait oleh kepentingan-kepentingan
"relatif" yang belum tentu merupakan kebaikan bagi manusia itu sendiri. Akal mangatakan,
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TanggapanSegar6a.html (2 of 5)13/05/2006 23:44:00
Liberalisme dan Fundamentalisme
seseorang menikahi isterinya karena cantik misalnya. Bayangkan 20 tahun kemudian, akal
mengatakan lain, bahwa isteri sudah mulai keriputan, barangkali masanya untuk mencari
yang lebih segar?
Dari sini kelihatan bahwa sebenarnya antara kebenaran "mutlak" (wahyu) dan kebenaran
"relatif" (akal) saling terkait dan tidak perlu saling meniadakan. Pada saat terlihat konflik
antara keduanya, maka kebenaran relatiflah yang akan mencari alternatif kebenaran relatif
yang lain lagi, karena itulah memang menjadi tabiatnya. Namun kebenaran mutlak tidak
mungkin pernah berada pada posisi salah atau usang, karena itu berarti bukan kebenaran
mutlak.
Dalam mengungkapkan makna "kebenaran", Ulil terlalu jauh "ngaco", sehingga secara tidak
langsung, yang ingin dikatakan, sesungguhnya tidak perlu ada agama. Anda Hindu, Budha,
Kristen, atau mungkin seorang Komunis, silahkan dan sama saja. Karena menurut Ulil,
kebenaran itu tidak dilihat sumbernya tapi substansinya.
Ungkapan ini indah, tapi bisakah saya mengatakan, Ulil itu adalah seorang Komunis yang
secara kebetulan punya fikiran yang sama dengan fikiran Islam? Atau kenapa kita semua
perlu agama yang dibawa oleh para Rasul? Kenapa Allah harus mengutus para Rasul untuk
menyampaikan, let say, agama-agama? Tidakkah cukup bagi manusia dengan perbekalan
"akal"nya mencapai kebenaran yang dikehendakinya, atau kenapa kita tidak diciptakan saja,
dan biarkan "akal" kita sendiri yang memproduksi kebenaran masing-masing? Nampaknya
memang Allah "bersalah" menciptakan baju-baju yang berbeda, padahal isinya kan sama?
Maka menurut Ulil, kini sudah masanya baju itu kita sobek bersama-sama, sehingga kita
masing-masing satu dalam ketelanjangan (kesombongan?).
Isu Ketujuh: Islam dan Keadilan
Benar kata Ulil, keadilan itu memang menjadi "sentra" ajaran Islam. Shahadat kita juga
bertujuan menegakkan keadilan dan hanya bisa ditegakkan atas dasar keadilan (shahidallahu
annahu laailaaha illa Huwa….Qaaiman bil qisthi). Aspek-aspek ibadah demikian pula
ditegakkan di atas dasar keadilan. Perhatikan shalat, dimulai dengan takbir dan diakhiri
dengan salam. Artinya, shalat mengandung keadilan antara "'ubudiyah vertikal" dan "relasi
horizontal". Khusyu' bertakbir tapi mengabaikan hak-hak manusia di sekeliling, tetap
diancam dengan neraka 'Wael" (Al Maa'uun).
Namun dalam hal ini, Ulil sekali lagi gamang dan self kontradiktif dalam menyampaikan
pemikirannya. Di satu sisi setuju agar kiranya Islam bisa menjadi "lokomotif" keadilan
dalam masyarakat, namun pada sisi lain dikatakan bahwa Islam itu tidak punya hukum.
Secara akal, pernahkah terbayangkan sebuah keadilan tanpa hukum? Untuk itu, Kyai Ulil,
dihadirkannya "Ahkaan Syar'iyah" ini untuk menopang penegakan keadilan tadi. Cuma
masalahnya memang, karena dalam persepsi Ulil yang terlalu "sesak nafas" oleh realita
kehidupan umat, khususnya yang telah "memisrepresent" dan menyalah gunakan syari'ah",
dan juga karena Ulil "silau" oleh kemajuan ala barat tentunya, menjadikannya seolah-olah
ketika berbicara tentang syariat Islam, yang timbul di benak kemudian hanya "janggut",
"Jilbab", atau mungkin hal-hal pidana; potong tangan, rajam, qishash, dll. Padahal
sejujurnya, syariat itu jauh lebih luas dan dalam dari sekedar seperti itu. Sekali lagi, rajam,
potong tangan, qishash, dan dll., adalah masalah yang kemudian timbul sebagai "akibat".
Yaitu akibat yang ditimbulkan oleh kegagalan dalam menjalankan syariat Islam dalam
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TanggapanSegar6a.html (3 of 5)13/05/2006 23:44:00
Liberalisme dan Fundamentalisme
masalah-masalah perekonomian dan sosial. Orang dipotong tangannya karena mencuri, dan
biasanya (commonly) orang mencuri karena terdesak(??). Sehingga sesuai prosedur hukum,
kalau memang seseorang mencuri karena terdesak yang pada umumnya disebabkan oleh
"ketidak adilan", maka yang menjadi perhatian bukan potong tangannya, tapi masalah
perekonomian. Umar mencontohkan seorang perempuan mencuri, justeru tetangganya yang
dimarahi.
Sekali lagi, Ulil sangat sembrono menafsirkan "man araada dunya f'alaihi..dst…" dengan
mengatakan bahwa manusia tidak perlu "hukum Tuhan". Dengan kata lain, manusia tidak
membutuhkan Tuhan dalam hidup ini, karena sebenarnya dengan kekuatan intelektulitas
manusia bisa menyelesaikan semua permasalahannya. Bahkan lebih "tajam" atau mungkin
"arogan", Ulil mengatakan bahwa keyakinan kepada hukum Tuhan tidak lebih dari sebuah
"pelarian" (eskapisme). Barangkali Ulil harus merenung sejenak kembali dengan pernyataan
ini. Justeru saya yang melihat bahwa "pelemparan ide" Ulil ini merupakan pelarian
(eskapisme) dari Psycho" silaunya terhadap kemajuan material ala barat. Keinginan Ulil
untuk dianggap maju, dengan pengertian barat, mejadikannya malu-malu mengakui
kebenaran agamanya. Sehingga agama menjadi relatif, dan sebenarnya agama tidak ikut
campur menentukan benar atau tidak, bermanfaat atau bermudharat, dari suatu masalah.
Akallah yang menjadi penentu segalanya.
Isu Kedelapan: Keragaman
Keinginan keras Ulil untuk mewujudkan idealnya dalam kehidupan menjadikannya bersikap
lucu dan tidak konsisten. Di satu sisi, katanya, menghargai perbedaan karena perbedaan
adalah sebuah keniscayaan. Namun di satu sisi, Ulil juga mengatakan "no we nor them",
yang ada hanya "we all".
Betul, Islam mengajarkan universalisme. Islam mengatakan, manusia itu satu karena berasal
dari Yang Maha Satu. Tapi dengan "hikmah" yang diketahuinya, Dia menjadikan manusia
ini memiliki keragaman yang tidak terhitung. Keragaman suku, bangsa, rupa, bahasa, warna
kulit, dan juga kecenderung dalam mengekspresikan "sense of divinity" (ketuhananatau
keagamaan).
Ketika terjadi penggolongan "hizbu syaithaan" dan sebaliknya "hizbu Allah" maka sekali
lagi, semua ini ditentukanh oleh kebenaran yang diyakini masing-masing. Ketika anda
menanyakan kepada seorang Katolik, akankah seorang Muslim masuk Syurga? Dia dengan
tegas akan mengatakan, saya diajarkan oleh agama saya bahwa yang tidak mengimani Yesus
sebagai "penebus" tidak akan selamat (masuk neraka). Demikian, kalau anda bertanya pada
seorang Muslim, yang mengimani Islam, bukan seorang Ulil yang mengambil keimananya
dari semua sumber, akan mengatakan, siapa yang syirik kepada Allah dengan menyembah
seorang Rasul bernama Isa, akan masuk neraka. Demikian seterusnya.
Dengan demikian, akan terasa mustahil untuk meniadakan perbedaan asuamsi ini, kecuali
kalau memang kita telah mengidap penyakit kepura-puraan alias kemunafikan. Ketika anda
hadir dalam dialog ketunanan, semua mengatakan bahwa Tuhan itu sama., dan oleh
karenanya kita tidak perlu berbeda. Padahal, sejujurnya jika kita mengkaji agama masingmasing, ditemukan sebuah ketegasan dalam konsep keauhidan. Untuk itu, penafsiran ayat
"Innaddina 'indallah al Islam" menjadi sangat rancu dan sangat sembrono.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TanggapanSegar6a.html (4 of 5)13/05/2006 23:44:00
Liberalisme dan Fundamentalisme
Bagi saya pribadi, mari konsisten dengan adanya perbedaan atau keragaman ini. Namun
keragaman atau perbedaan-perbedaan yang ada tidak dijadikan sebagai landasan
permusuhan. Sebaliknya, meniadakan perbedaan sebenarnya justeru sebuah sikap yang
menentang sunnah Tuhan, karena Tuhan sendirilah yang kemudian menciptakan perbedaan
itu. "aw syaa Allah lahadaakum ajma'iin" (Kalau Allah berkehendak, niscaya Dia akan
menunjukimu semua).
Agama yang dikehendaki oleh Ulil adalah agama yang tidak terikat oleh wahyu. Inti dari
sebuah agama adalah "maslahah" yang sesuai kebutuhan. Dan untuk ini, rajanya adalah
manusia sendiri bukan Tuhan. Dalam persepsi Ulil, sudah masanya "Maliki Yawmiddin"
diganti dengan "Kitalah pemilik Hari Pembalasan" toh karena kita sendiri yag=ng
menentukan benar atau salahnya suatu perbuatan. Sebagaimana berkali-kali disebutkan
sebelumnya, hukum Tuhan itu tidak ada karena manusia sendirilah yang punya urusan.
Akankah tidak lebih jujur, jika Ulil mengatakan bahwa Tuhan memang tidak diperlukan
karena Tuhan hanya menjadi beban dalam hidup ini. Sehingga dengan pernyataan yang jujur
seperti ini, akan ketahuan siapa sesungguhnya Ulil.
Bagi Muslim sejati, Islamlah yang akan membawa kepada kehidupan yang dinamis, bahagia
dan penuh berkah. Itu karena wahyu yahg telah di bawa oleh Rasulullah SAW adalah acuan
yang dinamis dengan didukung oleh akal pemikiran yang terbuka dan dinamis pula.
Kemajuan pemikiran apapun yang dihasilkan oleh manusia, tidak akan kemana-mana,
karena pasti sumber dan muaranya juga kembali kepada hukum yang mutlak, Hukum Tuhan.
Sehingga mengingkari hukum tuhan adalah sama mengingkari "akal" kita sendiri karena
keduanya saling terkait ibarat dua sisi mata uang.
Wamaa taufiiqii illa billah.
M. Syamsi Ali
(bagian pertama)
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TanggapanSegar6a.html (5 of 5)13/05/2006 23:44:00
Liberalisme dan Fundamentalisme
Komentar Untuk Syamsi Ali Atas
Komentarnya Untuk Ulil
oleh: ASF Alkaf
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Sangat menarik membaca tulisan Saudaraku Syamsi Ali tentang komentarnya untuk Ulil.
Dan memang isi yang dipaparkannya adalah sesuatu yang patut kita teladani. namun
demikian, kita pun perlu mencermati, bahwa isi paparannya itu tidaklah patut terap untuk
semua keadaan.
Komentar Saudaraku tentang "redundant" hanyalah betul untuk suatu kaidah bahasa yang
baku. Namun ini tidak selalu baku untuk tataran keilmuan Balaghoh. Dalam Ilmu Balaghoh,
redundant itu terkadang suatu keperluan dalam berbahasa. Misalnya kita bicara: " terus...,
terus..., dan terus" Ini suatu redundant, tetapi disuatu saat redundant itu suatu keperluan.
Dalam kasus Ulil mengatakan "penafsiran non-poliferal" yang dikatakan redundant oleh
Syamsi; mungkin belum tentu begitu yang dipikirkan oleh Ulil. Aku punya dugaan seperti
ini: Karena suatu kata penafsiran telah dimengerti ke banyak methoda, ada penafsiran ayat
dengan ayat, ada penafsiran maudlui, ada penafsiran maknawy... dan sebagainya. maka
kemungkinan Ulil ingin menekankan bahwa penafsiran yang lain dari methoda penafsiran
yang "baku" diterima oleh sebagian kalangan, yang dipandang membuat sebuah kaji
penafsiran menjadi berputar-putar dalam siklus tradisional. Untuk itulah, barangkali, Ulil
mengeluarkan sebuah perkataan yang redundant.
Komentar Syamsi dan ajakannya "kembali kepada nurani" adalah sebuah kebenaran yang
memang sejalan dengan semangat sabda Kanjeng Nabi Mulia, "mintalah fatwa kepada
dirimu". Tetapi ini bukanlah sebuah kebenaran mutlak pada implementasi di lapangan. Ini
sangat bergantung kepada siapa sebuah fatwa diarahkan: Kepada dirinya, ataukah kepada
orang lain di luar dirinya?
Sebagai contoh Imam Malik (semoga Allah mengasihinya) tatkala dikomentari perihal
anjing, mengapa fatwanya bertolak-belakang dengan kesukaan pribadinya. Beliau
berkomentar bahwa ini untuk umum, bukan untuk dirinya.
Begitupun keteladanan Kanjeng Mulia, bahwa banyak hal-hal yang pribadi untuk beliau,
beliau tidak publikasikan untuk umum.
Ya, suatu hal yang perlu kita secara arif mengkaji kembali, sejauh manakah "ukuran nurani
pribadi" dengan "ukuran kapasitas orang lain".
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TanggapanSegar7.html (1 of 2)13/05/2006 23:44:05
Liberalisme dan Fundamentalisme
Namun demikian, suatu saran aku untuk Ulil adalah, bahwa fatwa untuk orang lain pun tidak
selalu baik untuk dibicarakan di publik. karena ada sebagian kasus yang sifatnya
perseorangan, bukan keperluan publik. Paling tidak: belum saatnya untuk dipublikkan, nanti
ada saat yang tepat untuk dipublikkan; untuk ke sana tentu kita memerlukan sebuah prosesproses yang menjembatani yang perlu dilakukan secara arif.
Aku berfikiran, bahwa Ulil memikirkan sesuatu yang "ideal"... hati kecilku mengakui bahwa
banyak pendapat Ulil yang sudah aku gelisahkan.. tetapi inilah kelebihan Ulil, dia sudah
maju lebih depan untuk mengemukakannya.
Alasanku, mengapa aku masih terhalangi untuk berbicara terbuka seperti Ulil, karena fakta
dunia masih tidak adil dalam bersikap. Bila aku kemukakan misalnya masalah kebolehan
perkawinan campur, maka di dunia masih ada kecurangan-kecurangan yang akan
memanfaatkan isu ini sebagai kesempatan untuk menghantam/menjajah suatu golongan atas
golongan yang lain. Maka sebelum Aku melakukan hal ini, aku berfikir bukankah sebaiknya
kita menetralisir pikiran-pikiran yang kotor dulu, yang sedang diidap oleh seluruh umat
beragama dalam cara memandang antar satu kepada yang lain.
Di sinilah aku mendahulukan untuk menetralisir pikiran-pikiran yang kotor yang
disemangati, misalnya, oleh perang salib. Bila kita sudah membabat usungan dendam
kesumat perang bangsat ini, maka kita akan memasuki fase selanjutnya, untuk menyajikan
fleksibelnya ajaran islam. untuk hal ini aku dahulukan dulu persoalan mu'amalah, seperti
riba, pidana, kenegaraan, dan kedudukan non-muslim dengan muslim dalam bernegara.
Selanjutnya yang lebih mendekati pribadi: masalah kesejajaran antar agama, dan bahwa
Tuhan tidak pernah berambisi memiliki "jumlah Pemuja" yang ditargetkan. Selanjutnya baru
memasuki relung-relung hubungan antar pribadi. Mungkin Ulil, disarankan, untuk
mendefinisikan kembali langkah-langkah pemunculan ide-idenya dalam kancah pemikiran
publik ini.
Wallahu a'lam
From: "Muhammad.Faqih" <[email protected]
Date: Fri, 27 Dec 2002 14:42:57 +0000
Subject: [kibar] FWD: [kmnu2000] Komentar Untuk Syamsi Ali
Reply-To: [email protected]
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Please direct any suggestion to Media Team
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Etc/TanggapanSegar7.html (2 of 2)13/05/2006 23:44:05
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
HOME LAND SECURITY: SENJATA MAKAN TUAN?
M. Syamsi Ali
Pengaruh media dalam menentukan cara pandang setiap orang demikian hebat, sehingga
fakta yang hitam putih sekalipun dapat diputar balik sesuai pesan sponsor. Peristiwa 11
September misalnya difahami, secara langsung atau tidak, korbannya terbatas kepada non
Muslim. Sebaliknya, bahkan orang-orang Islam dimanipulasi sehingga seolah bagian dari
pelaku kejahatan. Konsekwensinya, berbagai aturan yang dikeluarkan oleh Dewan
Kongres maupun Senat sejak persitiwa 11 September hingga kini, sesuai laporan CAIR
(Council on American-Islamic Relations), telah membuahkan tidak kurang dari 60.000
pelecehan terhadap kaum Muslim dan warga AS keturunan arab. Selain itu, hingga kini
masih ribuan warga Muslim, mayoritasnya keturunan Arab dan Asia Selatan, yang
ditahan dengan berbagai alasan, termasuk dicurigai ada kontak dengan "pelaku", atau
masalah keimigrasian, tanpa pernah melalui proses pengadilan.
Kenyataan ini sesungguhnya adalah senjata yang, dirasakan atau tidak, telah memakan
tuan. Semua tahu, Amerika Serikat adalah negara yang secara prinsip menghormati
kebebasan, hak-hak asasi termasuk hak beragama. Yang lebih penting, Amerika Serikat
dikenal sebagai negara yang tidak saja demokratis, tapi juga menyokong dan
memperjuangkan, dengan segala dayanya, proses demokratisasi di berbagai kawasan.
Sehingga terjadinya tekanan-tekanan kepada warganya sendiri, apalagi yang dilakukan
lewat proses hukum yang dibuat, adalah perbuatan "illegal" dan merupakan
"pengkhianatan" terhadap nilai dasar (basic value) Amerika sendiri.
Peranan media dalam menentukan arah berfikir para pengambil kebijakan di Amerika
Serikat begitu dominan. Benar kata orang: "Di dunia ketiga, siapa yang menguasai militer
dialah yang menguasai kebijakan. Tapi di dunia maju, siapa yang menguasai media,
dialah menguasai arah kebijakan". Kebebasan media di mana pun ternyata masih pada
tataran wacana, sehingga media seringkali berbicara sesuai pesan pemegang saham.
Tragedy yang menimpa Amerika Serikat 11 September tahun lalu, sesungguhnya tidak
saja musibah yang menimpa non Muslim di negara ini, sehingga yang merasakan
kesedihan hanya mereka yang bukan Muslim. Seluruh warga Amerika, bahkan seluruh
manusia yang memiliki hati kecil, tidak terlepas warga Muslim di negara ini merasakan
kepedihan yang sama. Bahkan tidak berlebihan dikatakan jika kaum Muslimin
sesungguhnya bersedih lebih dari warga lainnya karena empat alasan:
Pertama: Serangan teroris seperti ini adalah perlakuan yang tidak diterima secara akal
manusia. Apapun dalil di belakangnya, serangan ini tidak memiliki basis logika.
Sehingga kaum Muslim yang selalu dimotivasi untuk menggunakan akal pemikirannya
tidak akan bisa menerima perlakukan semacam itu.
Kedua: Serangan teroris jelas merupakan pelanggaran besar terhadap ajaran agama yang
diyakininya. Agama Islam, tidak saja datang mengajarkan kedamaian hidup tapi juga
menciptakan perdamaian dalam kehidupan manusia. Peperangan yang pernah terjadi
sepanjang sejarah agama Islam, tidak lain ditujukan untuk menghapus kendala-kendala
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Security.html (1 of 3)13/05/2006 23:44:11
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
kedamaian dalam hidup, temasuk berbagai kezaliman manusia. Sehingga serangan
tersebut merupakan pelanggaran terhadap keyakinan kaum Muslim yang secara
fundamental meyakini agama yang damai (al-Islam)
Ketiga: Serangan teroris tersebut telah memakan banyak korban, termasuk jumlah besar
dari kalangan orang-orang Islam. Diberitakan bahwa dari sekitar 3000 (data terakhir)
yang meninggal, 700-an adalah warga Muslim. Sayang, oleh media besar, hal ini jarang
atau tidak pernah dipublikasikan.
Keempat: Yang paling menyakitkan bagi kaum Muslim adalah tuduhan yang kemudian
segera dikaitkan dengan Islam. Oleh karena tuduhan serangan tertuju kepada orang-orang
Islam, maka Islam dengan sedemikian hebat dimanipulasi, sehingga nampak seolah Islam
menjadi sumber kekerasan tersebut. Hal ini semakin memperkuat dugaan selama ini
bahwa Islam memang identik dengan kekerasan.
Kepedihan yang dirasakan kaum Muslim Amerika ternyata tidak selesai dengan
berlalunya berbagai kejadian besar setelah itu, termasuk kenyataan untuk menerima
penderitaan saudara-saudaranya di Afganistan yang semakin terhimpit menanggung
"akibat" peperangan terhadap para teroris. Kendati secara resmi Pemerintah Amerika
menafikan hubungan antara Islam/Muslim dan serangan teroris ini, namun umat Islam
harus menerima kenyataan pelecehan dalam berbagai hak-hak sipilnya.
Kenyataan pahit yang lain, bahwa kaum Muslim Amerika terkadang terpaksa untuk
menyesuaikan diri secara radikal dengan kebijakan Pemerintahan Amerika, khususnya
dalam kebijakan luar negeri dan lebih khusus lagi kebijakan luar negeri Amerika di
Timur Tengah. Bahwa di satu sisi kita adalah Muslim dan hidup di negara yang umat
Muslim kenali menjamin bahkan menjadi pelopor kebebasan dan hak-hak asasi. Namun
sebagai warga Amerika, mereka harus menerima kenyataan bahwa kebijakan pemerintah
negaranya justeru cenderung mengabaikan nilai-nilai (values) tersebut. Sepanjang sejarah
konflik Palestina-Israel, Amerika selalu memberikan dukungannya kepada Israel,
walaupun nampak di hadapan mata kasat bahwa Israel adalah "penjajah" dan menginjakinjak hak-hak asasi bangsa Palestina. Sehingga dukungan Amerika terhadap Israel, atas
nama apapun, juga merupakan pelanggaran dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai
dasarnya. Warga Muslim sebagai bagian integral dari bangsa Amerika terkadang
"memaksakan" diri untuk menerima kenyataan pahit ini. Akbatnya, tumbuh semacam
"hidden-hypocrisy" (kemunafikan terselubung). Di satu sisi cinta dan bangga dengan
negaranya, namun di sisi lain sakit hati karena kebijakan "double standard" tersebut.
Jika kenyataan ini berlanjut tanpa ada upaya nyata dari Pemerintahan Amerika untuk
membenahinya maka Amerika bisa kehilangan kepercayaan selaku negara demokratis.
Bahkan tidak menutup kemungkinan jika Amerika dicap oleh pihak lain sebagai negara
yang "berwajah dua", yaitu negara yang memperjuangkan hak-hak asasi dan kebebasan di
berbagai tempat, termasuk di Irak, Kuba, Korea Utara, China, dll. Tapi di satu sisi,
Amerika masih mendukung atau minimal berlepas tangan dari berbagai kediktatoran di
berbagai kawasan, termasuk di beberapa negara Muslim dan Timur Tengah. Dan yang
lebih penting dari semua itu, ternyata Amerika belum mampu dan naïf memberikan
perlidungan terhadap hak-hak asasi dan kemerdekaan kepada warganya sendiri.
M. Syamsi Ali
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Security.html (2 of 3)13/05/2006 23:44:11
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
New York, 15 Mei 2002
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Security.html (3 of 3)13/05/2006 23:44:11
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
UMAT DAN PENJAJAHAN GLOBAL
M. Syamsi Ali
Di era globalisasi dan informasi sekarang ini, tak dapat disangkal bahwa dunia terasa
semakin menyempit. Ketika terjadi sesuatu di perkampungan terpencil yang jauh di
seberang sana di republik kita, sesungguhnya penduduk AS dan penduduk di belahan
dunia lainnya mengetahuinya jauh lebih awal ketimbang penduduk sekitarnya itu sendiri.
Perputaran informasi yang meng-global, menjadikan manusia berada dalam transparansi
yang nyata. Didukung oleh perangkat informasi yang telah masuk desa, termasuk
internet, menjadikan dunia kita saat ini betul-netul mengalami ketertelanjangan yang
nyata.
Oleh karena itu, maka untuk menghindari tindakan yang meludahi wajah sendiri, tak ada
jalan lain bagi manusia yang memang bermartabat kecuali menjaga "kejujuran" (asShidq) dalam perilakunya. Masyarakat dunia saat ini, dengan didukung oleh perangkat
informasi, semakin cerdas dan terdidik serta cenderung terbuka dan menghargai
keterbukaan, tidak dan tak akan bisa lagi dibodohi dengan berbagai kedustaan. Selain itu,
secara alami mereka pula akan semakin kritis dengan perkembangan yang ada.
Sayangnya, ternyata informasi global juga melakukan "pembodohan" di satu sisi pada
sebagian anggota umat, dengan konsekwensi terbentuknya cara pandang atau persepsi
mengikut kehendak orang lain. Dengan kata lain, globalisasi informasi merupakan
wahana penjajahan (persepsi) bagi sebagian anggota masyarakat. Perangkat-perangkat
informasi, khususnya media massa, sedemikian hebat melemparkan ide-ide baik dalam
bentuk berita, cerita, hingga kepada film-film aksi atau animasi sekalipun, telah mampu
menjajah intelektualitas sebagian umat, sehingga terlahirlah cara pandang murahan yang
sebenarnya sama sekali tidak bermutu.
Sebagai contoh kecil, betapa sebagian masyarakat silau dengan makana, minuman, atau
pakaian ala barat. Di republik kita, ketika seorang memasuki sebuah restoran "Mc
Donald" atau KFC misalnya, serta merta akan merasa terangkat martabatnya, menjadi
kaya sesaat, terpandang, dan seolah berada pada dunia yang lebih modern dan maju.
Sementara restoran semacam ini di AS sendiri dianggap sebagai restoran rendahan yang
hanya menyajikan "junk food" (makanan sampah), yang sebenarnya secara "value"
sangat rendah. Inilah akibat langsung dari sebuah penjajahan persepsi, di mana terjadi
pembalikan realita sedemikian mudah karena cara pandang telah diputar balik oleh
informasi global.
Berbagai permasalahn global juga telah ditentukan oleh perangkat media dan para
sponsornya, termasuk dalam memandang berbagai konsepsi, terorisme misalnya.
Terorisme, sebagaimana dilangsir oleh media massa saat ini saya simpulkan sebagai
"sebagian kekerasan fisik yang ditujukan kepada orang-orang sipil tanpa justifikasi atau
pembenaran hukum". Saya mengatakan "sebagian" karena walau terorisme ditafsirkan
sebagai kekerasan fisik yang ditujukan kepada masyarakat sipil, namun ternyata tidak
semua kekerasan fisik yang menimpa umat manusia saat ini dikategorikan sebagai bentuk
terorisme. Sebagai contoh, kekerasan yang menimpa masyarak Palestina misalnya, oleh
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/jajah.html (1 of 4)13/05/2006 23:44:19
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
mayoritas media massa tidak dikategorikan sebagai terorisme, walau pada saat yang sama
kekerasan yang menimpa warga Israel dikategorikan sebagai terorisme. Pembantaian
masyarakat Muslim di India, Kashmir, Chechnya, Kosovo, dll. oleh mayoritas media
massa belum dikategorikan sebagai tindakan terorisme, walau korban kekerasan tersebut
tidak kurang dari korban WTC.
Cara pandang terhadap terorisme seperti ini, dalam pandangan saya, adalah sangat
sempit, parsial dan cenderung tidak adil. Sebab sesungguhnya, jika saja ada sifat jujur
yang tersisa pada sebagian manusia, maka terorisme adalah semua hal yang menjadikan
manusia berada dalam kesengsaraan dan penderitaan, termasuk penyebab-penyebabnya.
Dalam hal ini, maka rekayasa ekonomi dunia yang cenderung "memiskinkan", dan
memang kenyataannya hanya melahirkan "kemiskinan" pada mayoritas penduduk dunia,
juga adalah bentuk terorisme yang sangat berbahaya.
Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, dalam Laporan Tahunannya (1999) menyatakan
bahwa umat manusia hanya akan bisa memasuki abad baru, abad ke 21, dengan aman dan
sejahtera jika telah dimerdekakan dari dua hal. Pertama, freedom from hunger
(kemerdekaan dari rasa lapar). Dan kedua, freedom from fear (kemerdekaan dari rasa
takut). Artinya, rasa takut dari yang menakutkan (terror), langsung atau tidak, banyak
ditentukan oleh bebas atau tidaknya manusia dari "rasa lapar" tadi.
Pernyataan Annan ini, jauh sebelumnya juga telah disinyalir oleh Kitab Suci umat Islam,
Al qur'an al Karim, di S. al Qurays ayat 4, bahwa sebuah dunia global yang di dalamnya
terjadi lintas business (kesibukan/rihlah)) antar bangsa, akan melahirkan dua bahaya
besar, yaitu "juu'" (lapar) dan "khauf" (takut). Dan untuk mengatasi semua ini, diperlukan
komitmen ketaatan bersama untuk mengabdi kepada Allah SWT (maka hendaklah
mereka menyembah Tuhan Rumah ini, yang memberikan makan dari kelaparan dan
memberikan rasa aman dari ketakutan).
Dengan demikian, globalisasi perdagangan dunia sekarang ini, yang sedemikian kuat
dikontrol oleh kaum kapitalis, dan hanya memberikan kemakmuran pada segelintir
manusia yang sebenarnya secara materi telah makmur, serta menelantarkan dan
mengakibatkan "kemiskinan" yang lebih besar kepada sebagian besar rakyat dunia yang
memang telah miskin, adalah bentuk "terror" yang perlu diperangi. Jika tidak, maka
upaya memerangi terorisme fisik (kekerasan) dapat dianggap sebagai upaya yang parsial
dan tidak menyentuk akan permasalahan yang sesungguhnya.
Sayangnya, bahwa persepsi umat manusia, termasuk dunia Islam telah dibentuk untuk
memahami konsep terorisme oleh dunia informasi secara sempit, parsial dan tidak adil.
Sehingga timbul sikap dan perilaku yang kontradiktif dan lucu, khususnya dari kalangan
dunia Islam. Bahwa sebenarnya mereka sedang diteror dalam bentuk "terorisme
perekonomian" namun di satu sisi menyatakan perang terhadap terorisme. Pada saat yang
sama, sebagian yang lain mengaku memerangi terorisme, namun pada saat yang sama
melakukan teror serta menjadi sponsor terorisme "ekonomi" (harboring economic terror).
Namun yang paling berbahaya dari semua ini adalah penanaman cara pandang beragama
pada kalangan umat Islam, seperti cara pandang meyakini ajaran agama pada umat dan
pengikut agama lain, khususnya dunia barat dan AS. Bagi selain umat Islam, agama tidak
lain adalah "means of fulfilling spiritual needs" (wahana pemenuhan hajat spiritual).
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/jajah.html (2 of 4)13/05/2006 23:44:19
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Metode pemenuhan hajat spiritual ini, dalam pandangan beragama umat lain, adalah
dengan melakukan ritual-ritual keagamaan pada tempat dan waktu-waktu tertentu.
Sementara dalam urusan-urusan yang dikenal sebagai "secular matters" (urusan duniawi),
peranan agama secara total diingkari.
Konsepsi beragama yang pincang atau parsial ini, yang dalam dunia ilmiyah disebut
dengan konsep sekularisme, sedemikian kuat berpengaruh dalam cara pandang beragama
sebagian umat Islam. Sehingga, setiap ada upaya untuk mengembalikan peranan agama
Islam pada posisi yang sesungguhnya sebagai "hudan linnaas (petunjuk sempurna bagi
kehidupan) justeru dianggap tindakan "ekstrim dan radikal" dan justeru dianggap
"ancaman" bagi kehidupan. Padahal, pengambilan Islam sebagai agama kehidupan atau
petunjuk hidup yang "syamil-kamil-mutakamil" (menyeluruh, sempurna dan saling
menyempurnakan) adalah bagian dari keimanan itu sendiri. Sehingga, sikap
pembangkangan terhadapnya dapat dianggap sebagai tindakan "pemurtadan" yang tidak
disadari.
Oleh sebagian besar umat Islam sendiri, penerapan syariat Islam bagi umat Islam
dianggap ancaman dan bukannya solusi. Padahal, jika saja mereka memahami ajaran
agamanya secara proporsional dan sungguh-sungguh, pasti ditemukan bahwa penerapan
ajaran Islam yang sempurna dalam kehidupan justeru akan menjadi solusi praktis yang
paling efektif dari berbagai "penyakit" umat, baik pada tataran individunya apalagi pada
tataran sosialnya. Pengambilan Islam secara parsial, setengah hati, hanya melahirkan
"penyakit" yang disebut "split personality" (personalitas yang terbelah). Artinya, seorang
Muslim yang mengambil ajaran agamanya secara sebahagian-sebahagian (ba'dhy)
menjadikannya memiliki kepribadian yang terpecah. Di satu sisi dia adalah seorang
Muslim yang taat, bermoral, berkepribadian positif, karena khusyu beribadah jika berada
di depan Multazam misalnya, namun pada sisi lain dia adalah seorang Muslim yang
korup dengan berbagai penyelewengan dan sikap arogansi jabatan.
Untuk itu, untuk memperbaiki moral dan perilaku umat ini, termasuk perilaku korup para
pejabatnya, diperlukan pengambilan Islam secara sempurna dan menyeluruh. Bahwa
disamping perlunya penanaman akidah, penguatan ibadah serta penghayatan nilai-nilai
Islam (Islamic values) dalam perilaku dan sikap umat pada tataran individunya, juga
menjadi tuntutan ajaran agama Islam untuk diterapkan dalam berbagai aspeknya pada
tataran sosial, berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, umat meyakini bahwa
beragama secara "kaafah" adalah solusi bagi multi krisis yang dihadapi bangsa kita, dan
bukan sebaliknya dinilai sebagai ancaman bagi kemajuan pembagunan.
Sayangnya, era informasi global sedemikian kuat telah menjajah cara pandang sebagian
umat Islam, sehingga dalam mempersepsikan ajaran Islam sekalipun harus disesuaikan
dengan cara pandang orang lain dalam beragama. Inilah bentuk-bentuk penjajahan dunia
modern saat ini yang telah mendunia dengan perangkat-perangkat informasi yang hampir
menelanjangi semua lini kehidupan manusia. Dan oleh sebab itu, oleh karena pergerakan
globalisasi adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan, seharusnya umat ini
mampu membawa diri pada posisi yang matang, kuat serta mampu menangkis tendangan
bola api yang dilakukan oleh arus informasi global. Jika tidak, maka umat Islam dalam
memasuki abad ke 21 ini hanya akan menjadi objek perbudakan dalam tatanan dunia
modern.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/jajah.html (3 of 4)13/05/2006 23:44:19
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
New York, 29 Agustus 2002.
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/jajah.html (4 of 4)13/05/2006 23:44:19
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
KITA DAN AL QUR'AN
M. Syamsi Ali
Dalam berinteraksi dengan Al qur'an, umat Islam saat ini berada di antara 4 situasi:
Pertama, tersebutlah dalam sebuah cerita bahwa sepasang suami isteri dari sebuah desa
berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka tahu, bahwa mutu emas di
tanah Arab itu sangat tinggi serta harganya pun relatif lebih murah. Untuk itu, mereka
pun sepakat untuk membeli kalung dan seperangkat perhiasan lainnya. Sekembali ke
kampungnya, mereka menyimpang emas-emas tersebut dalam sebuah laci yang indah dan
dikunci rapat-rapat. Mereka melakukannya karena menganggap bahwa emas tersebut
adalah sesuatu yang berharga, memiliki nilai besar (value) sehingga perlu dijaga dengan
disimpan di tempat yang aman. Akhirnya, emas tersebut tidak pernah dipakai atau
dinikmati sebagai perhiasan yang berharga karena kekhawatiran akan menurunkan nilai
atau value dari emas yang dilikinya.
Kedua, sepasang suami isteri dari kampung lain melancong ke kota New York, kota
metropolitan, kotanya dunia. Setiba di New York, mereka mencari tempat untuk
menyewa mobil. Setelah deal selesai, sang penyewa meminta sebuah "map" (peta) kota
New York. Mereka sadar, sebagai musafir yang asing (stranger traveler) mereka
memerlukan peta agar tidak tersesat dalam perjalanan di kota yang baru bagi mereka.
Sayangnya, selama perjalanan peta (map) tersebut hanya dipegang, minimal dilihat tapi
tidak difahami secara serius petunjuk-petunjuknya. Akhirnya, mereka berjalan dan
berjalan, namun tujuan yang ingin dicapainya tidak pernah dicapainya. Bahkan mereka
berjalan ke arah yang sesat, terperangkap dalam sebuah rimba yang penuh binatan buas.
Ketiga, seorang pemuda kampung datang ke kota. Setiba di kota, sang pemuda diajak ke
pantai oleh seorang temannya yang kebetulan penyelam. Sesampai di pantai tersebut,
sang pemuda pertama kali menemukan kotoran-kotoran, sampah-sampah dan hanya pasirpasir dan batu-batuan. Terbetiklah dalam benak pemuda kampung, betapa bodohnya
pemuda kota yang selalu menyelam di lautan yang hanya penuh kotoran dan sampah
tersebut. Sang pemuda kampung tidak sadar, betapa dalam lautan tersembunyi mutiara
dan berbagai benda berharga lainnya. Sayangnya, sang pemuda hanya mampu melihat
pinggiran lautan yang tidak terpelihara secara baik sehingga penuh dengan kotoran dan
sampah dan tidak mampu menangkap berbagai rahasia keindahandi dalamnya.
Keempat, Seorang pensiunan hansip dari sebuah kampung terpencil pergi melancong ke
kota London. Selama menjadi hansip, dia selalu taat dengan aturan-aturan yang selama
ini dihafalnya, termasuk menghafal lafaz pancasila dan pembukaan uud 45-nya. Sebagai
law obedient person, dia sudah bertekad untuk tidak melakukan lagi hal-hal lain yang di
luar hafalannya. Setiba di London, sang hansip diperhadapkan kepada aturan-aturan baru
yang selama ini belum ada di pemikirannya. Maka, ia menolak untuk mentaati kota
London karena menurutnya, aturan-aturan tersebut tidak sesuai dengannya yang selama
ini difahaminya.
Ikhwati,
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/kita.html (1 of 3)13/05/2006 23:44:24
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Kira-kira begitulah sekarang ini. Kita dalam berinteraksi dengan Al Qur'an berada pada
posisi di atas, atau minimal berada pada salah satu kelompok manusia as sebagaimana
digambarkan di atas:
Pertama, kita sadar bahwa Al Qur'an itu sangat berharga, memiliki nilai yang sangat
tinggi. Al Qur'an itu kita hargai dan cintai. Namun pernghargaan dan kecintaan kita
terhadap Al Qur'an, ibarat kecintaan dan penghargaan seorang haji terhadap emasnya.
Kita membeli Al Qur'an yang paling fancy, yang paling mahal dan paling indah.
Sayangnya, Al Qur'an hanya dijadikan perhiasan yang tersimpan di dalam laci, dikunci
karena dianggap suci. Al Qur'an justeru karena keyakinan kesuciannya, jarang tersentuh.
Paling tidak, hanya disentuh disaat akan membaca Yaasiin, karena mungkin seseorang di
antara anggota keluarga ada yang sakit keras (sakarat) atau mungkin karena seseorang
meninggal dunia.
Kedua, kita sadar bahwa kita semua adalah musafir menuju peristirahatan akhir. Kita
berjalan menuju alam kekal. Dan di dalam perjalanan ini, kita membutuhkan peta (map),
petunjuk jalan agar kita tidak tersesat. Dengan peta, kita minimal akan mudah
menemukan jalan yang terefektif dan aman. Jika tidak, maka mungkin saja, kita tersesat
ke dalam hutan rimba yang penuh srigala dan binatan buas lainnya. Dunia ini adalah
ganas. Dunia ini penuh dengan perangkap dan tipu muslihat. Kalaulah dalam perjalanan
ini, kita tidak cermat mencari jalan aman, sesuai dengan petunjuk jalan yang baku, maka
kita dapat terjatuh dalam perangkap dan tipu muslihat duniawi. Sayangnya, peta atau
petunjuk jalan tersebut, hanya dipegang dan tidak dipelajari, atau minimal dibaca tapi
tidak difahami. Sehingga rasanya, perjalanan kita serba semrawut tidak terarah, karena
peta yang kita miliki hanya justeru menjadi beban dalam perjalanan.
Ketiga, kurangnya keimanan dan keilmuan kita, menjadikan kita kadang tergesa-gesa
mengambil sebuah kesimpulan keliru terhadap Al Qur'an. Arogansi manusia tidak jarang
berkata, Al Qur;an itu hanya penuh dengan beban-beban ajaran yang menghambat
kemajuan hidup atau kehidupan yang dinamis. Al Qur'an menghambat kemajuan dunia.
Al Qur'an telah usang. Al Qur'an hanya akan semakin menghambat kehidupan yang
modern. Ibarat pemuda kampungan yang diajakn jalan ke pinggir pantai pertama kali.
Padahal, Al Qur'an adalah lautan yang tak akan pernah habis terselami. Di dalamnya
tersimpan segala sesuatu yang berharga. Di dalamnya ada emas, mutiara dan berbagai
barang mulia dengan valuenya yang sangat tinggi. Sayang otak kampungan
menganggapnya justeru hanya "hambatan" kemajuan kehidupan yang dianggap modern.
Keempat, pada semua negeri ada aturan. Aturan adalah sebuah keniscayaan. Negeri
tanpa aturan tak lebih dari sebuah negeri dari kumpulan hewan-hewan. Manusia yang
hidup dalam sebuah negeri, tanpa ingin diatur oleh sebuah aturan, mereka tak lebih dari
hewan-hewan yang berbentuk manusia. Kita hidup di negerinya Allah. Kita menumpang
mencari makan, sedang melancong (musafir) dalam negeriNya. Maka, akankah diterima
sebagai sebuah kewajaran, di saat kita mengatakan bahwa aturan Al Qur'an tak bisa
diterima karena "aku" sendiri sudah punya aturan? Jika tetap berpendirian demikian,
silahkan cari negeri, silahkan cari dunia, di mana anda dapat mengklaim sebagai dunia
yang Tuhan tidak perlu campur tangan. Ciptakanlah dunia baru anda, yang di dalamnya
Tuhan memang tidak perlu campur tangan. Selama anda masih ada di planet sekarang,
planet yang anda merasa belum pernah menciptakannya sendiri, jangan coba-coba
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/kita.html (2 of 3)13/05/2006 23:44:24
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
berprilaku "kuno" menganggap punya aturan-aturan sendiri. Karena di mana pun anda
pergi, setiap pemilik negeri akan membuat aturannya sendiri. Dan dunia seluruhnya
(al'aalamiin) adalah negeriNya Allah. Untuk itu, adalah sangat tidak masuk akal dan tidak
realis
Ikhwati,
Lalu di manakah saya, anda dan kita semua? Masih masih-masing kita melakukan
introspeksi. Buka akal dan hati, hancurkan keegoan yang selalu angkuh dan bersikap
"fir'aunis" ala Ramsis II.
Wassalam,
Syamsi Ali
New York
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/kita.html (3 of 3)13/05/2006 23:44:24
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
AL FURQAN AL HAQ (THE TRUE FURQAN)
SEBUAH KEDUSTAAN DAN PENGAKUAN KEGAGALAN
M. Syamsi Ali
"Sungguh besar kalimat (dusta) yang mengalir dari mulut-mulut mereka,
namun tak lain apa yang diucapkan kecuali kebohongan" (S. Al Kahf: 5)
Akhir-akhir ini ummat Islam di berbagai belahan dunia kembali diresahkan oleh penulisan
sebuah buku yang kemudian diklaim sebagai "tandingan" Al Qur'an. Judul buku tersebut juga
diambil dari salah satu sifat Al Qur'an, yaitu "Al Furqaan" (pembeda antara kebenaran dan
kebatilan). Saya sendiri menerima buku ini sekitar Juli 2001 lalu dan pada awalnya saya
menganggapnya sesuatu yang tidak berharga. Sebagai seorang Muslim yang hidup di tengahtengah non Muslim, propaganda murahan seperti ini merupakan hal biasa. Membaca,
menyaksikan dan bahkan mengalami kebohongan seperti ini sudah merupakan santapan
sehari-hari. Sikap saya ini juga merupakan sikap sebagian besar pemimpin komunitas
Muslim di AS, yang menganggapnya sebagai pembuktian ayat Allah: "Meraka hendak
memadamkan (cahaya agama) Allah dengan mulut-mulut mereka, dan Allah tetap
menyempurnakan cahayaNya meskipun orang-orang kafir membenci" (Ash Shaff: 8).
Dalam pengantarnya di buku tersebut, kedua penulis yang tidak pernah menyebutkan nama
lengkapnya, Al Saffee dan Al Mahdy, tidak menyebutkan buku ini sabagai tandingan Al
Qur'an dan hanya menyatakan seruannya: "Kepada bangsa-bangsa Arab khususnya dan
ummat Islam umumnya di seluruh dunia: Salam sejahtera dan rahmat Allah Yang Berkuasa
atas segala sesuatu". Namun dalam pengatarnya di Amazon.com, penulis dengan terus terang
mengatakan bahwa buku ini adalah "the most plausible challenge to the Arabic Quran in
history" (Tantangan yang paling nyata terhadap Al Qur'an berbahasa Arab dalam sejarah)?
Bagi penulis, buku ini ditujukan kepada ummat Islam dan ummat Kristiani sekaligus, untuk
tujuan berbeda. Untuk ummat kristiani ditujukan agar mereka mendapatkan bukti-bukti
substansial akan kebenaran kitab injil, sekaligus mendapatkan tanda tanya besar akan
kesahihan Al Qur'an. Sementara untuk umat Islam ditujukan agar mereka mendapatkan
pelajaran dan pengalaman bercahaya. Dalam "press release" yang dikeluarkan oleh Baptist
Press tanggal 27 Mei 1999, ketika awal penerbitan buku yang dipersiapkan selama tujuh
tahun ini, Al Mahdy mengatakan dengan penuh optimisme: "Hendaknya ummat Kristiani di
seluruh penjuru dunia mempersiapkan diri untuk menyambut kehadiran ummat Islam yang
akan murtad ke tengah-tengah mereka".
Setelah membaca sekali lagi buku tersebut, ternyata sangkaan saya selama ini semakin kuat
bahwa buku ini sesungguhnya tidak lebih dari sebuah "sampah" yang tidak berharga. Ditinjau
dari segi bahasa apalagi dari segi substansi, buku ini hanya menggambarkan iri hati dan
kebencian yang sangat terhadap kebenaran, yang oleh Al Qur'an digambarkan sebagai
"hasadan min 'indi anfusihim" (dengki dari dalam diri mereka sendiri).
Buku ini sesungguhnya membuka "borok lama" bahwa memang ada di antara manusia yang
senang mencipta buku, yang kemudian diakui sebagai wahyu Tuhan. Dengan terbitnya buku
al furqaan al haq ini, terbukti pula satu ayat Al Qur'an yang menyatakan "mereka menulis
kitab dengan tangan-tangan mereka, kemudian mengatakan bahwa ini (kitab)dari sisi Allah.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/truefurqan.html (1 of 4)13/05/2006 23:44:30
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
(Yang dengannya), mereka membelih ayat-ayat Allah dengan harga yang murah". Kitab ini,
diakui penulis, bukan Al Qur'an dan bukan pula Injil. Melainkan ciptaan baru yang diakui
sebagai petunjuk (wahyu) untuk menerangi jalan manusia. Dengan demikian, ini merupakan
pembuktian karakter dasar mereka yang senang mencipta-cipta buku dan diakui sebagai
wahyu dari Allah. Tidakkah ini cukup menjadi bukti bahwa kitab suci yang mereka yakini
saat ini adalah juga ciptaan manusia seperti ini?
Penulis secara jujur mengakui ketinggian bahasa Al Qur'an. Namun sangat keliru ketika
mengatakan bahwa bahasa buku ini menyerupai bahasa Al Qur'an. Kutipan ayat-ayat Al
Qur'an secara sepotong-sepotong dalam buku ini, dapat dirasakan dengan "dzawq
lughawi" (rasa bahasa), betapa berbeda dengan kata-kata sisipan dari penulis. Secara
gramatik misalnya, penulis sesungguhnya tidak menyadari bahwa penyerupaan
"BismillahirRahmaniRahim" dengan "Bismilaab-alkalimah-ar ruuh-al ilaah al waahid al
awhad" merupakan pengingkaran terhadap keyakinan dasar mereka sendiri. Karena kata
benda dalam kalimat ini hanya "Aab" saja. Sementara semua kata selanjutnya adalah kata
sifat dari Aab. Tanpa disadari penulis telah mengingkari konsep trinitas yang meyakini
Bapak sebagai Dzat (benda), anak sebagai dzaat (benda) dan Roh kudus sebagai dzaat
(benda). Sementara dalam kalimat ini, hanya Aab (bapak) saja sebagai benda, selebihnya
hanya sifat dari Aab (tuhan bapak).
Sangat disayangkan, di tengah gencarnya upaya-upaya mengharmoniskan hubungan antar
pemeluk agama, saat ini masih ada orang yang tidak jujur pada dirinya sendiri. Justifikasi
kebenaran dengan kedustaan merupakan sebuah kanaifan akan kebenaran itu sendiri.
Justifikasi kebenaran kitab suci dengan kedustaan hanyalah indikasi akan kenaifan kitab suci
itu sendiri dalam kebenarannya. Saya menilai, buku ini sesungguhnya adalah sebuah
pengkhianatan terhadap injil. Karena kenaifan injil inilah maka diperlukan kitab lain untuk
menunjuki jalan manusia.
Akhirnya, saya menghimbau kiranya semua ummat beragama perlu menanamkan kejujuran
pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin Anda dapat mengajak kepada keimanan, sementara
anda menebarkan kedustaan? Saya sepertinya bisa memahami sikap Salman Rusydi karena
dia memang tidak meyakini sebuah agama. Tapi saya justeru terheran dengan sikap
pemimpin agama yang berjiwa kerdil.
Bagi ummat Islam, anggap saja kasus ini sebagai krikil kecil dalam perjuangan, yang justeru
mempertebal keimanan. Percayalah, kebenaran Kalam Allah tak akan ternodai secuil pun
dengan kedustaan para pendusta: "Sungguh Kami menunrunkan "Dzikra (Al Qur'an) ini, dan
sungguh Kami pula yang menjaganya" dan "Katakanlah: Sesungguhnya walau manusia dan
jin berkumpul untuk membuat yang tulisan yang menyerupai Al Qur'an ini, niscaya mereka
tidak akan bisa membuat yang serupa dengannya, walaupun di antara mereka saling
membantu (dalam kebatilan)" demikian jaminan Allah.
Date: Wed, 20 Mar 2002 16:16:58 EST
From: [email protected]
To: <[email protected]>, <[email protected]>, <[email protected]>
Assalamualaikum Wr.Wb.
Seperti yang dilaporkan oleh majalah Tempo edisi minggu ini, 18-24 Maret, saat ini sedang
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/truefurqan.html (2 of 4)13/05/2006 23:44:30
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
beredar sebuah buku dengan judul "The True Furqan". Buku ini memang ditulis dengan
sengaja untuk mengaburkan bacaan kaum Muslimin terhadap Kitab Suci yang sesungguhnya
dan yang palsu. Hal ini dibuktikan dengan pengantar yang menyebut "Kitab ini ditujukan
secara khusus kepada kaum Muslimin dan Arab".
Saya pribadi telah menerima buku ini sejak sekitar 3 bulan silam. Buku ini diterbitkan tanpa
menyebutkan nama penerbit, namun menyertakan alamat pos dan tanpa nomor telepon.
Setelah mengecek lebih jauh, ternyata sosok utama di balik dari terbitnya buku ini adalah Dr.
Shorrosh, lawan debat Ahmad Deedat tentang Ketuhanan Jesus pada masa lalu. Jika anda
membuka alamat di bawah ini, anda dapati siapa dan bagaiamana awal dari tumbuhnya buku
tersebut.
Yang pasti, buku ini memang ditujukan sebagai pemalsuan Kitab Suci Al Qur'an. Berbagai
surah dinamai dengan surah-surah Al Qur'an seperti An Nur, Al Fatihah, dll. "Bismillah"
pada setiap surah diganti dengan "Bismil Abi, Wal Ibni, Waruuhil Quds" (dengan nama
bapak, anak dan roh qudus).
Untuk itu, bersama ini saya himbau kepada semua untuk berhati-hati. Saya yakin, terbitnya
buku ini tak lebih dari sebuah pembuktian akan tantangan Allah "dan jika kami ragu dengan
apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami, maka datanglah satu surah (pada ayat lain 10
surah, dan pada ayat lain disebutkan semisal) yang serupa, dan ajaklah seluruh pembantumu
selain Allah, jika kami jujur". Dan sudah pasti, jika anda tahu bahasa Arab dengan grammar
(nahwu sharaf dan balaghah) serta mempergunakan logika serta "common sense" saja, anda
akan menemui buku ini tak lebih dari "rabbish" yang sudah kumuh di pinggir jalan.
Sayang sekali, pada website Sorrosh ditemukan komentar-komentar, entah direkayasa, bahwa
buku ini seolah lebih baik dari Al Qur'an. Padahal, di antara komentator tersebut terdapat
pastor terkenal, seperti Billy Graham. Namun memang, logika seringkali tersembunyi di
balik "dendam" terhadap nur Ilahi yang semakin menyilaukan mata-mata hati manusia,
khususnya di bagian barat bumi ini.
Coba buka alamat ini, dan pastikan bahwa anda cukup landasan untuk memahami tulisantulisan Shorrosh. Lihat di bagian bawah website ini, ada "project khusus" untuk mengaburkan
Islam yang sesungguhnya para politisi Amerika dengan nama "Project Informing
Washington" on the truth of Islam. Ternyata, dalam tulisan-tulisan Shorrosh disebutkan
bahwa tanpa disengaja, saat ini kita (Amerika) telah kedatangan invasi yang membahayakan.
Itulah "ru'bah" (ketakutan) dan "hasadan" (dengki) yang telah tertanam dalam dirinya
terhadap kebenaran ini.
http://islam-in-focus.com/TheTrueFurqan.htm
Akhirnya, "mereka ingin memadamkan cahaya Allah, namun Allah menolak hingga
cahayaNya terang benderang, walau orang-orang musyrik itu membenci".
Wassalam,
M. Syamsi Ali
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/truefurqan.html (3 of 4)13/05/2006 23:44:30
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/truefurqan.html (4 of 4)13/05/2006 23:44:30
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
PEDOMAN AL QUR'AN DALAM PENDIDIKAN ANAK
M. Syamsi Ali
Tulisan sederhana ini memaparkan secara singkat pandangan, pedoman dan dasar-dasar
pendidikan bagi anak. Saya sadar sepenuhnya bahwa tulisan ini sangat rendah ke-ilmiyahannya, jika keilmiyahan itu didasarkan pada tumpukan rujukan berbagai ahli dalam
berbagai bidang.
Alasan penulis sangat sederhana. Pertama, penulis ingin membangun kesadaran baru
bahwa dasar-dasar keilmuan yang ditampilkan oleh Kitab Allah dan Sunnah RasulNya
belum dan tak akan tertandingi oleh konsep keilmuan manapun juga. Perhatikan beberapa
ayat Al Qur'an yang menantang mereka yang mengaku pintar untuk menciptakan suatu
konsep yang dapat menyaingi Kitab kebenaran ini. Lihat misalnya QS. Al Baqarah: 23.
Kedua, penulis juga ingin membangun sebuah kesadaran kiranya kaum intelektual
Muslim, khususnya kaum muda, terbiasa mengolah otak/ijtihad dalam memahami dan
menjabarkan konsep-konsep dasar keilmuan dalam berbagai bidang yang tertuang secara
jelas dalam Kitab Sucinya. Tidak sebagaimana sering terjadi dimana kaum intelektual
terperosok ke dalam kutipan-kutipan orang lain, yang belum tentu beri'tiqad baik
terhadap agama Allah. Belajar menegakkan independensi intelektual ummat adalah aset
besar masa depannya.
Namun hal ini tidaklah berarti bahwa ummat Islam tidak mau atau tidak perlu mengambil
pendapat orang lain. Melainkan belajar untuk tidak selamanya bergantung pada pendapat
orang lain. Dengan demikian, ummat ini betul-netul merasakan kemerdekaan yang
sesungguhnya, termasuk kemerdekaan intelektual. Bahkan harapan kita, ummat ini harus
menjadi pedoman keilmuan bagi ummat manusia sebagaimana masa-masa lalunya yang
indah.
PENDIDIKAN ANAK
Dalam Islam, berbicara mengenai pendidikan tidak dapat dilepaskan dari asal muasal
manusia itu sendiri. Kata "pendidikan" yang dalam bahasa arabnya disebut
"tarbiyah" (mengembangkan, menumbuhkan, menyuburkan) berakar satu dengan kata
"Rabb" (Tuhan). Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan adalah sebuah nilai-nilai
luhur yang tidak dapat dipisahkan dari, serta dipilah-pilah dalam kehidupan manusia.
Terpisahnya pendidikan dan terpilah-pilahnya bagian-bagiannya dalam kehidupan
manusia berarti terjadi pula disintegrasi dalam kehidupan manusia, yang konsekwensinya
melahirkan ketidak-harmonisan dalam kehidupannya itu sendiri.
Menurut Al Qur'an, asal muasal komposisi manusia itu terdiri dari tiga hal yang tidak
terpisahkan: 1. Jasad. 2. Ruh. 3. Intelektualitas. Lihat QS. As Sajadah: 7-9).
Semua manusia adalah sama dalam komposisi ini. Mereka semua tercipta dan dilahirkan
ke alam dunia ini dengan dasar penciptaan dan kehidupan yang tidak berbeda.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/didik.html (1 of 6)13/05/2006 23:44:35
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Kesimpulan ini telah ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam berbagai haditsnya, al:
"Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas dasar fithrah. Hanya saja, kedua
ibu bapaknya yang menjadikannya yahudi, nasrani, atau majusi" (hadits)
"Setiap hambaKu Aku ciptakan dengan kesiapan menjadi lurus (baik).
Hanya saja, syetan-syetan menjadikan mereka tergelincir (dalam
kesesatan)" (hadits Qudsy).
Bahkan Al Qur'an itu sendiri dengan tegas menyatakan bahwa komposisi penciptaan yang
sempurna ini (ahsanu taqwiim) dan diistilahkan dengan "fithrah Allah" (insaniyah/
kemanusiaan), tidak mungkin terganti atau terubah. Lihat QS: Ar Ruum: 30. Hakikat ini
terkadang pula disebut "Sunnatullah" (hukum Allah). Lihat QS: Al Ahzaab: 33, QS:
Faathir: 35, dan QS: Al Fath: 48.
ARTI DAN FUNGSI PENDIDIKAN
Jika dasar kemanusiaan (komposisipenciptaan/fithrah) manusia tidak dapat berubah dan
berganti, lalu apa arti dari suatu pendidikan?
Telah kita singgung terdahulu bahwa pendidikan atau tarbiyah berasal dari kata "rabaayarbuu-riban wa rabwah" yang berarti "berkembang, tumbuh, dan subur". Dalam Al
Qur'an, kata "rabwah" berarti bukit-bukit yang tanahnya subur untuk tanam-tanaman.
Lihat QS: Al Baqarah:265. Sedangkan kata "riba" mengandung makna yang sama. Lihat
QS: Ar Ruum:39.
Dengan pengertian ini jelas bahwa mendidik atau "rabba" bukan berarti
"mengganti" (tabdiil) dan bukan pula berarti "merubah" (taghyiir). Melainkan
menumbuhkan, mengembangkan dan menyuburkan, atau lebih tepat "mengkondisikan"
sifat-sifat dasar (fithrah) seorang anak yang ada sejak awal penciptaannya agar dapat
tumbuh subur dan berkembang dengan baik. Jika tidak, maka fithrah yang ada dalam diri
seseorang akan terkontaminasi oleh "kuman-kuman" kehidupan itu sendiri. Kumankuman kehidupan inilah yang diistilahkan oleh hadits tadi dengan
"tahwiid" (mengyahudikan) "tanshiir" (menasranikan) dan "tamjiis" (memajusikan). Pada
hadits yang lain disebutkan "ijtaalathu as Syaithaan" (digelincirkan oleh syetan).
Kuman-kuman kehidupan atau meminjam istilah hadits lain "duri-duri
perjalanan" (syawkah) tentu semakin nyata dan berbahaya di zaman dan di mana kita
hidup saat ini. Masalahnya, apakah kenyataan ini telah membawa kesadaran bagi kita
untuk membentengi diri dan keluarga kita? "Wahai orang-orang yang beriman, jagalah
diri-diri kamu dan keluarga-keluarga kamu dari api neraka" (QS: At Tahriim:6).
AL QUR'AN DAN PENDIDIKAN ANAK
Ummat Islam saat ini nampaknya membuktikan prediksi Rasulnya lima belas abad yang
lalu. Dalam haditsnya Rasulullah menjelaskan: "Suatu saat kamu akan menjadi seperti
buih di tengah samudra luas. Terombang-ombang oleh ombak serta mengikut ke arah
mana jalannya angin. Para sahabat bertanya: Apakah karena kami sedikit ketika itu wahai
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/didik.html (2 of 6)13/05/2006 23:44:35
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Rasulullah? Tidak, namun kamu ditimpa penyakit "wahan". Para sahabat bertanya:
Apakah penyakit wahan itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Hubbu ad Dunya wa
karaahiyat al Maut (Cinta dunia dan benci mati)" (hadits).
Cinta dunia yang berlebihan, sebagai konsekwensi logis dari tertanamnya faham
materialisme dalam diri kita melahirkan sikap-sikap yang seolah-olah kita akan hidup
seribu tahun lagi (abadi). Lihat QS: Al Humazah: 2-3.
Sikap yang demikian pula yang menyebabkan kita menyikapi pendidikan anak-anak kita
seolah-olah tak ada aspek lain dalam hidupnya kecuali memburu dunia dengan segala
manifestasinya. Sehingga kita bersikap buta hati terhadap kisah Ibrahim dan Ya'quub
untuk menghayati bagaimana mereka telah mendidik anak keturunan mereka. Al Qur'an
mengisahkan, Ibrahim dan Ya'qub senantiasa mewasiatkan anak-anaknya tentang agama
ini. "Sungguh Allah telah memilih bagimu agama ini, maka janganlah sekali-kali kamu
mati kecuali telah berislam secara benar" (QS: Al Baqarah: 132). Bahkan Ya'qub AS
disaat-saat menjelang maut menjemputnya, menyempatkan diri bertanya kepada anakanaknya: "madzaa ta'buduuna min ba'di" (Apa gerangan yang akan kamu sembah setelah
kematianku)? Lihat QS: Al Baqarah:133.
Gambaran Ibrahim dan Ya'qub AS di atas mengajarkan betapa besar perhatian mereka
terhadap kelestarian kesadaran beragama bagi anak-anak mereka. Sebaliknya, ummat
Muslim saat ini seolah-olah telah mengganti ayat "maadza ta'buduuna" (apa yang kamu
sembah) dengan kata-kata "maadza ta'kuluuna" (apa yang akan kamu makan setelah aku
meninggal). Kepedulian terhadap kelangsungan kesadaran beragama anak-anak kita
sangat minim sekali. Sehingga sebagai ilustrasi, seringkali jika anak kembali dari sekolah
yang ditanyakan adalah nilai berapa yang kamu dapatkan? Sementara shalatnya tidak
terpedulikan sama sekali.
Perhatikan kebanggaan seorang orang tua bila anaknya meraih suatu predikat kesarjanaan
(Dr, MBA, dst). Namun alangka sedikitnya yang menyadari kiranya predikat-predikat
tersebut dapat menjadi jembatan kebahagiaan anaknya dunia-Akhirat, serta menjaganya
dari jilatan api neraka. Kesadaran kita terhadap doa sapu jagad kita (memohon kebajikan
dunia-Akhirat) masih berada di sekitar lingkaran lisan kita. Sementara dalam fakta sikap
kita menunjukkan bahwa kita menghendaki dunia semata.
PENDIDIKAN ISLAM SIFATNYA TERPADU
Telah disebutkan terdahulu bahwa Islam memandang pendidikan sebagai sesuatu yang
identik dan tidak terpisahkan dari asal muasal penciptaan manusia/ fithrah/ insaniyah
manusia itu sendiri, yakni terdiri dari tiga hal: Jasad, Ruh, dan Intelektualitas. Dengan
demikian, pendidikan dalam pandangan Islam meliputi tiga aspek yang tidak dapat
dipilah-pilah: 1. Pendidikan jasad (tarbiyah jasadiyah), 2. Pendidikan Ruh (tarbiyah
ruhiyah), 3. Pendidikan intelektualitas (tarbiyah 'aqliyah).
Ketiga bentuk pendidikan tersebut tidak mungkin dan tak akan dibenarkan pemilahannya
dalam ajaran Islam. Sebabnya , sebagaimana telah dijelaskan, pendidikan berhubungan
langsung dengan komposisi penciptaan/kehidupan manusia. Memilah-milah pendidikan
manusia, berarti memilah-milah kehidupannya.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/didik.html (3 of 6)13/05/2006 23:44:35
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Hakikat inilah yang menjadi salah satu rahasia sehingga wahyu dimulai dengan perintah
"Iqra" (membaca), lalu dikaitkan dengan "khalq" (ciptaan) dan "Asma Allah" (Bismi
Rabbik). Lihat QS: Al 'Alaq: 1-5. Maksudnya, bahwa dalam menjalani kehidupan
dunianya manusia dituntut untuk mengembangkan daya inteletualitasnya dengan suatu
catatan bahwa ia harus mempergunakan sarana "khalq" (ciptaan) sebagai object dan
"Asma Allah" (ikatan suci dengan Nama Allah/hukumnya) sebagai acuan. Bila ketiganya
terpisah, akan melahirkan, sebagaimana telah disinggung terdahulu, suatu ketidakharmonisan dalam kehidupan manusia itu sendiri.
DASAR-DASAR PENDIDIKAN ANAK DALAM AL QUR'AN
Dasar-dasar pendidikan anak dalam Islam dapat disimpulkan dari berbagai ayat, antara
lain QS: Luqman: 12 - 19 dan QS: As Shafaat: 102, serta berbagai hadits Rasulullah
SAW.
Kisah Luqman yang oleh sebagian ulama digelari dengan "al hakiim" atau "Luqman yang
bijaksana" mengajarkan bahwa "sifat bijak" bagi seorang pendidik termasuk para orang
tua adalah suatu keharusan. Luqman yang memang secara khusus dikaruniakan ni'mat
"hikmah" oleh Allah itu menyadari sepenuhnya bahwa anak adalah bagian dari
keni'matan Ilahi yang menjadi cobaan (fitnah) atasnya. Oleh sebab itu ia menanamkan
pendidikan kepada anaknya sebagai manifestasi kesyukurannya terhadap Allah Pemberi
ni'mat. (ayat: 12)
Berikut ini adalah dasar-dasar pokok pendidikan anak yang tersimpulkan dari berbagai
ayat Al Qur'an dan Sunnah Rasul:
1. Mananamkan nilai "tauhidullah" dengan benar.
2. Mengajarkan "ta'at al waalidaen" (mentaati kedua orang tua), dalam batas-batas
ketaatan kepada Pencipta, sebagai manifestasi kesyukuran seseorang kepada Ilahi.
3. Mengajarkan "husnul mu'asyarah" (pergaulan yang benar) serta dibangun di atas
dasar keyakinan akan hari kebangkitan, sehingga pergaulan tersebut memiliki akar
kebenaran dan bukan kepalsuan.
4. Menanamkan nilai-nilai "Takwallah".
5. Menumbuhkan kepribadian yang memiliki "Shilah bi Allah" yang kuat (dirikan
shalat.
6. Menumbuhkan dalam diri anak "kepedulian sosial" yang tinggi. (amr ma'ruf-nahi
munkar).
7. Membentuk kejiwaan anak yang kokoh (Shabar).
8. Menumbuhkan "sifat rendah hati" serta menjauhkan "sifat arogan" .
9. Mengajarkan "kesopanan" dalam sikap dan ucapannya.
Kesembilan poin tersebut di atas disimpulkan dari QS. Luqmaan: 12-19.
10. Sedangkan QS: As Shafaat: 102, mengajarkan "metodologi" pendidikan anak.
Ayat ini mengisahkan dua hamba Allah (Bapak-Anak), Ibrahim dan putranya
Ismail AS terlibat dalam suatu diskusi yang mengagumkan. Bukan substansi dari
diskusi mereka yang menjadi perhatian kita. Melainkan approach/cara pendekatan
yang dilakukan oleh Ibrahim dalam meyakinkan anaknya terhadap suatu
permasalahan yang sangat agung itu.
Kisah tersebut mengajarkan kepada kita bahwa metode "dialogis" dalam
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/didik.html (4 of 6)13/05/2006 23:44:35
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
11.
12.
13.
14.
15.
16.
mengajarkan anak sangat didukung oleh ajaran Islam. Kesimpulan ini pula
menolak anggapan sebagian orang kalau Islam mengajarkan ummatnya otoriter,
khususnya dalam mendidik anak.
Pendidikan hendaknya dimulai sejak sedini mungkin, sehingga tertanam kebiasaan
dalam diri anak sejak awal. Kebiasaan ini akan didukung oleh kesadaran penuh
jika anak telah mencapai tingkat balighnya. Dalam hadits nabi dijelaskan:
"Suruhlah anak-anak kamu shalat jika mereka berumur tujuh tahun. Dan pukullah
mereka jika telah berumur sepuluh tahun (dan masih tidak melakukannya)"
Pukulan yang disebutkan pada hadits tersebut hendaknya ditafsirkan sesuai
dengan situasi di mana kita hidup. Pertama, tentu pukulan tersebut bukanlah sutau
pukulan yang sifatnya "siksaan". Melainkan pukulan yang bersifat "didikan"
semata.
Kedua, pukulan ini tidak selamanya diartikan dengan pukulan "fisik". Melainkan
dapat pula diartikan dengan pukulan "psykologis" atau kejiwaan. Sebagai misal,
jika anak kita senang piknik di hari libur, dan hal ini sudah menjadi kebiasaan
keluarga, maka jika mereka tidak melakukan kewajiban agamanya (shalatnya)
maka kebiasaan ini dapat dihentikan sementara. Menghentikan piknik bagi anakanak yang sudah terbiasa dengannya dapat menjadi pukulan bathin bagi mereka.
Tegakkah shalat berjama'ah di rumah tangga masing-masing. Rasulullah SAW
bersabda: "Sinarilah rumah kamu dengan shalat" Menghidupkan shalat berjama'ah
di rumah memberikan pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan kejiwaan
seorang anak.
Tanamkan Al Qur'an dalam diri anak sejak sedini mungkin. Al Qur'an adalah
Kalam Ilahi yang bukan saja sebagai petunjuk (hudan), melainkan juga sebaga
"Syifaa limaa fis Shuduur" (obat terhadap berbagai penyakit jiwa), dan
"Nuur" (cahaya/pelita hati). Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang tidak
ada Al Qur'an di hatinya maka ia seperti rumah runtuh" (hadits)
Membiasakan praktek-praktek sunnah dalam kehidupan keseharian. Misalnya
makan dengan membaca "Bismillah" dan doa, mengakhirinya dengan "Al
Hamdulillah" dan doa, masuk/keluar rumah dengan salam, dll. Menghapalkan doadoa sejak sedini mungkin memberikan pengaruh besar dalam perkembangan
kejiwaan anak.
Yang terakhir dan yang terpenting adalah hendaknya para orang tua menjadi
"tauladan" (uswah) dalam kehidupan anak-anak mereka. Hidupkan agama Allah
dalam diri kita, keluarga kita, insya Allah dengan izinNya anak-anak akan tumbuh
dengan kesadaran keagamaan yang tinggi. Pepatah Arab mengatakan "Perbaiki
dirimu, niscaya manusia akan baik denganmu". Jangan seperti apa yang biasa
terjadi. Orang tua mengantarkan anaknya ke sekolah Al Qur'an, agar anaknya
belajar shalat, namun orang tuanya justeru mengabaikan Al Qur'an serta shalat di
rumah tangganya juga seringkali terabaikan.
Memperbanyak doa. Bagaimanapun juga usaha manusia sifatnya terbatas. Namun
dengan pertolongan Allah, sesuatu dapat berubah di luar perkiraannya. Oleh sebab
itu, doa dalam hidup kita sangat penting untuk menunjang usaha-usaha yang kita
lakukan.
PENUTUP
Demikian sekilas tentang pendidikan anak dalam pandangan Islam. Saya yakin bahasan
ini masih jauh dari kesempurnaan, sebab berbicara mengenai pendidikan anak berarti
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/didik.html (5 of 6)13/05/2006 23:44:35
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
berbicara pula sejak awal kandungan seorang ibu. Bahkan sejak seorang pasangan
masing-masing mencari pasangannya telah terpatri usaha-usaha untuk membentuk suatu
generasi yang baik, yaitu generasi Islami dan Qur'ani.
Akhirnya hanya kepadaNya semata kita bergantung dan berserah diri. Semoga Allah
senantiasa menanamkan kesadaran kepada kita semua untuk mendidik anak-anak kita
menjadi harapan masa depan ummat. Yang terpenting, demi keselamatan mereka dan kita
dari jilatan api neraka. "Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kamu dan
keluarga-keluarga kamu dari api neraka".
Bersihkanlah jalanan (kehidupan) anak kita dari kuman-kuman yang merusak. Tanamkan
benteng penjaga ketakwaan dan keimanan yang kokoh, pedang keilmuan yang tajam,
sarana ibadah yang mantap, strategi akhlaq yang mulia dalam kehidupan anak kita.
Wassalam. NY/18 Mei 99.
* Disampaikan dalam acara Seminar Pendidikan Anak yang diadakan bersamaan dengan
acara Musyawarah Tahunan IMAAM (Indonesian Muslim Association of America)
Washington tanggal 22 Mei 1999.
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/didik.html (6 of 6)13/05/2006 23:44:35
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
BRIEF ON ISLAM*
M. Syamsi Ali
1. Muhammad was a Peace Initiator
One of the many wrong perceptions about our prophet Muhammad (pbuh) is that he was
a man who loves wars. In other words, prophet Muhammad was a violent man and
support violent acts, even some others tend to think that our prophet Muhammad was a
terrorist. Nothing is true of these accusations. In fact, prophet Muhammad was not only a
peace loving person, but he was a peace initiator. (see: p. 22: Know this man)
Following evidences taken from the history of him are quite supportive of this fact*:
●
●
●
●
●
●
●
●
●
The story of "Black Stone"
Madinah Carter
The Hijrah Agreement
Peace mission before any battle
Hudaibiyah Agreement
Treaty of Nagran with Christian Delegate
Conquest of Makkah
His advice to his soldiers preparing for battle
Animal Rights (story of a cat and a dog)
(for further explanation on the above points, contact us or your local mosques).
This "prophetic attitude and manner" has been a living example for Muslims and lived by
them, even during the time of wars. For examples, Muslims and non-Muslims (Jewish
and Christians) lived side by side, in a harmonious environment during the Muslims rule
in Spain. Even at the time of "hardship", Jewish community fled Spain to have Muslims
protection in Turkey and in some North African countries.
So generalizing Muslims as Violent people is the biggest mistake created by irresponsible
people, and no doubt resulting from the constant stereotyping and bashing the media
gives Islam. How many times have we heard the words 'Islamic, Muslim fundamentalist
etc., linked with violence. Crime and terrorism committed by individuals who claim to be
"pious Muslims" must not be standard of judgment on Islam. Muslims condemn violence
and terrorism where ever it may occur, and feel that their religion has been "HIJACKED"
for criminal purposes.
2. Islam propagates peaceful teachings
Islam literally means "submission to God" and is derived from a root word meaning
"peace". Like Judaism and Christianity, Islam permits fighting in self-defense, or on the
part of those who have been expelled forcibly from their homes. It lays down strict rules
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/brief.html (1 of 17)13/05/2006 23:44:42
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
of combat, include prohibitions against harming civilians and against destroying crops,
trees and livestock.
NOWHERE DOES ISLAM ENJOIN THE KILLING OF INNOCENTS. The Quran says:
"Fight in the cause of God against those who fight you, but do not transgress limits. God
does not love transgressors" (Quran 2:190). "If they seek peace, then seek you peace. And
trust in God for He is the One that heareth and knoweth all things." (Quran 8:61) It also
says: "Killing of a soul could considered of killing all humanity". The holy Prophet
Muhammad (peace and blessings of Allaah be upon him) said: 'He who commits suicide
by throttling shall keep on throttling himself in the Hell Fire (forever) and he who
commits suicide by stabbing himself shall keep on stabbing himself in the Hell Fire".
To see more how Islam propagates peace, following are some evidences:
●
●
●
●
●
●
Allah named Himself as "As Salaam al Mu'min"
The situation when Quran was revealed (Salaam…)
Recommended greeting (As Salaam 'alaikum)
Name and greetings in Paradise
Prayer is ended up by Salaam
Recommended "saying" after every prayers.
(For further explanation for the above facts, contact us or your local mosques)
Muslims, therefore, are people who strive themselves in following the true guidance of
Islam, namely to submit themselves completely to the will and laws of Allah, which the
end results "peace". Submission of ones self to the Almighty is considered to be highest
level of justice; justice with the Creator. By preserving justice with God, a man will have
peace between him/her self with the Almighty. Like wise, if justice is preserved in
dealing with others, peace them will be the result of it. Muslims then, are the people who
stand firmly with justice and peace. Justice and peace with Allah the Creator, justice and
peace with themselves, with other human beings and creatures of God.
3. Jihad is not Holy War
Never we heard any Arab knows that Jihad could be translated as holy war. War and
holiness do not match and therefore if understood as such, that could create an un logical
understanding. The term 'jihad' literally means 'struggle'. 'Jihad' is the inner struggle of
the soul which everyone wages against egoistic desires for the sake of attaining inner
peace and for the betterment of the society at large. While jihad may be meant as well as
fighting for the cause of justice, it never be understood as killing innocent to justify
certain human interests. War in Islam, again, is the last resort and exclusively permitted
for self defense purposes. Prophet Muhammad used to advise his soldiers during the war:
"Kill not women, children, elders, worshipping people, religious people; priests, Rabbis,
and nuns. Cut of not the trees, kill not animals, poison not the well".
God says: "Those who do Jihad in Us, surely We will guide them Our
ways. And verily Allah with those who do kindness (ihsaan)".
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/brief.html (2 of 17)13/05/2006 23:44:42
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
4. Islam Respects Women
The image of the typical Muslim woman wearing the veil, covering herself from head to
toe and forced to stay home and forbidden to drive is all too common in most of people's
thoughts. Although some Muslim countries, due to their local ignorant culture and/or due
to their "mixture" of understanding of Islam and their culture, may have resulted to the
oppression of women, again, this should not be seen as coming from Islam. Many of
these people of different countries introduce their own cultural standpoints on the issue of
gender equity in the name of Islam.
Islam on the other hand gives men and women different roles and equity between the two
as laid down in the Quran and the example of the Prophet (peace be upon him). Islam
sees a woman, whether single or married, as an individual in her own right, with the right
to own and dispose of her property and earnings. A marriage gift is given by the groom to
the bride known as "dowry", for her own personal use, and she keeps her own family
name rather than taking her husband's. Both men and women are expected to dress in a
way that is modest and dignified. Women are wearing "scarf" (hijaab) in Islam as a part
of their devotion to Almighty. In all religions, we may find different ways of expressing
piety and obedience to God. But never in Islam a woman is forced to do such an act of
obedience.
Seeking knowledge and professional opportunities be given equally both to women and
men. Prophet says: "Seeking knowledge is a must upon a Muslim, male and female".
Thus, violence of any kind towards women and forcing them against their will for
anything, such as prohibit them from seeking knowledge is simply against prophet
teachings. In Islam, a Muslim girl cannot be forced to marry against her will, as some
people may understand wrongly, though her parents may suggest young man they think
may be suitable for her.
To view more about Islam treats the women could be found in the following:
●
●
●
●
●
●
Khadijah (first wife) was a business woman
Aishah was a teacher to many great companions
Equality in seeking knowledge (hadith)
Loving the parents (3 + 1)
Key of Paradise
Men-women are to compliment one another
(For further explanation about the above facts, contact us or your local mosques)
With all these clear evidences, Islam does not only put the women in the high level of
societal affairs but also put them at the more appropriate place in the society. Often times
women are put in the position, knowingly or not, of men's objects. Domestic abuses often
happen anywhere, while prophet Muhammad reminded us: "The best among you are
those who are the best to their wives" (saying of the prophet)
5. Muslims worship One and Only God
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/brief.html (3 of 17)13/05/2006 23:44:42
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Some may misperceive that Muslims are worshipping different God. The misconception
most of the time is caused by the fact that God is Islam is called "Allah". The fact is,
Allah is simply the Arabic word for God. Allah for Muslims is the greatest and most
inclusive of the Names of God, it is an Arabic word of rich meaning, denoting the one
and only God and ascribing no partners to Him. It is exactly the same word Which the
Jews, in Hebrew, use for God (eloh)), the word which Jesus Christ used in Aramaic when
he prayed to God: (Elei, Elie lama sabaktani. God has an identical name in Judaism,
Christianity, and Islam; Allah is the same God worshiped by Muslims, Christians and
Jews. Muslims believe that Allah's sovereignty is to be acknowledged in worship and in
the pledge to obey His teaching and commandments, conveyed through His messengers
and prophets who were sent at various times and in many places throughout history.
However, it should be noted that God in Islam is One and Only. He, the Exalted, does not
get tired, does not have a son or have associates, nor does He have human-like
equalizations as found in other faiths. (see page 17 for Names and Attributes of God and
"Allah" as God the Arabic Bible)
6. Islam was spread peacefully and tolerant of other
faiths.
Many social studies textbooks for students show the image of an Arab horseman carrying
a sword in one hand and the Quran in the other conquering and forcibly converting.
Although some political motivated individuals do as it happens in some other faiths, this
is not a correct portrayal of true history of Islam. Islam has always given respect and
freedom of religion to all faiths. The Quran says: "God forbids you not, with regards to
those who fight you not for [your] faith nor drive you out of your homes, from dealing
kindly and justly with them; for God loveth those who are just. (60:8)
Freedom of religion is laid down in the Quran itself: "There is no compulsion (or
coercion) in the religion (Islam). The right direction is distinctly clear from error".
(2:256) Christian missionary, T.W. Arnold had this opinion on his study of the question
of the spread of Islam: "….of any organized attempt to force the acceptance of Islam on
the non-Muslim population, or of any systematic persecution intended to stamp out the
Christian religion, we hear nothing. Had the caliphs chosen to adopt either course of
action, they might have swept away Christianity as easily as Ferdinand and Isabella drove
Islam and Judaism out of Spain"
It is a function of Islamic law to protect the privileged status of minorities, and this is
why non-Muslim places of worship have flourished all over the Islamic world. In fact,
Syria is still the center of Coptic Christians, as well as Egypt. History provides many
examples of Muslim tolerance towards other faiths: when the caliph Omar entered
Jerusalem in the year 634, Islam granted freedom of worship to all religious communities
in the city. Proclaiming to the inhabitants that their lives, and property were safe, and that
their places of worship would never be taken from them, he asked the Christian patriarch
Sophronius to accompany him on a visit to all the holy places. Upon knowing that Jewish
house of worship had been destroyed, he asked Sophronius to rebuild the Temple of
Solomon. Islamic law also permits non-Muslim minorities to set up their own courts,
which implement family laws drawn up by the minorities themselves. The life and
property of all citizens in an Islamic state are considered sacred whether the person is
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/brief.html (4 of 17)13/05/2006 23:44:42
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Muslim or not.
7. Muslims are not all Arabs and Arabs are not all
Muslims
When the name Islam or Muslim is mentioned, in the perception of many comes the faces
of middle eastern people. In fact, the Muslim population of the world is around 1.2
billion. 1 out of 6 people in the world is a Muslim. They are a vast range of races,
nationalities, and cultures from around the globe--from the Philippines to Nigeria--they
are united by their common Islamic faith. Only about 18% live in the Arab world and the
largest Muslim community is in Indonesia. Most Muslims live east of Pakistan. 30% of
Muslims live in the Indian subcontinent, 20% in Sub-Saharan Africa, 17% in Southeast
Asia, 18% in the Arab world, and 10% in the Soviet Union and China. Turkey, Iran and
Afghanistan make up 10% of the non-Arab Middle East. Although there are Muslim
minorities in almost every area, including Latin America and Australia, they are most
numerous in Russia and its newly independent states, India and central Africa. There are
about 6-8 million Muslims in the United States. Islam doesn't know distinction between
eastern and western people. Islam only knows that all human beings are children of God,
created from single parents, Adam and Eve. It is simply a wrong when some one claims
that Islam is something eastern while has nothing to do with the west. Islam is
everywhere, in the east, west, north and south.
8. Not All Muslims practice poligamy
The religion of Islam was revealed for all societies and all times and so accommodates
widely differing social requirements. It was for this reason, at the beginning of Islam, the
permission of having more than a wife was granted. According to the Quran, only on
strict conditions, the husband is scrupulously fair with fulfillment of strict conditions set
by Islam and there is/are urgent social need. No woman can be forced into this kind of
marriage if they do not wish it, and they also have the right to exclude it in their marriage
contract.
Polygamy is neither mandatory, nor encouraged, but merely permitted for certain social
conditions. Permission to practice polygamy is not associated with mere satisfaction of
passion. It is rather associated with compassion toward widows and orphans. In other
words, its permission was intended as a social solution. It was the Quran that limited and
put conditions on the practice of polygamy among the Arabs, who had as many as ten or
more wives and considered them "property".
It is both honest and accurate to say that it is Islam that regulated this practice, limited it,
made it more humane, and instituted equal rights and status for all wives. What the
Qur'anic decrees amount to, taken together is discouragement of polygamy unless
necessity for it exists. It is also evident that the general rule in Islam is monogamy and
not polygamy. However, permission to practice limited polygamy is only consistent with
Islam's realistic view of the nature of man and woman and of various social needs,
problems and cultural variations. In other biblical teachings, we find the history of
Righteous people, such as prophets, had practiced polygamy. Honestly speaking,
different ways of practicing "polygamy" by different societies. Some are hidden while
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/brief.html (5 of 17)13/05/2006 23:44:42
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
others are transparent.
9. Islam teaches dynamic and intellectual life
Among the reasons for the rapid and peaceful spread of Islam was the simplicity of its
doctrine. Islam calls for faith in only one God worthy of worship. It also repeatedly
instructs man to use his powers of intelligence and observation. Within a few years, great
civilizations and universities were flourishing, for according to the Prophet (pbuh),
"seeking knowledge is an obligation for every Muslim man and woman".
The synthesis of Eastern and Western ideas and of new thought with old, brought about
great advances in medicine, mathematics, physics, astronomy, geography, architecture,
art, literature, and history. Many crucial systems such as algebra, the Arabic numerals,
and also the concept of the zero (vital to the advancement of mathematics), were
transmitted to medieval Europe from Islam. Sophisticated instruments which were to
make possible the European voyages of discovery were developed, including the
astrolabe, the quadrant and good navigational maps. No Such evidence in the Quran or
Prophetic sayings support ignorance and backwardness.
Both ignorance and poverty in some Muslim countries have nothing to do with Islamic
teachings. In fact, Islam views worldly life as real, not illusion as may other faith view it.
It's therefore, God obliges Muslims to strive for his/her worldly life, equally to His
command for Akhirah (hereafter) life. Poverty and ignorance are both resulted from
corrupted political and economic management of some individual Muslim (South
American countries?)
10. Muhammad was not the founder of Islam
While Muhammad (pbuh) was chosen to deliver the message, he is not considered the
"founder" of Islam, since Muslims consider Islam to be the same divine guidance sent to
all peoples before him. Muslims believe that all Prophets from Adam, Noah, Moses,
Jesus to Muhammad (may peace and blessings of Allah be upon all of them) were sent
with divine guidance to be conveyed to their people. Every prophet was sent to the
mankind, as Muhammad (pbuh) was sent to all humanity. Muhammad is the last and final
messenger sent to deliver the message of Islam. Muslims revere and honor him (pbuh) for
all he went through and his dedication, but they do not worship him. "O Prophet, verily
We have sent you as a witness and a bearer of glad tidings and a reminder and as one who
invites unto God by His leave and as an illuminating lamp."(33:45-6). Muhammad was
simply a man given authority to convey the message of God to mankind, as other
prophets of God did. Muslims connection with Prophet Muhammad is based on the
teachings he brought, and not based on the ethnic and nationalistic background. Muslims
of other nations may love the prophet more then what an Arab Muslim himself do. Again,
it depends on how strong belief an individual Muslim has.
11. Muhammad (pbuh) did not author Al Quran
It is perceived by many that Quran was written by prophet Muhamad. This is simply not
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/brief.html (6 of 17)13/05/2006 23:44:42
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
true, because Muhammad was simply a receiver and conveyer of God's message as
mentioned above. God explains in the Holy Quran that Muhammad doesn't say any word
(of the Quran) based on his own desire, but a revelation revealed to him (by God). It's
very important to note that prophet Muhammad was an illiterate person. While the holy
Quran covers many scientific facts which only discovered recently by the scientists. It's
then impossible that a man living in the desert in 15 centuries ago, illiterate, but can
authored such an extraordinary Book. (For detail on the Quran, see p. 8 )
12. Muslims believe and respect all prophets,
including Jesus (pbuh)
One the pillars of faith in Islam is to believe in the all prophets and messengers of God.
The holy Quran teaches us that all prophets are same and should we not distinct between
them. Muslims believe that as Allah sent Adam or Noah or Abraham to guide the
mankind to the turth, they also believe that the later prophets such Moses, Jesus and
Muhammad, also came for the same purpose. Their teachings may vary in forms and
practices but essentially those teachings are one, namely to believe in One and the Only
God and worship One and the Only God.
Muslims respect and dignify Jesus, peace be upon him. They consider him one of the
greatest of God's messengers to mankind. A Muslim never refers to him simply as 'Jesus',
but always adds the phrase ' peace be upon him'. The Quran confirms his virgin birth (a
chapter of the Quran is entitled 'Mary'), and Mary is considered the purest woman in all
creation. The Quran describes the Annunciation as follows:
"Behold!" the Angel said, "God has chosen you, and purified you, and chosen you above
the women of all nations. O Mary, God gives you good news of a word from Him whose
name shall be the Messiah, Jesus son of Mary, honored in this world and the Hereafter,
and one of those brought near to God. He shall speak to the people from his cradle and in
maturity, and shall be of the righteous." She said: "O my Lord! How shall I have a son
when no man has touched me?" He said: "Even so; God creates what He will. When He
decrees a thing, He says to it, "Be!" and it is" (Quran 3:42-47)
Jesus was born miraculously through the same power, which had brought Adam into
being without a father: "Truly, the likeness of Jesus with God is as the likeness of Adam.
He created him of dust, and then said to him, 'Be!' and he was." (3:59) During his
prophetic mission Jesus (u) performed many miracles. The Quran tells us that he said: " I
have come to you with a sign from your Lord: I make for you out of clay, as it were, the
figure of a bird, and breath into it and it becomes a bird by God's leave. And I heal the
blind, and the lepers, and I raise the dead by God's leave." (3:49) Neither Muhammad
(pbuh) not Jesus (pbuh) came to change the basic doctrine of the brief in One God
brought by earlier prophets, but to confirm and renew it.
In the Quran Jesus (pbuh) is reported as saying that he came: "To attest the law which
was before me. And to make lawful to you part of what was forbidden you; I have come
to you with a sign from your Lord, so fear God and obey Me. (3:50). So it's clear that
Muslims will not be true Muslims without believing in Jesus and other prophets of God.
But Muslims will never give divinity to any of those prophets of God, including Jesus son
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/brief.html (7 of 17)13/05/2006 23:44:42
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
of Mary.
13. Islam has its own original Source
Muslims acknowledge that the basic of Islamic teachings are no different with the basic
of all heavenly religious teachings known to be Abramaic faiths. All religious teachings
which were previously brought by many prophets, including prophet Moses and Jesus,
are the same with God's teachings revealed to prophet Muhammad (pbuh). But it's not
true if claimed that Islam is simply extracted from the previous religious teachings.
Islam has it's own original source; the Holy Quran and the Sunnah:
The Holy Quran
The Arabic world "Al-Qur'an" literally means "the recitation". When used in regards to
Islam, the word Qur'an means God's final message to mankind that was revealed to the
Prophet Muhammad. The Qu'ran, is the literal word of God - as it clearly says time and
time again. Unlike other sacred scriptures, the Qur'an has been perfectly preserved in both
its words and meaning in a living language. The Qu'ran is a living miracle in the Arabic
language and is known to be inimitable in its style, form and spiritual impact.
"He (Muhammad) does not speak of his own desire. It is no less than an
Inspiration sent down to him." [53:3-4]
He also said:
"Or do they say he forged it? Say: Bring then a chapter like unto it, and call
(to your aid) anyone you can, beside God, if it be you speak the
truth." [10:38].
This source has been and will be protected for ever its Author, God the Almighty:
"We have, without doubt, sent down the Message, and We will assuredly
guard it from corruption." [15:9]
Perhaps the best description of the Qur'an was given by Ali, when he expounded upon it
as:
"The Book of God. In it is the record of what was before you, the judgment
of what is among you, and the prophecies of what will come after you. It is
decisive, not a case for levity. Whoever is a tryant and ignores the Qur'an
will be destroyed by God. Whoever seeks guidance from other than it will
be misguided. The Qur'an is the unbreakable bond of connection with God;
it is the remembrance full of wisdom and the straight path. The Qur'an does
not become distorted by tongues. nor can it be deviated by caprices; it
never dulls from repeated study; scholars will always want more of it. The
wonders of the Qur'an are never ending. Whoever speaks from it will speak
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/brief.html (8 of 17)13/05/2006 23:44:42
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
the truth, whoever rules with it will be just, and whoever holds fast to it
will be guided to the straight path." [Al-Tirmidhi]
God's final revelation to mankind, the Qur'an, was revealed to the Prophet Muhammad
over a period of 23 years. The Qur'an, in contrast to many other religious books, was
always thought to be the Word of God by those who believed in it. Also, the Qu'ran was
recited publicly in front of both the Muslim and non-Muslim communities during the life
of the Prophet Muhammad. The entire Qur'an was also completely written down in
lifetime of the Prophet, and numerous companions of the Prophet memorized the entire
Qur'an word-for-word as it was revealed.
The Qur'an was always in the hands of the common believers, it was always thought to be
God's word and, due to wide-spread memorization, it was perfectly preserved. In regards
to the teachings of the Qur'an - it is a universal scripture, and it is addressed to all of
mankind, and not to a particular tribe or "chosen people". It contains the same message of
all of the prophets - submit to Almighty God and worship Him alone. As such, God's
revelation in the Qur'an focuses on teaching human beings the importance of believing in
the oneness of God and framing their lives around the guidance which He has sent.
Additionally, the Qur'an contains the stories of the previous prophets, such as Abraham,
Noah, Moses and Jesus as well as many commands and prohibitions from God. In
modern times in which so many people are caught up in doubt, spiritual despair and
"political correctness", the Qur'anic teachings offer solutions to the emptiness of our lives
and the turmoil that is gripping the world today. In short, the Qur'an is the book of
guidance par excellence.
The Sunnah
The term Sunnah comes from the root word sanna, which means to pave the way or make
a path easily passable, such that it becomes a commonly followed way by everyone
afterwards. Thus sunnah can be used to describe a street or road or path on which people,
animals, and cars travel. Additionally, it can apply to a prophetic way, i.e. the law that
they brought and taught as an explanation or further clarification of a divinely revealed
book. Normally, the prophetic way includes references to his sayings, actions, physical
features and character traits.
From the Islamic standpoint, Sunnah refers to anything narrated or related about the
Prophet Muhammad (pbuh), authentically traced to him regarding his speech, actions,
traits, and silent approvals, before and after the revelation.
The example of his speech narrated below:
"Actions are judged by their intentions; everyone will be rewarded
according to his/her intention. So whoever migrates for the sake of Allah
and His Prophet then his migration will be noted as a migration for the sake
of Allah and His Prophet. Conversely, one who migrates only to obtain
something worldly or to marry a woman, then his migration will be worth
what he had inteded.² [Bukhari]. The Prophet (pbuh) also said: ³Whoever
believes in Allah and the Last Day, should say something good or keep
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/brief.html (9 of 17)13/05/2006 23:44:42
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
quiet.
The example of his actions pertain to anything he did, as authentically reported by
Hudhayfah that whenever the Prophet (pbuh) got up at night, he would clean his teeth
with a tooth-stick. Also A'ishah reported that the Prophet (pbuh) loved to do everything
starting with the right side - putting on shoes, walking, cleaning himself, and in all his
affairs generally.
His silent approvals on different issues meant his not opposing or minding what he saw,
heard or knew of the actions or sayings of his Companions. On one occasion, for
example, the Prophet (pbuh) learned of actions of some of his Companions from other
Companions. Soon after the battle of Khandaq, Prophet Muhammad (pbuh) gave the
order to the Companions to move quickly to surround the enemies attacking the city of
Madinah, encouraging them to hurry so that perhaps they would pray 'Asr (the late
afternoon prayer) there. Some of the Companions of the Prophet (pbuh) responded
immediately and left without praying 'Asr. They arrived after sunset, pitched camp and
prayed 'Asr- after sunset. At the same time another group of Companions formulated their
judgment differently. They thought that the Prophet (pbuh) was merely encouraging them
to hasten to their destination, rather than to delay 'Asr until after sunset. Consequently,
they decided to stay in Madinah until they had prayed 'Asr. Immediately thereafter, they
hastened towards the enemies. When the Prophet (pbuh) was told of how each group
responded differently to his announcement, he (pbuh) affirmed both judgments.
14. Islam Respects Human Rights
Due to some violations on human rights in some what so called Muslim or Islamic
countries, many people assume that Islam support such human rights abuses. In fact, long
before human rights bill proclaimed by the UN, prophet Muhammad had proclaimed such
bill 15 centuries ago. Rights of individuals; women, children, elder, disabled, as well as
rights to express freedom of choice and speech are all respected by Islam.
The following are some of these human rights that Islam protects:
The life and property of all citizens in Islam are considered sacred, whether a person is a
Muslim or not. Islam also protects honor. So, in Islam, insulting others or making fun of
them is not allowed. Prophet Muhammad said: "Truly your blood, your property, and
your honor are inviolable"
Racism in Islam is not allowed, and the Quran speaks clearly on human equality: "O
mankind, We have created you from a single male and a female and have made you into
nations and tribes for you to know one another. Truly, the noblest of you with God is the
most pious". The prophet also said: "O people, your God is One and your forefather is
one (Adam). An Arab is not superior over non a non Arab and a non Arab is not superior
over an Arab, a red is not colored person is not better than the white one, except in piety".
Islam opposes strongly every single injustice on earth. The central theme of Islamic
teachings is justice. God says: "Truly God commands you to give back trusts to those to
whom they are due, and when you judge between people, judge between them justly". He
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/brief.html (10 of 17)13/05/2006 23:44:43
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
also says: "…and act justly. Truly, God loves those who are just".
Justice must be established without any barriers, even justice must be given to those
whom we consider as enemies: "..and let not hatred of others make you avoid justice. Be
just, that is nearer to piety…." Prophet Muhammad also said: "People, beware of
injustice, for injustices shall be darkness on the Day of Judgment". About non Muslims
living in the Islamic community, prophet says: "Whoever insults non Muslim
(dzimmiyan), I shall be his enemy in the hereafter".
15. The Purpose of life
A Muslim believes that the purpose of life is to worship Allah. Worshipping Allah does
not mean we spend our entire lives in constant seclusion and absolute meditation. To
worship Allah is to live life according to His commands, not to run away from it. To
worship Allah is to know Him, to love Him, to obey His commands, to enforce His laws
in every aspect of life, to serve His cause by doing right and shunning evil and to be just
to Him, to ourselves and to our fellow human beings. While other teachings may teach
"celibacy" (Rahbanism), Islam strongly opposes it. Marriage for instance, not only
consider as a human basic need, but also one of the important parts of Muslim's devotion
to Almighty. Although Islam teaches the importance of having this worldly life, it
reminds us that life here in this world is temporary. While we struggle for it, we must
have clear in mind that the real and only eternal life will be the life after death. Having
such consciousness in mind, Muslims will always try to maintain the balance of their life,
materially and spiritually.
16. Status of Human Beings
While some other religions may teach that basically humans are sinful, Islam views them
otherwise. Islam teaches that human beings are the prime of God's creation, born sinless,
but be responsible.
PRIME CREATION: Human being is the prime creation of God. He says, "We have
indeed honoured the children of Adam; spread them in the land and the sea, provided
them with good things; and preferred them in esteem over many things that We have
created." Holy Qur'an (17:70)
BORN SINLESS: Islam teaches that every human being is born sinless; no child carries
the burden of his or her ancestor's sins. God says, "And a burdened soul cannot bear the
burden of another and if one weighed down by burden should cry for (another to carry)
its burden, not aught of it shall be carried, even though he be near of kin." Holy Qur'an
(35:18) Each human being is born with a pure conscience, which can absorb and accept
the true message of God. It is only the social and familial influences, which take a person
away from God's message (hadith)
ACCOUNTABILITY: Islam also emphasizes on the issue of responsibility and
accountability of human beings-each person is responsible for his or her own actions.
Although Islam teaches that God has predetermined the span of our life and time of our
death, but this does not mean that even our actions are predetermined by Him. We surely
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/brief.html (11 of 17)13/05/2006 23:44:43
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
are free in our actions and are, therefore, accountable for them. God only provides
guidance for us to know what is good and what is bad. He says, "Surely We have created
man from a small life-germ uniting (itself): We mean to try him, so We have made him
hearing, seeing. Surely We have shown him the way: he may be thankful or unthankful."
Holy Qur'an (76:2-3)
17. Salvation by His Guidance and Repentance
Muslims believe that God is loving, Merciful and Compassionate One, yet He is Just. It's
therefore, Muslims believe that human beings are in between His mercy and justice. We
may be better than angels or worst than animals. To save our true nature which basically
incline to the angelic nature, we must follow His guidance in all our steps in this life. If
for one reason and due to his weakness, a man falls into "forbidden area", he/she must
return to God through repentance.
A Muslim believes that man must work out his salvation through the guidance of Allah.
No one can act on behalf of another or intercede between him and Allah. In order to
obtain salvation, a person must combine faith and action, belief and practice. Faith
without doing good deeds is as insufficient as doing good deeds without faith.
Also, a Muslim believes that Allah does not hold any person responsible until he has
shown him the Right Way. For that, a Muslim will never believe that God has to sacrifice
His only son to save the human beings from being sinful. This is based on His love and
mercy to all humanity, and on His Capacity as Just God that will not punish some for the
sins committed by others.
18. Two wings of Righteousness
The whole idea of Islamic teachings is to create a righteous individual, family and society
at large. But righteousness in Islam doesn't not exclusively mean to exclude ones self
from worldly life. Rather the one who summits him/her self to the will and laws of God
in pursuing his/her life here in this temporary world. Righteousness also doesn't mean
only vertical sense, but as well as horizontal one. In other words, Muslims are required to
be good person (muhsin) or righteous toward the Almighty by obeying all His commands
and avoiding all things forbidden by Him, but Muslims are also required to be
"muhsin" (kind) or pious toward his/her fellow creations, even to the animals.
Below are some examples how Islam obliges the Muslims to be kind, not only to his/her
Lord but also to those who are around him/her:
●
●
●
●
●
●
Story of an old woman
Story of dog and cat
Hadith on a house of ants
Hadith on slaughtering the animals
The concept of prayer (Takbiir-Salaam).
(for further explanation on the above facts, contact us or your local mosques)
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/brief.html (12 of 17)13/05/2006 23:44:43
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
19. Article of Faith
Islamic faith is based on six pillars. These pillars are considered to be the backbone of
Islamic faith and its philosophical aspect of the religion.
a. Belief in and worship the One and Only God
A Muslim believes in ONE GOD, Supreme and Eternal, Infinite and Mighty, Merciful
and Compassionate, Creator and Provider. God has neither father nor mother, neither
sons nor was He fathered. None equal to Him. He is God of all mankind, not of a special
tribe or race.
God is High and Supreme but He is very near to the pious thoughtful believers; He
answers their prayers and helps them. He loves the people who love Him and forgives
their sins. He gives them peace, happiness, knowledge and success. God is the Loving
and the Provider, the Generous, and the Benevolent, the Rich and the Independent, the
Forgiving and the Clement, the Patient and the Appreciative, the Unique and the
Protector, the Judge and the Peace. God's attributes are mentioned in the Quran.
God creates in man the mind to understand, the soul and conscience to be good and
righteous, the feelings and sentiments to be kind and humane. If we try to count His
favors upon us, we cannot, because they are countless. In return for all the great favors
and mercy, God does not need anything from us, because He is Needless and
Independent. God asks us to know Him, to love Him and to enforce His law for our
benefit and our own good.
b. Messengers and Prophets of God
A Muslim believes in all the Messengers and Prophets of God without any
discrimination. All messengers were mortals, human beings, endowed with Divine
revelations and appointed by God to teach mankind. The Holy Quran mentions the names
of 25 messengers and prophets and states that there are others. These include Noah,
Abraham, Ishmael, Isaac, Moses, Jesus and Muhammad. Their message is the same and it
is Islam and it came from One and the Same Source; God, and it is to submit to His will
and to obey His law; i.e., to become a Muslim.
c. Revelations and the Quran
A Muslim believes in all scriptures and revelations of God, as they were complete and in
their original versions. Allah, the Creator, has not left man without guidance for the
conduct of his life. Revelations were given to guide the people to the right path of Allah
and sent down to selected people, the prophets and messengers, to convey it to their
fellow men.
The message of all the prophet and messengers is the same. They all asked the people of
their time to obey and worship Allah and none other. Abraham, Moses, David, Jesus and
Muhammad who were revealed their own book of Allah, were sent at different times to
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/brief.html (13 of 17)13/05/2006 23:44:43
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
bring back straying human beings from deviation to the right course.
d. The Angels
There are purely spiritual and splendid beings created by Allah. They require no food or
drink or sleep. They have no physical desires nor material needs. Angels spend their time
in the service of Allah. Each is charged with a certain duty. Angels cannot be seen by the
naked eyes. Knowledge and the truth are not entirely confined to sensory knowledge or
sensory perception alone.
e. The Day of Judgment
A Muslim believes in the Day of the Judgment. This world as we know it will come to an
end, and the dead will rise to stand for their final and fair trial. On that day, all men and
women from Adam to the last person will be resurrected from the state of death for
judgment. Everything we do, say, make, intend and think are accounted for and kept in
accurate records. They are brought up on the Day of Judgment.
One who believes in life after death is not expected to behave against the Will of Allah.
He will always bear in mind that Allah is watching all his actions and the angels are
recording them.
People with good records will be generously rewarded and warmly welcomed to Allah's
Heaven. People with bad records will be fairly punished and cast into Hell. The real
nature of Heaven and Hell are known to Allah only, but they are described by Allah in
man's familiar terms in the Quran.
If some good deeds are seen not to get full appreciation and credit in this life, they will
receive full compensation and be widely acknowledged on the Day of Judgment. If some
people who commit sins, neglect Allah and indulge in immoral activities, seem
superficially successful and prosperous in this life, absolute justice will be done to them
on the Day of Judgment.
f. Qadaa and Qadar (Devine destiny)
A Muslim believes in Qadaa and Qadar which relate to the ultimate power of Allah.
Qadaa and Qadar means the Timeless Knowledge of Allah and His power to plan and
execute His plans. Allah is not indifferent to this world nor is He neutral to it. It implies
that everything on this earth originates from the one and only Creator who is also the
Sustainer and the Sole Source of guidance.
Allah is Wise, Just, and Loving, and whatever He does must have a good motive,
although we may fail sometimes to understand it fully. We should have strong faith in
Allah and accept whatever He does because our knowledge is limited and our thinking is
based on individual consideration, whereas His knowledge is limitless and He plans on a
universal basis. Man should think, plan and make sound choices, but if things do not
happen the way he wants, he should not lose faith and surrender himself to mental strains
or shattering worries.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/brief.html (14 of 17)13/05/2006 23:44:43
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
20. Five Pillars of Islam
While six pillars of faith may be considered as philosophical, the five pillars of Islam are
practical. These are basic practical teachings of Islam, that all Muslims are obligated to
practice in their daily life.
a. Testimony of Faith
The testimony of faith is saying with conviction, "La ilaha illa Allah, Muhammadur
rasoolu Allah." This saying means "There is no true god but God (Allah), and
Muhammad is the Messenger (Prophet) of God." The first part, "There is no true god but
God," means that none has the right to be worshipped but God alone, and that God has
neither partner nor son. This testimony of faith is called the Shahada, a simple formula
which should be said with conviction in order to convert to Islam. The testimony of faith
is the most important pillar of Islam.
b. Daily Obligatory Prayer
Muslims perform five prayers a day. Each prayer does not take more than a few minutes
to perform. Prayer in Islam is a direct link between the worshipper and God. There are no
intermediaries between God and the worshipper.
In prayer, a person feels inner happiness, peace, and comfort, and that God is pleased
with him or her. The Prophet Muhammad said: {Bilal, call (the people) to prayer, let us
be comforted by it.} Bilal was one of Muhammad's companions who was charged to call
the people to prayers.
Prayers are performed at dawn, noon, mid-afternoon, sunset, and night. A Muslim may
pray almost anywhere, such as in fields, offices, factories, or universities.
c. Zakat (Obligatory Charity)
All things belong to God, and wealth is therefore held by human beings in trust. The
original meaning of the word zakat is both 'purification' and 'growth.' Giving zakat means
'giving a specified percentage on certain properties to certain classes of needy people.'
The percentage which is due on gold, silver, and cash funds that have reached the amount
of about 85 grams of gold and held in possession for one lunar year is two and a half
percent. Our possessions are purified by setting aside a small portion for those in need,
and, like the pruning of plants, this cutting back balances and encourages new growth.
A person may also give as much as he or she pleases as voluntary alms or charity.
d. Fasting of Ramadan
Each year in the month of Ramadan, all Muslims fast from dawn until sundown,
abstaining from food, drink, and sexual relations.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/brief.html (15 of 17)13/05/2006 23:44:43
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Although the fast is beneficial to health, it is regarded principally as a method of spiritual
self-purification. By cutting oneself off from worldly comforts, even for a short time, a
fasting person gains true sympathy with those who go hungry, as well as growth in his or
her spiritual life. Eid al-Fitr, a feast-day commemorating the end of Ramadan.
e. Pilgrimage to Makkah (Hajj)
The annual pilgrimage (Hajj) to Makkah is an obligation once in a lifetime for those who
are physically and financially able to perform it. About two million people go to Makkah
each year from every corner of the globe. Although Makkah is always filled with visitors,
the annual Hajj is performed in the twelfth month of the Islamic calendar. Male pilgrims
wear special simple clothes which strip away distinctions of class and culture so that all
stand equal before God.
Pilgrims praying at the Haram mosque in Makkah. In this mosque is the Kaaba
(the black building in the picture) which Muslims turn toward when praying. The
Kaaba is the place of worship which God commanded the Prophets Abraham and
his son, Ishmael, to build.
The rites of the Hajj include circling the Kaaba seven times and going seven times
between the hillocks of Safa and Marwa, as Hagar did during her search for water. Then
the pilgrims stand together in Arafa and ask God for what they wish and for His
forgiveness, in what is often thought of as a preview of the Day of Judgment.
The end of the Hajj is marked by a festival, Eid Al-Adha, which is celebrated with
prayers. Eid al-Fitr, a feast-day commemorating the end of Ramadan, are the two annual
festivals along with Eid al-Adha for Muslims.
21. Islam is the Guide for life
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/brief.html (16 of 17)13/05/2006 23:44:43
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Although Islam is built on six pillars of faith and five pillars of religious practices, it is
not mere six plus five, and has nothing to do with other aspects of humans life. Islam is a
comprehensive code of life and guide for all Muslims in their life. In short, Islam covers
all aspects of human's life; Spiritual, intellectual as well as material. In the Holy Quran,
Islam is known as "life". It means, Islam covers the life in all its aspects, and it also
means Islam provides real life to the human beings.
To sum up, the Islamic teachings are three:
●
●
●
Aqeedah: deals with the inner faith
Ibadah: deals with religious performances
Mu'amalaat: deals with day to day worldly affairs
For more information on Islam call/email Imam Shamsi Ali at: +1 (917) 518-4083/
[email protected]
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/brief.html (17 of 17)13/05/2006 23:44:43
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
SENTUHAN FITRAH
M. Syamsi Ali
Ramadan, bulan puasa telah berlalu. Sebulan penuh itu seorang Muslim berupaya
semaksimal mungkin untuk menjadi hamba yang abid, meninggalkan kenikmatan
duniawinya di siang hari dalam rangka mendekatkan atau taqarrub kepada Allah SWT. Di
bulan puasa inilah seorang hamba akan berupaya semaksimal mungkin untuk mengenal
alam spiritual yang agung. Makan, minum dan hubungan suami isteri yang merupakan
simbol jasadiyah kehidupan ditinggalkan dalam masa tertentu, untuk menyingkap
pandangan material manusia untuk mengembalikan pandangan spiritualnya.
Kemampuan manusia menembus alam materialnya dalam melihat dunianya, merupakan
kemenangan yang luar biasa. Sebab hanya dengan kapabilitas tersebut, manusia mampu
membedakan wujudnya dari wujud-wujud makhluk lainnya. "ya'lamuuna zaahiran minal
hayatid dunya wa hum 'anil Akhirati hum ghaafiluun" (Mereka tahu dari kehidupan dunia
ini hanya yang lahir-lahir semata. Sedangkan mereka lalai terhadap kehidupan Akhirt".
Ayat lain menjelaskan, "Sungguh Kami telah persiapkan neraka jahannam untuk
kebanyakan dari kalangan Jin dan manusia. Sebabnya, mereka punya mata namun tidak
melihat, punya telinga namun tidak mendengar, punya hati tapi tidak faham. Mereka itu
seperti binatan, malah lebih sesat dari binatan". Pada bagian lain, dijelaskan, "Mereka itu
makan dan bersenang-senang sebagaimana hewan-hewan makan dan bersenang-senang".
Ungkapan Al Qur'an yang sangat keras terhadap sebagian manusia di atas, bukanlah suatu
yang samar lagi dalam kehidupan manusia saat ini. Karakteristik hewani manusia telah
dominan, sehingga nilai-nilai kesucian spiritualnya telah terabaikan bahkan terkadang
dianggap momok bagi kehidupan manusia itu sendiri. Ini tentunya, adalah konsekwensi
langsung dari kebutaan manusia dalam pandangan spiritual. Sehingga mata kasar melihat
dengan jelas segala yang kasat pandang, namun di balik pandangan kasat itu semuanya
mereka buta. Ketidak mampuan memandang secara spiritual inilah yang melahirkan
berbagai sifat maupun sikap bodoh yang lebih dikenal dengan istilah "jahiliyah".
Merayakan Idul Fitri
Keberhasilan manusia dengan puasanya untuk menyingkap tabir pandangan kasat menuju
kepada pandangan spiritual, sebagaimana dikatakan, adalah merupakan kemenangan
yang besar (fawz adziim). Kemenangan inilah yang lazimnya dirayakan oleh kaum
Muslimin di penghujung Ramadan. Mereka bergembira, bersuka ria terlepas dari
kungkungan material yang selama ini menjadi penghalang antara dirinya dan dunia
kemanusiaannya atau alam insaniyahnya. Kembalinya manusia ke alam insaniyah yang
sesungguhnya inilah yang disebut "idul Fitri" atau kembali ke fitrah (kesucian,
kealamiahan).
Fitrah inilah sesungguhnya yang kita sebut tadi dengan penglihatan spiritual. Yaitu suatu
kemampuan untuk memandang dengan hati nurani. Pandangan nurani inilah
sesungguhnya pandangan manusiawi. Pandangan yang mampu menjangkau di balik
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/fitrah.html (1 of 6)13/05/2006 23:44:50
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
pandangan kasat. Sebagai ilustrasi, jika anda berjalan bersama 5 kawan yang datang dari
latar belakang; warna kulit, bahasa, tradisi, bangsa Eropa, Asia, Afrika, China, Arab, dll,
tiba-tiba di tengah jalan anda dan kawan-kawan ini menyaksikan suatu tabrakan dahsyat,
dimana seorang bayi ditabrak mobil misalnya. Maka saya yakin, semua yang
menyaksikan itu, baik yang hitam, putih, bermata sipit, Eropa, China, Asian, dll,
semuanya akan merasakan suatu perasaan yang sama. Yaitu suatu perasaan iba, kasihan
atau apapun istilahnya. Yang jelas terjadi suatu perasaan yang sama pada setiap individu
yang berlatar belakang sosial mapun lahiriyah yang jauh berbeda.
Perasaan inilah sesungguhnya merupakan indikasi fitrah yang paling kuat dalam diri
seseorang. Semua manusia memiliki perasaan seperti ini. Karena fitrah ini tak akan
mungkin terobah apalagi hilang dari seorang manusia. "Fitratallahi allati fatarannasa
'alaeha laa tabdiila likhalqillah" (Fitrah Allah, dimana manusia diciptakan sesuai dengan
fitrah itu. Tiada perubahan dalam ciptaan fitrah itu).
Maka istilah Idul fitri sesungguhnya, bukanlah istilah yang harus ditafsirkan secara
harfiyah (tekstual), melainkan difahami sebagai upaya untuk menyingkap berbagai sitar
antara dunia manusia dengan alam nuraniya (fitrahnya) sendiri. Di sinilah manusia (baca
ummat Islam) diwajibkan meninggalkan simbol-simbol kesenangan dunianya
(kecenderungan perut dan apa yang di bawah perut) di siang hari untuk mengikis
kecenderungan yang melupakan (lahwun) fitrah.
Pokok-pokok sentuhan Fitrah
Sebenarnya kehidupan manusia seluruhnya harus tertata di atas nilai-nilai fitrah ini.
Sebab memang manusia diciptakan di atas nilai-nilai fitrah tadi (Fitratallahi allati
fatarannasa 'alaeha). Namun demikian, dapat dikatakan bahwa sentuhan pokok fitrah
manusia ada pada 4 hal:
Pertama, Ma'rifat al Khaliq
Sentuhan fitrah yang paling terbesar adalah pengenalan terhadap sang Khaliq. Barangkali
inilah sentuhan fitrah yang terbesar karena merupakan fakta terbesar pula dalam
kehidupan manusia. Sehingga dikatakan, jika seorang manusia tidak lagi mengenal
Tuhannya maka jangan diharap dia akan mengenal apapun, termasuk dirinya. Barangkali
inilah fakta kehidupan manusia saat ini. Manusia tidak lagi mengenal apa-apa dengan
benar, termasuk mengenal dirinya sendirinya, karena mereka telah jahil terhadap hakikat
Rabnya. "Nasullaha fansaahum anfusahum, ulaaika humul ghaafiluun" (Mereka lupa
Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri. Mereka itulah
orang-orang yang lalai).
Memang rasanya sangat berlebihan jika manusia tidak lagi mengenal Tuhannya. Padahal
hakikatnya, dimana pun mata memandang Tuhan menampakkan diriNya (kebesaranNya)
secara jelas. Di sinilah sebabnya, sehingga Rasulullah SAW pernah bersabda:
"Pikirkanlah ciptaan Allah dan Jangan memikirkan Dzat Allah, sebab kamu tak akan
mampu mencapaiNya". Disebutlah dalam buku-buku sejarah para ahli tasawuf, bahwa
suatu ketika AL Ghazali berjalan di pinggir pantai. Lalu di pandangnya keindahan ombak
di lautan, seraya berujar: "aku lihat Tuhanku berenang-renang". Tentulah Al Ghazali
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/fitrah.html (2 of 6)13/05/2006 23:44:50
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
memaksudkan di sini, betapa kebesaran Ilahi terpancar lewat keindahan ombak lautan
sekalipun.
Berbagai ayat dalam Al Qur'an menjelaskan, bahwa Allah menampakkan tanda-tanda
kebesaranNya dalam segala ciptaanNya, termasuk dalam diri manusia itu sendiri. "Akan
Kami perlihatkan tanda-tanda kebesaran Kami di angkasa luar dan pada diri-diri mereka,
apakah mereka tidak melihat?" Bahkan perintah menganalisa, membaca dalam Al Qur'an
sebagai wahyu pertama intinya memerintahkan manusia untuk memikirkan penciptaan
dirinya sendiri dalam upaya untuk mengenal Rabbnya Yang telah mencipta (Iqra' bismi
Rabbika alladzi Khalaq".
"Tidakkah mereka lihat bagaimana onta diciptakan. Bagaimana langit
ditinggikan. Bagaimana gunung ditancapkan. Dan bagaimana bumi
dihamparkan" firmanNya.
Demikian menyatunya antara Khaliq dan fitrah manusia, sehingga seingkar apapun
manusia, ia tak akan mampu mengingkari adanya wujud Ilahi. Disebutkan dalam Al
Qur'an bahwa Iblis ketika diusir dari Syurgapun masih mengakui kebesaran Ilahi.
"Fabiizzatika laughwiyannahum ajma'iin" (Hanya dengan kemuliaanMu ya Allah, akan
kami sesatkan mereka semua).
Fir'aun sang mutakabbir yang berlebihan, pengaku tuhan tertinggi, bahkan berpura-pura
tidak mengenal Tuhan ketika Musa AS memperkenalkan kebesaranNya kepadanya:
"Wamaa Rabbukuma ya Musa wa Haruun" (Siapa sih Tuhanmu wahai Musa dan harun?).
Namun terbukti bahwa fitrahnya tak akan mampu mengingkari Tuhan ketika ia
tenggelam di laut merah, di saat keangkuhannya tersingkap karena dunia luarnya telah
mengkhianatinya. Kekuasaannya, tentaranya, kekayaannya, dan semua kesombongannya
lari meninggalkannya di tengah laut menjerit-jerit memohon pertolongan. Akhirnya, ia
berkata: "al aana amantu biRabbi Musa wa Haruun" (Sekarang saya beriman kepada
Tuhannya Musa dan Harun). Inilah pengakuan fitrah. Namun pengakuan terpaksa tak
akan pernah diterima dalam ajaran kebenaran.
Kini manusia modern berpura-pura pula tidak mengenal Allah. Namun dari hari ke hari,
mereka jsuteru sesungguhnya mengejar, berlari mencari Tuhannya. Batin mereka
menjerit. Mencari sesuatu yang lebih dari apa yang saat ini nampak, dan apapun yang
akan nampak dalam pandangan kasat manusia (material). Mereka mengejar semua itu,
namun tak kunjung mendapatkannya, karena mereka tenggelam dalam kepura-puraan
mengingkari fitrahnya. Nuraninya tertutupi alam material untuk mengakui Ilahnya yang
terang benderang di hadapan matanya.
Kedua, Ma'rifat al insan
Sebagaimana disebutkan bahwa keberhasilan manusia dalam mengenal Tuhannya atau
kegagalannya dalam mengenal Tuhannya akan melahirkan pula pengenalan terhadap
dirinya atau kejahilan terhadap dirinya sendiri. Manusia hanya akan sadar akan dirinya
jika sadar akan Tuhannya. Sebaliknya, manusia akan jahil terhadap dirinya jika ia jahil
terhadap Tuhannya. Sehingga sebagai penafsiran dari ayat: "Nasullaaha fa ansaahum
anfusahum" (mereka lupa Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa pada diri mereka
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/fitrah.html (3 of 6)13/05/2006 23:44:50
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
sendiri), disebutkan dalam sebuah pepatah Arab: "man 'arafa nafsahu faqad 'arafa
Rabbah" (siapa yang kenal dirinya maka dia sudah kenal Tuhannya). Ini adalah
konsekwensi logis. Bahwa mereka yang mengenal Allah, baik dalam alam pemikiran
(keyakinan/iman) maupun aksinya (amal), adalah manusia yang sadar akan dirinya.
Mereka tahu, dari mana mereka, bagaimana mereka, serta akan ke mana mereka
sesungguhnya dalam kehidupan ini.
Berbeda dengan mereka yang tidak sadar diri (karena tidak kenal Tuhan), mereka serba
semrawut kehidupannya. Kehidupan manusia semacam ini adalah kehidupan "budakbudak" material yang tunduk patuh kepada rutinitas keduniaan. Mereka tidak lagi sebagai
"ahsanu taqwiim" (sebaikbaik ciptaan), atau makhluk yang termulia (karramna banii
aadam) serta bukan lagi sebagai pemegang amanah pengendali bumi (khalifah) yang telah
diberikan autoritas penuh "Huwalladzi khalaqa lakum maa fil ardh" (Dialah Allah yang
telah menjadikan semuanya "bagimu" apa-apa yang ada di atas bumi ini) untuk
mengelolah bumi ini dalam rangka kemakmuran mereka sendiri. Sebaliknya, mereka
telah menjadi budak-budak keduniaan (material). Mereka tidak punya pijakan hidup,
sehingga mereka cenderung mengikut kepada "perubahan situasi" dan bukannya mereka
menjadi "penggerak/pengendali prubahan" tersebut.
Kegagalan manusia dalam mengenal dirinya inilah yang melahirkan berbagai sifat
maupun sikap yang serba jahil. Kesimpang siuran nilai-nilai kehidupan, kesemrawutan
prilaku, menjadi fenomena utama masyarakat jahil tersebut. Barangkali contoh-contoh
klasik, seperti homoseksualitas, lesbianisme, poliamorisme, free sex, berbagai bentuk
violence, dll, adalah contoh-contoh yang terjadi setiap saat di depan mata kita. Manusia
telah berdaya upaya untuk menanggulangi semua ini. Milyaran dollar telah dibelanjakan
untuk mencari solusi. Namun tak kunjung redah apalagi habis, karena dalam prosesnya
justeru manusia semakin diajak untuk tidak mengenal dirinya sendiri. Dan ini pulalah
dilema dunia barat saat ini. Sadar akan keboborokan yang terjadi, namun tidak sadar
kalau semua itu sebagai akibat dari kejahilan terhadap dirinya, akibat kejahilan akan
KhaliqNya.
Ketiga, Ma'rifat al Wali wal 'Aduw
Sentuhan fitrah yang ketiga adalah mengenal kawan dan lawan. Sebagaimana
perkawanan (walaa), permusuhan ('adaa) juga adalah bagian dari fitrah manusia. Hanya
saja, bahwa dalam kenyataannya manusia banyak tidak mengenal siapa kawan (wali) dan
siapa pula musuh ('aduw)nya. Sehingga terkadang manusia yang seharusnya bermusuhan
dengan musuh-musuhnya, menjadi berkawan bahkan terkadang kongkalikong (kolusi)
dengan musuh-musuhnya.
Ketika Adam pertama kali diturunkan di atas bumi ini, pesan Allah yang pertama kepada
Adam dan isterinya adalah: "Qulnahbithuu ba'dhukum liba'dhin adhuwwun" (Turunlah
kamu dalam keadaan bermusuhan). Para ulama mengatakan bahwa "ba'dhukum liba'dh"
di atas adalah salah satu bentuk kata yang menggambarkan keadaan atau "haal" dalam
istilah tata bahasa Arab. Artinya, manusia hadir di atas dunia ini dalam keadaan
bermusuhan. Bermusuhan dengan siapa? Konteks ayatnya jelas, yaitu dengan Iblis.
Masalahnya adalah seringkali kita salah persepsi bahwa Iblis itu adalah makhluk terpisah
yang jauh dari kita. Barangkali ini benar. Namun dilihat dari hakikatnya, sesungguhnya
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/fitrah.html (4 of 6)13/05/2006 23:44:50
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Iblis itu terkadang menyatu dengan diri-diri kita. Karena demikian dekatnya, sehingga
semua arah terkuasai olehnya untuk menggoda kita. "Dari depan, belakang, kanan dan
kiri" semuanya dapat dipergunakan untuk menyesatkan manusia. Ini pula maknanya,
sehingga Rasulullah SAW mengatakan bahwa musuh terbesar kita adalahmusuh yang ada
pada diri kita sendiri (hawa nafsu).
Untuk melepaskan kungkungan Iblis (musuh) terhadap diri kita diperlukan Allah (wali)
sebagai pembenteng. Manusia yang taqarrub (dekat) dengan Tuhannya inilah yang pasti
jauh dari musuhnya (Iblis). "Allaahu Walyyulladzina aamanuu. Walladziina kafaruu
awliyaauhum at Thaguut" (orang-orang yang beriman itu walinya adalah Allah,
sedangkan orang-orang kafir wali-walinya adalah thagut). Dan orang yang menjadikan
Allah sebagai walinya tak akan mengalami rasa takut dan khawatir dalam kehidupan ini.
"Alaa inna awliyaaLLAHI laa khawfun 'alaihim walaa hum yahzanuun" (Sungguh bagi
wali-wali Allah tiada takut bagi mereka dan tiada mereka bersedih). Kini ditemukan
bahwa ternyata penyakit "takut dan khawatir" adalah sumber dari berbagai penyakit
manusia. Dan ini pula kekhasan manusia modern, jika miskin bersedih, jika kaya takut
bangkrut. Akhirnya hidupnya dibayang-bayangi oleh hantu "takut" dan "khawatir".
Keempat, ma'rifat al Waqi'
Manusia hidup di alam kenyataan. Bagi seorang Muslim hidup ini adalah realita. Bukan
sebagaimana teori nihilisme yang memandang dunia ini sebagai "ilusi" yang seolah-olah
hanya bayangan. Dari sinilah Al Qur'an menyatakan: "Wa lakum filadhi mustaqarr
wamataa'" (Bagimu di atas bumi ini tempat tinggal dan kesenangan). Hanya saja, segera
Allah lanjutkan: "ilaa hiin" (hingga pada batas tertentu). Batas ini meliputi dua makna,
batas waktu dan juga batas kwalitas.
Maka pengenalan terhadap "alam kenyataan" juga merupakan bagian dari fitrah manusia.
Manusia tidak bisa berpura-pura jadi makhluk lain (malaikat) misalnya, lalu cenderung
mengingkari alam kenyataan ini. Sebab itu adalah pengingkaran total terhadap fitrahnya
sendiri. Maka rasulullah SAW sangat marah kepada tiga sahabat yang bertekad
meninggalkan dunia ini dalam rangka pengabdian kepada Allah. Rasulullah SAW pernah
mengatakan bahwa orang yang mencari dunia ini namun tetap mengabdi kepada
Tuhannya adalah lebih baik ketimbang seseorang yang menghabiskan seluruh masanya
hanya untuk ibadah ritual semata. Bahkan berbagai ayat dalam Al Qur'an jelas-jelas
mewajibkan mencari dunia sebagaimana mewjibkan manusia mencari Akhiratnya.
Maka manusia yang tidak mengenal "Waqi'"nya akan menjadi "korban" kehidupan.
Sebab dia akan tergilas dengan perjalanan kehidupannya itu sendiri. Maka bagi seorang
Muslim, ia harus memandang kehidupan ini dengan pandangan yang serius. Namun
keseriusan itu tidak menjadikannya gagal untuk mengenal hakikat dan tujuan
yangsesungguhnya (beribadah). Manusia Muslim tenggelam secara fisik ke alam bumi,
namun ia memiliki orientasi "langit" yang tinggi. Sebab hanya dengan keseimbangan
seperti ini, manusia menemukan fitrah kehidupannya yang sebenarnya.
Semoga 'Idul fitri kita merupakan pesta perayaan kemenangan fitrah. Amin!
M. Syamsi Ali
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/fitrah.html (5 of 6)13/05/2006 23:44:50
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
New York
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/fitrah.html (6 of 6)13/05/2006 23:44:50
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
SOME ASPECTS OF ISLAM
M. Syamsi Ali
Cleanliness
Islam places great emphasis on cleanliness, in both its physical and spiritual aspects. On
the physical side, Islam requires the Muslim to clean his body, his clothes, his house, and
the whole community, and he is rewarded by God for doing so. Prophet Muhammad
(pbuh) said, for example:
"Removing any harm from the road is charity (that will be rewarded by
Allah)." [Bukhari]
While people generally consider cleanliness a desirable attribute, Islam insists on it ,
making it an indispensible fundamental of the faith. A muslim is required to to be pure
morally and spiritually as well as physically. Through the Qur'an and Sunnah Islam
requires the sincere believer to sanitize and purify his entire way of life. In the Qur'an
Allah commends those who are accustomed to cleanliness:
"Allah loves those who turn to Him constantly and He loves those who
keep themselves pure and clean." [2: 22]
In Islam the Arabic term for purity is Taharah. Books of Islamic jurisprudence often
contain an entire chapter with Taharah as a heading. Allah orders the believer to be tidy
in appearance:
"Keep your clothes clean." [74:4]
The Qur'an insists that the believer maintain a constant state of purity:
"Believers! When you prepare for prayer wash your faces, and your hands
(and arms) to the elbows; rub your heads (with water) and (wash) your feet
up to the ankles. If you are ritually impure bathe your whole body." [5: 6]
Ritual impurity refers to that resulting from sexual release, menstruation and the first
forty days after childbirth. Muslims also use water, not paper or anything else to after
eliminating body wastes. Prophet Muhammad )pbuh) advised the Muslims to appear neat
and tidy in private and in public. Once when returning home from battle he advised his
army:
"You are soon going to meet your brothers, so tidy your saddles and
clothes. Be distinguished in the eyes of the people." [Abu Dawud]
On another occasion he said:
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/someaspects.html (1 of 18)13/05/2006 23:44:58
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
"Don't ever come with your hair and beard disheveled like a devil." [AlTirmidhi]
And on another:
"Had I not been afraid of overburdening my community, I would have
ordered them to brush their teeth for every prayer." [Bukhari]
Moral hygeine was not ignored, either, for the Prophet (pbuh) encouraged the muslims to
make a special prayer upon seeing themselves in the mirror:
"Allah, You have endowed me with a good form; likewise bless me with an
immaculate character and forbid my face from touching the
Hellfire." [Ahmad]
And modesty in dress, for men as well as for women, assists one in maintaining purity of
thought. Being charitable is a way of purifying one's wealth. A Muslim who does not
give charity (Sadaqah) and pay the required annual Zakaah, the 2.5% alms-tax, has in
effect contaminated his wealth by hoarding that which rightfully belongs to others:
"Of their wealth take alms so that you may purify and sanctify them." [9:
103]
All the laws and injunctions given by Allah and His Prophet (pbuh) are pure; on the other
hand, man-made laws suffer from the impurities of human bias and other imperfections.
Thus any formal law can only be truly just when it is purified by divine guidance - as
elucidated by the Qur'an and the Sunnah - or if it is divinely ordained to begin with - the
Shari'ah.
Muslims Contribution To Science
Astronomy
Muslims have always had a special interest in astronomy. The moon and the sun are of
vital importance in the daily life of every Muslim. By the moon, Muslims determine the
beginning and the end of the months in their lunar calendar. By the sun the Muslims
calculate the times for prayer and fasting. It is also by means of astronomy that Muslims
can determine the precise direction of the Qiblah, to face the Ka'bah in Makkah, during
prayer. The most precise solar calendar, superior to the Julian, is the Jilali, devised under
the supervision of Umar Khayyam.
The Qur'an contains many references to astronomy. For example:
"The heavens and the earth were ordered rightly, and were made
subservient to man, including the sun, the moon, the stars, and day and
night. Every heavenly body moves in an orbit assigned to it by God and
never digresses, making the universe an orderly cosmos whose life and
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/someaspects.html (2 of 18)13/05/2006 23:44:58
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
existence, diminution and expansion, are totally determined by the
Creator." [Qur'an 30:22]
These references, and the injunctions to learn, inspired the early Muslim scholars to study
the heavens. They integrated the earlier works of the Indians, Persians and Greeks into a
new synthesis. Ptolemy's Almagest (the title as we know it is Arabic) was translated,
studied and criticized. Many new stars were discovered, as we see in their Arabic names Algol, Deneb, Betelgeuse, Rigel, Aldebaran. Astronomical tables were compiled, among
them the Toledan tables, which were used by Copernicus, Tycho Brahe and Kepler. Also
compiled were almanacs - another Arabic term. Other terms from Arabic are zenith,
nadir, albedo, azimuth.
Muslim astronomers were the first to establish observatories, like the one built at
Mugharah by Hulagu, the son of Genghis Khan, in Persia, and they invented instruments
such as the quadrant and astrolabe, which led to advances not only in astronomy but in
oceanic navigation, contributing to the European age of exploration.
Geography
Muslim scholars paid great attention to geography. In fact, the Muslims' great concern for
geography originated with their religion. The Qur'an encourages people to travel
throughout the earth to see God's signs and patterns everywhere. Islam also requires each
Muslim to have at least enough knowledge of geography to know the direction of the
Qiblah (the position of the Ka'bah in Makkah) in order to pray five times a day. Muslims
were also used to taking long journeys to conduct trade as well as to make the Hajj and
spread their religion. The far-flung Islamic empire enabled scholar-explorers to compile
large amounts of geographical and climatic information from the Atlantic to the Pacific.
Among the most famous names in the field of geography, even in the West, are Ibn
Khaldun and Ibn Batuta, renowned for their written accounts of their extensive
explorations.
In 1166, Al-Idrisi, the well-known Muslim scholar who served the Sicilian court,
produced very accurate maps, including a world map with all the continents and their
mountains, rivers and famous cities. Al-Muqdishi was the first geographer to produce
accurate maps in color.
It was, moreover, with the help of Muslim navigators and their inventions that Magellan
was able to traverse the Cape of Good Hope, and Da Gama and Columbus had Muslim
navigators on board their ships.
Humanity
Seeking knowledge is obligatory in Islam for every Muslim, man and woman. The main
sources of Islam, the Qur'an and the Sunnah (Prophet Muhammad's traditions), encourage
Muslims to seek knowledge and be scholars, since this is the best way for people to know
Allah (God), to appreciate His wondrous creations and be thankful for them. Muslims
were therefore eager to seek knowledge, both religious and secular, and within a few
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/someaspects.html (3 of 18)13/05/2006 23:44:58
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
years of Muhammad's mission, a great civilization sprang up and flourished. The
outcome is shown in the spread of Islamic universities; Al-Zaytunah in Tunis, and AlAzhar in Cairo go back more than 1,000 years and are the oldest existing universities in
the world. Indeed, they were the models for the first European universities, such as
Bologna, Heidelberg, and the Sorbonne. Even the familiar academic cap and gown
originated at Al-Azhar University.
Muslims made great advances in many different fields, such as geography, physics,
chemistry, mathematics, medicine, pharmacology, architecture, linguistics and
astronomy. Algebra and the Arabic numerals were introduced to the world by Muslim
scholars. The astrolabe, the quadrant, and other navigational devices and maps were
developed by Muslim scholars and played an important role in world progress, most
notably in Europe's age of exploration.
Muslim scholars studied the ancient civilations from Greece and Rome to China and
India. The works of Aristotle, Ptolemy, Euclid and others were translated into Arabic.
Muslim scholars and scientists then added their own creative ideas, discoveries and
inventions, and finally transmitted this new knowledge to Europe, leading directly to the
Rennaissance. Many scientific and medical treatises, having been translated into Latin,
were standard text and reference books as late as the 17th and 18th centuries.
Mathematics
It is interesting to note that Islam so strongly urges mankind to study and explore the
universe. For example, the Holy Qur'an states:
"We (Allah) will show you (mankind) Our signs/patterns in the horizons/
universe and in yourselves until you are convinced that the revelation is the
truth." [Qur'an, 14:53]
This invitation to explore and search made Muslims interested in astronomy,
mathematics, chemistry, and the other sciences, and they had a very clear and firm
understanding of the correspondences among geometry, mathematics, and astronomy.
The Muslims invented the symbol for zero (The word "cipher" comes from Arabic sifr),
and they organized the numbers into the decimal system - base 10. Additionally, they
invented the symbol to express an unkown quantity, i.e. variables like x.
The first great Muslim mathematician, Al-Khawarizmi, invented the subject of algebra
(al-Jabr), which was further developed by others, most notably Umar Khayyam. AlKhawarizmi's work, in Latin translation, brought the Arabic numerals along with the
mathematics to Europe, through Spain. The word "algorithm" is derived from his name.
Muslim mathematicians excelled also in geometry, as can be seen in their graphic arts,
and it was the great Al-Biruni (who excelled also in the fields of natural history, even
geology and mineralogy) who established trigonometry as a distinct branch of
mathematics. Other Muslim mathematicians made significant progress in number theory.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/someaspects.html (4 of 18)13/05/2006 23:44:58
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Medicine
In Islam, the human body is a source of appreciation, as it is created by Almighty Allah
(God). How it functions, how to keep it clean and safe, how to prevent diseases from
attacking it or cure those diseases, have been important issues for Muslims. Prophet
Muhammad himself urged people to "take medicines for your diseases", as people at that
time were reluctant to do so. He also said: "God created no illness, but established for it a
cure, except for old age. When the antidote is applied, the patient will recover with the
permission of God."
This was strong motivation to encourage Muslim scientists to explore, develop, and apply
empirical laws. Much attention was given to medicine and public health care. The first
hospital was built in Baghdad in 706 AC. The Muslims also used camel caravans as
mobile hospitals, which moved from place to place.
Since the religion did not forbid it, Muslim scholars used human cadavers to study
anatomy and physiology and to help their students understand how the body functions.
This empirical study enabled surgery to develop very quickly.
Al-Razi, known in the West as Rhazes, the famous physician and scientist, (d. 932) was
one of the greatest physicians in the world in the Middle Ages. He stressed empirical
observation and clinical medicine and was inrivalled as a diagnostician. He also wrote a
treatise on hygeine in hospitals. Khalaf Abul-Qasim Al-Zahrawi was a very famous
surgeon in the eleventh century, known in Europe for his work, Concessio (Kitab alTasrif).
Ibn Sina (d. 1037), better known to the West as Avicenna, was perhaps the greatest
physician until the modern era. His famous book, Al-Qanun fi al-Tibb, remained a
standard textbook even in Europe, for over 700 years. Ibn Sina's work is still studied and
built upon in the East.
Other significant contributions were made in pharmacology, such as Ibn Sina's Kitab alShifa' (Book of Healing), and in public health. Every major city in the Islamic world had
a number of excellent hospitals, some of them teaching hospitals, and many of them were
specialized for particular diseases, including mental and emotional. The Ottomans were
particularly noted for their building of hospitals and for the high level of hygeine
practiced in them.
Human Rights
Islam has been from its inception very concerned with issues of human rights. Privacy,
freedom, dignity and equality are guaranteed in Islam. The holy Qur'an states clearly:
"There is no compulsion in religion."
And there are no reliable reports to confirm the old accusations that when the Muslim
armies were expanding into Asia, Africa and Europe the people were put to the sword if
they failed to convert to Islam. The best proof is that not only did the Christians, Jews,
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/someaspects.html (5 of 18)13/05/2006 23:44:58
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Zoroastrians and Hindus in those areas not perish or otherwise disappear, they actually
flourished as protected minority communities, and many individuals rose to prominent
positions in the arts, sciences, even in government.
The lives,property and privacy of all citizens in an Islamic state are considered sacred,
whether or not the person is Muslim. Non-Muslims have freedom of worship and the
practice of their religions, including their own family law and religious courts. They are
obliged to pay a different tax (Jizyah) instead of the Zakah, and the state is obligated to
provide both protection and government services. Before the modern era it was extremely
rare to find a state or government anywhere in the world that was as solicitous of its
minorities and their civil rights as the Islamic states.
In no other religion did women receive such a degree of legal and moral equality and
personal respect. Moreover, racism and tribalism are incompatible with Islam, for the
Qur'an speaks of human equality in the following terms:
"Mankind! We created you from a single soul, male and female, and made
you into nations and tribes, that you may come to know one another. Truly,
the most honored of you in God's sight is the greatest of you in piety."
Jesus
Islam honors all the prophets who were sent to mankind. Muslims respect all prophets in
general, but Jesus in particular, because he was one of the prophets who foretold the
coming of Muhammad. Muslims, too, await the second coming of Jesus. They consider
him one of the greatest of Allah's prophets to mankind. A Muslim does not refer to him
simply as "Jesus," but normally adds the phrase "peace be upon him" as a sign of respect.
No other religion in the world respects and dignifies Jesus as Islam does. The Qur'an
confirms his virgin birth (a chapter of the Qur'an is entitled "Mary"), and Mary is
considered to have been one of the purest women in all creation. The Qur'an describes
Jesus' birth as follows:
"Behold!' the Angel said, God has chosen you, and purified you, and
chosen you above the women of all nations. Mary, God gives you good
news of a word from Him, whose name shall be the Messiah, Jesus son of
Mary, honored in this world and in the Hereafter, and one of those brought
near to God. He shall speak to the people from his cradle and in maturity,
and he shall be of the righteous. She said: "My Lord! How shall I have a
son when no man has touched me?' He said: "Even so; God creates what
He will. When He decrees a thing, He says to it, 'Be!' and it is." [3:42-47]
Muslims believe that Jesus was born immaculately, and through the same power which
had brought Eve to life and Adam into being without a father or a mother.
"Truly, the likeness of Jesus with God is as the likeness of Adam. He
created him of dust, and then said to him, 'Be!' and he was." [3:59]
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/someaspects.html (6 of 18)13/05/2006 23:44:58
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
During his prophetic mission, Jesus performed many miracles. The Qur'an tells us that he
said:
"I have come to you with a sign from your Lord: I make for you out of
clay, as it were, the figure of a bird, and breathe into it and it becomes a
bird by God's leave. And I heal the blind, and the lepers, and I raise the
dead by God's leave." [3:49]
Muhammad and Jesus, as well as the other prophets, were sent to confirm the belief in
one God. This is referred to in the Qur'an where Jesus is reported as saying that he came:
"To attest the law which was before me, and to make lawful to you part of
what was forbidden you; I have come to you with a sign from your Lord,
so fear God and obey me." [3:50]
Prophet Muhammad emphasized the importance of Jesus by saying:
"Whoever believes there is no god but Allah, alone without partner, that
Muhammad is His messenger, that Jesus is a servant and messenger of
God, His word breathed into Mary and a spirit emanating from Him, and
that Paradise and Hell are true, shall be received by God into Heaven.
[Bukhari]
Knowledge
Islam urges people to read and learn on every occasion. The verses of the Qur'an
command, advise, warn, and encourage people to observe the phenomena of nature, the
succession of day and night, the movements of stars, the sun, moon, and other heavenly
bodies. Muslims are urged to look into everything in the universe, to travel, investigate,
explore and understand them, the better to appreciate and be thankful for all the wonders
and beauty of God's creations. The first revelation to Muhammad showed how much
Islam cares about knowledge.
"Read, in the name of your Lord, Who created..." [96:1]
Learning is obligatory for both men and women. Moreover, education is not restricted to
religious issues; it includes all fields of knowledge, including biology, physics, and
technology. Scholars have the highest status in Islam, second only to that accorded to
prophets.
Almost from the very beginnings of the Islamic state Muslims began to study and to
master a number of fields of so-called secular learning, beginning with linguistics and
architecture, but very quickly extending to mathematics, physics, astronomy, geography,
medicine, chemistry and philosophy. They translated and synthesized the known works of
the ancient world, from Greece, Persia, India, even China. Before long they were
criticizing, improving and expanding on that knowledge. Centuries before the European
Rennaissance there were Muslim ³Rennaissance² men, men who were simultaneously
explorers, scientists, philosophers, physicians and poets, like Ibn Sina (Avicenna), Umar
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/someaspects.html (7 of 18)13/05/2006 23:44:58
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Khayyam, and others.
Muhammad
Muhammad (pbuh) was an illiterate but wise and well-respected man who was born in
Makkah in the year 570 C.E., at a time when Christianity was not yet fully established in
Europe. His first years were marked by the deaths of his parents. Since his father died
before his birth, his uncle, Abu Talib, from the respected tribe of Quraysh, raised him. As
Muhammad (pbuh) grew up, he became known for his truthfulness, generosity and
sincerity, so that he was sought after for his ability to arbitrate in disputes. His reputation
and personal qualities also led to his marriage, at the age of twenty-five, to Khadijah, a
widow whom he had assisted in business. Thenceforth, he became an important and
trusted citizen of Makkah. Historians describe him as calm and meditative.
Muhammad (pbuh) never felt fully content to be part of a society whose values he
considered to be devoid of true religious significance. It became his habit to retreat from
time to time to the cave of Hira', to meditate near the summit of Jabal al-Nur, the
"Mountain of Light", near Makkah.
At the age of 40, while engaged in one such meditative retreat, Muhammad (pbuh)
received his first revelation from God through the Angel Gabriel. This revelation, which
continued for twenty-three years, is known as the Qur'an, the faithful recording of the
entire revelation of God. The first revelation read:
"Recite: In the name of your Lord Who created man from a clot (of blood).
Recite: Your Lord is Most Noble, Who taught by the pen, taught man what
he did not know." [96:1-5]
It was this reality that he gradually and steadily came to learn and believe, until he fully
realized that it is the truth. His first convert was Khadijah, whose support and
companionship provided necessary reassurance and strength. He also won the support of
some of his relatives and friends. Three basic themes of the early message were the
majesty of the one, unique God, the futility of idol worship, the threat of judgment, and
the necessity of faith, compassion and morality in human affairs. All these themes
represented an attack on the crass materialism and idolatry prevalent in Makkah at the
time. So when he began to proclaim the message to others the Makkans rejected him. He
and his small group of followers suffered bitter persecution, which grew so fierce that in
the year 622 C.E., God gave them the command to emigrate. This event, the Hijrah
(migration), in which they left Makkah for the city of Madinah, some 260 miles to the
north, marked the beginning of a new era and thus the beginning of the Muslim calendar.
During his suffering, Muhammad (pbuh) drew comfort from the knowledge revealed to
him about other prophets, such as Abraham, Joseph, and Moses, each of whom had also
been persecuted and tested.
After several years and some significant battles, the Prophet and his followers were able
to return to Makkah, where they forgave their enemies and established Islam definitively.
By the time the Prophet died, at the age of 63, the greater part of Arabia had accepted
Islam, and within a century of his death, Islam had spread as far west as Spain and as far
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/someaspects.html (8 of 18)13/05/2006 23:44:58
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
east as China. It was clear that the message was not limited to Arabs; it was for the whole
of humanity.
The Prophet's sayings (Hadith), are also believed to be revelation. The number of sayings
collected by his followers and scholars is about 10,000. Some typical examples of his
sayings are as follows:
"To pursue knowledge is obligatory on every believing (man and
woman)." [Ibn Majah]
"Removing a harmful thing from the road is charity." [Bukhari, Muslim]
"Those who do not show tenderness and love cannot expect to have
tenderness shown to them." [Bukhari]
"Adore Allah (God) as though you see Him; even if you do not see Him,
He nonetheless sees you." {Bukhari, Muslim]
Although Muhammad is deeply loved, revered and emulated by Muslims as God's final
messenger, he is not an object of worship.
Other Religions
Islam is the religion of all prophets. Muslims believe that all the prophets were sent to
their respective peoples from God (Allah). They all had the same mission and message guiding people to the right path.
The three revealed, monotheistic religions, Islam, Christianity, and Judaism, go back to
Abraham. The prophets of these religions were directly descended from him - Moses,
Jesus and others from Isaac, but Muhammad from IsmaŒil. It was Prophet Abraham who
had established the settlement which today is the city of Makkah, and with his son
IsmaŒil built the KaŒbah, which Muslims all over the world face when they pray.
Christians and Jews hold a special place in Islam. They are called the People of the Book
(Ahl al-Kitab), since the original Torah and Gospel were also divinely revealed and they
shared in the prophetic tradition. Islamic states have nearly always shown their religious
minorities tolerance and respect and those communities flourished under Islamic rule.
God says:
"...[T]hose who believe (in the message of Islam), and the Jews, the
Sabaeans, and the Christians - all those who believe in Allah and the Last
Day, and act righteously - no fear shall come upon them..." [5:69]
Setting up the Islamic state in Madinah, Prophet Muhammad (pbuh) further warned:
"Whoever oppresses any Dhimmi (non-Muslim citizen of the Islamic
state), I shall be his prosecutor on the Day of Judgment."
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/someaspects.html (9 of 18)13/05/2006 23:44:58
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
In setting up the Islamic state, Prophet Muhammad made it inclusive of the Arabian Jews
and Christians. Their persons, properties, churches and synagogues were protected,
freedom of worship was guaranteed, and they controlled their own community affairs
with their own civil and religious laws and courts. For most of the first century of the
Islamic state, in fact, the majority of the citizens were Christians, enjoying peace and
liberty such as they had not had even under Christian Rome or Byzantium.
The Jews, from the very beginning in Madinah, and later everywhere else, were lifted
from the burden of being clients of individual Arab tribes to being citizens of the state,
thus freeing them to focus on their Jewishness. When the Islamic state expanded outside
Arabia the Jews of other lands were treated for the first time as liberated citizens. Judaism
flourished as never before, with Jews even serving in Muslim armies and administrations
while their culture bloomed in the arts, sciences, medicine and philosophy. This
knowledge they transmitted to their brethren in the hostile climate of Christian Europe.
Even Jewish mysticism originated under the influence of sufism and spread to northern
Europe.
When Islam reached Persia the concept of People of the Book was extended to the
Zoroastrians as well. Later, when the Muslims conquered parts of India and encountered
Buddhists and Hindus, who appeared to worship idols, the question was referred to the
ulema (council of scholars), who judged that even they could have the same protected
status as the Jews and Christians, so long as they did not fight Islam and they paid the
Jizyah tax.
Peace
"Peace" is the most common word on a Muslim's tongue. Whenever two people meet,
they exchange greetings, wishing each other peace: "Peace be upon you." But peace
cannot prevail except through justice. Since the concept of justice may differ from one
man to another, or from one society to another, Muslims believe that real justice is that
which is specified by Allah (God).
Islam permits fighting in self-defense, in defense of the religion, or by those who have
been expelled forcibly from their homes. At the same time, Islam requires one to treat
one's enemy mercifully. It lays down strict rules of combat which include prohibitions
against harming civilians and against destroying crops, trees, and livestock. Islam also
requires that if an enemy declares his desire to end hostilities and seek peace, the
Muslims must do the same.
The concept of Jihad (struggling in the cause of Allah) is stated in the Qur'an. Allah said:
"Fight in the cause of God those who fight you, but do not transgress limits. God does not
love transgressors." [2:19] Jihad is never to be waged to force anybody to choose a
particular religion. On the contrary, it is to waged to protect his right to choose freely.
Therefore, if there is a force in the world that tries to prevent a person from practicing
this right, Jihad may lead to fighting the force that is trying to prevent him from
exercising free will.
Relevance
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/someaspects.html (10 of 18)13/05/2006 23:44:58
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Since Islam is the last religion revealed by Allah, it possesses some elements that make it
unique. One of these is its relevance for human beings regardless of place and time.
This means that Islam - submission to God - is a comprehensive institution which
includes all the guidelines necessary for all aspects of life. Therefore, the best way to
understand Islam is to look at it as more than a religion - as a complete way of life. In
other words, it is a system which regulates every aspect of life, dealing with all issues social, economic, educational, judicial, health, and even military. Thus, it is suitable for
all human beings and for all times, since it is the final religion. Islamic law aims to
achieve five goals for human beings in life: protecting the religion, protecting one's self,
protecting one's possessions, protecting one's mind, and protecting one's offspring.
Therefore, God (Allah) decided on two main domains of law:
1. If the domain always requires change and progress, Allah legislated
comprehensive yet flexible rules and gave people the chance to create and develop
the necessary laws to satisfy the specific needs of a certain period of time. For
example, in the rule of consultation (Shura), Allah decided that it should be the
general rule for any government; however, its form and style are left open for
people to choose and decide according to their needs.
2. If the domain does not require or lend itself to change or progress, Allah legislated
fixed and detailed laws that govern all issues related to a specific area. Thus, there
is no way for man to change or develop those laws, which were made for the
welfare of all mankind. For example, the area of worshipping God contains fixed
details which cannot be changed at all. These regard prayer, fasting, making
pilgrimage, etc. Another example is in family matters, such as the laws of
marriage, divorce, and inheritance.
To show how Islam cares for the environment, one can cite the many laws that protect the
environment. About fourteen hundred years ago. Prophet Muhammad (pbuh) said:
"The world is green and beautiful, and Allah has appointed you as His
stewards over it. He sees how you acquit yourselves."
Muhammad showed how important plants and trees are by saying:
"Whoever plants a tree and looks after it with care until it matures and
becomes productive will be rewarded in the Hereafter."
Even in the territory of an enemy, Islam's care for plants, animals, and trees is profound.
Abu Bakr, the first Caliph, or successor, to Muhammad (pbuh), instructed his troops that
he was sending into battle not to cut down any trees or kill any animals except for food.
These are but a few examples of how Islam remains relevant in the modern world.
Sources: Quran and Sunnah
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/someaspects.html (11 of 18)13/05/2006 23:44:58
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
The ultimate manifestation of God's grace for man, the ultimate wisdom, and the ultimate
beauty of expression: in short, the word of God. This is how the German scholar,
Muhammad Asad, once described the Qur'an. If one were to ask any Muslim to depict it,
most likely they would offer similar words. The Qur'an, to the Muslim, is the irrefutable,
inimitable Word of God. It was revealed by God Almighty, through the instrument of
Prophet Muhammad (pbuh). The Prophet (pbuh) himself had no role in authoring the
Qur'an, he was merely a human secretary, repeating the dictates of the Divine Creator:
"He (Muhammad) does not speak of his own desire. It is no less than an
Inspiration sent down to him." [53:3-4]
The Qur'an was revealed in Arabic, to Prophet Muhammad (pbuh), over a period of
twenty-three years. It is composed in a style so unique, that it cannot be deemed either
poetry or prose, but somehow a mixture of both. The Qur'an is imimitable; it cannot be
simulated or copied, and God Almighty challenges mankind to pursue such an endeavor
if he thinks he can:
"Or do they say he forged it? Say: Bring then a chapter like unto it, and call
(to your aid) anyone you can, beside God, if it be you speak the
truth." [10:38].
The Qur'an's language is indeed sublime, its recitation moving, as one non-Muslim
scholar noted, it was like ³the cadence of my heartbeat². Due to its unique style of
language, the Qur'an is not only highly readable, but also relatively easy to remember.
This latter aspect has played an important role not only in the Qur'an's preservation, but in
the spiritual life of Muslims as well. God Himself declares:
"And We have indeed made the Qur'an easy to understand and remember;
then is there anyone that will receive admonition?" [54:17]
One of the most important characteristics of the Qur'an is that it remains today, the only
holy book which has never changed; it has remained free from any and all adulterations.
Sir William Muir noted, "There is probably in the world no other book which has
remained (fourteen) centuries with so pure a text." The Qur'an was written down during
the lifetime and under the supervision of the Prophet, who himself was illiterate, and it
was canonized shortly after his death by a rigorous method which scrutinized both written
and oral traditions. Thus its authenticity is unblemished, and is its preservation is seen as
the fulfillment of God's promise:
"We have, without doubt, sent down the Message, and We will assuredly
guard it from corruption." [15:9]
The Qur'an is a book which provides the human being the spiritual and intellectual
nourishment he/she craves. Its major themes include the oneness of God, the purpose of
human existence, faith and God-consciousness, the Hereafter and its significance. The
Qur'an also lays a heavy emphasis upon reason and understanding. In these spheres of
human understanding, the Qur'an goes beyond just satisfying the human intellect; it
causes one to reflect on implications. There are Qur'anic challenges and prophecies. One
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/someaspects.html (12 of 18)13/05/2006 23:44:58
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
of the most exciting fields in recent years has been the discovery that, of the significant
amount of scientific information in the Qur'an, including the event of the Big Bang,
embryological data, and other information concerning astronomy biology, etc., there is
not a single statement that has not been borne out by modern discoveries In short, the
Qur'an fulfills the heart, the soul, and the mind.
Perhaps the best description of the Qur'an was given by Ali, the cousin of Prophet
Muhammad (pbuh) when he expounded upon it as:
"The Book of God. In it is the record of what was before you, the judgment
of what is among you, and the prophecies of what will come after you. It is
decisive, not a case for levity. Whoever is a tryant and ignores the Qur'an
will be destroyed by God. Whoever seeks guidance from other than it will
be misguided. The Qur'an is the unbreakable bond of connection with God;
it is the remembrance full of wisdom and the straight path. The Qur'an does
not become distorted by tongues. nor can it be deviated by caprices; it
never dulls from repeated study; scholars will always want more of it. The
wonders of the Qur'an are never ending. Whoever speaks from it will speak
the truth, whoever rules with it will be just, and whoever holds fast to it
will be guided to the straight path." [Al-Tirmidhi]
Sunnah
The term Sunnah comes from the root word sanna, which means to pave the way or make
a path easily passable, such that it becomes a commonly followed way by everyone
afterwards. Thus sunnah can be used to describe a street or road or path on which people,
animals, and cars travel. Additionally, it can apply to a prophetic way, i.e. the law that
they brought and taught as an explanation or further clarification of a divinely revealed
book. Normally, the prophetic way includes references to his sayings, actions, physical
features and character traits.
From the Islamic standpoint, Sunnah refers to anything narrated or related about the
Prophet Muhammad (pbuh), authentically traced to him regarding his speech, actions,
traits, and silent approvals, before and after the revelation.
Each narration is composed of two parts: the isnad and the matn. The isnad refers to a
chain of people who narrated a paricular narration. The matn is the actual text of the
narration. The isnad must comprise upright and sincere individuals whose integrity is
unquestionable.
The Speech of Prophet Muhammad (pbuh)
The speech of Prophet Muhammad (pbuh) refers to his sayings. For example, he said:
"Actions are judged by their intentions; everyone will be rewarded
according to his/her intention. So whoever migrates for the sake of Allah
and His Prophet then his migration will be noted as a migration for the sake
of Allah and His Prophet. Conversely, one who migrates only to obtain
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/someaspects.html (13 of 18)13/05/2006 23:44:58
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
something worldly or to marry a woman, then his migration will be worth
what he had inteded.² [Bukhari]. The Prophet (pbuh) also said: ³Whoever
believes in Allah and the Last Day, should say something good or keep
quiet.
The above two accounts clearly show that the Prophet (pbuh) spoke these words.
Consequently, these are known as his speech.
The Actions of Prophet Muhammad (pbuh)
His actions pertain to anything he did, as authentically reported by the Sahabah
(Companions). For instance, Hudhayfah reported that whenever the Prophet (pbuh) got
up at night, he would clean his teeth with a tooth-stick. Also A'ishah reported that the
Prophet (pbuh) loved to do everything starting with the right side - putting on shoes,
walking, cleaning himself, and in all his affairs generally.
The Silent Approvals of Prophet Muhammad (pbuh)
His silent approvals on different issues meant his not opposing or minding what he saw,
heard or knew of the actions or sayings of his Companions. On one occasion, for
example, the Prophet (pbuh) learned of actions of some of his Companions from other
Companions. Soon after the battle of Khandaq, Prophet Muhammad (pbuh) gave the
order to the Companions to move quickly to surround the enemies attacking the city of
Madinah, encouraging them to hurry so that perhaps they would pray 'Asr (the late
afternoon prayer) there. Some of the Companions of the Prophet (pbuh) responded
immediately and left without praying 'Asr. They arrived after sunset, pitched camp and
prayed 'Asr- after sunset. At the same time another group of Companions formulated their
judgment differently. They thought that the Prophet (pbuh) was merely encouraging them
to hasten to their destination, rather than to delay 'Asr until after sunset. Consequently,
they decided to stay in Madinah until they had prayed 'Asr. Immediately thereafter, they
hastened towards the enemies. When the Prophet (pbuh) was told of how each group
responded differently to his announcement, he (pbuh) affirmed both judgments.
Physical and Moral Traits of Prophet Muhammad (pbuh)
Everything authentically narrated concerning the Prophet's complexion and the rest of his
physical features is also included in the definition of sunnah. Umm Ma'bad described
what she saw of the great Prophet (pbuh). She said:
"I saw a man, his face radiant with a bright glow, not too thin or too fat,
elegant and handsome. His eyes had a deep black hue with long eyelashes.
His voice was pleasant and his neck long. He had a thick beard. His long
black eyebrows were beautifully arched and connected to each other. In
silence, he remained dignified, commanding utmost awe and respect. When
he spoke, his speech was brilliant. Of all people he was the most handsome
and the most pleasant, even when approaching from a distance. In person,
he was unique and most admirable. Graced with eloquent logic, his speech
was moderate. His logical arguments were well organized as though they
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/someaspects.html (14 of 18)13/05/2006 23:44:58
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
were a string of gems. He was not too tall or too short, but exactly in
between. Among three, he appeared the most radiant and most vibrant. He
had companions who affectionately honored him. When he spoke, they
listened to him attentively. When he gave orders, they were quick to
execute them. They rallied around him guarding him. He never frowned or
spoke frivolously." [Hakim]
Along with his physical features, his Companions also described his habits and behavior
with people. Once Anas reported:
"I served the Prophet of Allah (pbuh) for ten years. Never once did he so
much as express any bit of displeasure nor did he ever ask 'Why did you do
it?' for something I did or 'Why didn't you do it?' for something I didn't do."
From the above we can clearly see that when the term sunnah appears in a general
context refering to Prophet Muhammad (pbuh) it comprises anything narrated about the
Prophet (pbuh) and authentically traced to him. Once a Muslim learns of the authenticity
of any narration, he/she is obliged to follow and obey it accordingly. Such obedience is
mandated by Allah as He declares:
"...and obey Allah and His Prophet and do not turn away when you hear
(him speak)." [8:20]
At times, some Muslims are perplexed when people say that sunnah is something only
recommeded and is not mandatory. Thus they conclude that we are only required to
follow the Qur'an and not the Sunnah. Such an argument results from a gross
misunderstanding. Scholars of Islamic jurisprudence use the term sunnah to denote what
is authentically established of Prophet Muhammad (pbuh) in deeds which were not
subsequentlly made mandatory by Allah.
They further hold that this includes any saying of Prophet Muhammad (pbuh) where he
encourages Muslims to do a particular task and compliments those who imbibe such
attributes. Thus to them, the term sunnah denotes what is authentically established of
Prophet Muhammad (pbuh) in deeds which he did voluntarily and which were not
subsequently made mandatory by Allah. They further hold that this includes any saying
of Prophet Muhammad (pbuh) where he encourages Muslims to do a particular task and
compliments those who imbibe such attributes. Thus to them, the term sunnah refers to
what is "recommended" and is not mandatory (fard or wajib).
From the above, we can clearly see that the term sunnah takes on different meanings
when used by different Islamic disciplines.
Tolerance
Freedom of belief is guaranteed in Islam. It should be very clear that Islam tolerates not
only other faiths but even its enemies. This is stated clearly in the Qur'an:
"God forbids you not with regard to those who fight you not for (your)
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/someaspects.html (15 of 18)13/05/2006 23:44:58
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
faith, nor drive you out of your homes, from dealing kindly and justly with
them, for God loves those who are just." [60:8]
It is one function of Islamic law to protect the privileged status of minorities, and this is
why non-Muslim places of worship have flourished all over the Islamic world. Islamic
law also permits non-Muslim minorities to set up their own courts to implement family
laws drawn up by the minorities themselves and to govern their own affairs.
History provides many examples of Muslim tolerance towards other faiths. When the
great leader and second Caliph, Umar, entered Jerusalem in the year 634, Islam
guaranteed freedom of worship to all religious communities in the city. In fact, so careful
was Umar in setting an example for his people that he not only went to a church to pray,
he prayed outside in the courtyard, lest his followers after his death be tempted to convert
the church into a mosque.
Islam teaches that the closest to Allah and the most beloved of Allah are those who are
the best in piety. Thus all people, male and female, and regardless of race, color,
nationality or ethnicity, are considered and treated as equal before Allah and before the
law. This concept of tolerance did not reach the West even in theory until the 18th
century, and in practice not until the 20th century.
Universality
In the Qur'an, Allah says:
"We have sent you (Muhammad) as a mercy for all nations." [21:107]
Thus Islam is not restricted to any particular race or nation, as many other religions are,
but is universal, meaning that its message applies to all humanity, at all times, in all
places.
Since Prophet Muhammad (pbuh) was the last prophet and messenger, his message
applies to all future generations. All previous prophets, from Adam, Noah and Abraham
to Moses and Jesus, were also Muslims:
"Not a single messenger did We send before you without this inspiration
sent by Us to him - that there is no god but I, therefore worship and serve
Me." [21:25]
Since the Qur'an is the final testament, with every word and every letter unadulterated
and unchanged, and protected by Allah from any change or tampering, it is the final
revelation, and no other law will ever supersede it.
It applies, moreover, to every aspect of one's daily life, including personal, social, legal,
economic, political, even military. Furthermore, Islam affects every part of the individual
- physical, mental, emotional, and spiritual.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/someaspects.html (16 of 18)13/05/2006 23:44:58
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Women
At a time when the rest of the world, from Greece and Rome to India and China,
considered women as no better than children or even slaves, with no rights whatsoever,
Islam acknowledged women's equality with men in a great many respects. The Qur'an
states:
"And among His signs is this: that He created mates for you form
yourselves that you may find rest, peace of mind in them, and He ordained
between you love and mercy. Lo, herein indeed are signs for people who
reflect." [30:21]
Prophet Muhammad said:
"The most perfect in faith amongst believers is he who is best in manners
and kindest to his wife." [Abu Dawud]
Muslims believe that Adam and Eve were created from the same soul. Both were equally
guilty of their sin and fall from grace, and both were forgiven by Allah. Many women in
Islam have had high status; consider the fact that the first person to convert to Islam was
Khadijah,the wife of Muhammad, whom he both loved and respected. His favorite wife
after Khadijah's death, AŒisha, became renowned as a scholar and one of the greatest
sources of Hadith literature. Many of the female Companions accomplished great deeds
and achieved fame, and throughout Islamic history there have been famous and
influential scholars, jurists and mystics.
With regard to education, both women and men have the same rights and obligations.
This is clear in Prophet Muhammad's saying:
"Seeking knowledge is mandatory for every believer, men and
women." [Ibn Majah]
A woman is to be treated as God has endowed her, with rights, such as to be treated as an
individual, with the right to own and dispose of her own property and earnings, enter into
contracts, even after marriage. She has the right to be educated and to work outside the
home if she so chooses. She has the right to inherit from her father, mother, and husband.
A very interesting point to note is that in Islam, unlike any other religion, a woman can be
an imam, a leader of communal prayer, for a group of women.
A Muslim woman also has obligations. All the laws and regulations pertaining to prayer,
fasting, charity, pilgrimage, doing good deeds, etc., apply to women, albeit with minor
differences having mainly to do with female physiology.
Before marriage, a woman has the right to choose her husband. Islamic law is very strict
regarding the necessity of having the woman's consent for marriage. A marriage dowry is
given by the groom to the bride for her own personal use. She keeps her own family
name, rather than taking her husband's. As a wife, a woman has the right to be supported
by her husband even if she is already rich. She also has the right to seek divorce and
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/someaspects.html (17 of 18)13/05/2006 23:44:58
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
custody of young children. She does not return the dowry, except in a few unusual
situations.
Despite the fact that in many places and times Muslim communities have not always
adhered to all or even many of the foregoing in practice, the ideal has been there for1,400
years, while virtually all other major civilzations did not begin to address these issues or
change their negative attitudes until the19th and 20th centuries, and there are still many
contemporary civilzations which have yet to do so.
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/someaspects.html (18 of 18)13/05/2006 23:44:58
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
AJARAN RASULULLAH SAW BUKAN FAHAM,
MELAINKAN DIEN
M. Syamsi Ali
(Artikel ini merupakan tanggapan dari artikel Sosialisme dalam Islam oleh AlamTulus)
Pertama-tama harus disadari bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW
bukanlah suatu faham atau isme sebagaimana difahami oleh sebagian manusia.
Muhammad tak lebih dari seorang "Pesuruh Allah" dalam menyampaikan ajaran Allah
yang disebut "Dien" al Islam. Dien adalah petunjuk agama sekaligus petunjuk hidup yang
baku dan mutlak kebenarannya, karena ia datang dari Yang Mutlak kebenarannya
(ALHAQ) pula. Sedangkan isme atau faham adalah hasil jangkauan daya fikir manusia
yang terbatas dan sangat-sangat relatif. Dengan demikian, segala upaya yang ditampilkan
untuk menjustify bahwa ajaran Islam adalah buatan Muhammad, Muhammadanisme
misalnya, tak akan pernah diterima oleh seorang Muslim yang sejati.
Dengan demikian, adalah sangat keliru jika ada yang berpendapat bahwa Muhammad
SAW mengajarkan sosialisme, dalam artian suatu faham manusia seperti yang diajarkan
oleh Karl Marx. Nilai sosial yang ada dalam ajaran Islam hanyalah merupakan bagian
dari inti ajaran Islam, namun nilai ini tidak terlepas dari ajaran Islam yang menyeluruh
serta adil dalam menyikapi kebutuhan hidup manusia, dan yang terpenting bahwa konsep
sosial dalam Islam berbeda dari berbagai konsep-konsep sosial ciptaan manusia. Dengan
kata lain, Islam, selain menekankan pentingnya hak-hak sosial (huquuq ijtima'iayh)
namun juga tidak berarti menyia-nyiakan hak-hak individual (huquuq infiradiyah).
Ajaran Islam menyeimbangkan antara kepemilikan jama'I (milkiyat jama'iayah) dan
kepemilikan individual (milkiyah fardiyah).
KONSEP KEADILAN KOLEKTIF
Benar adanya bahwa sebelum datangnya Nabi Muhammad, kota Mekah menjadi salah
satu pusat niaga dunia, yang sekaligus menjadikannya sebagai salah pusat kapitaslime,
selain Roma di barat dan Persia di Timur. Kesenjangan sosial memang hebat, sehingga
tingkat perbudakan demikian tinggi. Dan Islam datang, dengan salah satu tujuan untuk
memberantas penyimpangan tersebut.
Namun alangkah kelirunya, jika disimpulkan bahwa Rasulullah SAW datang hanya
sekedar untuk memberantas ketidak adilan perekonomian tersebut. Sehingga terlahir
kesimpulan lain bahwa permusuhan kaum Kafir Qurays tidaklah terlahir karena gugatan
keyakinan (agama) melainkan karena dorongan untuk mempertahankan status quo
perekonomian mereka.
Asumsi di atas barangkali ada benarnya, tapi berkesimpulan demikian adalah keliru dan
sangat timpang serta sempit. Sebab bagaimana pun juga, dalam pandangan Islam ketidak
adilan sosial-ekonomi hanyalah konsekwensi dari ketidak adilan dalam kehidupan secara
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/sosialisme.html (1 of 4)13/05/2006 23:45:10
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
menyeluruh. Sedangkan akar dari segala ketidak adilan dalam kehidupan manusia ada
pada ketidak adilan keyakinan atau keimanan yang lazimnya disebut "kesyirikan".
Sehingga dalam Islam dikenal "syirik" adalah merupakan kezaliman tertinggi (dzulmun
adziim), karena kesyirikan akidak inilah yang melahirkan berbagai bentuk ketidak-adilan
dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk sosio-ekonominya.
Di dalam Al Qur'an sendiri ditegaskan, betapa yang menjadi pukulan berat bagi kaum
Kafir ketika itu adalah karena ajaran Islam menjadikan segala sembahan/ketaatan
bermuara kepada Yang Maha Tunggal (Ilaah). Sehingga mereka berkata: "Ayaj'alu
aalihatana Ilaahan waahidan? Inna hadzaa lasyaeun 'ajiib" (Apakah dia menjadikan tuhantuhan kita menjadi tuhan yang satu? Sungguh ini adalah suatu yang aneh).
Memang benar, semua nabi datang untuk membebaskan manusia dari berbagai
perbudakan; seperti Musa, Isa, Muhammad SAW, dll. Namun semua itu tidak dapat
dipilah-pilah dari pembebasan yang menyeluruh. Pembebasan dari perbudakan
perekonomian, politik, sosial budaya, dll, hanya dapat terjadi jika dimulai dengan
pembebasan akidah dari keyakinan yang bathil kepada keyakinan yang haq. "Faman
yakfur bittaghuut wa yu'min billah faqadistamsaka bil'urwatil wutsqaa" (maka
barangsiapa yang kafir dengan thagut (segala bentuk penyembahan dan ketaatan selain
kepada Allah) dan beriman kepada Allah maka sungguh telah berpegang teguh kepada
tali yang kuat).
Manusia yang memiliki keyakinan atau akidah yang benar akan terkelompok dengan
sendirinya ke dalam tataran masyarakat tauhidi, yaitu suatu masyarakat yang kokoh
dalam keimanan serta mampu merefleksikan keimanannya dalam kehidupan yang nyata.
Masyarakat inilah yang pernah melahirkan "Masyarakat Tunggal" (Ummah wahidah atau
ummat tauhidi) yang terdiri dari berbagai komponen; Abu Bakar, Umar, Ali, Utsman,
Bilal al Habsyi, Ammar bin Yasir, Suhaib ar Rumi, Salman Al Farisi, dll. Mereka adalah
sahabat-sahabat agung yang berlatar belakang yang berbeda-beda, namun mampu
mewujudkan masyarakat tauhidi sehingga perbedaan latar belakang tidak menjadi alasan
untuk membeda-bedakan diri.
PENAFSIRAN HAWA NAFSU
Ajaran Islam sebagaimana telah disinggung adalah ajaran universal, dalam arti tidak
dibatasi oleh masa dan tempat. Ketika Allah menyampaikan suatu permasalahan dalam
ajarannya lewat Al Qur'an, penentangan kepada para penumpuk harta misalnya, maka
tidaklah sama sekali ditujukan untuk penentangan kepada kaum kapitalis semata, apalagi
kalau diasumsikan bahwa Al Qur'an ini bertujuan untuk mendukung teori sosialisme. Al
Qur'an datang untuk menentang segala upaya penumpukan harta secara batil. Dengan
kata lain, Islam menghendaki agar keinginan seseorang untuk kaya tidak harus
bertubrukan dengan nilai-nilai sosial manusia, serta tidak menjadikannya lupa akan misi
sesungguhnya dari kehidupan ini (beribadah).
Dalam agama Islam, mencari dunia adalah kewajiban yang sama dengan kewajiban
agama lainnya. "Jika anda telah menunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di atas
bumi ini untuk mencari keutamaan (rezki) Allah", firmanNya. Pada ayat dijelaskan: "Dan
carilah kehidupan akhirat yang telah dipersiapkan bagimu tapi jangan lupa pula
kehidupan duniamu". Diriwayatkan bahwa seseorang menceritakan kepada Rasulullah
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/sosialisme.html (2 of 4)13/05/2006 23:45:10
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
SAW tentang sahabat yang rajin beribadah. Seluruh waktunya dihabiskan untuk berdzikir
dan shalat. Rasulullah bertanya: "lalu siapa yang memberinya makan? " Jawabannya:
"Saudaranya". Jawab baginda Rasulullah SAW: "kalau begitu saudaranya itu lebih baik
darinya".
Dari ayat-ayat dan hadits serta berbagai ayat yang ada di Al Qur'an jelas bahwa mencari
dunia bagi manusia adalah kewajiban. Hanya saja, Islam mengajarkan keseimbangan
hidup. Sehingga perintah untuk mencari dunia jangan sampai menjadikan seseorang lupa
akan kehidupan di akhirat kelak. Demikian pula, al Qur'an memperingatkan jangan
sampai kesibukan dalam mencari dunia menjadikan kita lupa terhadap nilai sosial
kehidupan kita.
Demikian pula ayat-ayat yang lain, Al An'aam 145, al Abaqarah: 188, semua itu
mengingatkan kiranya keinginan untuk mencari dunia hendaknya tidak terlepas kendali
sehingga segala cara menjadi halal. Namun sekali lagi, kecenderungan untuk memahami
ayat-ayat ini sebagai pembelaan kepada konsep sosialisme adalah kecenderungan yang
sempit dan batil.
WARISAN KEPEMIMPINAN
Surah Al Qasash 5-6 menjelaskan bahwa Allah akan mewariskan kepemimpinan kepada
kaum yang tertindas (mustadh'afiin). Namun perlu digaris bawahi bahwa semua ini tidak
akan terjadi begitu saja. Perhatikan ayat 3, dimana dijelaskan bahwa penyampaian ini
ditujukan kepada kaum yang beriman. Dengan demikian, tanpa keimanan dan akidah
yang benar, mereka yang tertindas sekalipun tak jaminan untuk diberikan kepemimpinan
di atas bumi ini. Bagi seorang Mu'min sejati, hal ini sangat jelas jika kembali kepada
friman Allah: "Sesungguhnya bumi dan apa yang ada di atasnya diwarisi oleh hambahambaKu yang shaleh". Kaum Israel yang diceritakan dalam konteks S. Al Qashas di
atas, tidak dapat dilepaskan dari ajaran Nabi Musa yang berdasarkan kepada nilai-nilai
akidah yang benar serta kesalehan dalam aksi.
Hal ini tentunya sangat berbeda dari konsep Markxisme atau sosialismenya Karl Marx
yang melihat bahwa kaum tertindas, kafir sekalipun pasti menjadi pemimpin. Apa yang
disampaikan Asghar Ali Engineer maupun Ulil Abshar Abdallah tak lebih dari sebuah
penafsiran terhadap ajaran Islam (kalau ini benar adanya) yang menghendaki pada
akhirnya suatu tatanan masyarakat egalitarian, tanpa batas-batas formalitas keduniaan,
namun tetap bersandar kokoh pada tatanan Ilahiyah yang dibangun di atas fondasi
keimanan yang solid dan dipelihara oleh aturan syariat yang syamil.
MASYARAKAT TAUHIDI BUKAN SOSIALIS
Sebagaimana disebutkan di atas tentang konsep Islam dalam upaya menciptakan
masyarakat tauhidi. Yaitu suatu tatanan kemasyarakatan yang berdasarkan kepada nilainilai "TauhiduLLah" serta bermuara kepada terciptanya masyarakat madani yang egaliter,
terlepas dari berbagai perbudakan termasuk perbudakann terhadap hawa nafsu sendiri,
lingkungan masysrakat, orang lain dan yang terpenting, perbudakan dalam keyakinan dan
peribadatan selain kepada Yang Maha Ma'buud (Allah SWT).
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/sosialisme.html (3 of 4)13/05/2006 23:45:10
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Dengan demikian sekali lagi, konsep masyarakat tauhidi (ummatan wahidah) berbeda
dengan konsep sosialis yang humane dan bersifat relatif. Konsep ini adalah baku, karena
berasal dari Allah yang Maha Benar (ALHAQ).
Usaha perubahan atau tagyiir dalam rangka mencapai atau mewujudkan masyarakat
tauhidi tersebut, sebagaiman disinyalir S. Ar Ra'd: 11 maupun berbagai ayat dalam Al
Qur'an berbeda dari konsep "Usaha Kaum"nya Karl Marx. Perbedaan itu semakin jelas
ketika Karl Marx mengumandangkan upaya perubahan kaum tertindas dengan ajakan
untuk menjauhkan manusia dari ajaran Tuhan dan bertumpu pada kemampuan dirinya
sendiri. Sementara Islam, mengajak kaum tertindas untuk melakukan perubahan dengan
dimulai dari pembangunan akidah dan keimanan yang kokoh kepada Allah SWT, lalu
keyakinan tersebut diaplikasikan dalam kehidupannya yang nyata.
TIDAK ADA TITIK PERTEMUAN ANTARA ISLAM DAN
KOMUNISME
Dengan demikian, apapun kebohongan orang, bahwa Islam dan komunisme adalah sama
serta memiliki tujuan dan dasar perjuangan yang sama, akan tetap sebagai suatu
kebohongan. "in yaquuluuna illa kadziban" (apa yang mereka katakan itu tak lebih dari
sebuah kebohongan) Dasarnya, Islam berdasarkan kepada Konsep Ilahiyah (merujuk
kepada Allah SWT) dan bukan faham atau isme manusia, berjalan di atas tatanan konsep
Ilahiyah (berdasarkan hukum Allah SWT) serta bertujuan untuk meraih maqasid Ilahiyah
(yaitu tujuan-tujuan suci dalam rangka menciptakan masyarakat rabbaniyah yang diridhai
oleh Allah SWT). Disamping itu, ajaran Islam (nilai sosial dalam Islam) yang dinilai
"mirip" dengan ajaran sosialisme hanyalah bagian dari ajaran Islam yang utuh dan
menyeluruh serta imbang dan adil (syamil-kaaffah dan mutawazin wa'adilan).
Demikian tanggapan saya, semoga Allah memberikan hidayahNya kepada kita semua.
M. Syamsi Ali
New York.
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/sosialisme.html (4 of 4)13/05/2006 23:45:10
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Koleksi Artikel
M. Syamsi Ali
From Mexico to Mecca How a Latino immigrant reinvented
himself in America as a Muslim
Sunday, January 5, 2003
By Ana Campoy
http://www.sfgate.com/cgi-bin/article.cgi?file=/chronicle/archive/2003/01/05/IN207622.
DTL
When the doorbell rings, Daniel Denton rises from the couch.
"Ah, Martin!" he says, opening the door a crack. "Babe, Martin is here," he shouts to his
wife, who rushes to get her veil and fits it around her face tightly, so none of her wiry
black hair shows. The couple hasn't seen Martin in months. He is Daniel's cousin and has
just arrived in Stockton after a day's drive from Rosarito, Mexico.
Roxanne approaches the door, smiling reassuringly. "How are you Martin? Come on in."
"Fine," Martin says, but he stays put, out there in the November cold, his heavy boots not
budging, no matter how many times Roxanne invites him in.
Five hundred miles of driving and still nothing can convince him to enter their warm
living room, decorated with colorful Mexican sarapes. His discomfort is palpable, as is
Roxanne's frustration.
They both know the problem. If he were to come in, he would have to take off his boots.
He'd have to leave his dignity and manhood at the door next to his niece's tiny pink
sneakers and Roxanne's flip-flops, and then feel naked in his socks, holding the glass of
water or tea that his cousin's wife would offer him.
No, he stays outside, his feet bound in well-worn leather, in the chilly wind, and chats
with his shoeless cousin about the traffic on the highway, the workload of a traveling
mechanic, but not the single most important thing in Daniel's life: Islam.
Once upon a time, Daniel -- like Martin, like 93 percent of the Mexican population -- was
Catholic. Growing up in Tijuana, his mother taught him to go to church, but when he was
22 years old, Daniel walked away from the Catholic doctrine and embraced a faith
virtually unknown in his world.
For years, the Vatican has struggled to keep its Latin American sheep from dispersing
into less "acceptable" folds of Christianity -- evangelical Protestant sects, Mormonism
and the Jehovah's Witnesses.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Mexico.html (1 of 6)13/05/2006 23:45:17
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Islam, with its veiled women and monthlong fasting, has not even been on the priestly
radar screen. But its numbers are growing.
Thousands of Hispanics -- estimates range from 50,000 to 75,000 -- now attend mosques
all over the United States, according to the American Muslim Council, an Islamic
advocacy group.
Daniel's departure from the church is in line with a much older tradition of anti-Catholic
sentiment in Mexico. Liberals and church had been antagonistic since the establishment
of the Mexican republic in 1823, says Alex Saragoza, professor of Mexican history at
University of California, Berkeley.
From Benito Juarez, the president who declared the separation of church and state in
1857, to the Cristero war from 1926 to 1929, when armed Catholics revolted after the
government suspended many of their rights, certain sectors of Mexican leadership have
discounted religion. Now, after more than two decades of intermittent economic crisis
and political scandal, belief in all Mexican institutions, including the church, is diluted,
and traditional and cultural practices that had long dominated life are replaced by
imports, from music to faith, says Saragoza.
"Mexican youth are looking toward spirituality that is not tied to any institutional form of
religion," he adds.
Transfer this situation across the border, where instead of a cohesive religious system
there is a myriad of options, and cases like Daniel's will start emerging from places like
Stockton and Los Angeles, New York and San Antonio.
In a sense, their journey is no different from that of other young Americans, exposed to
the limitless lifestyle choices available, says Saragoza.
"It's almost like a buffet. You take what you want," he explains. "It's like guacamole in a
sandwich. I'm sure the Aztecs never thought of putting it on white bread with luncheon
meat." But in a country like the United States, where new and old cultures are in constant
flux, that's what ends up happening.
Daniel's is the story of one man's conversion. It wouldn't have happened in Mexico,
where Islam is virtually unknown, but his new country provides the freedom to pick and
choose among diverse belief systems.
Being Muslim involves intensive juggling to meet secular and religious obligations -especially hard during Ramadan, when Muslims commemorate the revelation of the
Koran to prophet Mohammed by setting aside from dawn to dusk all their worldly desires
and wake up before 5 a.m. to eat.
Changing spiritual stations can be a challenge. As we shall see, it has had profound
effects on Daniel's thinking, his family, his lifestyle, his career and even his view of his
heritage.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Mexico.html (2 of 6)13/05/2006 23:45:17
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Islam calls
Black curls still crushed from bed, Daniel trudges to the kitchen to fix the only food he
will taste until darkness falls again: tea, cereal and dates. Then he subdues his unruly
mane under a turban and prays. His black eyes close again as he recites in Arabic lines
memorized from the Koran.
With his tall frame, olive skin and thick black beard, Daniel looks like one of the
conquistadors, maybe not a Catalonian or a Basque, but an Andalusian - - his intense dark
eyes inherited perhaps from the Islamic Moors who once conquered Spain. By the time
they headed for the New World, Andalusians and other Spaniards had repudiated any
Islamic or Judaic religious influence, and sailed with Catholicism as their banner.
But 500 years later, after growing up around impoverished, dangerous Tijuana, Daniel
slowly pulled away from Catholic doctrine, which had not met his spiritual needs.
By the time he attended high school in San Diego -- after his father died, his mother
remarried an American citizen, who adopted Daniel -- he was already following another
tradition his father and his grandfather before him had practiced assiduously: drinking.
He drank every night he spent in the U.S. Army, which he entered as his best shot at
getting through college. After three years of combat training, he walked out of his
Arkansas base carrying a green duffel bag and the resolution to reform his drinking habits
and search for the morality he felt he'd lost.
He found it in Stockton, 80 miles east of San Francisco, where many of his relatives had
settled years before, lured by agricultural jobs. It was just not in the expected place.
After some failed attempts to re-enter Catholicism, he inadvertently stumbled onto Islam.
It is an unlikely mecca, but there were many Middle Eastern immigrants in blue-collar
Stockton, field workers like his family; Daniel learned about Islam mostly through their
children, who attended community college classes with him. When he first heard about
Ramadan, as a several-meals-a-day-plus- snacks-eating Mexican, he was shocked at the
idea of going without food for hours. But he agreed to fast from sunup to undown for a
week anyhow, and kept the promise. "I had already given my word," he says. "I've always
been poor, so that's the only thing I have."
Daniel found himself so enthralled with the revelations that came to him on an empty
stomach that he fasted for the whole month, then devoured the Koran, chapter by chapter,
and started to secretly pray on an old sarape after his relatives went to bed.
In the teachings of Mohammed, he read of the justice and equality the Catholic Church
had visibly failed to give the poorest in Mexico. "There's a saying in Islam: The right
hand must not know what the left gives," he says. "It's not like in Catholicism, where
people inside the church give money during collection while people are starving outside."
Daniel walks around King Elementary School in Stockton, where he teaches third grade,
with his hair wrapped in white cloth, almost inviting rude comments from students.
"Sometimes they stare at you and laugh, but then you reprimand them and they get the
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Mexico.html (3 of 6)13/05/2006 23:45:17
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
idea," he says.
Behind his desk, leaning against the wall, two worn-out posters show Mecca and
Jerusalem.
To Daniel's mostly Latino and black students, the faces of Che Guevara and Cesar
Chavez on the wall are as familiar as George Washington or Abraham Lincoln -- absent
in this classroom -- are to other American kids.
While students gulp down high-energy snacks in the cafeteria, Daniel works silently in
the classroom; when they run to the playground for recess, he prays without missing a
beat in the rhythm of his recitations.
By the end of the school day, Daniel's cheek presses against his ungraded papers as he
takes an involuntary nap. It's three hours till dinner.
Family and Faith
With a veil on her hair and a brown baby with curly black hair on her hip, Daniel's
Jamaican wife, Roxanne, is busy preparing the meal. After shocking his relatives with his
conversion, he shocked them again less than four years later by marrying a black woman.
Interracial marriages in the United States still account for fewer than 5 percent of all
couples and, because of historically strained relations among blacks and Latinos,
weddings between them are unusual.
Then again, so are Mexican Muslims -- or, for that matter, Jamaican Muslims.
Roxanne's mother was also just digesting her daughter's conversion to Islam; now she,
too, had to swallow the idea of her marrying a man she barely knew. "She didn't want to
tell anyone," says Roxanne. "She was worried what everybody else was going to think."
Given the raised familial eyebrows, the couple held their wedding ceremony, not in a
mosque or church but in a university hall and had both a pastor and an imam, each
reading from their holy book.
The result was a little confusing for some guests. "I didn't know what was going on,"
comments Daniel's teaching colleague Lilian Guerra.
Like her, Stockton's mostly white and Latino residents have had few dealings with Islam.
Even though veiled women have strolled down supermarket aisles for years, Stocktonians
still stare. On a trip to Safeway, Daniel and Roxanne seem immune to the glares as they
buy supplies for Iftar, a gathering to break the Ramadan fast. Roxanne and some Muslim
friends take turns hosting such dinner parties; this week it's at her house. As soon as they
get home, she sets big pots and pans over the stove to prepare a dish that would never be
served in Mecca -- chicken curry with coconut milk, a recipe from her mother, with fried
plantains, a Jamaican staple.
As the sun goes down, she has the crispy plantain fritters frying in oil, scenting a house
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Mexico.html (4 of 6)13/05/2006 23:45:17
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
that fills with hungry women, who arrive bringing different pieces of the culinary
geography of Muslim Stockton. Nagat, the daughter of a Mexican American and a
Yemenite, brings a platter of chile con carne; a woman of Indian descent who was born in
South Africa carries in packets of puffed bread. The dishes sit alongside Somali spaghetti
and defrosted fish sticks, baklavas and chocolate cake.
The veiled women talk loudly, joking and laughing about fashion, politics and marriage.
"People have all these preconceived notions," says Roxanne. "They think, 'Her husband is
making her wear the scarf and stay at home,' (that) you're uneducated, oppressed . . . "
Self-confident and assertive, her personality sparkles in her hand gestures and her black
round eyes, which open wide every time she wants to make a point.
Yet for all her self-assurance, she kept herself locked inside her house in the days after
Sept. 11, when, as she was driving in full Muslim garb, someone in a speeding car yelled,
"Go home!"
So she did.
"I thought it was cowardly that they didn't say it to my face. They were going so fast I
couldn't even see the car."
Even before the attacks, Roxanne did not venture much into the outside world. She sells a
line of cleaning products by phone and computer and takes care of her little girls. Islam
teaches that if you raise three daughters as good Muslims, heaven is guaranteed. Daniel
only has two but he has already taught Sahala, his eldest, to say Bismilah, in the name of
God, every time they travel somewhere by car. But Sahala, who is only 2 years old, does
not know that the Arabic proverbs hanging in her living room and the Christmas tree she
sees at a conference her parents attended with her recently belong to different worlds. She
only knows that she likes the lights and shiny spheres on the tree.
Putting the pieces together
In many ways, the Dentons live the two-car suburban dream. Their daughters keep a
normal toddler quota of colorful toys, from play kitchens to dolls, in their room, and the
television set anchors the living room.
But Daniel faces the additional challenge of incorporating his identity, a credo made of
pieces of political philosophies, religions, national sentiments and consumer patterns, into
the American dream, like putting together a jigsaw puzzle that came with no picture on
the box and a collection of mismatched pieces.
After years of study, he has found in the Aztec calendar connections between Mexico's
indigenous past and Islam. The Aztecs used the calendar, a 25- ton basaltic stone believed
to have been sculpted in 1479, to keep track of their agricultural and religious cycles. Into
the elaborate carvings of jaguars, crocodiles and sacrificial knives, Daniel has read the
coming of Islam to Aztec lands, focusing on Quetzalcoatl, a plumed serpent God who
promised to return from the land of the sun wearing a beard and a robe -- the very image
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Mexico.html (5 of 6)13/05/2006 23:45:17
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
of Muslims.
In a manila folder, he collects evidence proving Islam is the natural course of spiritual life
in Mexico: historical facts, mathematical equations and a stack of colored acetates of
Mesoamerican figurines, including one depicting a kneeling woman, resting her hands on
her thighs. "To a Muslim, it's a woman in prayer," he says.
Such archaeological artifacts portray the people who, Daniel believes, were awaiting
Quetzalcoatl, but received the conquistadors instead.
"Were the Spanish the Quetzalcoatl?" he asks. "No, not by a long shot."
"Were they the beautiful brother that came from the land of the sun?" he adds
passionately.
"Again, I'm going to tell you no."
"Islam is our tradition as Latinos, Chicanos, Mexicanos, people from Latin America -- we
are part of this, this is part of us," he says. "Peace and justice -- that is what we want as
Latinos. Islam presents this as an option."
Last summer Daniel and his family packed their sarapes and Koranic scriptures, and
moved to San Diego, where his mother lives. This way his two daughters can spend time
with their grandmother and learn Spanish from her. The climate is also better, says
Daniel. Although he refers to Southern California's sun, he means the religious
environment, too. Here the Dentons have found a Muslim community where they fit in
better.
"Everyone we know is a convert. They all have families of a different religion, we're all
going through the same things," he says. Daniel has also found a job where his search for
a new grounding force is likely to reemerge: He teaches newly arrived Mexican children.
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/Mexico.html (6 of 6)13/05/2006 23:45:17
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Koleksi Artikel
M. Syamsi Ali
Latinos abandon Catholic church for Islam
By Andrea Perera
March 22, 2001
NEW YORK -- Yahya Figueroa unlaced his brown leather shoes and placed them
alongside the boots and sneakers covering the narrow hallway of the basement apartment
housing Alianza Islamica. He walked to the living room and offered his sister, Safia
Figueroa, the usual greeting, "Salaam Allaikum."
From her seat on the navy blue carpet, Safia looked up, smiling. "Allaikum Salaam," she
said, turning back to the television. She was watching a video of some Alianza leaders
lecturing on drug abuse at a Harlem street fair.
In 1975, her brother and five other Muslims, all of them Puerto Rican, founded Alianza
Islamica, New York City's only Islamic center run by and for Latinos. In those early
years, the group met at each other's homes. Since then, they've grown enough in
membership, cash accounts and clout to rent their own space. In 1992, they moved into
an East Harlem space and, since 1999, they've operated out of a South Bronx brownstone.
"Islam does not belong to any one race, ethnicity or people." -- Al- Haaj Ghazi Khankan,
Islamic Center of Long Island
From there, the group plans programs addressing issues members believe are important to
Latinos, such as domestic violence, AIDS education and drug addiction. They also help
hundreds of Latinos who come to the center to convert from Catholicism -- the dominant
religion among Spanish speakers -- to Islam. It has become one of the world's fastest
growing religions over the last decade, counting more than 1.5 billion adherents. More
than 6 million of them live in the United States, and, Muslim leaders estimate, at least
15,000 identify themselves as Latinos worshiping in such big cities as Newark, Miami,
Los Angeles and New York.
Yahya Figueroa, Alianza director, fled the Catholic Church of his birth in 1970, after
protesting against the Vietnam War, and rallying for civil rights and Puerto Rican
independence. The church was rife with hypocrisy, he said, its history one of conquering
foreign lands and supporting unjust wars.
"This was a peace-loving religion," he said. "Yet, the pope was blessing bombs going to
Vietnam. The Church wasn't as innocent as it claimed to be." Figueroa, like the rest of
Alianza's ex-Catholic membership, was attracted to Islam's strict discipline, based on the
five pillars of its philosophy. Muslims must profess commitment to the faith, journey to
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/latinos.html (1 of 3)13/05/2006 23:45:23
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Mecca at least once in their life, pray five times a day, give to their neighbors and fast
during the holy days of Ramadan. Other converts were attracted to a faith that
championed economic and political issues, especially those affecting the international
Muslim community.
Latinos' historical connections to Islam run deep. North African Moors first invaded
Spain, then Christian, in the eighth century. From there, Islam spread to Latin America,
the Caribbean and South America. Muslim presence influenced Spanish architecture,
language and literature, said Neguin Yavari, professor of medieval Islam at Columbia
University. Yet many people know little about this history. "It's not one of the elements
of the religion that's well- publicized," said Yavari, a Muslim who emigrated from Iran.
Since Islam was often associated with the Arab and South Asian worlds, many Latino
converts didn't feel accepted by other Muslims. "People would go to the mosque and get
turned away for speaking Spanish," Figueroa said. Even the Koran, Islam's holy book,
was available translated only into formal, Castilian Spanish, not the more conversational
dialect of most Latinos living in this hemisphere.
No matter what the perception, Islam does not belong to any one race or ethnic group,
said Al-Haaj Ghazi Khankan, director of interfaith affairs and communications at the
Islamic Center of Long Island. "God did not send a special religion to this group and that
group," he said.
Whether or not they always felt welcome, Latinos converted anyway. Maryam Roman
was 42 when she traded her Puerto Rican family's Catholicism for Islam. She had
watched the traditions of the Catholic Church wane.
"In my day, you used to cover in church. You didn't eat before Holy Communion," said
Roman, now 55, her face framed by a veil, which many Muslim women wear to show
modesty and faith. "But then people started buying new outfits to wear on Christmas Eve
and Easter." Christmas was all about gift giving, not the birth of Jesus Christ.
Roman finally gave up on Catholicism while managing a building on East 13th Street, in
a neighborhood plagued by prostitution, crime and drugs. After she complained about
local drug dealers, they threatened her life. She looked to the church for solace, but found
none. "I went to my church as I knew it, and felt no comfort," Roman said.
Her first exposure to Islam came when she hired some Muslim men to work as security
guards in her building. Roman watched them pray. She pored over the Koran they gave
her. She finally found the discipline she was looking for and took her shahada, the simple
declaration of Muslim faith.
Safia Figueroa, 38, said she felt a similar disconnection from Catholicism. Nine years ago
she switched faiths, following her older brother, Yahya, mother and sister. Her father has
also since converted.
Safia Figueroa liked the ritualism of Islamic prayer, fasting during Ramadan and helping
those who needed it. She especially admired Muslim women who covered their hair with
a scarf, called hijab in Arabic. Over the years, she'd heard too many catcalls -- things too
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/latinos.html (2 of 3)13/05/2006 23:45:23
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
offensive to repeat, she said -- while walking the city streets. But nurturing her new faith
was hard. The hijab was suffocating in the sweltering summertime. And, though she saw
the veil as a testament to her faith, others didn't see it that way. "My friends, they freaked
out," she said. "They couldn't believe that I chose this."
Most of them drifted away. Still, Figueroa said, she gained far more than she lost. "I
found something that filled me," she said. "This is what my heart feels and I'm happy
with it."
Even in cities sparsely populated by Muslims, Latinos take the religious leap. Sumayyah
Ikhil, whose mother is Dominican American and father is Puerto Rican, lives in Decatur,
Ga. Ikhil was born into a Catholic household, but she also dabbled in the Pentecostal and
Baptist traditions. She was nagged by questions about the Christian trinity -- the Father,
Son and Holy Spirit. She wanted to know who God was and where he came from. Five
years ago, a family friend explained that in Islam, there is one all-powerful God called
"Allah." Ikhil stopped searching.
"I had always thought he was a separate God," she said. "Finally, the questions I had
came in answer form." She found answers to her own questions but, like Safia Figueroa,
lost friends. And her father, a Baptist minister, wasn't at all pleased, she said. They still
argue over her religion. To her, though, Islam just makes sense. She liked that, according
to the Koran, Jesus was a prophet. She liked the belief in a judgment day for all mankind.
She liked the belief that all obedient acts have rewards, and that all disobedient acts have
consequences. And she liked that Islamic doctrine values faith above everything, even
race. "There's no black, white or Puerto Rican Muslim," she said.
"We are all Muslim under one faith, one god."
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/latinos.html (3 of 3)13/05/2006 23:45:23
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Koleksi Artikel
M. Syamsi Ali
RANKS OF LATINOS TURNING TO ISLAM ARE INCREASING
Many in City Were Catholics Seeking Old Muslim Roots
By DANIEL J. WAKIN, The New York Times, 1/2/2002
The Alianza Islamica has bounced from East Harlem to the Bronx, buffeted by local
resentments. Like its green-lettered sign, hanging crookedly close to the ground in front
of its brownstone, it is keeping a low profile for now.
But the Alianza endures as a touchstone for Latino Muslims, a little-known but growing
population and one of the more surprising examples of the kaleidoscopic nature of Islam
in America. It is a population trying to assert itself through community organizations like
Alianza Islamica, Web sites and publications. It is also a subset of American Islam that
endures a particular set of pressures, and presents an unusually diverse set of paths to the
faith.
Alianza Islamica, founded in 1975, is one of the oldest organized Latino Muslim groups
in the United States.
It found a home on Lexington Avenue, off 107th Street, in East Harlem in 1985, serving
as something of a community center as well as a mosque. It took a stand against crime in
the neighborhood and tried to spread the word of Islam......Nationwide, Latino Muslims
number in the low tens of thousands, according to their own estimates and those of
national Islamic bodies. They are mainly converts, concentrated in Southern California,
Chicago, Miami and New York. They span the spectrum of Hispanic people, from recent
Mexican arrivals to Puerto Ricans born on the mainland to Central American immigrants.
They are making their presence felt through groups like Alianza Latino, Piedad, which
tries to bring together Latino Muslim women, and the Latino American Dawah
Organization, which promotes the faith through a newsletter and a Web site, Latinodawah.
org. Another site, HispanicMuslims.com, also tries to link people through the Web. The
Islamic Society of North America has a Latino coordinating committee. Other groups
publish the Koran and educational materials about Islam in Spanish...
..The process is similar to how some blacks view the adoption of Islam as an invocation
of their African roots, said Hisham Aidi, a political science graduate student at Columbia
University. He has studied Latino Muslims as part of a university project examining
Muslim communities in New York City.
At the same time, there has been a movement among scholars of Islam in recent years to
show the religion's influence on Spanish culture, Mr. Aidi said. "These scholars are
taking on these works of art and literature, considered unassailably Western, sacrosanctly
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/latinosrank.html (1 of 2)13/05/2006 23:45:29
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Spanish, and showing how there's a strong Islamic influence, an Arab component, a
Moorish component," he said.
For many Hispanics, turning to Islam is also a way of countering feelings of being
downtrodden. "Islam historically has always started with slaves and moved up to kings,"
Mr. Aidi said. "In New York, you find a similar phenomenon. Islam is entering America
through the streets, through the inner city, the ghetto, the prisons...
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/latinosrank.html (2 of 2)13/05/2006 23:45:29
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Koleksi Artikel
M. Syamsi Ali
KNOW THIS MAN:
MUHAMMAD (peace be upon him)
You may be an atheist or an agnostic; or you may belong to anyone of the religious
denominations that exist in the world today. You may be a Communist or a believer in
democracy and freedom- No matter what you are, and no matter what your religious and
political beliefs, personal and social habits happen to be - YOU MUST STILL KNOW
THIS MAN!
He was by far the most remarkable man that ever set foot on this earth. He preached a
religion, founded a state, built a nation, laid down a moral code, initiated numberless
social and political reforms, established a dynamic and powerful society to practice and
represent his teachings, and completely revolutionized the worlds of human thought and
action for all times to come. HIS NAME WAS MUHAMMAD, peace and blessings of
Almighty God be upon him-and he accomplished all these wonders in the unbelievably
short span of twenty-three years.
Muhammad was born in Arabia on 20th August, in the year 570 of the Christian era, and
when he died after 63 years, the whole of the Arabian Peninsula had changed from
paganism and idol-worship to the worship of One God; from tribal quarrels and wars to
national solidarity and cohesion; from drunkenness and debauchery to sobriety and piety;
from lawlessness and anarchy to disciplined living; from utter moral bankruptcy to the
highest standards of moral excellence. Human history has never known such a complete
transformation of a people or a place before or since!
The Encyclopedia Britannica calls him 'the most successful of all religious personalities
of the world". Bernard Shaw said about him that if Muhammad were alive today he
would succeed in solving all those problems which threaten to destroy human civilization
in our times. Thomas Carlysle was simply amazed as to how one man, single-handedly,
could weld warring tribes and wandering Bedouins into a most powerful and civilized
nation in less than two decades. Napoleon and Gandhi never tired of dreaming of a
society along the lines established by this man in Arabia thirteen centuries ago.
Indeed no other human being ever accomplished so much, in such diverse fields of
human thought and behavior, in so limited a space of time, as did Muhammad, peace and
blessings of God Almighty be upon him. He was a religious teacher, a social reformer, a
moral guide, a political thinker, a military genius, an administrative colossus, a faithful
friend, a wonderful companion, a devoted husband, a loving father -all in one. No other
man in history ever excelled or equaled him in any of these difficult departments of life.
The world has had its share of great personalities. But these were one-sided figures who
distinguished themselves in but one or two fields such as religious thought or military
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/knowhim.html (1 of 3)13/05/2006 23:45:34
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
leadership. None of the other great leaders of the world ever combined in himself so
many different qualities to such an amazing level of perfection as did Muhammad, peace
and blessings of God Almighty be upon him.
The lives and teachings of other great personalities of the world are shrouded in the mist
of time. There is so much speculation about the time and the place of their birth, the mode
and style of their life, the nature and detail of their teachings and the degree and measure
of their success or failure that it is impossible for humanity today to reconstruct
accurately and precisely the lives and teachings of those men.
Not so this man Muhammad, peace and blessings of God Almighty be upon him. Not
only was he born in the fullest blaze of recorded history, but every detail of his private
and public life, of his actions and utterances, has been accurately documented and
faithfully preserved to our day. The authenticity of the information so preserved is
vouched for not only by faithful followers but also by unbiased critics and open-minded
scholars.
At the level of ideas there is no system of thought and belief-secular or religious, social or
political - which could surpass or equal ISLAM - the system which Muhammad
propounded. In a fast changing world, while other systems have undergone profound
transformations, Islam alone has remained above all change and mutation, and retained
its original form for the past 1400 years. What is more, the positive changes that are
taking place in the world of human thought and behavior, truly and consistently reflect
the healthy influence of Islam in these areas.
Further, it is not given to the best of thinkers to put their ideas completely into practice,
and to see the seeds of their labors grow and bear fruit, in their own lifetime. Except of
course, Muhammad, peace and blessings of God Almighty be upon him, who not only
preached the most wonderful ideas but also successfully translated each one of them into
practice in his own lifetime. At the time of his death his teachings were not mere precepts
and ideas straining for fulfillment, but had become the very core of the life of tens of
thousands of perfectly trained individuals, each one of whom was a marvelous
personification of everything that Muhammad taught and stood for. At what other time or
place and in relation to what other political, social, religious system, philosophy or
ideology-did the world ever witness such a perfectly amazing phenomenon?
Indeed no other system or ideology secular or religious, social or political, ancient or
modern - could ever claim the distinction of having been put into practice in its fullness
and entirety EVEN ONCE in this world, either before or after the death of its founder.
Except of course ISLAM, the ideology preached by Muhammad which- was established
as a complete way of life by the teacher himself, before he departed from this world.
History bears testimony to this fact and the greatest skeptics have no option but to
concede this point.
In spite of these amazing achievements and in spite of the countless absolutely
convincing and authentic miracles performed by him and the phenomenal success which
crowned his efforts, he did not for a moment claim to be God or God's incarnation or Sonbut only a human being who was chosen and ordained by God to be a teacher of truth to
mankind and a complete model and pattern for their actions.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/knowhim.html (2 of 3)13/05/2006 23:45:34
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
He was nothing more or less than a human being. But he was a man with a noble and
exalted mission-and his unique mission was to unite humanity on the worship of ONE
AND ONLY GOD and to teach them the way to honest and upright living in accordance
with the laws and commands of God. He always described himself as A MESSENGER
AND SERVANT OF GOD, and so indeed every single action and movement of his
proclaimed him to be.
A world which has not hesitated to raise to Divinity individuals whose very lives and
missions have been lost in legend and who historically speaking did not accomplish half
as much-or even one tenth -as was accomplished by Muhammad, peace and blessings of
God Almighty be upon him, should stop to take serious note of this remarkable man's
claim to be God's messenger to mankind.
Today after the lapse of some 1400 years the life and teachings of Prophet Muhammad,
peace and blessings of God Almighty be uponmhim, have survived without the slightest
loss, alteration or interpolation. Today they offer the same undying hope for treating
mankind's many ills which they did when Prophet Muhammad, peace and blessings of
God Almighty be upon him, was alive. This is our honest claim and this is the
inescapable conclusion forced upon us by a critical and unbiased study of history.
The least YOU should do as a thinking, sensitive, concerned human being is to stop for
one brief moment and ask yourself: Could it be that these statements, extraordinary and
revolutionary as they sound, are really true? Supposing they really are true, and you did
not know this man Muhammad or hear about his teachings? Or did not know him well
and intimately enough to be able to benefit from his guidance and example? Isn't it time
you responded to this tremendous challenge and made some effort to know him? It will
not cost you anything but it may well prove to be the beginning of a completely new era
in your live.
Come, let us make a new discovery of the life of this wonderful man Muhammad, the like
of whom never walked on this earth, and whose example and teachings can change
YOUR LIFE and OUR WORLD for the better. May God shower His choicest blessings
upon him! (H. Pasha)
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/knowhim.html (3 of 3)13/05/2006 23:45:34
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Koleksi Artikel
M. Syamsi Ali
The new face of Islam
by Nick Compton
At first she tried to resist. She did not want this to happen. She was not that sort of
person. After all, there were no gaps in her life, no spiritual ache, she did not need
support or direction. But she kept reading and it kept making sense.
'I had absolutely no expectation or desire to end up where I am,' she says. 'It was almost
with trepidation that I kept turning the pages and the trepidation just increased. I kept
thinking: "OK, where's the flaw? Where's the bit that doesn't make sense?" But it never
came. And then it was like: "Oh no, I can see where this is leading. This is disastrous. I
don't want to be a Muslim!"
Caroline Bate is 30 years old, blonde, blue-eyed and pretty, with a soft Home Counties
accent. She has a degree from Cambridge (she studied Russian and German before
switching to management studies) and works for an investment bank in the City. She is
Middle England's dream daughter or daughter-in-law. And though she has yet to make
her formal declaration of faith in Allah and the prophet Mohammed - a two-line pledge
called the Shahada - she considers herself Muslim. She ticked the box on a form recently.
It felt good, she says.
Caroline is not alone. Though data is hard to come by, several London mosques have
been reporting an increase in the number of converts to Islam, especially since 11
September. Like Caroline, many of these converts are from solid middle-class
backgrounds, have successful careers, enjoy active social lives and are fundamentally
happy with their lot.
This is not a new trend, however. Matthew Wilkinson, a former head boy of Eton,
became Tariq, when he converted to Islam in 1993. Jonathan Birt, son of Lord Birt, late
of the BBC and now the government's transport guru, converted in 1997. The son and
daughter of Lord Justice Scott also converted and Joe Ahmed Dobson, the 26-year-old
son of the former Health Secretary Frank Dobson, has recently and, somewhat
reluctantly, emerged as the voice of new Muslim converts in Britain. But it is a trend that
has been pushed along by recent events. So far it has gone largely unnoticed, as the press
concentrates on some of the more colourful characters that 11 September has thrown up.
Since 11 September, the luridly painted poster boys of British Islam have been radical
clerics such as Abu Hamza al-Masri, the steel-clawed, milky-eyed so-called 'mad mullah'
of Finsbury Park mosque. Here are Victorian villains, fiendish emissaries of some ancient
and foreign evil, straight out of an Indiana Jones movie.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/newface.html (1 of 5)13/05/2006 23:46:07
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Their followers are blank-eyed drones like Richard Reid, packing his high-tops with high
explosives. Or James McLintock, the 'Tartan Taliban'. There are lost boys, dislocated and
dysfunctional, petty thieves preyed on in South London prisons and young offenders'
institutions by fakir Fagins who forge an untempered anger into a righteous ire and
provide it with a target. (Three imams working in British prisons have been suspended
since 11 September for making 'inappropriate remarks' about the terrorist attacks.)
But that is a sideshow, a compelling melodrama played out beyond the fringes of Islamic
culture in this country. And while it might be stretching a point - and answering
caricature with caricature - to insist that a demure English rose is the exemplar of the
modern British convert to Islam, Caroline Bate is certainly more representative than
Richard Reid.
Talking to recent Muslim converts, it is striking how similar the descriptions of their
embrace of Islam are. Most were introduced to Islam, and Islamic history and teaching,
by friends. And, given that Islam is not generally a missionary faith, these were gentle
introductions. For most, conversion was born of curiosity, an attempt to better understand
the people around them.
Caroline first started reading about Islam last April. A school friend she has known since
she was 11 was marrying a Tunisian, a Muslim. 'My best friend was marrying into a
different culture so I wanted to know more about it,' she explains. 'I came at it from more
of a cultural perspective than a religious one. But the literature that I picked up just
stimulated me. And Islamic teaching made perfect, logical sense. You can approach it
intellectually and there are no gaps, no great leaps of faith that you have to make.'
Roger (not his real name) is a doctor in his mid-thirties. About a year and a half ago, he
started talking about Islam to Muslim colleagues at work. 'All I had ever heard about
Islam in the media was Hezbollah and guerrillas and all of that. And here were these
really decent people whom I was beginning to get to know. So I started to ask a few
questions and I was amazed at my own ignorance.' He became a Muslim a couple of
months ago.
For these new converts, embracing Islam is usually a covert operation. They quietly read,
talk, listen, learn. The hard part is coming out, declaring your newly acquired faith to
friends and family, and, in some cases at least, facing up to fear, scepticism and even
loathing.
Caroline insists that the coming-out process has not been too painful. 'The reaction has
been pretty much what I expected. I've had everything from "Do you know how they treat
women?" to "Wow, great timing!" But your friends are your friends and I expect them to
deal with it.'
Others have had a harder time. Eleanor Martin, now Asya Ali (or some other combination
of these names, depending on the circumstance), was a 24-year-old TV actress when she
met Mo Sesay. She had a regular role as WPC Georgie Cudworth in BBC's Dangerfield
during the mid-Nineties and Sesay, who later starred in Bhaji on the Beach, was also a
Dangerfield regular. Sesay is a Muslim.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/newface.html (2 of 5)13/05/2006 23:46:07
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
'Mo was such a kind man, just a good person. He wanted to know me as a person, there
was nothing else going on. And I thought, well, here is this really decent guy and he is a
Muslim. And the image I had of Islam was of men beating up women and going round in
tanks killing people.
'The thing is we both had regular parts on the show, but they weren't very big parts, so we
had a lot of time to sit in the caravan and talk. He really opened my eyes.'
Eleanor finally converted in 1996. 'I wasn't sure I was going to until the last minute and
then it just felt as if everything had fallen into place and there was no other option.'
At first she kept her conversion secret. 'I was afraid of an adverse reaction from friends
and family. I was really worried about what my father would say.' Her father was a
devout Christian. A former radiotherapist, he had taken early retirement to go into the
priesthood. But circumstances forced Eleanor's hand. A few months after she converted
she met a Muslim African-American actor, Luqman Ali, and they decided to get married.
'I went home and said: "I've got some news. I'm getting married and I'm a Muslim." My
mum was great. My dad said: "I think I'm going to get a drink now."
'It took Dad time. He went to see his spiritual adviser, a nun, whose brother happened to
be a convert to Islam, and that helped. And he's great now, too. He's just happy that I'm
following a path to God.'
Roger, meanwhile, has yet to tell family or work colleagues of his conversion. 'I worry it
will affect my career prospects,' he admits. 'I know first-hand how little people
understand Islam. I know there is prejudice based on ignorance. A couple of years ago, if
someone had told me they had converted, I would have thought they were odd. I don't
want people to think I am an oddity or a curiosity because I don't think of myself like that.'
Most converts acknowledge that living in an ethnically diverse city has made conversion
easier than it might have been elsewhere. Stefania Marchetti was born and raised in Milan
but came to London to study in 1997. She converted to Islam from Catholicism in April
last year. 'It would have been far more difficult for me to convert in Italy,' she admits.
'The Italian media is very anti-Islam and generally Italians think that Muslim men are all
terrorists and all Muslim women are slaves.'
Certainly Karen Allen, a 28-year-old scheduler for Sky TV from Stoke Newington, has
enjoyed a relatively smooth transition period. She converted to Islam last June and soon
started wearing the traditional headscarf or hijab. 'When I first started wearing the hijab to
work, there were a few jibes about Afghanistan and stuff, but people are fine now. They
say things like: "That's a nice one you're wearing today."
'I think it might be more difficult outside London, but here there are a lot weirder things
to look at than me.'
What is especially striking about this stream of converts to Islam is that the majority seem
to be women. Some suggest that twice as many women as men are turning to Islam.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/newface.html (3 of 5)13/05/2006 23:46:07
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Batool Al Toma, who heads the New Muslim Project at the Leicester-based Islamic
Foundation, which offers advice and support to recent converts, suggests this might be
exaggeration, but admits that female converts are in the majority. 'A lot of people seem to
think that women are more susceptible to Islam. I think it's largely because a lot of people
are obsessed with the idea of an educated, liberated British woman converting to Islam
which they feel subjugates and represses them in some way. We just get a lot more
attention I suppose and that sparks people's interest.'
The lure of Islam for women is surprising, given that the conversion process may be even
more problematic for them than for men. There is the commonly held belief that Islam
represses women and female converts often have to deal with recrimination from female
friends who view their adoption of Islam as some sort of betrayal. The wearing of a
headscarf or hijab (a sartorial option, it should be noted, not a requirement) also makes
Muslim women more visible than their male counterparts.
Certainly, all the women I spoke to were quick to refute the idea that Islam imposes a
women-know-thy-place ideology.
'The perception of how women are treated is completely incorrect,' insists Caroline.
'Women have a fantastic position in Islamic society.'
Indeed, many women converts talk about the adoption of the Islamic dress code as a
liberation. They see it not as a denial of sex and sexuality but rather as an
acknowledgement that these are treasures to be shared with a loved one and them alone.
They are not hidden but rather freed from objectification.
Asya insists that the trick is to turn preconceptions on their head. She wears a scarf to
show she is a Muslim and a smile to prove she is happy being one.
One problem for converts is that they are caught between two cultures. 'Young Muslims
are very accepting,' says Caroline. 'They are really happy that you have chosen to become
Muslim. The older generation are not so accepting. For them, Islam is part of their
cultural background, it's about the country they came from and it's what binds their
communities together.'
One step towards greater acceptance came last October when Reedah Nijabat opened
ArRum, an Islamic restaurant/members' bar/ cultural centre/social club in Clerkenwell.
Nijabat, a 31-year-old former barrister and management consultant from Walthamstow,
originally conceived ArRum as a meeting place and networking venue for professional
first- and second-generation London Muslims. But it has also become a focal point for
many of London's Muslim converts.
It is easy to see why. On any work evening, a mixed bag of middle-aged Pakistani men,
young couples (some Muslim, some curious non-Muslim), kids and white British
converts chat and tuck into halal 'fusion' food. While the club promotes Islamic culture,
the vibe is a Hempel temple of inner calm. Sufi wailing calms the nerves, while the bar
specialises in healthy juices.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/newface.html (4 of 5)13/05/2006 23:46:07
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
For the new converts I spoke to, ArRum is a place to meet other Muslims and somewhere
to bring non-Muslim friends and introduce them to Islam in a way that doesn't scare them.
ArRum accents Islam's USP among the major faiths: its openness and lack of hierarchy.
And Nijabat has realised that if there is an endemic suspicion of stuffy organised religion
among the British (and increasingly, one suspects, second-generation British Muslims)
there is great interest in 'spirituality', whatever that might mean.
'I think that the problem has not been with the substance of the major faiths, whatever
they are, but a marketing defect,' argues Nijabat. 'Everything we do here is about
remembrance of God and Islam, but you can get that across in a cool way. I'm not saying
anything that isn't in the Koran, but you have to talk to people on their level.
'I'm beginning to see that there is a huge misunderstanding and a bridge that needs to be
crossed between ethnic communities, host communities and spiritual communities, and I
think we are making a contribution to that. You can get so hung up on the divisions and
how different we are, but it is the same God for all of us. And we still feel that loss
whether it is an American life or a Palestinian life. A lot of people are going through a
period of soul-searching and that can only be a good thing.'
For many, that soul-searching has led them to Islam, not the Islam of the suicide bombers
but mainstream Islam. And, as Joe Ahmed Dobson points out, ArRum and its new
converts do not represent some kind of liberal IslamLite, a media-friendly dilution of the
real thing. Dobson and the other new converts are orthodox, in the truest sense, and proud.
They are also part of a project that may help all parties see Islam in new ways. As Nijabat
admits: 'You can end up being quite defensive about it. And you can either get hung up
about it or be proactive. Opening ArRum has helped me recognise that I can be British
and Pakistani and a Muslim and a woman. And I'm not going to be a victim in any of this.'
Famous coverts to Allah
© Associated Newspapers Ltd., 15 March 2002
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/newface.html (5 of 5)13/05/2006 23:46:07
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Koleksi Artikel
M. Syamsi Ali
Peace to Ummah...from Brazil!
By Sarah de Andrade Siqueira
I have always kept interest in the Muslim world; it passed to me a sense of peace. On the
Brazilian Educative TV I watched a documentary about the life in some Muslim country.
Those mystery women dressed in those beautiful long clothes and veils raised my
curiosity. When a Muslim woman mentioned that it is not a matter of culture only but that
her religion was a complete way of life (Deen), I wanted to know more.
The idea of a religion ruling all aspects of humankind’ way of life is not common where I
live, not to mention having anything to do with economy, politics and social issues.
I decided to look into Islam. My first question was: How could I do this? No books were
available at my University or in the bookshops.
1999 I earned my Bachelors degree in Languages. It was a moment that brought tears in
my eyes, because my beloved family always did a lot of efforts to provide me with the
best education they could, despite of our humble life. The present my parents chose to
give me upon that was a computer. They saved long months to be able to pay for the gift
they thought would enable me pursue a career. When I saw those big boxes in my room I
felt such gratitude to them.
Now I could access the Internet and be able know more about Islam. I was surfing on the
web looking for information when I came across Yusuf Islam’s (formerly Cat Stevens)
website. After I read about his journey to Islam and how a famous pop star could give up
the great world of music and find his certainty on the straight path. He chose Islam as a
way of life based on pure love, charity, humbleness and the submission to the one and
only God. When I listened to Yusuf’s lecture named “One God, One Community” my
appreciation for Islam became greater than before. Since that day I have been studying
Islam with an eager will to learn about the pillars of Islamic faith and way of life as well.
When I had a blessed opportunity to read the Holy Qur’an which narrates with scientific
accuracy the development of the baby in mother’s womb, since his first moments of life;
I have decided to embrace Islam. Beyond this, I also have to say that the submission to
only one God and the complete way of life established by Allah through his last Prophet
Muhammad had touched my heart.
During my “web Islamic research” I have met in an Arab chat room some Muslim
friends, who helped me a lot in my journey to Islam, Alhamdulilah. The one I met first
was a Sudanese Muslim student, who taught me my first words in Arabic language and
always was by my side (with the famous web instant messengers), despite our distance, to
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/brazil.html (1 of 2)13/05/2006 23:46:22
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
solve my doubts in respect of Muslim women issues. The other one was a brother from
Egypt, who was amazed with my path to Islam and gave me a blessed help shipping to
me the Holy Qur’an (a bilingual version in English and Arab), the prayer carpet, books
about Islam and even Hijabs, to allow me to practice the beautiful and honored concept of
Islamic Modesty. My parents, are Christian, however they never opposed my religious
choice-God bless them.
In my Brazilian city there is no Islamic Center. All websites about Islam I had visited
were not Brazilian either and few of those I’ve found in Portuguese refer to Islamic
Societies far away from my home. Hence, Allah and my Sudanese sister were my witness
that I had embraced Islam.
After sometime, Alhamdulilah I have found an Islamic website developed by a Brazilian
sister, who gave me the brilliant information that there was a small, but very serious and
lovely Muslim Society in my hometown. She introduced me to The Imam and sisters
there. It was a beautiful moment of my life, to get know a part of our Ummah in the city I
was born and live in.
My mum is now considering converting to Islam. May Allah show her the right path. The
last thing I would like to say from the bottom of my heart is:
“Ash Hadu Anlaa Illa Allah wa Ash Hadu Muhamadan Rasululah”
May Allah bless our Ummah!
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/brazil.html (2 of 2)13/05/2006 23:46:22
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Koleksi Artikel
M. Syamsi Ali
Another big mouth:
INCITEMENT WATCH: US EVANGELIST SAYS MUSLIMS 'WORSE
THAN NAZIS'
Matthew Lee, Agence France Presse, 11/12/02
WASHINGTON - A popular US televangelist's accusation that Muslims are "worse than
the Nazis" and call for Jews to wake up to the threat drew fire on Tuesday from a leading
American-Islamic group which warned the comments could spark violence.
In his remarks, Christian preacher and conservative commentator Pat Robertson said
Muslims were bent on exterminating Jews...
"Somehow I wish the Jews in America would wake up, open their eyes and read what is
being said about them," Robertson told viewers of his Christian Broadcasting Network
news program late Monday. "This is worse than the Nazis," said the one-time presidential
hopeful, who has been highly critical of Islam in the past. "Adolf Hitler was bad, but
what the Muslims want to do to the Jews is worse."
Robertson, whose previous anti-Islam comments have been denounced by Jewish and
Muslims groups alike, said those who criticized him -- whom he termed "so-called doves"
-- did not understand the situation.
"If I say something that Islam is, you know, an erroneous religion, then I get criticized by
the Anti-Defamation League," he said, referring to the prominent US-based Jewish
advocacy group.
"You just want to say: 'When are you going to open your eyes and see who your enemy
is.' Those people want to destroy Jews," Robertson said.
The Council on American-Islamic Relations (CAIR) on Tuesday denounced Robertson's
remarks as "lies, distortions and outright bigotry."
"It's a shame coming from someone who claims to be a man of the cloth," said Hodan
Hassan, a spokeswoman for the group.
"He is doing a lot more to increase tensions and maybe violence among different
ethnicities and religions than sowing the seeds of peace," she said, maintaining that
Robertson was using two passages from the Koran "deceitfully."
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/bigmouth.html (1 of 2)13/05/2006 23:46:27
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
"It's outlandish and a total distortion," Hassan said, noting that the Koran contains
numerous calls for inter-faith harmony and demands respect for other religions…
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/bigmouth.html (2 of 2)13/05/2006 23:46:27
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Ustad Indonesia Tampil di A Prayer for America
Al-Maidah pun Berkumandang
Ramadhan Pohan
Lagi putera Indonesia dipilih mewakili Islam Amerika tampil dalam acara
doa untuk Amerika yang diikuti pemuka Protestan, Katolik, Sikh, Hindu,
dan Islam lainnya di stadion terkenal olah raga baseball Yankee Stadium,
The Bronx, New York (NY). M Syamsi Ali, MA nama ustad asal Sulawesi
Selatan itu.
Bagaimana ceritanya sampai Syamsi bisa satu panggung bersama mantan
Presiden AS Bill Clinton, Senator Hillary Clinton, Wali Kota New York
Rudolph Giuliani, Gubernur New York Robert Pataki, Oprah Winfrey dan
selibritis dunia di stadion yang lokasinya dekat reruntuhan gedung kembar
110 tingkat World Trade Center (WTC) itu?
Ramadhan Pohan, New York City
New York City, Minggu 23 September pukul 16.45 atau Senin subuh WIB. Seorang pria
bersosok tinggi sedang mengenakan kemeja muslim coklat dan peci coklat muncul di
mimbar a Prayer for America di Stadion Yankee, New York City. Sekitar 50 ribu orang
memadati stadion kebanggaan di New York yang didirikan pada 1923: tua-muda, dewasa
dan anak-anak, laki dan perempuan, kulit putih maupun Blacks, dan pelbagai ras dan
bangsa di AS.
Di panggung, persis beberapa meter dari sosok muda itu, tampak selebritis Oprah
Winfrey, mantan Presiden Bill Clinton, senator Hillary Clinton, Gubernur Negara Bagian
New York George Pataki, Wali Kota New York Rudolph Giuliani, artis Bette Midler,
penyanyi country Lee Greenwood dan banyak selebritis New York lainnya. Hadir pula
para pemuka agama di Amerika, seperti para tokoh Yahudi, Protestan, Katolik, Sikh,
Hindu dan sebagainya.
Pria kelahiran 1967 yang berdiri di mimbar tadi bernama M. Syamsi Ali MA. Syamsi,
yang fasih kotbah berbahasa Arab dan Inggris ini, menyebut Bismillahirahmanirrahim
dari bibirnya. Lalu, puluhan ribu publik AS mendengar syahdunya kalimat-kalimat Allah
dibacakan Syamsi di luar kepala. Tidak ada suara, kecuali alunan merdu suara pemuda
asal Sulawesi tersebut.
Ayat-ayat suci Al Quran yang dikumandangkan Syamsi di depan publik yang mayoritas
non-muslim tersebut diambil dari beberapa surat. Pertama, surat Al-Hujurat ayat 13 soal
asal-usul manusia, (yaitu Adam dan Hawa), yang lalu dijadikan berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku. Tapi, yang termulia adalah yang paling bertakwa.
"Saya bacakan ayat ini untuk menggambarkan bahwa Islam adalah agama yang mengakui
persaudaraan umat manusia. Islam tak membenci umat lain. Justru Islam datang untuk
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/forUSA.html (1 of 3)13/05/2006 23:46:32
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
mengangkat derajat semua manusia," kata Syamsi, kepada Jawa Pos.
Ayat kedua yang dilafalkan Syamsi di depan Clinton, Giuliani, Pataki dan yang lain
adalah surat Al-Maidah ayat 8. Ayat ini memerintahkan orang-orang beriman untuk
selalu konsisten dengan kebenaran dan keadilan. Jangan hendaknya kebencian kita
terhadap suatu kaum menjadikan kita tidak adil.
Lewat ayat itu, Syamsi ingin berpesan kepada pemerintah George Walker Bush dan
pengambil keputusan AS bahwa, jangan sampai karena kebencian yang tertanam, bukan
keadilan yang dijunjung. Tapi, pembalasan dendam. Tentu saja ini dikaitkan dengan
rumor keinginan AS menggempur negeri-negeri yang dianggap terlibat konspirasi teroris.
"Semoga bacaan ayat ini dapat menyentuh nurani para pengambil keputusan di negeri ini
(AS, Red). Jadi, apapun yang dilakukan untuk menumpas para teroris didasarkan pada
kebenaran dan keadilan," tuturnya.
Ayat ketiga yang dibacakan Syamsi adalah surat An-Nasr. "Sengaja saya kutipkan ayat
ini karena saya yakin, soon or later, kebenaran itu akan berada pada posisi kemenangan,"
ujar pria yang sering tampil berdakwah di teve-teve AS itu. Jelas ayat-ayat itu punya
makna ketika ditujukan dengan doa dan perenungan AS atas Tragedi WTC dan Pentagon
11 September lalu.
Bagaimana ceritanya Syamsi dipilih di acara yang dijadikan pusat perenungan dan doa
NY atas tragedi WTC itu? "Tadinya, diminta membawakan doa mewakili umat Islam.
Tapi, saya pikir lebih baik membacakan ayat-ayat suci. Ya sekalian dakwah," papar
Syamsi.
Seluruh bacaan Syamsi diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh muslimah Amerika.
Belakangan diketahui, tampilnya muslimah itu atas permintaan Syamsi. "Dibacakannya
artinya oleh muslimah dengan maksud diketahui artinya. Kedua, untuk diketahui bahwa
wanita dalam Islam tak selalu ada di belakang pintu," paparnya.
Tampilnya Syamsi dalam event ini-- disiarkan di seluruh jaringan teve utama nasional
AS, termasuk CNN-- bukan yang pertama. Sepekan sebelumnya dia juga digandeng
Presiden George W. Bush untuk bersama-sama mengunjungi reruntuhan WTC.
Syamsi selama ini memang sudah berhubungan baik dengan wali kota New York. Di
setiap acara yang berhubungan dengan Islam, Giuliani kerap menggaet Syamsi. Sebagai
dai yang sering khotbah di masjid-masjid besar NY, dia sudah dikenal luas.
Kapan diberitahu tampil di Yankee Stadium? "Saya diberitahu dua hari sebelumnya lewat
Imam Izekil Pasha, kepala Kerohaniaan New York Police Department (NYPD)," jelas
Syamsi.
Ketika membacakan ayat-ayat Quran di depan khalayak Amerika, wajah Syamsi tampak
sendu dan khusuk. Seperti ada airmata yang menggenang di samudera batinnya. "Saya
memang agak tersentuh dan luluh. Saya merasa tersentuh, ketika membacakan ayat-ayat
tersebut. Saya teringat situasi umat di jagat raya. Hati saya trenyuh. Apalagi, setelah
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/forUSA.html (2 of 3)13/05/2006 23:46:32
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
melihat di sekeliling saya, ada pembesar kota New York, dan pembesar semua agama.
Ternyata, ayat-ayat Allah cukup menyentuh perasaan banyak kalangan," paparnya.
Mestinya Syamsi bisa kian masygul jika tahu, mungkin, untuk kali pertama dalam sejarah
New York, bahkan Amerika, bacaan kalam Ilahi dikumandangkan di tengah-tengah
ribuan non-Muslim. Lebih-lebih acara itu disiarkan live oleh berbagai TV nasional
maupun internasional. Belum termasuk liputan media massa.
Ada juga pembacaan azan. Panggilan salat itu dikumandangkan seorang muallaf (baru
masuk Islam, Red) bernama Abdul Wali. Di New York dia penyanyi profesional. Ada
juga ceramah singkat dari Imam Izekil Pasha, yakni imam Masjid Malcom Shahbaz dan
juga Ketua Kerohanian (Chaplain) NYPD.
Syamsi, staf lokal di Indonesian Mission untuk PBB (PTRI New York) berkantor di 325
East 38th Street, New York, NY 10016, USA ini, memiliki kebanggaan khusus pula
sebagai anak bangsa. "Bagi saya pribadi, itu kehormatan bagi negara dan bangsa kita
sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia," katanya dengan vokal rendah.
Yang agak ganjil dari tampilnya Syamsi di depan 50 ribu massa non-muslim ini, stadion
Yankee bergemuruh dan tepuk tangan pun membahana setelah usai ayah Maryam ini
membacakan ayat-ayat Quran. Ada juga pemandangan lain. Wali Kota NY dan Gubernur
NY berdiri dan memeluk Syamsi erat-erat seusai acara. (*)
(http://www.jawapos.co.id/print/index.php?view=detail&id=40652)
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/forUSA.html (3 of 3)13/05/2006 23:46:32
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
M. Syamsi Ali, Orang Indonesia yang Jadi Tim
Rekonsiliasi New York Sering Diminta Ceramah Warga
Arab di Brooklyn
Ramadhan Pohan
TAK banyak orang Indonesia yang namanya dikenal di New York. M. Syamsi Ali adalah
satu di antara yang sedikit itu. Usianya baru 33 tahun. Tapi, pengalamannya sebagai ustad
dan pemuka Islam di AS cukup hebat. Dua hari lalu, dia terpilih jadi Tim Rekonsiliasi wadah bentukan wali kota New York untuk mencegah konflik Yahudi-muslim akibat
tragedi Al Aqsa. Siapa Syamsi? Apa kiprahnya? Ramadhan Pohan, Washington
New York City, 4 Oktober 2000. Wali Kota New York Rudolph ''Rudy'' Giuliani dan
pimpinan kepolisian NYPD (New York Police Department) melakukan pertemuan
dadakan di balai kota. Di situ hadir 12 pendeta Yahudi, baik rabbi dari Israel maupun AS
sendiri. Dari pihak muslim, hadir delapan pemuka Islam New York yang beragam latar
belakang. Selain pemuka Islam asal Mesir, Pakistan, dan Bosnia-Herzegovina yang
berdomisili di New York, di situ ada nama Ustad Muhammad Syamsi Ali, orang
Indonesia yang kini bermukim di AS.
Wali kota ingin mendapat masukan demi menjaga keamanan dan keharmonisan
metropolitan New York. Pasalnya, gara-gara pembantaian tentara Israel atas Palestina di
Jerusalem, New York ikut bergolak. Pertengkaran, penikaman,dan penganiayaan antara
pengikut Yahudi dengan komunitas Arab dan muslim marak belakangan ini. Pertemuan
pak wali dengan pemuka-pemuka Islam dan Yahudi usai, sekaligus melahirkan
kesepakatan pembentukan ++++ Tim Rekonsiliasi.
Ketuanya Surgeont Sharp, kepala bidang urusan kemasyarakatan NYPD. Lima pemuka
muslim masuk dalam komite itu, yakni Imam Ezekil Pasha dari masjid Malcom Shahbaz,
Imam Musa dari Masjid Mos'ab bin Umar dari Brooklyn, Imam Hamood dari Bronx
Islamic Center, Muhammad Pirzada yang ketua Pakistan League in America. Seorang
lagi anggota komite itu adalah M. Syamsi Ali, satu-satunya anggota dari Indonesia
ataupun Asia Tenggara.
''Baru saja saya ditelepon untuk menghadiri rapat Komite Rekonsiliasi membicarakan
strategi dan langkah ke depan tim ini,'' kata Syamsi kepada Jawa Pos.
Terpilihnya Syamsi dalam ++++ Komite Rekonsiliasi New York memperlihatkan
pengakuan khusus Islam Indonesia dan pribadi Syamsi. Pria kelahiran Bulukumba Sulsel
5 Oktober 1967 ini sebenarnya baru tiga tahun berdomisili di Kota New York. Tapi,
nama suami Muthia Malik Thahir ini begitu cepat meroket di New York dan AS
umumnya, baik di mata kalangan muslim Indonesia dan pemuka muslim internasional.
Di mata komunitas muslim Indonesia -jumlahnya sekitar 4.000 orang yang mencakup
New York dan sekitarnya (termasuk New Jersey, Connecticut)- Syamsi amat cepat
dikenal. Barangkali, ini karena kiprahnya di lingkungan Masjid Indonesia di New York.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/ceramah.html (1 of 4)13/05/2006 23:46:37
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Di masjid yang didirikan pada 1995 dan berkapasitas 800-an jamaah itu, Syamsi cukup
aktif. Paling tidak, sejak kedatangannya di kota bisnis terbesar AS 1997 lalu, dia sudah
terlibat di kepengurusan Masjid Indonesia. ''Hingga saat ini saya diamanahi menjadi vice
chairman (di Masjid Indonesia, Red) dan Dewan Pengurus Keluarga Pengajian Indonesia
New York.
Selain itu, saya juga mengetuai bidang pengajian, yang merupakan tulang punggung
segala kegiatan kaum muslimin di New York,'' ujarnya datar, tanpa bermaksud
meninggikan diri.
Dalam peresmian ''KH Abdurrahman Wahid Library'' di Perwakilan Tetap RI untuk PBB
di New York bulan lalu, Syamsi-lah yang menyampaikan doa. Dubes Dr Makarim
Wibisono memang sengaja meminta Syamsi membacakan doa di acara yang juga dihadiri
Presiden Gus Dur dan Menlu RI DR Alwi Shihab itu. Presiden Imaam (Indonesia Muslim
Association in America) Firdaus Kadir amat mengakui dan mengagumi kiprah Syamsi.
Firdaus terkesan ketika dalam konferensi para imam masjid muslim seluruh AS di Crystal
City, area Washington, pemuka muslim internasional banyak membicarakan nama
Syamsi. Di kalangan masyarakat Indonesia sendiri, Syamsi pun dikenal sosok peneduh
antarmuslim dan nonmuslim Indonesia di AS.
''Kaum muda senang dengannya. Generasi lama pun demikian. Ustad Syamsi juga aktif
menjaga rekonsiliasi masyarakat muslim dan nonmuslim kita,'' kata Firdaus, aktivis
muslim yang sudah 20 tahun menetap di AS. Itu di level ''nasional'' Indonesia. Di forum
internasional, Syamsi malah jauh lebih meng-greget. Walaupun baru 1997 menetap di
New York, relasinya dengan pemimpin-pemimpin Islam cukup luas. Sejak 1997 itu pula,
ayah tiga anak ini ditunjuk mengoordinasi pelaksanaan Parade Muslim yang diadakan
setiap tahun di kota New York. Parade internasional muslim ini diorganisasi oleh The
Muslim Foundation of America, Inc. Di lembaga itu Syamsi duduk sebagai salah seorang
anggota dewan pengurusnya, yakni anggota Board of Directors, dan sekaligus menduduki
jabatan senior vice chairman.
Bukan itu saja. Syamsi pun terpilih menjadi anggota ''Majelis Syuro'' para imam di New
York. ''Majelis Syuro ini adalah badan koordinasi antara imam-imam yang ada di kota
New York,'' jelasnya.
Tahun lalu, dia juga termasuk salah seorang pendiri The Imams Council of New York
City (ICNYC). Kiprahnya di level internasional ini makin mengentalkan pergaulan dan
nama Syamsi di muka pimpinan muslim New York dan AS umumnya. ''Organisasi
(ICNYC) ini hampir sama dengan Majelis Syuro, hanya cakupannya lebih luas.
Anggotanya bukan hanya para imam, tapi juga para profesional muslim di berbagai
bidang,'' imbuhnya.
Tak ada yang mengingkari kiprah Syamsi di tengah-tengah kepemimpinan umat Islam di
New York. Syamsi tidak tahu persis sebabnya, kecuali menduga-duga. ''Saya menilai,
salah satu penyebabnya adalah bahwa Indonesia dapat diterima oleh berbagai kalangan
muslim yang ada. Sebagai catatan, di New York ini ada 3 kelompok muslim yang kuat,
yaitu Afro American, Arab, dan Sub Continent. Ketiganya merasa sebagai yang paling
mampu memimpin umat ini,'' paparnya.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/ceramah.html (2 of 4)13/05/2006 23:46:37
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
''Pada akhirnya, dan tanpa di sengaja, terjadi persaingan yang kurang sehat. Dari sinilah,
ketika ada pihak lain yang tampil (figur Indonesia, Red), mereka pun menerimanya,''
timpal Syamsi, enteng. Syamsi pun dikenal sebagai khatib dan penceramah yang amat
piawai.
Kemahirannya berbahasa Inggris dan Arab memang sangat mendukung -berkat
pendidikannya di Pesantren Muhammadiyah ''Darul Arqam'' Ujungpandang (1981-1987)
hingga perguruan tinggi. Syamsi menamatkan S1 di bidang ushuluddin (1991) dan S2
bidang perbandingan Agama, kedua-duanya di International Islamic University,
Islamabad, Pakistan.
Dari satu masjid ke masjid lain di New York dan kota-kota AS lain, Syamsi aktif jadi
khatib dan penceramah. Termasuk di Masjid 96th Street yang merupakan Islamic
Cultural Center of New York (ICCNY), masjid terbesar di New York. Bahkan, Jumat
siang waktu setempat atau Sabtu dini hari WIB, Syamsi akan menyampaikan kotbah
Jumat di masjid terbesar New York itu. Setiap Jumatan, ruang basement masjid dan dua
lantai di atasnya acap membludak dan menampung lebih 15 ribu jamaah itu.
''Selain menjadi khatib, beberapa kali juga saya memberi ceramah di Masjid 96 itu.
Dalam periode minggu tertentu, saya juga diminta (jadi khatib) di Masjid ICNA (Islamic
Circle of North America) dan masjid-masjid Arab di Brooklyn,'' ungkapnya.
Karena kefasihannya berbahasa Arab pula, Syamsi pun sering diwawancarai televisi AS
dari Arabic Channel. Pengalaman Syamsi mengajar di Islamic Education Foundation
Jeddah, Saudi Arabia (yayasan pendidikan milik Amir Mamduh, adik Raja Fahd, Red)
selama 1994-1996, jelas makin mendukung kepiawaiannya.
Hingga kini sudah banyak negara Islam yang dikunjungi Syamsi. Selain Pakistan dan
Arab Saudi, dia juga sudah mengunjungi Turki, Jerusalem, Iran, Yordania, Syria, serta
negara-negara Timur Tengah lain. Saking seringnya bepergian ke luar negeri dan
menetap di beberapa negara, ketiga anak pasangan Syamsi-Muthia Malik Thahir lahir di
manca negara. Anak mereka yang pertama, Maryam Zakiyah, 7, lahir di Pakistan. Yang
kedua, Utsman Afifi, 4, lahir di Jeddah, Saudi Arabia. Si bungsu Adnan Osama, 1,5, lahir
di New York.
Di balik kepiawaian Syamsi berkotbah dan berceramah dalam bahasa Inggris dan Arab
sekarang, ternyata tersimpan cerita lama yang sangat menarik. Ketika masih SD di
Bulukumba, Syamsi kecil rupanya anak yang nakal. ''Kenakalan pertama saya adalah
saya suka berkelahi. Kenakalan kedua, saya paling bandel di sekolah. Seingat saya,
sampai saya tamat SD, saya nggak memiliki buku catatan. Sampai sekarang, saya masih
berpikir, mengapa saya lulus,'' kenangnya, separo masygul.
Saking nakalnya, anak ketiga di antara lima bersaudara pasangan Ali Kadrun dan Ny
Inong Tippang ini pun dimasukkan ke pesantren. ''Saya dimasukkan ke pesantren oleh
orang tua karena ketika saya kecil, saya termasuk sangat nakal. Sehingga, bagi orang tua
saya saat itu, pesantren adalah tempat yang sesungguhnya untuk memenjarakan saya,''
kenangnya lagi.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/ceramah.html (3 of 4)13/05/2006 23:46:37
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
Tetapi, justru dimasukkan ke pesantren, Syamsi yang berperawakan tubuh sekitar 167 cm
malah merasakan banyak kesenangan dan kegembiraan. ''Di pesantren, saya bisa
melampiaskan kenakalan saya karena di pesantren itu saya bisa ikut latihan silat.
Kenakalan saya di SD jadi tersalur,'' kata penyandang sebutan pendekar Tapak Suci dan
juara pertama nasional silat di Bandung (1995) serta juara dua di kejuaraan nasional silat
di Bali (1997) ini.
Selain punya prestasi silat dan kemahiran bahasa Arab dan Inggris di pesantren, prestasi
sekolah Syamsi pun berkibar. Syamsi tamat dari pesantren (1987) dengan peringkat I
sehingga meraih beasiswa dan melanjutkan kuliah di Pakistan. Bakat dan tekad Syamsi
mengejar pendidikan terpatri karena terpicu latar belakang keluarganya yang sederhana.
''Kedua orang tua saya adalah dari keluarga petani. Bahkan, saya selalu menyatakan
bahwa kedua ibu bapak saya termasuk korban keterbelakangan pendidikan RI masa lalu
sehingga beliau berdua termasuk masih buta huruf.''
Kini, ketika sudah ke New York, Syamsi sangat sibuk. Karyawan di Kantor Perwakilan
Tetap RI untuk PBB New York (PTRI-New York) ini berpesan bahwa New York adalah
kota sibuk. Seorang yang tinggal di sini harus piawai mengelolanya. Di kantor beralamat
325 East 38th Street, New York, N.Y. 10016 itu, Syamsi bekerja sebagai staf lokal.
(http://www.jawapos.com/dailynews/200010/07/Berita_Utama/1-BOKS.htm)
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/ceramah.html (4 of 4)13/05/2006 23:46:37
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
AS Diserang Habis, Bagaimana Perasaan Warganya?
Ustad Indonesia Dampingi Bush Tinjau WTC
M. Syamsi Ali
Presiden George Walker Bush dua hari lalu melakukan safari doa bersama
para pemimpin agama Amerika Serikat seperti Kristen, Katolik, Islam,
Yahudi, Budha, dan Hindu. Yang menarik, Bush mengajak ustad asal
Indonesia M. Syamsi Ali MA melakukan safari doa di New York dan
bahkan bersama-sama meninjau reruntuhan WTC. Siapa Syamsi? Mengapa
dia bisa masuk rombongan Bush?
Ramadhan Pohan, Washington D.C.
Bermula dari ajakan imam masjid Malcom Shahbaz New York, Imam Ezekil Pasha.
Selain tokoh muslim yang disegani di AS, Ezekil Pasha adalah ketua Chaplain
(kerohanian) New York Police Department (NYPD). Ezekil menghubungi ustad
kelahiran Sulawesi Selatan ini malam-malam.
"Saya ditelepon Imam Ezekil Pasha untuk hadir bersama beliau sendiri mewakili umat
muslim New York dalam acara doa nasional bersama Presiden Bush," tutur Syamsi
kepada Jawa Pos.
Setelah Washington D.C., safari doa Bush bergeser ke kota dunia, New York City. Doa
itu dilangsungkan di Saint Patrick Church, yang terletak di Jalan 49 dan 5 Avenue
Manhattan, NY. Sebelum acara doa, pemimpin agama yang hadir meliputi Board of
Rabbis of Great NYC, para pendeta dan pastor, serta dua imam dari kalangan komunitas
muslim --Imam E. Pasha dan Syamsi Ali-- melakukan rapat tertutup. Rapat itu dipimpin
langsung Walikota New York Robert Giuliani dan Police Commissioner NYPD.
"Dalam rapat tersebut dibahas situasi terakhir New York. Rekomendasi kita kepada Pak
Wali adalah meminta Presiden Bush mengeluarkan statemen bahwa peristiwa tragis
tersebut sama sekali jangan dikaitkan dengan ajaran Islam, serta hendaknya tidak
dikaitkan dengan umat Islam.
Alhamdulillah, Giuliani bersedia menyampaikannya kepada presiden," papar Syamsi,
kalem.
Setelah acara di Saint Patrick, rombongan religious leader dan beberapa mantan petinggi
New York --antara lain mantan Walikota Dinkins dan mantan Walikota Koch-mengendarai police van ke tempat tragedi, WTC. Di lokasi reruntuhan, Syamsi bersama
para tokoh agama lainnya dan Presiden Bush berfoto bersama. Publik melihat betapa
harmonisasi hubungan antaragama nyata adanya. Artinya, tidak ada agama yang harus
dipojokkan, karena semua agama mengutuk kekerasan yang dilakukan oleh siapa pun.
Saat itu doa dipanjatkan untuk para korban WTC oleh para pemuka, sesuai agama masingfile:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/dampingi.html (1 of 3)13/05/2006 23:46:43
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
masing. Rombongan terbatas belasan orang (pasukan pengaman presiden jumlahnya
malah berkali-kali lipat dari rombongan, Red) itu kemudian berfoto bersama Bush.
Dalam suasana ramah-tamah itulah Presiden Bush bersalaman dengan Syamsi Ali. Di
dekat Bush dan Syamsi tampak Pendeta Saint Patrick, Chief Rabbi NY, Dinkins, dan
Koch. "Ketika menjabat tangan Bush, saya menyampaikan ungkapan simpati. Pak Bush
lalu memegang tangan saya dan menanyakan, "Where are you from".
Tanpa pikir panjang, saya jawab, "I am Indonesian origin from queens area," ujar Syamsi.
Dia mengangguk-angguk. Ketika memegang tangan Syamsi, Bush sempat tercenung
sebentar, lalu tersenyum. Syamsi tak tahu mengapa orang nomor satu di negeri Adidaya
itu diam sejenak. Syamsi memanfaatkannya untuk bicara. "Saya katakan, Mr President,
God will be with the truth (Tuhan bersama kebenaran)," kata Syamsi kepada Bush.
Baru kalimat itu terucapkan Syamsi, Bush mendadak memotong cepat. "Terima kasih
atas doa dan harapannya," ujar Bush sambil menatap Syamsi dalam-dalam. Syamsi
sendiri tahu diri dan tidak ingin membahas ihwal undangan Bush kepada Megawati. Dai
muda kelahiran 1967 ini lebih memilih berbicara dengan Bush dalam konteks
kemanusiaan dan soal-soal yang ada di seputar tragedi WTC saja. Meninjau lokasi WTC
bersama Bush -disaksikan puluhan anggota keluarga korban dan para sukarelawan di
sekitar lokasi- Syamsi menangkap kesan haru mendalam.
Wajah Bush memang tampak mendung. Bahkan, matanya berkaca-kaca. Orang-orang di
lokasi juga memberi simpati mendalam dan bahagia presiden ke-43 AS itu ada di tengah
kesedihan mereka. Bush sendiri hanya bereaksi dengan kalimat-kalimat pendek namun
bermakna dalam: Pray for America.
Thank you, God bless America.
Ketika Bush, Syamsi, dan para tokoh agama lain melewati jalan-jalan sekitar WTC,
banyak warga meneriakkan yel-yel, "USA!, USA!" sambil mengibar-ngibarkan bendera
Amerika. Sejak tragedi WTC dan Pentagon Selasa lalu, sudah 200 ribu bendera AS
terjual. Di samping itu, para keluarga korban menyalami Syamsi dan kawan-kawan. Para
keluarga korban meminta dipanjatkan doa.
"Banyak keluarga korban yang memeluk sambil meneteskan air mata," ujar Syamsi yang
mengaku sangat terharu.
Syamsi bersyukur mendapat momen bisa bersama Bush dan pemuka pemerintahan
setempat justru pada saat orang Amerika sangat peka terhadap agama ini. "Saat ini kan
Islam sedang diperguncingkan sebagai agama yang berhubungan dengan terorisme. Tapi,
saya berupaya meyakinkan dengan cara saya, bahwa Islam jauh dari apa yang
disangkakan itu," jelasnya.
Ketika Imam Pasha mengundangnya mewakili umat Islam dan bukan mengajak pemuka
Islam di New York yang jauh lebih senior, Syamsi sempat menanyakan langsung. Syamsi
bertanya: Why me? "Imam Pasha menjawab ada dua alasan. Pertama, Indonesia adalah
negara penganut Islam terbesar di dunia. Kedua, muslim Indonesia dianggap dapat
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/dampingi.html (2 of 3)13/05/2006 23:46:43
Pustaka Online Media ISNET - M. Syamsi Ali
menyejukkan hubungan antar pemeluk agama. Itulah sebabnya, saya merekomendasikan
nama Anda ke Mayor Giuliani," ungkap Syamsi, menirukan kalimat Imam Pasha
kepadanya.
"Saya hanya berdoa kepada Allah, agar saya bisa melaksanakan amanat ini," katanya
mengakhiri perbincangan.
(http://www.jawapos.co.id/print/index.php?view=detail&id=38500)
M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota
Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.
file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/isnet/Syamsi/dampingi.html (3 of 3)13/05/2006 23:46:43