Download Unduh file PDF ini - STAI Darul Ulum Kandangan Open Journal

Survey
yes no Was this document useful for you?
   Thank you for your participation!

* Your assessment is very important for improving the workof artificial intelligence, which forms the content of this project

Document related concepts
no text concepts found
Transcript
H. Taufikurrahman, Wasiat Wajibah…
WASIAT WAJĪBAH BAGI AHLI WARIS NON MUSLIM
Oleh: Taufikurrahman
Abstrak: Adanya dua putusan MA yang memberikan hak wasiat
wajībah kepada ahli waris non muslim dinilai sebagian
kalangan menyalahi pendapat jumhur ulama dan KHI sebagai
hukum terapan di Pengadilan Agama yang memberikan wasiat
wajībah kepada anak angkat atau orang tua angkat. Namun ada
juga yang menganggapnya sebagai pembaharuan hukum
kewarisan Islam di Indonesia, sehingga wasiat wajībah tidak
hanya untuk anak angkat atau orang tua angkat, tetapi juga ahli
waris non muslim. Tulisan ini menawarkan wasiat wajībah
diterapkan secara kasuistik saja, tidak berlaku umum, yaitu
hanya diberikan bila ahli waris non muslim sangat miskin, tidak
terlibat pidana, dan tidak memfitnah pewaris.
Kata Kunci: wasiat wajībah, ahli waris, non muslim
A. Pendahuluan
Harta warisan menjadi permasalahan bukan saja di masa
kini, tetapi semenjak pra Islam. Meskipun setelah Islam datang
aturan kewarisan dibuat secara rapi dan cukup rinci, namun
karena ilmu ini tidak mudah diserap oleh masyarakat umum, dan
hikmahnya belum banyak ditangkap oleh orang banyak, sengketa tentang harta warisan tetap saja muncul.
Dalam konteks Indonesia, misalnya, satu syarat untuk
mendapatkan bagian waris berupa persamaan agama menjadi
problematis. Sebab, kendati mayoritas penduduknya muslim,
sering pula terjadi sebuah keluarga di mana anak dan orang
tuanya tidak menganut agama yang sama, sehingga karenanya
21
An-Nahdhah, Vol. 1, No. 1, Juni 2008
An-Nahdhah, Vol. 1, No. 1, Juni 2008
warisan tidak akan dapat diberikan kepada ahli waris yang
agamanya berbeda dengan pewaris bersangkutan.
Memang perbedaan agama sebagai penghalang waris
tampaknya masih mewarnai hukum kewarisan dewasa ini,
termasuk Undang-undang kewarisan Mesir dan Syiria. Tetapi
karena di Indonesia terdapat pluralitas hukum, yaitu hukum
Adat dan Hukum Perdata Barat (BW) di samping hukum Islam,
masyarakat muslim memiliki pilihan hukum (hak opsi) dalam
penyelesaian sengketa warisnya sesuai ketentuan Penjelasan
Umum angka 2 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Oleh karena itu, antara orang muslim dan non muslim mungkin
saja dapat mewarisi karena dalam hukum Adat dan Hukum
Perdata Barat (BW) perbedaan agama tidak dijadikan sebagai
penghalang untuk dapat mewarisi. Dalam pasal 833 KUH
Perdata disebutkan bahwa yang dapat menjadi penghalang untuk
dapat mewarisi adalah karena pembunuhan, percobaan pembunuhan dan fitnah.
Sehubungan dengan itu, saat ini sudah ada dua putusan
Hakim Agung pada Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia, yaitu Nomor 386 K/AG/ 1995 tanggal 16 Juli 1998 dan
Nomor 31 K/AG/ 1999 tanggal 29 September 1999 yang
memberikan hak wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim
dari pewaris muslim yang kadar bagiannya seperti ahli waris
muslim. Dari putusan tersebut, MA telah memberikan hak bagi
ahli waris non muslim untuk mendapatkan bagian dari harta
warisan peninggalan orang tuanya atau saudaranya yang muslim
melalui wasiat wajibah yang bagiannya sama besar dengan
bagian ahli waris muslim yang sederajat. Padahal Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 209 ayat (2) telah menetapkan bahwa
wasiat wajibah diperuntukkan kepada anak angkat sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya apabila
anak angkatnya tersebut tidak menerima wasiat dari orang tua
angkatnya.
Apakah putusan MA ini merupakan bentuk baru dari
pembaharuan hukum kewarisan, ataukah sebuah penyimpangan
belaka dari ketentuan hukum waris yang selama ini berlaku di
22
Taufikurrahman, Wasiat Wajibah…
H. Taufikurrahman, Wasiat Wajibah…
Indonesia, atau bahkan di negeri-negeri muslim lain yang hanya
memberikan wasiat wajībah kepada cucu yang orang tuanya
meninggal dunia lebih dahulu? Ataukah MA dalam putusannya
itu akan memberikan gambaran bahwa hukum Islam tidak
eksklusif dan tidak diskriminatif, sehingga rasa keadilan bagi
warga negara Indonesia dapat terpenuhi?
Banyak kemungkinan sebagai pertimbangan hukum MA
dalam mengeluarkan putusan ini, dan ia akan menjadi yurisprudensi bagi peradilan di bawahnya untuk mewujudkan keadilan
dan tidak melahirkan disparitas putusan. Tulisan ini akan
membahas masalah tersebut dari segi fikih dan keadilan dalam
konteks pembaharuan hukum Islam di Indonesia.
B. Wasiat Wajībah dalam Islam
Kata wasiat bermakna dasar menyampaikan sesuatu. Di
dalam Alquran, kata wasiat dan yang seakar dengan itu mempunyai beberapa arti, antara lain menetapkan, memerintahkan,
dan mensyariatkan (menetapkan). Artinya, wasiat bermakna perintah yang harus dijalankan oleh pihak lain.
Di dalam kamus bahasa Indonesia, wasiat adalah pesan
terakhir yang disampaikan oleh orang yang akan meninggal
dunia (biasanya berkenaan dengan harta kekayaan dan sebagainya). Menurut para ahli hukum Islam, wasiat adalah penyerahan harta secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain yang
berlaku setelah orang tersebut wafat, baik berbentuk materi
maupun manfaat. Sedangkan dalam KHI, wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga
yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Pemberian
hak milik dengan jalan wasiat bisa pula berupa barang, piutang
atau manfaat.
Berdasarkan sejumlah definisi di atas, tergambar bahwa
wasiat merupakan tindakan sukarela dari pewasiat dalam memberikan hak atau benda kepada orang lain tanpa mengharapkan
imbalan yang berlaku setelah pewasiat itu meninggal dunia. Ketentuan mengenai berlakunya wasiat ini jelas menunjukkan per23
An-Nahdhah, Vol. 1, No. 1, Juni 2008
An-Nahdhah, Vol. 1, No. 1, Juni 2008
bedaan prinsipil dengan bentuk pemberian atau pelepasan harta
lainnya, seperti jual-beli, hibah dan waris.
Di antara ayat-ayat Alquran yang menjadi sumber hukum
wasiat, yaitu pada surah al-Baqarah ayat 180, 181 dan 182 yang
artinya:
‫َكَرَت ْنِإ ُتْوَمْلا ُمُكَدَحَأ َرَضَح اَ ْذِإمُكْيَل ََعبِتُك‬
‫نْيَدِلاَوْل ُِلةَّيِصَوْلا اًرْيَخ‬
‫ِبيِبَرْقَأْل ِاَو‬
‫ِفوُرْعَمْلا َن‬
‫يِقَّتُمْلا ىَلَع اًّقَح‬. ‫َبنَمَفن‬
ْ ‫اَمَّنِإَف ُهَعِمَساَمَدْع َُبهَلَّد‬
‫َسهَّللا ُ َّهنِإَنوُلِّدَبُيَنيِذَّلا ىَلَع ُهُمْثِإ‬
َ ‫ٌميِلَعٌعيِم‬.
‫َبلْصَأَفاًمْثِإ ْواًَأفَنَج ٍصوُم ْنِم َفا َْخنَمَف‬
َ‫ْمُهَنْي َح‬
‫نِإهْيَل ََعمْثاَِإلَف‬
ِ َّ ‫ٌميِحَرٌروُف ََغهَّللا‬.
(Diwajibkan atas kamu apabila seorang di antara
kamu kedatangan [tanda-tanda] maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak
dan karib kerabatnya secara ma`ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. Maka
barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia
mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah
bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
[Akan tetapi] barangsiapa khawatir terhadap orang
yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka
tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.)
Adapun hadis-hadis yang berhubungan dengan wasiat,
antara lain yang bersumber dari Ibn ‘Umar ra. bahwa Rasulullah
saw. bersabda:
‫ُيءْيَش ُه ٍَلمِلْسُم ٍئِرْما ُّقَح اَم‬
ٌ ‫ِنْيَتَلْيُتَليِب ِهَيي َِفيِصو‬
‫تَّيِصَوَو اَّلِإ‬
‫نةِعَبوُتُْهُكَم‬
ٌ ْ‫ُهَد‬
(Tidak ada seorang muslim pun yang memiliki sesuatu yang hendak diwasiatkannya selama dua malam
kecuali wasiatnya itu telah dituliskannya.)
24
Taufikurrahman, Wasiat Wajibah…
H. Taufikurrahman, Wasiat Wajibah…
Adapun wasiat wajībah adalah suatu wasiat bagi ahli waris
atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari
orang yang wafat karena halangan syarā’. Misalnya, seseorang
berwasiat kepada orang tuanya yang non muslim; atau seorang
cucu yang tidak mendapat harta warisan dari kakek/neneknya
lantaran terhalang keberadaan pamannya. Pengertian lain juga
menunjukkan bahwa ia adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak
dipengaruhi atau tidak bergantung kehendak yang meninggal.
Dari sini, wasiat wajībah dapat dipahami sebagai tindak-an
yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat negara
untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang
yang telah meninggal dunia, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula. Dalam versi lain, wasiat
wajībah itu adalah wasiat yang dipandang telah dilakukan oleh
seseorang yang akan meninggal dunia, walaupun sebenarnya ia
tidak ada meninggalkan wasiat. Misalnya seseorang yang
meninggal dunia tidak meninggalkan wasiat terhadap keturunan
dari anak laki-laki yang telah meninggal dunia di waktu si pewaris masih hidup, maka berlaku wasiat wajībah untuk
keturunan dari anak laki-laki tersebut, dari harta peninggalan
ayahnya menurut ketentuan bagian anak laki-laki yang meninggal dunia itu.
Wasiat wajībah diambil dasar hukumnya dari kompromi
pendapat ulama salaf dan khalāf, dan muncul karena, (1)
hilangnya unsur ikhtiar bagi pemberi wasiat dan munculnya
kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan
tanpa tergantung kerelaan pihak pemberi wasiat dan persetujuan
pihak penerima wasiat; (2) ada kemiripan dengan ketentuan
pembagian harta pusaka dalam penerimaan laki-laki dua kali
lipat bagian perempuan; dan (3) orang yang berhak menerima
wasiat wajibah adalah cucu laki-laki maupun perempuan, baik
pancar laki-laki maupun pancar perempuan atau neneknya, yang
orang tuanya mati mendahului atau bersama-sama dengan
kakek.
25
An-Nahdhah, Vol. 1, No. 1, Juni 2008
An-Nahdhah, Vol. 1, No. 1, Juni 2008
Di Indonesia, konsep wasiat wajībah terbatas kepada anak
angkat dan orang tua angkat saja yang mungkin dipengaruhi
oleh plaatsverfulling dalam hukum perdata, sebab dalam sistem
pewarisan model ini ketentuan dari ahli waris yang telah
meninggal dunia lebih dahulu masuk dalam hubungan hukum
yang sama seperti orang yang masih hidup. Ahli waris jenis ini
disebut ahli waris pengganti, karena posisinya sebagai ahli waris
yang dipandang tidak atau belum berhak menerima warisan.
Secara garis besar antara ahli waris pengganti dengan
wasiat wajībah adalah sama. Perbedaannya, jika dalam wasiat
wajībah dibatasi penerimaannya, dalam ahli waris pengganti
adalah menggantikan hak sesuai dengan hak yang diterima
orang yang digantikan itu. Jadi wasiat wajībah ini dapat berfungsi sebagai alat untuk pengalihan hak secara waris kepada
orang yang tidak ditentukan sama sekali bagian pihak yang
menerima waris itu, dapat pula berfungsi sebagai ahli waris
pengganti dalam kapasitasnya menggantikan kedudukan orang
yang berhak menerima waris tetapi ia lebih dahulu meninggal
dunia daripada orang yang menggantikan kedudukannya.
Oleh karena wasiat wajibah ini mempunyai titik singgung
secara langsung dengan hukum kewarisan Islam, pelaksanaannya diserahkan kepada kebijaksaan hakim dalam proses
pemeriksaan perkara waris yang diajukan kepadanya.
Sejarah Wasiat Wajībah
Teori tentang wasiat wajībah sebenarnya sudah cukup
lama muncul dalam bangunan sejarah hukum Islam, dan tokoh
pertama yang dikenal sebagai pengembang teori ini adalah Ibn
Hazm al-Andalūsī. Ia adalah pakar fikih kelahiran Cordova,
Spanyol, yang bermazhab Zhāhirī (literalis).
Titik penting teori Ibn Hazm di sini adalah bahwa para
ulama sepakat lafaz "kutiba" dalam ayat 180 surah al-Baqarah
pada dasarnya menyatakan wajib. Namun arti itu tidak dipegang
secara praktis oleh sebagian ulama, karena ada beberapa indikasi
lain bahwa berwasiat bukanlah kewajiban. Karena itu dalam hal
pemberian wasiat wajībah terhadap "walidain" dan "aqrabīn"
26
Taufikurrahman, Wasiat Wajibah…
H. Taufikurrahman, Wasiat Wajibah…
yang tidak menerima bagian harta peninggalan, para ulama
masih berbeda pendapat disebabkan beda penafsiran. Ibn Hazm
berpendapat, wasiat adalah wajib bagi setiap yang meninggalkan
harta. Apabila ia meninggal tanpa berwasiat, hartanya harus
disedekahkan sebagian untuk memenuhi kewajiban wasiat itu.
Pendapat ini dapat terjadi karena Ibn Hazm mengambil arti
zahir atau harfiah nash Alquran dan hadis. Di samping itu, ia
juga beralasan dengan ayat 181 surah al-Baqarah seperti disebutkan terdahulu. Lafal "tabdīl" dalam ayat itu tidak mengandung arti lain kecuali mengalihkan pembicaraan, kedudukan,
dan runtutnya kepada arti lain tanpa dalil nash maupun ijmak,
sehingga karenanya mengikuti lahir nash adalah wajib, dan sebaliknya mengalihkan arti lahir adalah dilarang.
Ibn Hazm menguatkan pendapatnya dengan beberapa buah
hadis, salah satunya hadis yang bersumber dari Ibn ‘Umar ra. di
atas. Meskipun jumhur ulama menolak hadis ini karena dua
alasan: Terjadinya perubahan matan dari riwayat yang lebih
terpercaya, dan para perawi hadis ini tidak ada yang melakukan
wasiat, namun Ibn Hazm justru menilai sebaliknya, bahwa
riwayat hadis ini terpercaya, di samping didukung oleh sanad
lain yang juga terpercaya. Adapun tentang para perawinya yang
tidak melakukan wasiat, pernyataan ini menurutnya tidak kuat
sehingga tertolak.
Orang yang berhak mendapat wasiat, menurut Ibn Hazm,
adalah para kerabat yang tidak menerima warisan baik karena
perbudakan, perbedaan agama, terhijab, atau bukan ahli waris.
Jika orang lain yang mendapatkan wasiat, sekiranya ada, harus
memberikan kepada mereka menurut yang dianggap mereka
patut. Kerabat di sini adalah orang-orang yang memiliki
pertalian darah, mulai dari orang tua ke bawah, atau mereka
yang apabila dinasabkan akan berada pada garis keturunan yang
sama dengan orang yang meninggal dunia (keturunan ayah dan
ibu baik melalui dia sendiri atau melalui saudaranya). Ibn Hazm
menisbahkan pendapat ini kepada beberapa sahabat dan tabi'in,
di antaranya adalah Masrūq (w. 63 H./682 M.) dan Sa'īd ibn
Musayyab (w. 94 H. /712 M.).
27
An-Nahdhah, Vol. 1, No. 1, Juni 2008
An-Nahdhah, Vol. 1, No. 1, Juni 2008
Adapun tentang jumlah orang yang harus diwasiati, Ibn
Hazm menentukan batas minimalnya tiga orang, sehingga bila
kerabat yang tidak mewarisi tersebut banyak, pewasiat harus
berwasiat kepada minimal tiga orang saja.
Menurut Ibn Hazm, ada wasiat yang wajib dan ada yang
sunat (ikhtiyāriyyah). Wasiat wajībah diperuntukkan bagi kerabat yang tidak mewarisi, sedangkan wasiat ikhtiyāriyyah
terserah kepada keinginan si pewasiat. Dari sini ia menganggap
kewajiban berwasiat ini bersifat qadhā'ī, artinya ahli waris yang
hidup berkewajiban membuat wasiat sekiranya belum diucapkan, atau memperbaikinya ketika wasiat itu dianggap salah, dan
perbaikan ini tidak dianggap mengubah wasiat yang dilarang.
Pendapat Ibn Hazm berbeda dengan pendapat jumhur
ulama dalam hal sifat kewajiban berwasiat dan korelasinya. Bagi
Ibn Hazm, kewajiban berwasiat bersifat qadhā'ī dalam arti ahli
waris yang ada akan bertindak melakukan wasiat atas nama
orang yang meninggal sekiranya dia tidak berwasiat, sementara
menurut jumhur kewajiban tersebut bersifat ta'abbudī, artinya
seseorang akan berdosa sekiranya tidak berwasiat, namun tidak
ada keharusan bagi ahli waris untuk bertindak atas nama orang
yang telah meninggal itu. Ibn Hazm mengorelasikan wasiat
wajībah itu dengan anggota kerabat yang tidak berhak mewarisi,
sementara menurut jumhur berkenaan dengan kewajiban yang
belum ditunaikan seperti utang yang tidak ada alat bukti, kafarat,
dan kewajiban ibadah lainnya.
Wasiat Wajībah Menurut KHI
Berkenaan wasiat wajībah, KHI menetapkan antara anak
angkat dan orang tua angkat terbina hubungan saling berwasiat
(pasal 209). Pasal ini menyatakan orang tua angkat atau anak
angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajībah sebanyak-banyaknya sepertiga warisan masing-masing. Dengan
demikian, KHI mengartikan wasiat wajībah itu sebagai wasiat
yang ditetapkan oleh perundang-undangan yang diberikan kepada orang tua angkat atau anak angkat yang tidak menerima
wasiat dari salah satunya yang meninggal dunia.
28
Taufikurrahman, Wasiat Wajibah…
H. Taufikurrahman, Wasiat Wajibah…
Peraturan ini dianggap baru jika dikaitkan dengan ketentuan fikih tradisional yang menyatakan penerima wasiat wajibah
hanyalah orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewasiat (pewaris). Landasan wasiat wajībah kepada anak atau
orang tua angkat dalam KHI hanyalah melalui pertimbangan
mashālih al-mursalah, sebagaimana halnya kepada cucu yatim.
Mungkin anak angkat di sini dapat dirumuskan sebagai orang
yang layak menjadi anak dari keluarga tersebut, yang diasuh,
dididik, dan dibesarkan dengan harapan akan merawatnya di
masa tua nanti. Namun ketentuan wasiat wajībah dengan pertimbangan kemaslahatan ini tampak masih menuai ketidaksetujuan,
terlebih lagi hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan anak
belum dijelaskan oleh KHI.
Dari uraian tentang wasiat wajībah di atas, ada kesamaan
pandangan antara Ibn Hazm dengan KHI, yakni adanya wasiat
yang ditetapkan oleh undang-undang yang memberikan kekuatan memaksa terhadap kekayaan seseorang yang meninggal
dunia sedangkan ia tidak berwasiat, untuk diberikan kepada
orang-orang tertentu. Adapun perbedaan terjadi dalam memandang siapakah yang berhak menerima wasiat wajibah, sebagaimana telah dikemukakan.
C. Masalah Wasiat Wajībah bagi Ahli Waris Non Muslim
Satu prinsip yang mendasari hukum kewarisan Islam
adalah ijbārī, yakni peralihan harta dari seseorang yang meninggal dunia berlaku dengan sendirinya menurut kehendak
Allah, sehingga semua pihak harus menerima perpindahan harta
itu menurut ketentuan nash. Prinsip ini terlihat dari aspek legitimasi ahli waris, harta waris, dan jumlah harta yang diterima ahli
waris.
Legitimasi ahli waris ditetapkan berdasarkan hubungan
tertentu, terutama hubungan kekerabatan dan pernikahan. Dalam
fikih, legitimasi untuk mendapatkan warisan adalah karena akad
nikah (hubungan perkawinan), nasab (hubungan kekerabatan)
dan memerdekakan hamba sahaya (walā),sehingga dengan de29
An-Nahdhah, Vol. 1, No. 1, Juni 2008
An-Nahdhah, Vol. 1, No. 1, Juni 2008
mikian hanya orang-orang yang memiliki legitimasi itulah yang
berhak menerima bagian warisan.
Selain itu, perlu juga dilihat apakah tidak ada halangan
syara’ untuk dapat mewarisi. Artinya orang yang terhalang untuk mewarisi itu adalah orang-orang yang telah memenuhi sebab
sebab untuk mendapat bagian warisan, tetapi dia kehilangan hak
untuk memperolehnya yang secara umum disebabkan oleh, (1)
hamba sahaya, (2) membunuh, (3) beda agama, (4) beda Negara,
dan (5) memfitnah.
Untuk poin satu, dua, dan tiga, para ulama telah sepakat
menjadikannya sebagai penghalang untuk dapat mewarisi. Sedangkan poin lima, yaitu fitnah yang dijadikan penghalang
warisan, merupakan hal baru, seperti tertuang pada KHI pasal
173 ayat (b) bahwa fitnah dimaksud adalah yang telah terbukti
sebagai berita bohong oleh pengadilan dengan putusan hakim
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Hal ini
karena fitnah adalah satu cara untuk melakukan pembunuhan,
baik yang sifatnya segera terbunuh atau tidak, seperti mengakibatkan seseorang dipenjara atau lebih berat lagi yang berakibat kepada mempercepat kematian.
Hal yang lebih relevan untuk dibahas di sini adalah tentang
perbedaan agama sebagai penghalang untuk mewarisi. Sebab,
perbedaan agama sebagaimana yang disepakati para fuqaha
tersebut hanya sebatas bagi ahli waris non muslim, baik sejak
awal non muslim atau keluar dari agama Islam (murtad), dengan
dalil hadis riwayat al-Bukharī dan Muslim yang ber-sumber dari
Usamah ibn Zaid bahwa Nabi saw bersabda:
‫رفاكلاملسملاثري ال‬
‫رفاكلا الو‬
‫ملسملا‬
Namun demikian, Mu'ādz bin Jabal, Mu'āwiyah, Ibn alMusayyab, Masrūq dan al-Nakha'ī tetap berpendapat bahwa
penghalang yang disebabkan perbedaan agama, tidak termasuk
bagi muslim untuk mewarisi harta peninggalan non muslim,
dengan alasan bahwa agama Islam itu sebagai agama tertinggi.
Sebagai bukti, mereka dibenarkan mewarisi keluarganya yang
non muslim, tetapi tidak sebaliknya. Dalam hal ini Sayyid Sabiq
30
Taufikurrahman, Wasiat Wajibah…
H. Taufikurrahman, Wasiat Wajibah…
menganalogikan bahwa seorang laki-laki muslim dapat
mengawini wanita non muslim, sedangkan laki-laki kafir tidak
dibenarkan mengawini wanita muslim.
Dalam hukum kewarisan ini, akan timbul persoalan bagaimana jika ahli waris masuk Islam sesudah pewaris meninggal
dunia, dan peninggalannya belum dibagikan. Untuk ini Jumhur
ulama berpendapat bahwa ahli waris tetap terhalang untuk mendapat warisan, sebab hak mendapat warisan itu sejak kematian
pewaris, bukan saat pembagian warisan. Namun, Imam Ahmad
dan mazhab (Syi’ah) Imāmiyyah menetapkan bahwa ahli waris
tersebut tidak terhalang, sebab mereka tidak lagi berbeda agama
sebelum pembagian pusaka, sehingga harta itu belum menjadi
milik ahli waris secara tetap sebelum dibagi-bagikan kepada
yang bersangkutan.
Menurut hemat penulis, pendapat jumhur lebih kuat, sebab
jika perbedaan agama itu dinilai pada saat pembagian harta
warisan, ada kemungkinan timbul kasus-kasus orang masuk
Islam lantaran menghendaki bagian waris dari keluarganya (pewaris) yang muslim. Lagi pula harta pewaris telah pindah kepemilikannya kepada ahli waris secara hukum saat ia meninggal
dunia. Karena itu, untuk berhak tidaknya seseorang menjadi ahli
waris dilihat pada saat kematian pewaris.
Adapun terhadap orang murtad, menurut Imam Abū Hanīfah, harta peninggalan yang diperolehnya sewaktu ia masih
muslim diwarisi oleh ahli warisnya yang muslim dan harta peninggalan yang diperolehnya setelah murtad dikuasai oleh Baitul
Mal sebagai rampasan (fa'i). Sedangkan menurut jumhur ulama,
orang murtad tidak mewarisi dan tidak diwarisi layaknya orang
kafir, sehingga harta peninggalannya secara keseluruhan dikuasai oleh Baitul Mal. Sementara menurut M. Hasby Ash
Shiddieqy, orang murtad tidak dapat mempusakai karena ia telah
meninggalkan agama Islam sehingga dipandang telah melakukan tindak pidana. Ia harus dihukum dengan tidak memberikan
pusaka kepadanya, sebagaimana halnya seseorang yang membunuh dengan sengaja.
31
An-Nahdhah, Vol. 1, No. 1, Juni 2008
An-Nahdhah, Vol. 1, No. 1, Juni 2008
Meskipun para ulama telah sepakat (ijmā') bahwa tidak
ada ketentuan bagi ahli waris non muslim untuk mewarisi peninggalan pewaris muslim, namun hal ini bukan berarti menutup
jalannya yang lain untuk dapat menerima harta dari pewaris
tersebut. Sebagian ulama, seperti Ibn Hazm, al-Thabarī, dan
Muhammad Rasyīd Ridhā, menyatakan bahwa jalan lain itu
berupa wasiat wajībah.
Dengan mengartikan wasiat wajībah sebagai tindakan
pembebanan oleh hakim atau lembaga yang mempunyai hak
agar harta seseorang yang telah meninggal dunia, tetapi tidak
melakukan wasiat secara sukarela, agar diambil hak atau benda
peninggalannya untuk diberikan kepada orang tertentu dalam
keadaan tertentu pula, berkonsekuensi pada kewajiban berwasiat
ini tidak hanya bersifat diyānī (individual-keagamaan) tetapi
juga qadhā'ī, sehingga dapat dipaksakan apabila ia lalai melaksanakannya karena sudah menyangkut kepentingan orang lain
(masyarakat).
Selain itu, norma hukum secara umum – selain yang ditetapkan secara tegas oleh Alquran dan sunnah - tidaklah bersifat
abadi, karena dari waktu ke waktu selalu terjadi revisi,
pembatalan, atau penyempurnaan sesuai dengan perkembangan
dan kehendak masyarakat. Dalam hal inilah terdapat konsensus
di kalangan ahli hukum Islam bahwa hukum itu berubah dengan
perubahan kondisi dan situasi.
Meskipun jumhur ulama dan Ibn Hazm berbeda pendapat
dalam menetapkan hukum berwasiat, tetapi ulama dari kalangan
Syafī'iyyah, Hanafiyyah, dan Hanābilah membolehkan berwasiat
untuk mereka yang non muslim dengan syarat orang yang diberi
wasiat tidak memerangi umat Islam dengan dalil qiyas kepada
hibah dan sedekah. Demikian juga Ibn Hazm berdalil dengan
hadis Rasulullah saw. yang telah memberi izin ‘Umar ra. untuk
memberikan sebuah baju kepada saudaranya yang musyrik di
Mekkah.
Senada dengan itu, Subhī Mahmassanī mengemukakan
bahwa kesamaan agama bukan syarat sahnya sebuah wasiat,
sehingga boleh saja suami yang muslim berwasiat kepada istri32
Taufikurrahman, Wasiat Wajibah…
H. Taufikurrahman, Wasiat Wajibah…
nya yang non muslim (ahlul kitab) sebanyak sepertiga dari
warisan, lebih banyak dari seperdelapan atau seperempat bagian
jika kedudukannya sebagai ahli waris muslim, karena pewaris
meninggalkan anak atau tidak.
Dari beberapa pemikiran fuqahā di atas, tampaklah bahwa
berwasiat kepada non muslim tidak dilarang sepanjang yang
diberi wasiat tidak memerangi umat Islam. Adapun yang diharamkan, seperti kesepakatan para ulama, adalah berwasiat
untuk kepentingan maksiat baik yang diberikan kepada seorang
muslim atau non muslim.
Perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang status
hukum berwasiat antara wajib dan sunat merupakan kajian
ijtihad dalam memahami dalil Alquran dan hadis yang banyak
dipengaruhi oleh daya nalar, kadar ilmu, latar belakang budaya
serta situasi dan kondisi masyarakat yang melingkupinya. Adanya perbedaan pendapat dalam khazanah pemikiran hukum
Islam (fiqh) telah memberikan alternatif, khususnya kepada para
aparat penegak hukum dalam menjalankan putusannya untuk
memilih pendapat mana yang lebih sesuai dengan kemaslahatan
dan perubahan zaman, sekalipun sebagai mazhab minoritas
dalam masyarakat, maka di sinilah hukum berfungsi sebagai alat
perubahan sosial.
D. Wasiat Wajibah bagi Ahli Waris Non Muslim dan
Pembaharuan Hukum: Sebuah Analisis
Tidak bisa dipungkiri bahwa kontribusi fiqh terhadap perundang-undangan di Indonesia, khususnya terhadap KHI, sangat
besar. Jadi tidak benar anggapan bahwa yurisprudensi peradilan
agama dihasilkan tidak dengan merujuk kepada fiqh, tetapi
semata-mata hanya didasarkan pada KHI. Sebab, harus dikatakan bahwa KHI sendiri disusun dengan merujuk kepada kitabkitab fikih.
Namun demikian, satu standar yang dijadikan patokan
dalam pengkajian dan penerapan suatu hukum adalah standard
kemaslahatan umat. Ijtihad ulama mungkin saja sesuai dan mas33
An-Nahdhah, Vol. 1, No. 1, Juni 2008
An-Nahdhah, Vol. 1, No. 1, Juni 2008
lahat untuk masalah yang sama pada zaman sekarang, tetapi jika
penerapannya dipaksakan belum tentu akan maslahat dan berdampak positif bagi kehidupan masyarakat. Dengan demikian,
pemaksaan penerapan suatu hukum fikih yang tidak sesuai dengan kemaslahatan umat bukanlah sesuatu yang bijaksana.
Dari sini, yurisprudensi peradilan agama merupakan satu
usaha untuk mencari solusi alternatif terhadap permasalahan
yang belum dikaji oleh para mujtahid dalam kitab-kitab fikih,
atau berusaha menyempurnakan berbagai hal yang telah dihasilkan mereka namun belum bisa diterapkan pada masa sekarang.
Oleh karena itu, antara yurisprudensi peradilan agama dengan fikih bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan, atau
mengambil salah satu dan membuang yang lainnya. Putusan peradilan agama yang berdampak kepada kemaslahatan masyarakat
meskipun tidak sejalan dengan hasil ijtihad para ulama terdahulu
justru harus disyukuri. Hal ini telah menunjukkan bahwa umat
Islam dinamis, tidak pasif, dan tidak hanya mengandalkan
pendapat ulama terdahulu, tetapi membuat kreasi sendiri dalam
mencapai kemaslahatan dan keadilan.
Dibuatnya suatu aturan hukum, baik melalui ijtihad para
ulama maupun dalam bentuk undang-undang, bertujuan untuk
menjamin ketertiban manusia, secara khusus untuk menjaga
maqāshid al-syarī'ah yang lima: hifzh al-dīn, hifzh al-nafs, hifzh
al-nasal, hifzh al-aql, dan hifzh al-māl, sebagaimana dikemukakan oleh al-Ghazālī dan al-Syātibī. Dengan demikian, sejauh
undang-undang Peradilan Agama bertujuan menegakkan maqāshid al-syarī'ah tersebut, meskipun masih ada yang tidak sejalan
dengan pendapat-pendapat ulama terdahulu, dapat dibenarkan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa yurisprudensi merupakan pengembangan hukum Islam dan pendorong untuk fikih
Islam dengan paradigma baru. Karena itu fikih klasik merupakan bahan kajian bagi hakim sebagai bahan alternatif untuk memutuskan perkara sepanjang ruhnya masih sejalan dan relevan
dengan kemaslahatan umat masa kini.
Sehubungan dengan permasalahan ini, penulis akan mencoba menganalisis, apakah aturan/ yurisprudensi, dalam hal ini
34
Taufikurrahman, Wasiat Wajibah…
H. Taufikurrahman, Wasiat Wajibah…
adalah putusan MA yang memberikan hak wasiat wajibah
kepada ahli waris non muslim dengan kadar bagian sama dengan
ahli waris muslim yang setingkat dengannya, layak untuk diberlakukan atau tidak. Seperti dibahas di atas, putusan MA tersebut
tidak berpedoman kepada pendapat jumhur ulama, tetapi lebih
mendasarkan kepada mazhab minoritas (Zhāhirī) dalam
khazanah pemikiran hukum Islam. Hal itu patut kita hargai
sebagai hasil ijtihad dalam upaya mengaktualisasikan nilai-nilai
hukum kewarisan Islam pada masyarakat Indonesia yang pluralistik, agar hukum Islam tidak kehilangan jati dirinya sebagai
rahmatan li al- 'ālamīn.
Hukum Islam, seperti dikemukakan terdahulu, bertujuan
untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di
akhirat kelak, dengan jalan mengambil (segala) hal yang bermanfaat dan mencegah yang mudarat, yaitu yang tidak berguna
bagi hidup dan kehidupan. Tujuan tersebut dapat dilihat dari dua
segi, yakni dari segi pembuat hukum Islam itu sendiri yaitu
Allah dan Rasul-Nya, dan dari segi manusia yang menjadi
pelaku dan pelaksana hukum Islam itu. Jika dilihat dari pembuat
hukum Islam, tujuannya untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang bersifat primer (dharūriyyāt), sekunder (hājiyyāt),
dan tertier (tahsīniyyāt).
Memperhatikan otentisitas hukum Islam hasil pemikiran
para imam mazhab, sekalipun mazhab mayoritas (jumhur
ulama) tanpa memperhatikan dinamika masyarakat yang banyak
dipengaruhi oleh ruang dan waktu yang tidak hampa kultural
hanya akan menjadikan hukum Islam kehilangan daya tariknya
karena tidak memenuhi kebutuhan masyarakat yang melingkupinya. Dengan demikian, melakukan pembaharuan hukum Islam
(fikih) adalah suatu hal yang diperlukan dalam situasi dan
kondisi tertentu, tanpa mengorbankan syariat Islam yang bersifat
universal dan eternal. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fikih
bahwa hukum itu berubah sesuai dengan ada dan tidaknya ilat
hukum; dan juga hukum itu berubah karena perubahan waktu,
tempat, keadaan, adat, dan niat.
35
An-Nahdhah, Vol. 1, No. 1, Juni 2008
An-Nahdhah, Vol. 1, No. 1, Juni 2008
Dari kaidah ini dapat dipahami bahwa hukum Islam menjaga terwujudnya kemaslahatan masyarakat. Oleh karena itu,
penerapan hukum Islam terhadap situasi yang beraneka ragam,
baik dalam arti masa maupun tempat, membutuhkan fleksibilitas
hukum Islam itu sendiri, yang tanpa disadari sudah dilakukan
oleh para ulama masa lalu, seperti yang telah diterapkan oleh
Khalifah ‘Umar ibn al-Khattāb ra, Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd alAzīz, Imam al-Syāfi'ī, Abū Yūsuf, dan Syams al-Dīn al-Qurafī.
Adapun pembaharuan hukum Islam yang dilakukan oleh
MA, dalam kaitannya dengan wasiat wajībah ini, adalah pembaharuan yang sifatnya terbatas, yakni dengan tetap memposisikan ahli waris non muslim sebagai orang yang terhalang
untuk mewarisi pewaris muslim sebagaimana pendapat jumhur
ulama. Namun pada sisi lain, jika MA membiarkan ahli waris
non muslim tidak mendapat sesuatu apapun dari harta pewaris
muslim yang jelas secara keturunan sangat dekat seperti anak
dan saudara, maka hal ini kurang relevan dengan nilai-nilai dan
norma hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, MA mencari solusinya dengan
memberikan hak wasiat wajībah, yang pada dasarnya berbeda
secara signifikan dengan orang yang berkedudukan sebagai ahli
waris, khususnya dalam penerimaan bagian warisan. Maksudnya, jika ahli waris muslim – tergantung jumlah ahli waris –
pada suatu kasus bisa saja bagiannya melebihi sepertiga warisan,
sedangkan ahli waris non muslim yang mendapat wasiat wajibah
tetap dibatasi maksimal sepertiga bagian.
Berkaitan dengan nilai-nilai dan norma hukum yang
berkembang di Indonesia, dapat dikatakan bahwa masyarakatnya adalah masyarakat yang telah mengadakan kontrak sosial
untuk hidup rukun, damai, saling menghormati dan tidak saling
merendahkan martabat kemanusiaan atas dasar apapun juga,
baik karena perbedaan suku, budaya, maupun agama. Apabila
hal ini dilakukan dengan karakteristik semacam itu, gagasan
hukum Islam akan terinternalisasi ke dalam istilah hukum dan
politik di Indonesia, yang merupakan potensi dalam pengembangan hukum Islam melalui supra dan infrastruktur politik.
36
Taufikurrahman, Wasiat Wajibah…
H. Taufikurrahman, Wasiat Wajibah…
Secara politis, pemberian hak wasiat wajībah semacam ini
telah memberikan gambaran positif bahwa hukum Islam tidak
eksklusif dan diskriminatif yang seolah-olah telah menempatkan
warga non muslim sebagai kelas dua di depan hukum. Jika
langkah yang dipilih adalah sebaliknya, maka akan semakin
berkembang opini pada masyarakat non muslim di Indonesia,
bahwa hukum Islam merupakan ancaman bagi mereka, yang
pada gilirannya akan tidak menguntungkan bagi proses transformasi ke dalam hukum nasional (hukum positif).
Kondisi masyarakat Indonesia yang telah diikat dengan
kontrak sosial tersebut, sejalan dengan ajaran Islam yang tidak
melarang bagi warga negara muslim untuk berbuat baik
terhadap warga negara non muslim. Salah satu wujud berbuat
baik dan berlaku adil ini adalah dengan memberikan bagian
harta warisan melalui wasiat wajībah kepada mereka.
Di samping itu, di Indonesia yang mempunyai pluralitas
hukum, berbuat baik dan berlaku adil terhadap warga negara
non muslim, khususnya dalam pembagian warisan melalui wasiat wajībah, merupakan suatu keharusan manakala sistem
hukum yang berlaku bagi warga negara non muslim berupa
hukum adat dan hukum perdata Barat (BW) itu tidak
menjadikan perbedaan agama sebagai penghalang dalam kewarisan. Perbedaan agama sebagai penghalang untuk dapat
mewarisi, dalam hukum kewarisan dewasa ini, hendaknya
dibedakan dengan pembunuhan, penganiayaan, dan fitnah yang
diakui secara universal sepanjang zaman sebagai kejahatan
terhadap kemanusiaan, sehingga apabila pelakunya dihukum
tidak dapat mewarisi pewarisnya yang dibunuh, dianiaya, dan
difitnah, maka tidak akan ada yang mengkritisi hukum Islam
sebagai tidak adil dan tidak manusiawi.
Sunnah Rasul telah menjelaskan, sebagaimana diuraikan di
muka, bahwa perbedaan agama merupakan penghalang bagi
seseorang untuk dapat mewarisi. Namun untuk memperoleh
harta dengan jalan wasiat, pewasiat muslim dapat saja
memberikannya kepada siapa saja yang ia kehendaki, termasuk
kepada orang yang berbeda agama dengannya, terlebih lagi
37
An-Nahdhah, Vol. 1, No. 1, Juni 2008
An-Nahdhah, Vol. 1, No. 1, Juni 2008
mereka itu adalah orang tua, anak, atau kerabat dekat lainnya.
Langkah ini merupakan solusi terbaik untuk menjaga hubungan
yang harmonis dalam sebuah keluarga atau masyarakat.
Pada sisi lain, dengan adanya wasiat wajībah bagi ahli
waris non muslim, berarti hukum Islam telah mengakomodasi
hak dan kepentingan warga negara non muslim, sehingga kemungkinan untuk memilih hukum selain dari hukum Islam
dalam penyelesaian sengketa waris dapat diminimalisasi. Selanjutnya, upaya pembaharuan hukum kewarisan Islam dapat
diformulasikan dengan segar dan baik sehingga dapat diterima
oleh semua pihak, terutama di saat upaya mempositifkan hukum
Islam menjadi undang-undang melalui legislasi nasional.
Mungkin dalam kondisi seperti ini, MA melalui
putusannya memberikan hak wasiat wajībah kepada ahli waris
non muslim tersebut, dilakukan dengan menggali nilai-nilai
hukum yang hidup di masyarakat Indonesia, yakni hukum yang
merupakan moralitas masyarakat. Dalam hal ini, hakim wajib
menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat, karena
tugas terpentingnya adalah memutus dan mengurus perkaraperkara yang diajukan kepadanya.
Perbedaan pendapat antara jumhur dengan Ibn Hazm
tersebut masih bisa dikompromikan untuk mendapatkan ketentuan hukum dan diterapkan pada kasus-kasus tertentu. Ayat 180
surah al-Baqarah mewajibkan bagi yang meninggalkan harta
agar berwasiat kepada kedua orang tua dan kerabatnya secara
umum. Sedangkan ayat-ayat waris yang mengecualikan orang
tua dan kerabat untuk mendapatkan wasiat, khusus kepada
mereka yang menjadi ahli waris. Oleh karena itu, yang dimaksudkan orang tua dan kerabat yang berhak menerima wasiat
itu hanyalah orang tua dan kerabat yang tidak dapat menjadi ahli
waris, misalnya yang disebabkan karena perbedaan agama. Dari
sini, wajibnya sang anak mewasiatkan sebagian hartanya kepada
kedua orang tua dan kerabatnya yang non muslim adalah supaya
tali silaturahmi mereka tidak terputus hanya lantaran berbeda
agama.
38
Taufikurrahman, Wasiat Wajibah…
H. Taufikurrahman, Wasiat Wajibah…
Kemudian, karena hal ini merupakan wilayah kajian
ijtihādiyyah, dalam memilih pendapat untuk dijadikan sebuah
putusan seperti yang dilakukan MA, sebaiknya perlu diperhatikan rambu-rambu berikut: (1) Memilih pendapat yang kuat
dalilnya, bukan pendapat yang tidak jelas dan masih membingungkan; (2) menghindar dari meninggalkan pendapat yang
disepakati; dan (3) memilih pendapat yang kondusif bagi terciptanya kemaslahatan umat.
Menurut ulama ushūl al-fiqh, dalam menghadapi perbedaan pendapat di atas, sebelum memberikan putusan hakim
hendaknya memperhatikan hal-hal berikut: (1) Bila salah satu
dari beberapa pendapat tersebut telah menjadi undang-undang di
sebuah masyarakat, maka yang dianggap berlaku adalah pendapat yang telah menjadi undang-undang, sehingga hakim
terikat dengan bunyi undang-undang tersebut; (2) jika belum
menjadi undang-undang, tetapi telah terjadi kesepakatan dalam
suatu masyarakat bahwa yang akan diberlakukan di pengadilan
adalah mazhab atau pendapat tokoh tertentu, maka untuk
selanjutnya kesepakatan itu mengikuti masyarakat tersebut; (3)
jika belum ada undang-undang yang mengatur, dan tidak pula
ada kesepakatan untuk memilih mazhab mana yang akan
diberlakukan di pengadilan, maka jalan yang harus ditempuh
adalah memakai pendapat yang sudah biasa dipakai masyarakat
itu; dan (4) jika ternyata ketentuan-ketentuan itu bertentangan
dengan Alquran dan sunnah, dan pada kasus-kasus tertentu dalam pandangan hakim akan bertentangan dengan kemaslahatan
atau dengan tujuan syara', maka hakim baru boleh keluar dari
ketentuan-ketentuan tersebut, seperti boleh memilih keputusan
lain yang terdapat dalam prinsip-prinsip istihsān.
Oleh karena itu, jika setiap putusan pengadilan MA, yang
memberikan hak wasiat wajībah kepada ahli waris non muslim
berdasarkan pendapat Ibn Hazm, ditinjau dari sudut pandangan
fikih, akan menjadi lebih kuat dan baik bila didasarkan pada
rambu-rambu yang telah disebutkan di atas, lantaran pendapat
Ibnu Hazm tersebut tidak kuat untuk dijadikan pegangan.
39
An-Nahdhah, Vol. 1, No. 1, Juni 2008
An-Nahdhah, Vol. 1, No. 1, Juni 2008
E. Penutup
Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa secara kasuistik wasiat wajībah dapat diterapkan dan diberikan kepada
ahli waris non muslim, baik diberikan kepada kedua orang tua
atau kerabat, apabila kondisi ekonomi mereka sangat miskin dibanding kerabat lainnya. Selain itu, ahli waris non muslim yang
dapat diberi wasiat wajībah tersebut juga tidak terlibat tindak
pidana seperti membunuh atau memfitnah pewaris.
Oleh karena itu, para hakim di semua tingkat pengadilan,
hendaknya ketika memeriksa dan mengadili perkara waris yang
di dalamnya ada pihak-pihak yang berbeda agama, tidak selalu
memberikan wasiat wajībah kepada ahli waris non muslim,
kecuali atas pertimbangan kemaslahatan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta,
Akademika Pressindo, 1992.
Abubakar, H. Zainal Abidin, Himpunan Peraturan PerundangUndangan dalam Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta,
Direktorat Pembinaan badan Peradilan Agama, 2001.
Abubakar, Al Yasa, “Wasiat Wajibah dan Anak Angkat,”
Mimbar Hukum, Nomor 29, Jakarta, Al-Hikmah, 1996.
Arif, H. Muhammad, Hukum Warisan dalam Islam. Surabaya,
Bina Ilmu, 1986.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Fiqhul Mawaris, Jakarta, Bulan
Bintang, 1975.
Athaillah, A., Semua Ayat Al-Qur'an Bersifat Operatif (Sebuah
Tanggapan Terhadap Teori Nasakh di dalam Al-Qur'an.
Banjarmasin, Makalah, 1987.
Bashri, Cik Hasan, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan
Pranata Sosial. Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004
40
Taufikurrahman, Wasiat Wajibah…
H. Taufikurrahman, Wasiat Wajibah…
al-Bukhārī, Abū ‘Abdillāh Muhammad ibn Ismā'īl ibn Ibrāhīm,
Shahīh al-Bukhārī. Beirut, Dār al-Fikr, t. th.
Dahlan, Abd. Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta, PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000.
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya. Madinah
al-Munawwarah, Khadimul Haramain, 1411 H.
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung, PT Al-Ma'arif, 1981.
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qur'an dan
al-Hadits. Jakarta, Tinta Mas, 1982.
Hazm, Ibn, al-Muhallā. Beirut, Dār al-Āfāq al-Jadīdah, t. th.
-------,al-Ihkām fī Ushūl al-Ahkām, Kairo, al-Asīmā, t.th.
Juwār, Muhammad, al-Ahwāl al-Syakhshiyyah, Beirut, Dār al‘Ilm, 1964.
Ka'bah, Rifyal, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, Jakarta,
Khairul Bayan, 2004.
--------, “Reformasi Metodologi Pengembangan Hukum Islam”,
Mimbar Hukum, Nomor 45, Jakarta, Al-Hikmah, 1999.
Mahmassanī, Subhī, al-Mabādī al-Syarī'ah wa al-Qānūniyyah,
Beirut, Dār al-‘Ilm, 1967.
Ma'lūf, Luis, al-Munjīd fī al-Lughāt, wa al-A'lām. Beirut, Dār
al-Masyriq, 1986.
Ridhā, Muhammad Rasyīd, Tafsīr al-Manār. Mesir, Iqāmah alDīn, t. th.
al-Shabūnī, Muhammad ‘Alī, al-Mawārits al-Syarī'ah alIslāmiyyah ‘alā Dhau'i al-Kitāb wa al-Sunnah. Makkah alMukarramah, Syirkah Iqāmah al-Dīn, t. th.
Sembodo, Cipto, “Inklusifisme Syari'ah”, Mimbar Hukum,
Nomor 43, Jakarta, Al-Hikmah, 1999.
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta,
Pradnya Paramita, 1981.
Syafe'i, Rachmat, Yurisprudensi Peradilan Agama dari
Pelaksanaan UUPA: Segi Nomratif dalam kajian Fiqh,
41
An-Nahdhah, Vol. 1, No. 1, Juni 2008
An-Nahdhah, Vol. 1, No. 1, Juni 2008
Alternatif Penyempurnaan Timbal Balik. Jakarta, Panitia
Seminar Nasional 10 Tahun Undang-Undang Peradilan
Agama, 1999.
Taufiq, “Transformasi Hukum Islam ke dalam Legislasi
Nasional”, Mimbar Hukum, Nomor 49, Jakarta, Al
Hikmah, 2000.
al-Thabarī, Abū Ja'far Muhammad bin Jarīr, Jamī'u al-Bayān
‘an-Ta'wīl Āyāt al-Qur'ān. t.t.,Syirkah Iqāmah al-Dīn, t. th.
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai
Pustaka, 1996.
Usman, Suparman, dkk, Fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan
Islam). Jakarta, Gaya Media Pratama, 1997.
Varia Pengadilan Nomor 192 September 2001
----------, Nomor 193 Oktober 2001.
al-Zarqā, Muhammad Ahmad, al-Madkhal al-Fiqh al-'Āmī.
Beirut, Dār al-Fikr, 1968.
Zein, Satria Effendi, M “Analisis Fiqh”, Mimbar Hukum,
Nomor 37, Jakarta, Al-Hikmah, 1998.
al-Zuhailī, Wahbah, al-Fiqh al-Islāmī wa adillatuh, juz VIII.
Beirut, Dār al-Fikr, 1989.
42
Taufikurrahman, Wasiat Wajibah…