Download Semesta Ajaran Tasawuf, oleh Sutoyo

Survey
yes no Was this document useful for you?
   Thank you for your participation!

* Your assessment is very important for improving the workof artificial intelligence, which forms the content of this project

Document related concepts
no text concepts found
Transcript
Semesta Ajaran Tasawuf
Oleh: Sutoyo *
Abstrak
Orang umum sering terjebak dalam pemahaman yang keliru, tasawuf
dipahami sebagai kemunduran Islam, lambang kemunduran, dan jorok gembel dan
berpakaian compang camping. Ada juga yang memahami bahwa tasawuf identik
dengan tarekat sehingga orang bertasawuf harus bertarekat dan orang yang belum
bertarekat dianggap tidak bertasawuf walaupun hatinya jernih dan penuh dengan
dzikir.
Manusia terdiri dari dua unsur jasmani dan rohani. Tasawuf merupakan
upaya penyempurnaan rohani sehingga manusia bisa mendekatkan diri sedekatdekatnya kepada Tuhan Yang Maha Sempurna melalui jihadunnafsi melawan hawa
nafsu yang menyembul dalam kepentingan materi sesaat. Tasawuf merupakan
realisasi dari pengertian ihsan, yaitu kebaikan menyembah kepada Alloh seakanakan melihat Allah. Jika tidak mampu melihat maka Allah melihat kita. Tasawuf
adalah bagian dari ajaran Islam. Pada zaman Nabi Muhammad s.a.w. memang
belum muncul istilah tasawuf namun nilai-nilai tasawuf telah diamalkan Nabi dan
para sahabat.
Orang bertasawuf tidak bisa diidentifikasi dari pakaian lahir. Misalnya
penampilannya yang kumuh, pakaiannya jelek, tetapi bisa saja orang berdasi, berjas,
kendaraannya mewah tapi batinnya mengamalkan tasawuf dengan sempurna.
Kata kunci: semesta, tasawuf, sufi
A. Tasawuf dan Etika Moderat
Selama ini tasawuf sering diidentikkan dengan tarekat. Anggapannya
banyak pelaku tarekat yang bertasawuf. Yang tidak bertarekat dianggap
tidak bertasawuf atau dinilai tidak punya kesempatan untuk menjadi
seorang sufi. Pandangan ini sebetulnya lebih melihat sikap lahiriah dan
simbol-simbol formalitas yang sifatnya inderawi. Mereka hanya puas
dengan atribut-atribut seperti jubah, sorban, sarung, mencium tangan
habaib, atau membawa tasbih. Padahal kondisi internal-spiritualnya
tidaklah diperhatikan sama sekali. Praktik bertasawuf seperti ini, oleh
Imam al-Ghazali, dikategorikan sebagai “orang-orang yang maghrur, yang
tertipu”.
Hakekat tasawuf tidak lepas dari jati diri manusia yang terdiri dari
dua unsur. Pertama, manusia sebagai khalq, sebagai ciptaan Tuhan yang
*
Dosen Tetap STAIN Ponorogo
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
662
Sutoyo: Semesta Ajaran Tasawuf
bersifat materi, form, jasmani. Kedua, manusia sebagai khuluq (bentuk
plural dari akhlaq, etika), yakni sebagai kreasi Tuhan yang bersifat imateri,
ruhani. Bertasawuf dengan demikian merupakan upaya penyempurnaan
wujud keruhanian manusia. Dalam bahasa agama, itmamul akhlaq. Sesuai
dengan hadits Nabi “Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq” (Tiadalah
aku diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlaq mulia).
Wujud keruhanian itu bisa jadi bernama qalb, bashirah, fuad, dlamir
atau sirr. Semuanya itu akan diisi dengan nafas ma’rifatullah, sementara yang
dimaksud “penyempurnaan” itu adalah agar manusia bisa mendekat
sedekat-dekatnya dengan Tuhan Yang Maha Sempurna, yang selalu
dirindukan dan dicintai. Kedekatan ini tidak bisa digapai hanya dengan
bekal materi. Mustahil memang mendekati Allah yang bersifat imateri
dengan bekal seperti itu. Oleh karena itu, utuk memerangi hawa nafsu
yang menyembul karena rangsangan materi sesaat, hanya mungkin dengan
jihad dan mujahadah. Jihad bisa berarti perjuangan lahiriah dalam
menegakkan kebenaran dan keadilan dipermukaan bumi, baik melalui
peperangan ataupun medium lain yang bersifat temporer, sedangkan
mujahadah lebih menekankan sisi batiniah yang berlangsung setiap saat
selama hayat dikandung badan.
Tasawuf, dengan demikian, merupakan elaborasi firman Allah s.w.t.
dalam al-Qur’an Surat al-Dzariyat Ayat 56:
Èβρ߉ç7÷èu‹Ï9 āωÎ) }§ΡM}$#uρ £Ågø:$# àMø)n=yz $tΒuρ
Artinya: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk menyembah dan
mengenal-Ku”
Selain itu, tasawuf juga merupakan realisasi dari pengertian “al-ihsan”
(kebaikan), sebagaimana digariskan oleh Nabi Muhammad s.a.w.:
“Hendaknya kamu menyembah Allah seakan kamu melihat-Nya; jika
kamu tak mampu melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu” (HR.
Bukhari). Dari sini, diharapkan tasawuf akan merealisasikan firman Allah
s.w.t. dalam al-Qur’an Surat al-Hadid ayat 23:
3 öΝà69s?#u !$yϑÎ/ (#θãmtøs? Ÿωuρ öΝä3s?$sù $tΒ 4’n?tã (#öθy™ù's? ŸξøŠs3Ïj9
Artinya: “Agar kamu tidak berduka-cita atas apa yang luput darimu dan tidak
terlalu bangga terhadap apa yang diberikan kepadamu”
Ajaran Islam yang sempurna menuntut setiap umat Islam untuk
mengamalkan ajaran-ajaran keagamaan secara sempurna pula. Parameter
dari kesempurnaan pengamalan ajaran Islam dapat dilihat dari seberapa
jauh kemampuan seseorang menyeimbangkan kandungan aqidah, syariat
dan tasawuf. Landasan aqidah dan syariat sudah dikemukakan di atas.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sutoyo: Semesta Ajaran Tasawuf
663
Termasuk aspek eksoterik dari syariat. Lalu, bagaimana dengan aspek
esoterisnya? Dan mengapa tasawuf?
Kandungan ayat dalam Surah al-Jumu’ah, seperti dikutip sebagai
pembuka bab ini, menggambarkan tingkat pemahaman umat Islam yang
berbeda-beda dalam menangkap pesan keilahian. Tidak sedikit yang
memahami agama Islam secara legal formal dan tekstualistik. Sumbersumber pokok Islam, yakni al-Qur’an dan al-Hadits, itu bersifat umum
dan global, dan terkadang normatif, sehingga untuk memahami sebuah
ayat—hanya untuk mengetahui maksudnya—tidak jarang dibutuhkan
penjelasan ayat lain, hingga interprestasi dan ijtihad para ulama. Kalau
kerja-kerja penafsiran ini didekati secara legal-formal, maka yang muncul
adalah model pemahaman ajaran Islam sempit, kaku dan—dalam tataran
implementasi seperti dipraktikkan sejumlah kelompok agama tertentu—
kadang menjadi ekstrem dan menakutkan.
Penafsiran ekstrem ini pernah dialami Rasulullah s.a.w. di masa
hidupnya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim,
dikisahkan, ketika Rasulullah s.a.w. membagi fai’ atau harta rampasan
perang di daerah Thaif dan sekitarnya, tiba-tiba salah seorang dari Bani
Tamim bernama Dzul Khuwaishirah berdiri dan protes. Dengan tegas, ia
mengatakan kepada Nabi Muhammad s.a.w., “Bersikap adillah, wahai
Muhammad!” dengan sedikit kesal Nabi menjawab, “Celaka kamu! Tidak
ada orang yang lebih adil dari aku, karena apa yang kami lakukan
berdasarkan petunjuk Allah.” Setelah Dzul Khuwaishirah pergi, Nabi
Muhammad s.a.w. pun bersabda, “sayakunu ba’di min ummati qaumun
yaqra’unal Qur’an, wala yatajawazu halaqimahum, hum syarrul khalq wal
khaliqah” (Suatu saat nanti akan muncul sekelompok kecil dari umatku
yang membaca al-Qur’an, namun tidak mendapatkan substansinya.
Mereka itu adalah sejelek-jeleknya makhluk di dunia ini).1
Apa yang disabdakan oleh Nabi ini kemudian terbukti seperempat
abad setelah wafatnya. Pada tanggal 17 Ramadhan 40 H, Khalifah Ali ibn
Abi Thalib dibunuh oleh kalangan ekstrem umat Islam. Pembunuhnya
adalah Abdurrahman ibn Muljam, seorang Muslim yang taat beribadah
(qa’imullail), tekun berpuasa di siang hari (sha’imunnahar) dan hafal alQur’an (hafizhul Qur’an). Meski pada mulanya bernuansa politis, komunitas
ekstrem tersebut selanjutnya berkembang menjadi sebuah ideologi yang
dikenal dengan paham Khawarij. Khawarij, secara literal, berarti “ yang
menyempal”. Yang menarik, saat Khalifah Ali bin Abi Thalib masih
hidup, kelompok ekstrem Khawarij ini sempat memvonis kafir Khalifah
Ali bin Abi Thalib dengan dasar pikiran bahwa Ali sudah melakukan suatu
1
Lihat shahih Muslim, p. 650.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
664
Sutoyo: Semesta Ajaran Tasawuf
kesalahan fatal dalam meja perundingan dengan pihak Mu’awiyah, seteru
politiknya. Karena bagi Khawarij, prinsipnya jelas, “la hukma illallah”,
arbitrase dan hukum itu hanya dari Allah. Khalifah Ali bin Abi Thalib pun
menangkis pandangan mereka ini dengan kata-kata singkat: “Qaul haqq
urida bihi-bathil” (Untaian kata yang benar, namun dimaksudkan untuk
kepentingan yang batil dan tendensius).
Memahami Islam secara tekstualistik dan legal-formal memang
sering mendatangkan sikap ekstrem dan melampaui batas. Padahal alQur’an tidak melegitimasi sedikitpun segenap perilaku dan sikap yang
melampaui batas. Dalam konteks ini, ada tiga sikap yang dikategorikan
”melampaui batas”.
Pertama, ”ghuluw”. Yaitu bentuk ekspresi manusia yang berlebihan
dalam merespons persoalan hingga terwujud dalam sikap-sikap diluar
batas kewajaran kemanusiaan.
Kedua, ”tatharruf”, yaitu sikap berlebihan karena dorongan
emosional yang berimplikasi kepada empati berlebihan dan sinisme
keterlaluan dari masyarakat.
Ketiga, ”irhab”. Ini yang terlalu mengundang kekhawatiran. Karena
bisa jadi membenarkan kekerasan atas nama agama atau ideologi tertentu.
Irhab adalah sikap dan tindakan berlebihan karena dorongan agama atau
ideologi. Tentang sikap berlebihan ini, Allah sudah berfirman seperti
dalam al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 171:
4 ¨,ysø9$# āωÎ) «!$# ’n?tã (#θä9θà)s? Ÿωuρ öΝà6ÏΖƒÏŠ ’Îû (#θè=øós? Ÿω É=≈tGÅ6ø9$# Ÿ≅÷δr'‾≈tƒ
Artinya: ”Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu
dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar”
Idealnya, seorang Muslim harus mendalami dan memahami ajaran
Islam secara komprehensif, utuh, hingga ajaran tersebut memberikan
dampak sosial yang positif bagi dirinya. Seperti disebutkan dalam ayat di
atas, wayuzakkihim wayu’allimuhumul kitab wal hikmah. Yakni, mencerna
teks-teks ilahiah secara obyektif, hati yang bersih, rasional hingga mampu
memunculkan hikmah yang terkandung di dalamnya. Alangkah kering dan
gersangnya agama ini jika ternyata aspek eksoterik dalam Islam hanya
sebatas legal-formal dan tendensinya tekstualistik. Sebuah ayat tentang
jihad, misalnya, akan terasa gersang dan kering apabila pemahamannya
dimonopoli oleh tafsir ”perang mengangkat senjata”. Padahal jihad di
masa Rasulullah merupakan satu wujud dan manifestasi pembebasan
rakyat, untuk menghapus diskriminasi, untuk melindungi hak-hak rakyat
demi terbangunnya sebuah tatanan masyarakat yang beradab.
Dengan demikian, titik puncak kesempurnaan beragama seseorang
terletak pada kemampuan memahami ajaran Islam dan menyelaminya,
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sutoyo: Semesta Ajaran Tasawuf
665
sehingga sikap arif dan bijaksana (al-hikmah) bisa tersembul keluar dalam
segenap pemahaman dan penafsiran itu. Di sinilah perlunya
mengedepankan aspek sufistik dalam beragama. Yakni, aspek esoteris dari
Islam. Sisi positif dari pendekatan sufistik bentuk dakwah yang
mengedepankan ”qaulan kariman” (perkataan yang mulia), ”qaulan ma’rufa”
(perkataan yang baik), ”qaulan maisura” (perkataan yang pantas), ”qaulan
layyinan” (perkataan yang lemah lembut), ”qaulan baligha” (perkataan yang
berbekas pada jiwa), dan ”qaulan tsaqila” (perkataan yang berat)—
sebagaimana diamanatkan dalam al-Qur’an.
B. Sufisme dan Tasawuf
Tasawuf atau sufisme tidak dapat dipisahkan dari dalam Islam,
sebagaimana halnya nurani dan kesadaran tertinggi juga tidak dapat
dipisahkan dari Islam. Islam bukanlah sebuah fenomena sejarah yang
dimulai sejak 1400 tahun yang lampau. Tetapi, ia merupakan suatu
kesadaran abadi yang bermakna penyerahan diri dan ketertundukan (alinqiyad). Seperti halnya kata ”Islam” itu sendiri berarti ketundukan dan
kepasrahan. Tasawuf adalah intisari ajaran Islam yang membawa pada
kesadaran manusia seperti itu.
Kemunculan tasawuf bermula dari abad pertama Hijriah, sebagai
bentuk perlawanan terhadap penyimpangan dari ajaran Islam yang sudah
diluar batas syari'at. Para penguasa saat itu sering menggunakan Islam
sebagai alat legitiminasi ambisi pribadi. Mereka tidak segan-segan
menampik sisi-sisi ajaran Islam yang tidak sesuai dengan kehendak
ataupun pola hidup meraka. Sejak masa itu sejarah mencatat munculnya
pembaharuan di kalangan umat Islam yang ikhlas dan tulus. Kebangkitan
ini kemudian meluas keseluruh dunia Muslim. Mereka bersemangat untuk
mengembalikan pesan yang orisinil dan sakral yang dibawa Nabi
Muhammad s.a.w. Hal ini merupakan kesadaran spontan dari ketulusan
individu-individu Muslim untuk menyingkap jalan kenabian yang sejati.
Mereka mendapatkan spirit cahaya nurani dari semangat penghambaan.
Cahaya tasawuf terpancar luas tanpa melalui gerakan yang diorganisir.
Seorang sufi adalah penegak dan penjujung tinggi pesan-pesan Islam.
Persaudaraan yang mengikat kalangan sufi adalah sebuah realitas
tanpa banyak koordinasi maupun organisasi yang bersifat lahiriah. Realitas
tersebut adalah kesadaran terhadap ibadah yang ikhlas dan sifat-sifat luhur
dalam hati mereka serta adanya kesatuan sikap menerima hukum kenabian
yang bersifat lahiriah. Pengikut persaudaraan yang dialami kaum sufi lebih
bnayak disebabkan kesamaan situasi dan tingkatan hati mereka ketimbang
suatu sikap patuh terhadap doktrin-doktrin teologi tertentu, etnis ataupun
penghambaan terhadap tradisi.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
666
Sutoyo: Semesta Ajaran Tasawuf
Kesufian adalah wilayah yang menghubungkan dimensi lahiriyah
manusia dengan dimensi batiniyahnya. Pengalaman ini hanya dapat
dialami dalam kedirian sebelah dalam manusia. Seorang sufi hidup laksana
puncak gunung es yang nampak. Namun, di bawahnya ada aspek-aspek
dunia yang terselebung dan tersembunyi oleh indera yang justru
merupakan fondasi dari yang terlihat nyata itu. Kehidupan batiniah
seorang sufi bagai dunia tak bertepi, tanpa batas. Namun demikian, ia
tetap mengakui dan menerima batasan-batasan lahiriah dengan
menghormati hukum-hukum alam. Seorang sufi sepenuhnya tenggelam
dalam kebahagiaan yang tiada tara dalam jiwanya. Secara lahiriah, dia
berjuang ke arah kualitas hidup yang lebih baik dimuka bumi serta
melakukan yang terbaik tanpa mempertimbangkan secara berlebih-lebihan
suatu hasil akhir. Perjuangan dan kerja lahir perlu diiringi dengan
penjernihan dan penataan hati.
Dari manapun asal sufi, mereka pada esensinya sama, yakni dalam
memancarkan cahaya dan kesadaran hati manusia serta penghormatan dan
pengabdian secara lahiriah bagi kemanusiaan. Perbedaan yang nampak di
antara seorang sufi dengan sufi lainnya hanya pada materi-materi yang
berkaitan dengan praktik-praktik spiritual ataupun resep penjernihan hati.
Manisnya buah yang diresapi dan dirasakan seorang sufi dengan yang
lainnya tidaklah berbeda. Itu hanya selaksa pohon-pohon yang
kelihatannya berbeda dan mungkin berbunga di musim-musim yang
berbeda.
C. Tasawuf dan Spiritualisme
Apakah tasawuf identik dengan apa yang sering disebut kini dengan
”spiritualisme”? Tentunya hal ini memerlukan telaah dan penilikan khusus
dan seksama. Namun, apa yang bisa dikatakan di sini adalah bahwa baik
spiritualitas maupun tasawuf sama-sama menggerakkan potensi diri
manusia kepada sesuatu yang lebih baik dan bermoral. Potensi-potensi
inilah yang akan memberikan makna tertentu dalam suatu tindakan. Akan
tetapi, spiritualitas tidak mesti memiliki kaitan dengan sesuatu yang
sifatnya Ilahiah. Spiritualitas bisa sekedar berfungsi sebagai pelarian
psikologis, sebagai sebuah obsesi akan kebutuhan rohaniah sesaat; dan
bisa pula sekedar memenuhi ambisi untuk mencari ketenangan sementara.
Tasawuf bukanlah spiritualitas seperti itu. Ia bukanlah sesuatu yang
hanya berupa tempat pengasingan diri. Ia berusaha menampilkan visi
keagamaan yang otentik, yang mengarahkan diri untuk melampaui kedirian
dan egoisme. Ia adalah sebuah visi yang tepat dalam menafsirkan dunia,
serta dunia lain diluar dunia ini yang mungkin ada dan melingkupi seluruh
realitas. Selain itu, tentunya juga sebagai sebuah visi tentang suatu tatanan
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sutoyo: Semesta Ajaran Tasawuf
667
ideal masyarakat. Tasawuf, dengan demikian, adalah sebuah komitmen
yang lebih besar dari sekedar pemuasan kepentingan egoisme pribadi dan
spiritualitas pribadi semata. Sebuah obsesi yang lebih tinggi dari sekedar
pemahaman hidup di dunia yang sifatnya materiil. Dan karena tasawuf
merupakan bagian dari ajaran Islam itu sendiri, maka ia dapat memenuhi
hasrat hidup manusia seutuhnya dari pada janji-janji spiritualisme yang
hanya sekejap dan temporer itu. Ia bukan hanya sebuah visi untuk
memahami realitas alam, tetapi juaga sebuah aksi untuk memahami
eksistensi hidup, dari tingkat yang paling rendah hingga yang paling tinggi
yaitu kehadiran Ilahiah (dikenal dengan sebutan tajalli, penampakan
transendental).
Seperti sudah jelas, tasawuf melampaui apa yang diserap oleh
pikiran, perilaku dan perasaan manusia. Tasawuf tidak bisa direduksi
semata dalam wujud perbuatan lahiriah seperti kebajikan bersedekah atau
kebajikan sosial dan karitatif lainnya. Tasawuf tidak bisa pula diidentikkan
secara ekstrem sebagai wahana untuk memperbanyak ibadah (katsratuibadah), khususnya yang sifatnya ritual dan seremonial. Tarekatpun, yang
dipandang sebagai pelembagaan praktik tasawuf dalam ritual-ritual
tertentu, tidak mesti disejajarkan dengan makna tasawuf. Apalagi, tasawuf
kemudian dipersamakan dengan ilmu hikmah; atau, mudahnya, semacam
ilmu klenik yang berfungsi sebagai pengobatan dan penyembuhan segala
problem konkrit manusia yang lebih bersifat instan.
Tasawuf, menurut sufi besar Abu Bakar al-Kattami (w. 322 H),
adalah pembersihan hati dan penyaksian terhadap realitas hakiki, yang
disebut juga al-shafa’ wa al-musyahadah (harfiah, kejernihan dan kesaksian).2
Atau seperti dinyatakan oleh seorang tokoh sufi terkenal Ma’ruf al-Karkhi
(w. 200 H), tasawuf adalah kepedulian terhadap segenap Yang Hakikat
dan melepaskan diri dari segala kepalsuan (al-Akhdz bil haqa’iq wal ya’si
mimma fi aidil khala’iq).3 Dengan demikian, segala rupa praktik yang secara
lahiriah menampakkan atau mengklaim diri mengikuti tasawuf, tentunya
meragukan dan diperlukan pencermatan yang lebih mendalam.
Tasawuf yang dipraktikkan dengan benar dan tepat akan menjadi
metode yang efektif dan impresif untuk menghadapi tantangan zaman.
Bagi kaum sufi, apapun zamannya atau bagaimanapun gejolak di dunia ini,
semuanya akan dihadapi dengan pikiran yang jernih, suasana hati yang
2 Dikutip dalam Syekh Abd ar-Rauf al-Manawi, al-Kawakib al-Durriyah fi Tarajim alSadah al-Shufiyah, (Kairo: Zawiyah al-Tijaniyah, t.t.), p. 50; dan juga dikutip dalam Abd alHalim Mahmud, al-Munqidz min al-Dlalal, (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1979), p. 164.
3 Dikutip dalam Risalah al-Qusyairiyah. Lihat Said Aqil Siradj, "Shilatullahi bil Kaun:
Fi at-Tashawuf al-Falsafi", Disertasi doktoral, tidak diterbitkan) (Mekkah: Jami’ah Umm
Qura, 1994), p. 16.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
668
Sutoyo: Semesta Ajaran Tasawuf
dingin, objektif dan penuh ketenangan (muthma’innah). Sebaliknya, justru
kaum sufi yang terbiasa dengan kehidupan nyata, walau hatinya telah
melapaui kenyataan lahiriah, akan melihat dinamika kehidupan ini secara
proporsional. Kita tahu dalam sejarah, bagaimana pergumulan nyata
dengan kebutuhan spiritual. Umar ibn Abdul Azis yang layak disebut
sebagai sufi adalah seorang pemimpin, seorang khalifah, yang patut
diteladani. Jabir bin Hayyan yang juga sufi adalah seorang ilmuwan yang
berhasil. Demikian pula Syekh Fariduddin al-’Aththar, sufi yang sukses
dalam berdagang. Artinya, di sini, bahwa kesufian seseorang tidak akan
menghalangi aktifitas mereka sehari-hari sebagai manusia biasa yang butuh
pemenuhan hidup dan perjuangan membangun cita-cita kemanusiaan.
Ada masih banyak contoh lagi yang menggambarkan kehidupan
kaum sufi. Dan semuanya menunjukkan satu bentuk idealisme yang patut
dicontoh sebagai bagian dari pergumulan mereka menghadapi riak-riak
zaman. Kenyataan ini tentunya tidaklah ganjil. Soalnya, mereka bisa
mengimbangi dengan proporsional antara ilmu, amal dan kesucian hati
(tazkiyah al-qalb). Ilmu dan amal yang tidak diimbangi dengan kebersihan
hati yang diproses melalui pelatihan sufistik—bagi kalangan sufi—itu akan
dipandang sia-sia belaka. Dalam semangat seperti inilah al-Qur’an
menyatakan secara tegas dalam al-Qur’an Surat al-Hajj Ayat 54:
3 öΝßγç/θè=è% …ã&s! |MÎ6÷‚çGsù ϵÎ/ (#θãΖÏΒ÷σãŠsù šÎi/¢‘ ÏΒ ‘,ysø9$# çµ‾Ρr& zΟù=Ïèø9$# (#θè?ρé& šÏ%©!$# zΝn=÷èu‹Ï9uρ
5ΟŠÉ)tGó¡•Β :Þ≡uŽÅÀ 4’n<Î) (#þθãΖtΒ#u tÏ%©!$# ÏŠ$yγs9 ©!$# ¨βÎ)uρ
Artinya: ”Agar orang-orang yang diberi ilmu meyakini bahwasannya al-Qur’an
itulah yang hak dari Tuhanmu, lalu mereka beriman dan tunduk hati
mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi
orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus”
Seseorang yang telah tercerahkan melihat seluruh alam ini dengan
hatinya. Dia mempersembahkan hatinya sebagai tempat suci untuk
beribadah kepada Allah ditengah alam semesta. Dia melihat bukti-bukti
kehadiran Allah, kapan saja dan di mana saja. Namun, bagi orang yang
awam dalam masalah spiritual, tampak bahwa Allah lebih terasa hadir pada
waktu dan tempat khusus dari pada ditempat dan waktu yang lain.
Tujuan utama dari semua praktik kesufian yang hakiki adalah untuk
menumbuhkembangkan pengalaman manusia kepada kebenaran yang
tidak terbatas. Pengalaman ini sesungguhnya secara potensial telah
terbentang luas dalam hati setiap manusia. Secercah cahaya yang
memancar dari dalam diri manusia amatlah tidak terbatas. Dalam
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sutoyo: Semesta Ajaran Tasawuf
669
kombinasi potensi dan pengalaman ini, mereka akan mampu mencapai
hakikat yang satu itu. Sufi yang sejati tidak akan berhenti sebelum mantap
dalam pengetahuan tentang hakikat itu. Dan ketika hal itu terjadi, semua
cahaya lain, semua manifestasi dan sifat yang agung meluber dalam
pancaran sinar dan kebangkitan batin.
D. Tasawuf dan Pendidikan
Selain sebagai sebuah sikap asketis, tasawuf juga merupakan metode
pendidikan yang membimbing manusia ke dalam harmoni dan
keseimbangan total. Metode itu bertumpu pada basis keharmonisan dan
pada kesatuan dengan totalitas alam, sehingga perilakunya nampak sebagai
manifestasi cinta dan kepuasan dalam segala hal. Bertasawuf yang benar
berarti sebuah pendidikan bagi kecerdasan emosi dan spiritual (kini
dikenal dengan metode ”ESQ”). Intinya adalah belajar untuk tetap
mengikuti tuntutan agama, apakah itu ketika berhadapan dengan musibah,
keberuntungan, perlawanan orang lain, tantangan hidup, kekayaan,
kemiskinan, atau sedang dalam kondisi pengendalian diri atau
pengembangan potensi dir. Sufi-sufi besar seperti Rabi’ah al-Adawiah, alGhazali, Sirri al-Siqthi atau Asad al-Muhasabi, telah memberikan teladan
kepada umat bagaimana pendidikan yang baik itu. Di antaranya, berproses
menuju perbaikan diri dan pribadi yang pada gilirannya akan menggapai
puncak ma’rifatullah, yakni Sang Khalik sebagai ujung terminal perjalanan
manusia dipermukaan bumi ini.
Disadari, pendidikan yang dikembangkan selama ini masih terlalu
menekankan arti penting akademik, kecerdasan otak dan jarang sekali
terarah pada kecerdasan emosi dan spiritual. Yang terakhir ini,
keunggulannya, mengajarkan integritas, kejujuran, komitmen, visi,
kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip
kepercayaan, pengusaan diri dan sinergitas. Dalam tasawuf, IQ (dzaka
’aqli), EQ (dzaka dzihni) dan SQ (dzaka qalbi) merupakan komponenkomponen potensi kemanusiaan yang perlu dikembangkan secara
harmonis. Ini agar menghasilkan daya guna yang luar biasa baik secara
horisontal dalam lingkup pergaulan antar manusia, maupun secara vertikal,
dalam aspek relasinya dengan Yang Transenden, Yang Ilahi. Tanpa itu,
yang muncul adalah berkecambahnya krisis dan degredasi dalam ranah
moral, pemiskinan sumber daya manusiawi dan penyempitan cakrawala
berfikir yang cenderung berkutat pada militansi sempit atau penolakan
terhadap pluralitas.
Sufi besar Syekh Ibnu ’Arabi menandaskan, manusia perlu
mengembangkan apa yang disebutnya potensi ”al-khayal”—suatu potensi
daya dan kekuatan substansial yang mengejawantahkan diri secara hakiki
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sutoyo: Semesta Ajaran Tasawuf
670
namun faktual.4 Potensi ini bergerak menuju pengungkapan diri dalam
dunia inderawi, yang sifatnya abadi dan azali. Demikianlah, berdasarka
pada aspek esensial dari pendidikan sufistik ini, manusia perlu
dikembalikan pada ”pusat eksistensi” atau ”pusat spiritual”-nya. Ini agar
dijauhkan dari pola-pola kehidupan yang bergerak hanya dipinggir lingkar
eksistensinya. Di tengah krisis yang multi-dimensi itu, sekiranya yang patut
dipertahankan dan dikembangkan adalah penguatan pendidikan yang
berbasiskan pada nilai-nilai kesufian atau tasawuf yang justru akan
meneguhkan otentitas kemanusiaan yang senantiasa diberi sentuhan
Ilahiyah.
E. Tasawuf dan Kekuasaan
Manusia diciptakan oleh Allah dengan posisi ganda; sebagai hamba
Allah (ibadillah/makhluq) sekaligus penguasa (khalifatullah). Kemakhlukan
manusia adalah ketertundukan dan kepasrahan manusia kepada normanorma kehidupan yang berdasarkan agama Islam, sedangkan posisi
khalifah adalah kekuasaan manusia untuk melakukan kreasi-kreasi serta
inovasi dalam proses kehidupan di dunia demi kemaslahatan umat
manusia. Dua posisi tersebut harus dijalankan manusia secara seimbang
dan proporsional.
Kekuasaan yang bersifat lahiri itu bagian dari implementasi posisi
manusia sebagai khalifah. Kekuasaan menjadi penting bagi kehidupan
manusia sepanjang manusia mampu menempatkan kekuasaan sebagai
pintu masuk memperkuat jati dirinya sebagai makhluk. Artinya, kekuasaan
lahiri adalah ekspresi manusia sebagai makhluk yang harus
mempertanggunjawabkan semua perbuatannya kepada Allah. Arena itu
posisi khalifah dan makhluk yang melekat pada diri manusia harus berjalan
beriringan tanpa ada yang mendominasi.
Tasawuf memandang bahwa kekuasaan itu memerlukan dua unsur
penting; pertama, khalq, kekuasaan yang tampak secara materi, seperti
jabatan presiden, gubernur, menteri, direktur, bupati, walikota dan lain
sebagainya. Kedua, khulq, kekuasaan yang bersifat ruhani. Maka kekuasaan
ideal menurut tasawuf adalah kekuasaan yang dapat memberikan hasil
positif bagi kehidupan manusia baik secara lahiri maupun batini. Dalam
konteks orang yang berkuasa, kekuasaan menjadi penting ketika orang
yang memegang kekuasaan mempunyai kesempurnaan ruhani (itmam alkhuluq); bashirah, dlamir, fuad dan sirr.
Mahmud Qasim, al-Khayal fi Madzhab Muhyidin Ibn Arabi, (Kairo: Ma’had alBuhuts wa al-Dirasah al-Arabiyah, 1969).
4
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sutoyo: Semesta Ajaran Tasawuf
671
Kekuasaan menjadi efektif dan berfungsi dengan baik apabila orang
yang berkuasa mempunyai bashirah, yaitu mata hati (eye of heart). Allah
berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Qiyamah Ayat 14:
×οuŽÅÁt/ ϵšøtΡ 4’n?tã ß≈|¡ΡM}$# È≅t/
Artinya: ”manusia perlu menatapi dirinya dengan mata hatinya”
Seorang penguasa yang mempunyai bashirah akan mampu
membedakan antara kebaikan dan keburukan, sehingga kekuasaan selalu
berada pada posisi yang jelas dan terang; digunakan untuk kebaikan
ataukah keburukan. Allah berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Syams Ayat
8:
$yγ1uθø)s?uρ $yδu‘θègé$ $yγyϑoλù;r'sù
Artinya: ”maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya.”
Kekuasaan juga membutuhkan pribadi penguasa yang mempunyai
”dlamir”, yaitu nilai atau moral. ”Dhamir” berfungsi untuk mengarahkan
kekuasaan agar selalu berada pada jalur yang benar dan difungsikan pada
kebaikan bersama. Istilah ”dhamir” merujuk pada klasifikasi kondisi
tertentu yang meliputi dhamir ijtima’i, dhamir qanuni, dan dhamir diny. Dhamir
ijtima’i adalah moralitas yang terbentuk karena lingkungan dan bersifat
sosial. Di sini moralitas lahir sebagai kesempatan sosial. Dhamir qanuni
adalah moralitas yang terbentuk karena norma-norma dan ketentuan baku
yang berlaku. Sedangkan dhamir diny—yang merupakan tingkatan tertinggi
—merupakan moralitas yang berdasarkan petunjuk agama.
Di samping itu, kekuasaan juga harus dipegang oleh seseorang yang
mempunyai ”fuad”, yaitu integritas yang mampu bertindak sebagai hakim
atau penentu bagi perilaku manusia. Kekuasaan yang selalu berkutat pada
persoalan kebijakan akan menimbulkan persoalan apakah kekuasaan yang
telah berjalan itu sesuatu yang baik atau buruk. Maka, seorang penguasa
yang mempunyai ”fuad” memberikan kejelasan baik buruknya suatu
tindakan. Allah berfirman, dalam al-Qur’an Surat al-Najm Ayat 11:
#“r&u‘ $tΒ ßŠ#xσàø9$# z>x‹x. $tΒ
Artinya: ”fuad tidak akan membohongi terhadap apa yang dilihatnya”.
Seorang penguasa juga membutuhkan “sirr” yang secara arti
harfiahnya bermakna ‘rahasia’. Tidak semua orang mempunyai sirr yang
berfungsi mengawasi tindakan yang sudah berjalan. Potensi ini
membutuhkan latihan-latihan khusus agar semakin tajam. Kekuasaan yang
dikendalikan oleh pribadi yang mempunyai sirr akan selalu
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
672
Sutoyo: Semesta Ajaran Tasawuf
mempertanggung jawabkan tindakannya kepada Tuhan dan manusia serta
berhati-hati dalam menjalankan kekuasaannya.
Penguasa juga membutuhkan latha’if, yaitu kelembutan batin.
Penekanan latha’if adalah pengalaman personal dan batin mengenai Allah.
Kekuasaan harus dipandang dari dua sisi; lahir dan batin. Latha’if
merupakan instrumen batin yang dapat mengantarkan para penguasa
untuk selalu bertindak sesuai dengan kehendak Allah (ma’rifah). Karena
sifatnya yang imateri, maka tingkatan batin manusia itu berjenjang
(maqam). Setiap tingkatan yang ada merupakan salah satu pengalaman yang
muncul karena terjadinya pertemuan spiritual dengan Allah. Di kalangan
para sufi sendiri, cara-cara, prinsip pembagian wujud dan istilah tehnis
batin (latha’if) berbeda-beda sesuai dengan hasil intensitas pendakian
pengalaman spiritualnya.
Dalam melihat kekuasaan, kita perlu belajar kepada Ma’ruf alKharkhi, seorang sufi besar. Beliau mengatakan bahwa kehidupan yang
hakiki adalah kepedulian terhadap hakikat dan berpaling dari kepalsuan.
Maka, segala rupa kekuasaan lahiriah membutuhkan kejujuran,
profesionalitas, dan berorientasi kemaslahatan secara luas dan berdimensi
luas. Dalam konteks ini kita dapat memerhatikan pribadi-pribadi
sempurna, seperti; Umar bin Abdul Azis—yang layak disebut sufi—adalah
seorang pemimpin negara (khalifah) berkualitas yang berhasil menjadikan
kekuasaannya sangat bermakna bagi kehidupan; Jabir bin Hayyan, sufi
sekaligus ilmuwan, yang menjadikan kekuasaan ilmunya untuk
kemaslahatan masyarakat luas; Fariduddin al-Atthar, sufi dan juga
konglomerat yang menjadikan kekuasaan hartanya untuk perbaikan
kehidupan masyarakat luas. Artinya, kekuasaan perlu dipersembahkan
untuk membangun cita-cita kemanusiaan yang berdimensi luas.
Kenyataan ini bukanlah sesuatu yang ganjil sepanjang penguasa
mampu menjaga proporsionalitas antara ilmu, amal dan kebersihan hati
(tazkiyah al-qalbi). Allah berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Hajj Ayat 54:
3 öΝßγç/θè=è% …ã&s! |MÎ6÷‚çGsù ϵÎ/ (#θãΖÏΒ÷σãŠsù šÎi/¢‘ ÏΒ ‘,ysø9$# çµ‾Ρr& zΟù=Ïèø9$# (#θè?ρé& šÏ%©!$# zΝn=÷èu‹Ï9uρ
5ΟŠÉ)tGó¡•Β :Þ≡uŽÅÀ 4’n<Î) (#þθãΖtΒ#u tÏ%©!$# ÏŠ$yγs9 ©!$# ¨βÎ)uρ
Artinya: “Agar orang-orang yang diberi ilmu meyakini bahwasannya al-Qur’an
itulah yang haq dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati
mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi
orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus”.
Kekuasaan menjadi berharga apabila memberikan implikasi yang
baik dan positif bagi masyarakat secara luas, baik dari sisi lahiri maupun
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Sutoyo: Semesta Ajaran Tasawuf
673
batini. Di sinilah urgensitas penguasa itu harus memperkaya batinnya
dengan nilai-nilai spiritualitas sehingga muncul keseimbangan antara
orientasi fisik dan metafisik. Sebaliknya kekuasaan menjadi sesuatu yang
nista dan bernilai rendah apabila hanya menimbulkan kerusakan alam
semesta dan konflik antarumat manusia.
Dengan demikian, kekuasaan materi masih belum cukup jika tidak
diimbangi dengan kekuasaan spiritual. Kekuasaan materi dan spiritual akan
mampu mewujudkan perubahan secara damai. Ia bekerja dari ruh ke ruh,
dan tepat sasaran. Jika kekuasaan spiritual mampu mewarnai perjalanan
umat manusia negeri ini niscaya berbagai persoalan bangsa akan berakhir
secara damai dan manusia akan mencapai titik puncak peradapannya.
F. Penutup
Tasawuf merupakan intisari ajaran Islam. Ia tampil dalam visi
keagamaan yang otentik yang dapat mengalahkan kedirian dan egoisme.
Karena itu, hakikat tasawuf bukanlah pada aspek pakaian yang kumuh
atau yang bersifat lahiriyah semata, tetapi jauh lebih penting pada aspek
batiniyahnya. Dengan demikian, mengamalkan tasawuf tidak mesti di
tempat yang sepi di pinggir gunung dan jauh dari kehidupan nyata
manusia tetapi bisa saja dilaksanakan di tempat-tempat yang ramai dan
tidak terisolir dari kehidupan nyata. Dengan kata lain, tasawuf harus
menjadi agent of social change dari segala macam keterpurukan hidup dan
pada akhirnya membawa kepada kehidupan yang tenang, selamat, damai
dan bahagia di dunia dan akhirat.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
674
Sutoyo: Semesta Ajaran Tasawuf
Daftar Pustaka
Al-‘Utsman, Abd al-Karim, Al-Dirasah Al-Nafsiyyah, Kairo: Maktabah AlSa’dah, 1961.
Al-Bukhori, Abi Abdillah Bin Ismail, Shohih Bukhori, Bandung: PT. AlMa’arif, t.t.
Al-Ghazali, Abu Hamid, Tahafut Al-Falasifah, Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1962.
al-Manawi, Syekh Abd ar-Rauf, al-Kawakib al-Durriyah fi Tarajim al-Sadah alShufiyah, Kairo: Zawiyah al-Tijaniyah, t.t.
Al-Najjar, Amir, Al-Tashawwuf Al-Nafsi, Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1984.
Badawi, Abd Al-Rahman, Kairo: Syathahat Al-Shufiyyah, 1949.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah Bahasa Indonesia, Juz: 1-30,
Kudus: Menara Kudus, 2006.
Hamka, Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
Ja’far, Kamal, al-Tasawuf: Thariqatan wa Tajribatan wa Madzhaban,
Iskandariyah: Dar Al-Ma’rifah, 1970.
Ja’far, Muhammad Kalam Ibrahim, Dirasah Falsafiyah wa Akhlaqiyyah,
Kairo: Dar Al-‘Ulum, 1978.
Mahmud, Abd al-Halim, al-Munqidz min al-Dlalal, Beirut: Dar al-Kitab alLubnani, 1979.
Muslim, Imam, Shohih Muslim, Bandung: Syirkah Al-Ma’arif, t.t.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: UIPress, 1979.
Qasim, Mahmud, al-Khayal fi Madzhab Muhyidin Ibn Arabi, Kairo: Ma’had
al-Buhuts wa al-Dirasah al-Arabiyah, 1969.
Quzwain, Muhammad Khatib, Ilmu Makrifat dalam Tasawuf Abd. Shamad
Al-Palembani, Jakarta: Bulan Bintang, 1985.
Siradj, Said Aqil, "Shilatullahi bil Kaun: Fi at-Tashawuf al-Falsafi",
Disertasi doktoral, tidak diterbitkan, Mekkah: Jami’ah Umm Qura,
1994.
_______, Tasawuf sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi
Bukan Aspirasi, Bandung: Mizan, 2006.
Sutoyo, Moh., Tasawuf dan Tarekat jalan menuju Allah, Surabaya: Alpha,
2005.
Taimiyyah, Ibn, Majmu’ah Al-Rasail wa Al-Masail, Kairo: 1323 H.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009