Download 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Konsep dan Teori

Survey
yes no Was this document useful for you?
   Thank you for your participation!

* Your assessment is very important for improving the workof artificial intelligence, which forms the content of this project

Document related concepts
no text concepts found
Transcript
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Konsep dan Teori
Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan sistem deteksi dini
kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia pada waktu mendatang dengan
didasarkan pada berbagai teori dan konsep ekonomi yang berkaitan satu sama
lain. Teori dan konsep yang mendasari penelitian ini sangat terkait dengan
variabel utang pemerintah dan variabel-variabel makroekonomi lainnya yang
berkaitan satu dengan lainnya. Pemahaman terhadap berbagai konsep dan teori
terkait dengan utang pemerintah merupakan hal yang penting karena menjadi
dasar dalam penetapan masalah yang dibahas dalam penelitian. Selain itu,
penggunaan konsep dan teori yang tepat juga sangat berperan dalam upaya
memperoleh validitas dan reabilitas data yang tinggi dalam penelitian yang
dilakukan. Adapun teori dan konsep ekonomi terkait dengan utang luar negeri
yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan pada sub bab selanjutnya berikut
ini.
2.1.1 Teori Siklus Bisnis
Teori Siklus Bisnis menyatakan bahwa fluktuasi dalam perekonomian dapat
terjadi akibat adanya guncangan pada salah satu variabel makroekonomi tertentu.
Misalnya saja bila terjadi guncangan terhadap kemampuan dalam memproduksi
barang dan jasa, maka hal tersebut dapat mengubah tingkat output dan
kesempatan kerja alamiah. Guncangan ini tidak diinginkan, namun tidak dapat
16
dihindari. Begitu guncangan terjadi, GDP, kesempatan kerja, dan variabelvariabel makroekonomi lain akan berfluktuasi.
Guncangan yang terjadi pada suatu variabel makroekonomi tertentu berdampak
pula pada terjadinya perubahan dalam defisit anggaran pemerintah. Hal tersebut
terjadi secara otomatis untuk menanggapi perekonomian yang berfluktuasi.
Sebagai ilustrasi, ketika perekonomian mengalami resesi, pendapatan akan turun,
sehingga kemampuan seseorang untuk membayar pajak menjadi berkurang.
Tingkat laba yang diperoleh juga menurun, sehingga perusahaan membayar lebih
sedikit pajak pendapatan. Kondisi resesi ini juga berdampak pada semakin
meningkatnya jumlah masyarakat yang bergantung pada bantuan pemerintah,
sehingga pengeluaran pemerintah juga mengalami peningkatan secara signifikan.
2.1.2 Model Early Warning System (EWS)
Model Early Warning System (EWS) merupakan suatu model yang digunakan
untuk mengantisipasi apakah dan kapan suatu negara dipengaruhi oleh krisis dan
ketidakstabilan ekonomi. Model ini dibangun terkait dengan siklus perekonomian
khususnya pada saat krisis keuangan yang terjadi seperti di Eropa (1992-1993),
Turki (1994), Amerika Latin (1994-1995) dan Asia (1997-1998). EWS pada
siklus perekonomian sangat penting bagi pemerintah serta sektor riil dalam
kerangka perencanaan dan formulasi kebijakan serta pengambilan keputusan.
Menurut Nasution (2007), pendekatan metode untuk model EWS dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
1.
Macroeconometric model dan time series analysis
17
2.
Business cycle analysis
Kedua pendekatan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan, di antaranya
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.1. Kelebihan Masing-Masing Model Early Warning System
Macroeconometric Model &Time Series
Business cycle analysis (Composite
Model
Leading & Coincident Indicators)
Pembentukan model didasarkan pada teori Data tersedia lebih cepat (timeliness)
ekonomi dan diestimasi berdasarkan dan high frequency (monthly basis).
prinsip-prinsip ekonometrika
Berdasarkan model dapat dilakukan Tidak ada hubungan fungsional
simulasi dengan berbagai skenario
antara leading dengan coincident
index maupun reference series,
sehingga tidak diperlukan proyeksi
atau pengasumsian nilai variable
bebas.
Model dapat menjelaskan hubungan antar Leading index dapat memberikan
variabel secara kuantitatif
deteksi dini (early warning system)
tentang
arah
pergerakan
perekonomian secara gregat baik
level maupun laju pertumbuhannya.
Dengan kata lain, metode ini dapat
memberikn
signal
tentang
kemungkinan terjadinya turningpoint dalam beberapa periode
mendatang.
Sumber : InterCafe (2007)
18
Tabel 2.2. Kekurangan Masing-Masing Model Early Warning System
Macroeconometric Model &Time Series
Business cycle analysis (Composite
Model
Leading & Coincident Indicators)
Pembentukan model dengan frekuensi tinggi Komponen pembentuk indeks dipilih
seringkali sulit karena keterbatasan data
berdasarkan judgment, studi literatur
serta statistical test. Sehingga,
beberapa ahli mengatakan metode ini
atheoritical.
Untuk membuat proyeksi nilai-nilai variabel Tidak dapat digunakan untuk mebuat
eksogen
harus
terlebih
dahulu simulasi dengan berbagai skenario
diprediksi/diasumsikan. Kesalahan dalam serta tidak dapat menunjukkan
prediksi ini akan terbawa secara kumulatif variabel ekonomi dalam bentuk
dalam proyeksi nilai variabel endogen.
persamaan matematika.
Sumber : InterCafe (2007)
2.1.3 Definisi Business Cycle
Burns dan W. Mitchel dalam bukunya Business Cycle Analysis yang terbit
tahun 1946 berpendapat bahwa business cycle terjadi pada orientasi pasar
ekonomi dan terlibat sepanjang waktu, tapi tidak berakibat secara berkala dari
ekspansi dan kontraksi dalam sebagian besar kegiatan ekonomi. Business cyle
adalah suatu jenis fluktuasi ekonomi yang terjadi pada suatu kegiatan ekonomi
agregat di suatu negara. Suatu siklus terdiri dari ekspansi yang terjadi pada waktu
bersamaan dalam berbagai kegiatan ekonomi, demikian pula resesi dan kontraksi
yang muncul ke dalam fase ekspansi pada siklus selanjutnya. Perubahan urutan ini
terjadi secara berulang tetapi tidak pada waktu-waktu tertentu. Durasi dari suatu
siklus bisnis bisa bervariasi, mulai lebih dari satu tahun hingga sepuluh atau dua
belas tahun. Siklus bisnis ini tidak bisa dibagi ke dalam siklus-siklus dengan
karakter serupa yang lebih pendek (Zhang dan Zhuang, 2002).
19
Menurut National Bureau of Economic Research (NBER), siklus bisnis
mengacu pada kegiatan ekonomi secara agregat yang titik utamanya yaitu
menyatukan pergerakan dari banyak variabel ekonomi atau proses pada banyak
siklusnya tersebut. Beberapa ada yang menjadi lead dan ada yang menjadi lag.
Mereka cenderung untuk selalu bergerak bersama sehingga tidak bisa dihilangkan
menjadi single aggregate.
2.1.4 Tahapan Business Cycle
Definisi klasik business cycle oleh NBER memiliki dua fase, yaitu ekspansi
dan kontraksi. Berakhirnya ekspansi dan dimulainya kontraksi dalam titik puncak
(peak) sebagai waktu yang menandai tingkat yang tertinggi (kulminasi) dari
penurunan secara umum kegiatan perekonomian. Berakhirnya kontraksi dan
dimulainya ekspansi dalam titik trough (lembah) sebagai waktu yang menandai
tingkat tertinggi dari peningkatannya. Dalam siklus perekonomian, terdapat empat
tahapan business cycle, yaitu :
1. Masa depresi (depression), yaitu suatu periode penurunan permintaan agregat
yang cepat dan diiringi rendahnya tingkat output dan pengangguran yang
tinggi secara bertahap mencapai dasar yang paling rendah
2. Masa pemulihan (recovery), yaitu peningkatan permintaan agregat yang
diiringi peningkatan output dan penurunan tingkat pengangguran
3. Masa kemakmuran (prosperity), yaitu permintaan agregat yang mencapai dan
kemudian melewati taraf output yang terus menerus (PDB Potensial) pada saat
puncak siklus telah dicapai, dimana tingkat pengangguran tenaga kerja penuh
20
dicapai dan adanya kelebihan permintaan mengakibatkan naiknya tingkat
harga-harga umum (inflasi)
4. Masa resesi (recession), yaitu suatu masa dimana permintaan agregat menurun
yang mengakibatkan penurunan kecil dari output dan tenaga kerja, seperti
yang terjadi pada tahap awal.Seiring dengan hal ini, maka akan muncul masa
depresi.
2.1.5
Business Cycle Indicators
Business Cycle Indicators (BCI) merupakan salah satu bentuk indikator yang
biasa digunakan untuk meramalkan keadaan ekonomi di masa depan atau trend
ekonomi. Indikator ekonomi mempunyai dampak besar terhadap pasar, bagaimana
mengetahui, menginterpretasi dan menganalisis indikator tersebut merupakan hal
yang sangat penting bagi para pelaku ekonomi.
Setiap indikator harus memenuhi beberapa aturan kriteria, dimana ada tiga
kategori timing indicator yang diklasifikasikan menurut tipe peramalan yang
dihasilkannya, yaitu coincident, leading, dan lagging. Variabel-variabel ekonomi
yang termasuk dalam setiap jenis indikator bisa berbeda-beda untuk tiap negara,
baik negara maju maupun negara berkembang. Hal ini dikarenakan perbedaan
sistem dan kondisi ekonomi yang dianut suatu negara, respon dari setiap
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah di masing-masing negara, dan lain
sebagainya.
21
Coincident, Leading dan Lagging Indicators yang dihasilkan dari pendekatan
business cycle memiliki fungsi dan karakteristik masing-masing. Adapun
penjelasan mengenai ketiga indikator tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Coincident Indicators
Coincident Indicators memiliki ketepatan waktu dengan variabel reference
yang menunjukkan business cycle-nya. Bila dilihat dari pergerakan siklusnya,
Coincident Indicators bergerak seiring dengan variabel reference. Keduanya
secara grafis bergerak bersamaan, bila siklus variabel reference berada di titik
puncak, maka siklus dari Coincident Indicators berada di titik puncak pula, begitu
juga sebaliknya.
2.
Leading Indicators
Time series yang dipilih cenderung bergerak lebih dulu dari variabel reference
dan Leading Indicators-nya juga mencapai perputaran pergantian poin terlebih
dahulu terhadap posisi business cycle (puncak dan lembah). Oleh karena itu,
Leading Indicators ini cikal bakal dari early warning system.
Series-nya lebih sensitif dan volatile daripada Coincident Indicators, serta
banyak dari mereka yang memiliki trend yang sangat lemah. Leading Indicators
jarang kehilangan banyak resesi tapi indikator tersebur memiliki lebih banyak
fluktuasi daripada Coincident Indicators.
3.
Lagging Indicators
Lagging Indicators menguatkan pergerakan dari Coincident dan Leading
Indicators. Indikator ini dapat memeratakan dari kedua indikator lainnya. Bila
dilihat dari siklus pergerakannya, Lagging Indicators bergerak mengikuti variabel
22
reference. Oleh karena itu, Lagging Indicators kurang berpengaruh dalam
pembagunan early warning system. Hal ini disebabkan karena pergerakan
indikator ini hanya memprediksi dampak penyebaran akibat terjadinya suatu
fenoma ekonomi yang menjadi fokus penelitian.
Coincident, Leading dan Lagging Indicators merupakan instrumen yang
penting dalam pembangunan suatu early warning system. Dalam upaya
mendapatkan kemungkinan sinyal-sinyal yang benar dan lebih kuat dalam
mengurangi kesalahan, maka perlu disusun suatu indeks gabungan. Composite
Index lebih baik daripada Individual Index, karena dalam business cycle tidak ada
pembuktian dari rantai tunggal dalam menjawab permasalahan yang terjadi , yaitu
gejala-gejala resesi atau ekspansi. Dengan adanya Composite Index, maka
kemampuan prediksi potensial dalam Leading Indicators akan semakin optimal.
2.1.6 Leading Economic Indicators dan Peramalan Aktivitas Ekonomi
Penyusunan Leading Economic Indicators (LEI) pertama kali dirintis pada
tahun 1920-an oleh Badan Statistik Amerika, yang dikenal dengan Bureau of
Economic Research (NBER). Pada saat itu, ilmu ekonometrika masih belum
berkembang, sehingga metode penyusunan LEI pun lebih bersifat analisis
deskriptif. Selain itu, karena keterbatasan dalam penyusunannya, LEI hanya
disajikan dalam bentuk tabel angka-angka statistik. Pada masa itu, terdapat LEI
saja dan belum memiliki composite index.
Pada perkembangan selanjutnya, LEI mengalami kemajuan yang begitu pesat
dalam berbagai penelitian yang dilakukan. Indikator ini mulai dikaitkan dengan
23
berbagai teori ekonomi yang relevan untuk menyusun suatu EWS yang lebih
akurat. Salah satu teori ekonomi yang kini mulai banyak dikaitkan dengan LEI
untuk keperluan pembangunan EWS adalah teori siklus bisnis (business cycle).
Pembentukan
LEI
dengan
pendekatan
siklus
bisnis
mulai
banyak
dikembangkan didasarkan atas perhatian pada shock yang banyak terjadi berasal
dari faktor internal maupun eksternal. Shock tersebut menyebabkan terjadinya
fluktuasi (volatilitas) dalam perekonomian. Dalam jangka panjang, fluktuasi
tersebut akan mengakibatkan naik atau turunnya aktivitas perekonomian. Perilaku
naik turunnya (rebounds dan declines, atau recoveries dan recessions)
perekonomian seringkali berulang pada masa-masa sesudahnya dan membentuk
suatu siklus. Karena sifatnya yang terus berulang, maka adanya deteksi dini atau
peramalan siklus perekonomian menjadi sangat penting, baik bagi pemerintah
mapupun dunia usaha dalam rangka perencanaan dan formulasi kebijakan di
bidang ekonomi serta pengambilan keputusan bisnis.
Dalam analisis business cycle, dikenal tiga indikator komposit, yaitu Leading,
Coincident, dan Lagging Indicators. Selain ketiga indikator komposit tersebut,
dalam analisis business cycle terdapat pula reference series yang merupakan
variabel untuk menggambarkan kondisi perekonomian secara keseluruhan seperti
Debt to GDP, PDB, inflasi, nilai tukar, saham, indeks produksi industri, dan
sebagainya. Coincident Indicators merupakan variabel yang menggambarkan
kondisi perekonomian saat ini dan bergerak seiring dengan reference series.
Leading Indicators merupakan variabel yang menggambarkan keadaan ekonomi
dalam beberapa bulan ke depan dan bergerak mendahului coincident indicators
24
maupun reference series. Lagging Indicators adalah variabel yang mengikuti (lag)
pergerakan Coincident maupun Leading Indicators. Dari ketiga indikator tersebut,
Leading Indicators mendapatkan perhatian khusus karena fungsinya yang mampu
memberikan deteksi dini (early warning system) tentang arah pergerakan
perekonomian secara keseluruhan.
Sejak awal perkembangannya, analisis business cycle ini terutama
penyusunan Leading Indicators sangat populer dalam mendeteksi siklus
perekonomian. Penyusunan Leading Indicators memerlukan data dengan
frekuensi yang tinggi, umumnya berupa data bulanan dengan frekuensi dan time
series yang panjang. Oleh karena itu, penggunaannya masih sangat terbatas untuk
penelitian yang dilakukan di negara berkembang. Hal ini disebabkan karena
ketersediaan data di negara berkembang pada umumnya masih belum
terdokumentasi dengan baik.
2.2
Penelitian Terdahulu
Terdapat begitu banyak penelitian yang dilakukan dari waktu ke waktu
untuk memberikan penilaian terhadap suatu negara mengenai kemungkinan
terjadinya krisis utang. Lembaga pemeringkat utang internasional menilai
kemungkinan terjadinya krisis utang di suatu negara tertentu melalui
kemampuannya dalam membayar kembali obligasi. Namun, dalam studi-studi
selanjutnya, penilaian terhadap kemungkinan terjadinya krisis utang di suatu
negara dapat dikaitkan dengan GDP per kapita, inflasi, utang eksternal,
25
pembangunan ekonomi dan sejarah negara tersebut (Cantor& Packer, 1996; Lee,
1993).
Pada penelitian lebih lanjut, mulai dikembangkan early warning system
(EWS) yang bertujuan untuk menghasilkan suatu sinyal yang dapat mendeteksi
kesulitan pembayaran kembali utang suatu negara (debt repayment). Hampir
semua literatur studi menyatakan bahwa EWS yang dibentuk pada suatu
penelitian tertentu dapat digunakan untuk mendeteksi krisis utang pada suatu
negara dalam jangka waktu satu tahun sebelumnya. Waktu yang lebih panjang
memang berdampak pada lebih sedikit kegagalan, karena semakin panjang waktu
signaling, semakin panjang pula waktu untuk mengambil langkah-langkah
antisipatif untuk menghindari terjadinya krisis utang (Berg & Pattillo 1999;
Kamin, 1999; Kumar et al., 2003).
Bussière and Fratzscher (2002) menunjukkan metode penentuan panjang
waktu yang optimal dalam sinyal peringatan dini. Dalam upaya untuk menaksir
kecukupan dari suatu EWS, kemungkinan prakiraan biasanya ditransformasikan
ke dalam peramalan dan dibandingkan denan indikator EWS yit. Untuk tujuan
tersebut, pembuat keputusan harus menggunakan suatu cut-off atau probabilitas
threshold λ yang konsisten dengan besarnya kehilangan fungsi yang terjadi.
A.-M. Fuertes, E. Kalotychou (2007) berupaya menyusun suatu model EWS
yang optimal dalam upaya mendeteksi kemungkinan terjadinya krisis utang di
negara-negara OECD dengan cara mengeksplorasi hubungan antara EWS dengan
fungsi objektif pembuat keputusan. Dengan demikian, penelitian yang dilakukan
tersebut memiliki dua komponen utama. Pertama, adanya unsur preferensi
26
pembuat keputusan (dirumuskan dalam bentuk loss function dan risk-aversion
parameter) yang digabungkan ke dalam pengujian optimal dari classifier dan
penilaian dari peramalan sampel. Kedua, penelitian ini berupaya menginvestigasi
kombinasi peramalan yang dilakukan. Adapun pendekatan yang dilakukan adalah
logit M dan logit R, K-Clustering, serta pendekatan ketiga menggunakan
kombinasi keduanya (menginvestigasi tentang forecast combining). Pokok
permasalahan pada fungsi objektif dan kombinasi peramalan masih kurang
dibahas dalam berbagai literatur, sehingga penelitian ini lebih menekankan pada
kedua hal tersebut.
Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa preferensi pembuat
keputusan mempengaruhi pemilihan dari metodologi peramalan dan pengujian
optimalnya. LOGIT-M menunjukkan non-parametric (clustering) dan judgmental
(LOGIT-R) classifier dengan menghasilkan false alarms yang lebih sedikit. Lebih
lanjut, ditemukan bahwa dua classifier menguasai LOGIT-M dalam kehilangan
kegagalan yang lebih sedikit.
Untuk keperluan pembentukan early warning system yang akurat, maka dalam
penelitian ini dilakukan pemilihan variabel-variabel yang dianggap sesuai.
Pemilihan variabel-variabel tersebut didasarkan pada pendekatan LOGIT-M dan
K-clustering sehingga diperoleh sepuluh variabel terpilih. Adapun variabel yang
terpilih tersebut adalah sebagai berikut.
1. volatilitas pertumbuhan ekspor dan rasio neraca perdagangan terhadap GDP
(menjadi sinyal bagi aktivitas ekonomi eksternal);
27
2. rasio total utang luar negeri terhadap GDP, rasio official debt terhadap total
debt, dan rasio kredit IMF terhadap ekspor (menjadi sinyal bagi aktivitas
external credit exposure)
3. credit to private sector/GDP, pertumbuhan GDP, volatilitas pertumbuhan
GDP, dan nilai tukar riil (menjadi sinyal untuk menggambarkan kondisi
domestik)
4. trade/GDP (menjadi sinyal mata rantai perekonomian global)
Goldstein, Kaminsky, dan Reinhart (2000) juga telah mengupayakan
pembentukan suatu early warning system dengan pendekatan leading indicators.
Adapun perbedaannya dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian tersebut
dilakukan untuk membangun alat deteksi dini kemungkinan terjadinya krisis nilai
tukar. Dalam penelitian tersebut, telah ditetapkan beberapa leading indicator baku
yang digunakan sebagai acuan utama dalam pembuatan model EWS sebagaimana
terlihat pada Tabel 2.3.
28
Tabel 2.3 Leading Indicators Krisis Nilai Tukar dan Alasan Ekonomi
Leading Indicators
NERACA PERDAGANGAN
Keseimbangan neraca perdagangan /
Investasi lokal kotor
-Ekspor
-Impor
Nilai tukar efektif riil
Nilai tukar terhadap US Dollar
Keseimbangan Neraca Perdagangan/
Pendapatan Regional Bruto
NERACA KEUANGAN
Simpanan di BIS/cadangan devisa
Perbedaan tingkat suku bunga di dalam
negeri dengan Amerika
Kewajiban asing atau harta pihak asing
di sektor perbankan
Cadangan Devisa
-M2/cadangan devisa
-Aliran modal jangka pendek/GDP
-Hutang
luar
negeri
jangka
pendek/cadangan devisa
SEKTOR KEUANGAN
-Deposito/M2
-Kredit dalam negeri/GDP
-Perbedaan tingkat suku bunga
deposito
-Pinjaman/deposito
-M1/PDB
-Pengganda M2
-Deposito di bank-bank komersial
-Tingkat suku bunga domestik
SEKTOR RIIL
-Indeks Harga Konsumen
-Indeks Pembangunan Industri
Alasan Ekonomi
Ekspor
yang
melemah
dan
pertumbuhan impor yang berlebihan
dan nilai tukar yang terlampau kuat
dapat
memperburuk
neraca
perdagangan, dan dalam sejarah sangat
berkaitan dengan terjadinya krisis
keuangan dibanyak negara. Kelemahan
eksternal dan nilai tukar yang
terlampau
kuat
dapat
juga
menyebabkan
kerawanan
sektor
perbankan seperti kehilangan daya
kompetisi di pasar eksternal yang dapat
menimbulkan
krisis
keuangan,
kegagalan bisnis, dan penurunan
kualitas pinjaman. Akhirnya, krisis
perbankan dapat menyebabkan krisis
keuangan.
Dengan terjadinya globalisasi dan
integrasi sektor keuangan, masalah
neraca keuangan dapat membuat suatu
negara menjadi mudah terkena
guncangan.
Perwujudan
masalah
neraca
keuangan
dapat
berupa
penurunan cadangan devisa, hutang
luar negeri jangka pendek yang
berlebihan, jatuh tempo pinjaman dan
keridakseimbangan nilai tukar, pelarian
modal ke luar negeri
Krisis keuangan dan perbankan
berkaitan erat dengan terjadinya
pertumbuhan kredit yang sangat cepat
terkait dengan kebijakan ekspansi
moneter di banyak negara, sementara
terjadinya
penyusutan
deposito
perbankan, tingginya tingkat suku
bunga dalam negeri, dan besarnya
tingkat suku bunga deposito sering
merupakan suatu gambaran terjadinya
kesulitan dan masalah di sektor
perbankan
Terjadinya resesi dan kenaikan harga
yang drastis sering mendahului
terjadinya krisis perbankan dan krisis
29
-Indeks Harga Saham Gabungan
SEKTOR FISKAL
-Kredit BI kepada sektor pemerintahan
-APBN terhadap PDB
-Pengeluaran pemerintah/GDP
-Kredit bersih ke sektor publik/GDP
keuangan.
Terjadinya defisit yang besar pada
APBN, dapat memicu memburuknya
posisi neraca keuangan yang akhirnya
dapat menekan nilai tukar.
EKONOMI GLOBAL
Krisis ekonomi yang terjadi di luar
-Harga minyak dunia
negeri
dapat
menyebar
pada
-Nilai tukar riil antara US Dollar $ perekonomian dalam negeri. Tingginya
dengan Yen Jepang
harga minyak dunia merupakan suatu
-Tigkat suku bunga federal
pertanda bahaya bagi neraca keuangan
-Pertumbuhan ekonomi Amerika
dan dapat menyebabkan terjadinya
krisis di dalam negeri. Tingginya
tingkat suku bunga dunia sering
menjadi penyebab terjadinya pelarian
modal ke luar negeri. Untuk beberapa
negara
Asia
Timur,
terjadinya
penurunan nilai tukar Yen Jepang
terhadap Dollar Amerika dapat
menyebabkan nilai tukar mata uang
domestik terhadap Dollar Amerika juga
tertekan.
Sumber : Juzhong Zhuang.
BIS= Bank International Settlement
M2=Broad Mone
GDI=Gross Domestic Investment
M1=Narrow Money
CPI=Consumer Price Index
GDP=Gross Domestic Product
Berbagai penelitian juga telah banyak dilakukan untuk menganalisis
indikator-indikator variabel makroekonomi yang mungkin dapat menjadi sinyal
kemungkinan terjadinya krisis finansial. Dalam berbagai penelitian tersebut,
pengukuran kemungkinan terjadinya krisis finansial didasarkan pada analisis
terhadap krisis nilai tukar, krisis perbankan, dan krisis utang. Adapun hasil dari
penelitian tersebut disajikan pada dalam Tabel 2.4.
30
Tabel 2.4 Hasil-hasil Penelitian Terdahulu
Indikator
Interpretasi
CC
BC
+
+
DC
Referensi
External
Sector
(Current
Account)
Nilai tukar riil
Ukuran untuk perubahan daya
saing internasional dan proksi
untuk lebih dari (bawah)
penilaian.Nilai tukar riil yang
overvalued adalah diduga dapat
memperbesar probabilitas
terjadinya krisis financial.
Pertumbuhan
ekspor
Indikator yang menunjukkan
terjadinya kehilangan daya saing
pada pasar dunia internasional
market. pasar. Penurunan
pertumbuhan ekspor dapat
disebabkan oleh terlalu tinggi
mata uang domestik dan
karenanya indicator ini menjadi
proxy untuk terjadinya mata uang
yang overvalue. Di sisi lain, jika
pertumbuhan ekspor melambat
karena alasan yang tidak terkait
untuk nilai tukar, ini dapat
menyebabkan tekanan devaluasi.
Lemahnya sektor eksternal adalah
bagian dari krisis mata uang.
Besar pertumbuhan impor dapat
mengakibatkan memburuknya
transaksi berjalan sudah sering
berhubungan dengan krisis mata
uang
Pertumbuhan
Impor
-
Kaminsky et al.
(1998); Berg and
Pattillo
(1999); Kamin
et al. (2001);
Edison
(2003);
Dermirg¨uc¸Kunt and
Detragiache
(2000);
Eichengreen
and Arteta (2000)
-
+
Kaminsky et al.
(1998); Berg and
Pattillo (1999);
Edison
(2003); Marchesi
(2003)
Kaminsky et al.
(1998); Berg and
Pattillo
(1999); Edison
(2003)
31
Terms of
Trade
Peningkatan dalam Terms of
Trade (ToT) harus memperkuat
posisi dari neraca pembayaran
suatu negara dan karenanya
menurunkan probabilitas krisis.
Kemunduran dari ToT
dapat mendahului terjadinya
krisis mata uang.
-
-
-
Rasio Current
Account
terhadap GDP
Kenaikan rasio ini umumnya
dikaitkan dengan aliran modal
masuk secara besar-besaran yang
diintermediasi oleh sistem
finansial domestik dan dapat
memfasilitasi harga asset dan
credit boom. Peningkatan surplus
pada current diperkirakan akan
menunjukkan kemampuan untuk
mendevaluasi dan dengan
demikian untuk menurunkan
kemungkinan krisis.
-
-
-
+
+
Kaminsky et al.
(1998); Berg and
Pattillo
(1999); Kamin
et al. (2001);
Dermirg
¨uc¸-Kunt and
Detragiache
(2000);
Lanoie and
Lemarbre
(1996)
Berg and Pattillo
(1999); Kamin et
al.
(2001);
Eichengreen
and Arteta (2000);
Lanoie and
Lemarbre
(1996); Marchesi
(2003)
External
Sector
(Capital
Account)
Rasio M2
terhadap
cadangan
devisa
Menangkap sejauh mana
kewajiban sistem perbankan
didukung oleh cadangan devisa.
Dalam hal krisis mata uang, tiap
individu mungkin terburu-buru
untuk mengkonversi deposito
mereka dari mata uang domestik
ke mata uang asing, sehingga
rasio ini menangkap kemampuan
pusat bank untuk memenuhi
tuntutan mereka.
Kaminsky et al.
(1998); Berg and
Pattillo
(1999); Kamin
et al. (2001);
Edison
(2003);
Dermirg¨uc¸Kunt and
Detragiache
(2000);
Eichengreen and
Arteta (2000)
32
Pertumbuhan
Cadangan
Devisa
Penurunan cadangan devisa
merupakan indikator yang handal
sebuah mata uang
di bawah tekanan devaluasi.
Penurunan cadangan belum tentu
diikuti oleh devaluasi, bank
sentral mungkin bisa berhasil
dalam mempertahankanpasak, menghabiskan jumlah
besar cadangan dalam proses.
Pada sisi lain, runtuh mata uang
yang paling didahului oleh
periode meningkatkan upayaupaya untuk mempertahankan
nilai tukar, yang ditandai dengan
penurunan cadangan devisa. Total
nilai cadangan devisa juga
digunakan sebagai indikator
kesulitan keuangan negara
berurusan dengan
pembayaran kembali utang
-
Indikator-indikator ini merupakan
ukuran likuiditas. Tingginya
tingkat pertumbuhan ini mungkin
menunjukkan kelebihan likuiditas
yang mungkin menjadi alasan
untuk melakukan serangan
spekulatif terhadap mata uang
sehingga mengarah ke krisis mata
uang.
+
-
Kaminsky et al.
(1998); Berg and
Pattillo (1999);
Edison
(2003); Marchesi
(2003)
Financial
Sector
Pertumbuhan
M1 dan M2
M2 money
multiplier
Sebuah indikator yang terkait
dengan liberalisasi finansial.
Peningkatan yang besar pada
money multiplier dapat dijelaskan
oleh adanya penurunan besarnya
persyaratan cadangan.
+
Kamin et al. (2001)
Kaminsky et al.
(1998); Berg and
Pattillo
(1999); Edison
(2003)
33
Rasio utang
domestik
terhadap GDP
Pertumbuhan kredit domestik
yang sangat tinggi dapat
berfungsi sebagai indikator kasar
dari kerapuhan sistem perbankan.
Rasio ini biasanya terbit di
tahap awal krisis perbankan. Ini
mungkin bahwa krisis
terungkap, bank sentral dapat
menyuntik uang ke bank untuk
memperbaiki situasi keuangan
mereka.
+
Excess real
M1
Balance
Kebijakan moneter yang longgar
dapat menyebabkan krisis mata
uang.
+
Tingkat bunga
riil dalam
negeri
(domestik)
Tingkat bunga riil dapat dianggap
sebagai proksi dari liberalisasi
keuangan
di mana proses liberalisasi itu
sendiri cenderung mengarah pada
tingginya
tingkat bunga riil domestik.
Tingginya suku bunga
menandakan bahwa likuiditas
ditingkatkan untuk
mengantisipasi terjadinya
serangan spekulatif.
Kenaikan indikator ini atas
beberapa tingkat ambang
mungkin mencerminkan
penurunan risiko kredit
+
+
Kaminsky et al.
(1998); Berg and
Pattillo
(1999); Edison
(2003)
Penurunan dalam hal kualitas
kredit
Bank domestik melakukan
-
Kaminsky et al.
(1998); Berg and
Pattillo
(1999); Edison
(2003)
Lending and
deposit
rate spread
Simpanan
Bank
Komersial
tindakan pengambilan uang
simpanannya secara bersamasama dan pelarian modal terjadi
sebagai awal terjadinya krisis
+
Kaminsky et al.
(1998); Berg and
Pattillo
(1999); Edison
(2003);
Dermirg¨uc¸Kunt and
Detragiache
(2000);
Eichengreen
and Arteta (2000)
Kaminsky et al.
(1998); Berg and
Pattillo
(1999); Edison
(2003)
+
Kaminsky et al.
(1998); Berg and
Pattillo
(1999); Edison
(2003);
Dermirg¨uc¸Kunt and
Detragiache
(2000)
34
Rasio
Cadangan
Bank terhadap
Aset Bank
Guncangan makroekonomi yang
merugikan kemungkinan besar
sedikit mengarah pada terjadinya
krisis di negara dimana system
perbankan nya bersifat likuid.
-
Dermirg¨uc¸-Kunt
and
Detragiache (1997)
Defisit yang lebih tinggi
diprediksi dapat meningkatkan
probabilitas krisis, karena
terjadinya defisit meningkatkan
+
Dermirg¨uc¸-Kunt
and
Detragiache
(2000);
Eichengreen and
Arteta (2000)
Domestic real
and public
sector
Rasio
Keseimbangan
Fiskal
Terhadap GDP
kerentanan terhadap guncangan
dan kepercayaan investor
Rasio Utang
Tingginya utang diprediksi dapat
Publik
meningkatkan kerentanan
Terhadap GDP terhadap pembalikan
dalam arus masuk modal dan
maka untuk meningkatkan
kemungkinan krisis.
+
Pertumbuhan
Produksi
Industri
Resesi sering mendahului
terjadinya krisis keuangan
-
Perubahan
Dalam Harga
Saham
Ledakan harga aset yang
gelembung sering mendahului
krisis keuangan.
-
Tingkat Inflasi
Tingkat inflasi mungkin terkait
dengan tingkat bunga nominal
yang tinggi
dan mungkin menjadi sautu
proksi terhadap terjadinya
kesalahahan penanganan ekonomi
sehingga berpengaruh negative
terhadap ekonomi dan sistem
perbankan
+
+
+
+
Kamin et al.,
(2001);
Lanoie and
Lemarbre
(1996);
Eichengreen
and Arteta (2000)
Kaminsky et al.
(1998); Berg and
Pattillo
(1999); Edison
(2003)
Kaminsky et al.
(1998); Berg and
Pattillo
(1999); Edison
(2003)
Dermirg¨uc¸-Kunt
and
Detragiache
(1997);
Lanoie and
Lemarbre
(1996); Marchesi
(2003)
35
GDP Per
Kapita
Negara berpendapatan tinggi
kemungkinannya kecil untuk
melakukan penjadwalan ulang
utang mereka dibandingkan
dengan negara-negara miskin
karena biaya penjadwalan ulang
akan cenderung lebih berat bagi
ekonomi yang lebih maju.
Kemerosotan kegiatan ekonomi
domestik diprediksi dapat
meningkatkan kemungkinan
terjadinya krisis perbankan.
Pertumbuhan
Tabungan
Nasional
Tabungan nasional yang tinggi
diprediksi dapat menurunkan
kemungkinan dilakukannya
penjadwalan hutang
-
-
Dermirg¨uc¸-Kunt
and
Detragiache
(1997);
Eichengreen and
Arteta (2000);
Lanoie
and Lemarbre
(1996);
Marchesi (2003)
-
Lanoie and
Lemarbre
(1996)
Global
Economy
Pertumbuhan
Harga minyak yang tinggi terkait
Harga Minyak
dengan terjadinya resesi
+
Edison (2003)
Dunia
Tingkat Bunga Peningkatan suku bunga
Amerika
Internasional sering dikaitkan
Serikat
dengan terjadinya aliran modal
keluar
+
+
Pertumbuhan
PDB OECD
-
-
Pertumbuhan output yang lebih
tinggi asing harus memperkuat
ekspor dan dengan demikian
mengurangi kemungkinan krisis.
Edison (2003);
Kamin
et al. (2001);
Eichengreen
and Arteta
(2000)
Edison (2003);
Kamin
et al. (2001);
Eichengreen
and Arteta
(2000)
Catatan: CC, BC dan DC merupakan krisis mata uang, krisis perbankan, dan krisis utang, masingmasing. Positif (negatif) diharapkan tanda berarti bahwa nilai (rendah) yang tinggi indikator
menyebabkan probabilitas yang lebih tinggi dari krisis.
36
Beberapa penelitian terdahulu telah melakukan berbagai pendefinisian
berbeda atas interpretasi kondisi krisis utang yang melanda suatu negara. Secara
khusus, suatu negara dikategorikan sedang mengalami krisis utang bila negara
tersebut melakukan perjanjan penjadwalan ulang pembayaran utang atau negosiasi
(debt rescheduling agreement or negotiation). Ada beberapa penelitian yang
menggunakan kombinasi dari beberapa definisi krisis utang, dan ada juga
penelitian yang menggunakan suatu peristiwa atau pengukuran tertentu dari debt
rescheduling yang dilakukan suatu negara. Sebagai contoh, penelitian yang
dilakukan Berg and Sachs (1988), Lee (1991), Balkan (1992), Lanoie and
Lemarbre (1996), and Marchesi (2003), mendefinisikan krisis utang hanya
menggunakan konsep debt rescheduling yang dilakukan suatu negara.
Penggunaan konsep debt rescheduling ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi
secara tepat kapan periode waktu suatu negara tertentu melakukan penjadwalan
ulang atas pembayaran utang luar negerinya.
Dengan menggunakan klasifikasi tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa
Indonesia pernah mengalami krisis utang. Hal ini didasarkan pada terjadinya debt
rescheduling yang dilakukan Indonesia pada periode waktu tertentu sebagaimana
ditampilkan pada Tabel 2.5.
37
Tabel 2.5 Periode Waktu Pelaksanaan Debt Rescheduling Atas Pembayaran
Utang Luar Negeri Indonesia
Debt Rescheduling
Periode Waktu
Desember 1966
Oktober 1967
Oktober 1968
April 1970
Juni 1998
September 1998
April 2000
April 2002
Sumber : Marcheisie, 2003
Pembayaran utang publik dan nonpublik dijadwal ulang pada tingkat
pasar yang sesuai dengan profil
pembayaran kembali berdasarkan hasil
negosiasi
Pembayaran utang publik dan nonpublik dijadwal ulang pada tingkat
pasar yang sesuai dengan profil
pembayaran kembali berdasarkan hasil
negosiasi
Pembayaran utang publik dan nonpublik dijadwal ulang pada tingkat
pasar yang sesuai dengan profil
pembayaran kembali berdasarkan hasil
negosiasi
Pembayaran utang publik dan nonpublik dijadwal ulang pada tingkat
pasar yang sesuai dengan profil
pembayaran kembali berdasarkan hasil
negosiasi
Kerangka
kesepakatan
untuk
melakukan restrukturisasi atas utang
swasta sebesar 80,23 miliar USD.
Jatuh Tempo Utang dari 6Agustus 1998
hingga 31 Maret 2000
Pembayaran utang non-publik dan
publik dijadwal ulang kembali pada
tingkat pasar yang sesuai
Pembayaran utang non-publik dan
publik dijadwal ulang kembali pada
tingkat pasar yang sesuai
38
2.3 Kerangka Pemikiran
Berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia menimbulkan adanya
kekhawatiran mengenai kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia.
Fenomena-fenomena tersebut di antaranya adalah adanya kecenderungan
Penelitian ini menekankan pada upaya pembentukan suatu sistem deteksi dini
yang dapat mengukur kemungkinan terjadinya krisis utang di Indonesia secara
tepat. Dalam upaya pembentukan alat deteksi dini tersebut, digunakan pendekatan
leading economic indicators (LEI). Pendekatan tersebut digunakan berdasarkan
suatu pemikiran bahwa pada suatu perekonomian global, variabel-variabel
ekonomi saling trekait satu sama lain. Dengan demikian, bila terjadi suatu shock
(guncangan) pada salah satu variabel, maka hal tersebut akan berpengaruh pada
variabel lain. Shock tersebut dapat berupa guncangan internal maupun
eksternal.yang berdampak pada fluktuasi ekonomi. Adanya fluktuasi yang terjadi
kemungkinan memiliki pola berulang sehingga dapat membentuk suatu siklus
yang disebut dengan siklus bisnis (business cycle).
Berdasarkan alur pemikiran seperti yang diuraikan sebelumnya, maka
kerangka pemikiran dalam pelaksanaan penelitian ini dapat dideskripsikan sebagai
berikut.
39
Fenomena yang terjadi :
•Kecenderungan peningkatan sumber pembiayaan eksternal (utang luar negeri)
untuk menutupi defisit anggaran
•Kecenderungan peningkatan posisi utang luar negeri sektor publik (pemerintah)
• Kecenderungan peningkatan posisi utang luar negeri sektor swasta
MENIMBULKAN KEKHAWATIRAN TERJADINYA KRISIS
UTANG DI INDONESIA PADA PERIODE WAKTU MENDATANG
Pembangunan early warning system (EWS)
dengan pendekatan business cycle analysis
Teori Siklus
Bisnis
•trade/GDP
•nilai tukar
•tingkat inflasi
•cadangan devisa
•dan lain-lain
Teori Ricardian
Tentang Utang
•Konsumsi
Rumah Tangga
Teori Keynesian
•Tabungan
Masyarakat
•Tabungan Nasional
Dapat dibentuk Coincident Debt Index, Leading Debt Index dan Lagging Debt Index
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pemikiran