Download PENDEKATAN KRITIS DALAM ISLAMIC STUDIES

Survey
yes no Was this document useful for you?
   Thank you for your participation!

* Your assessment is very important for improving the workof artificial intelligence, which forms the content of this project

Document related concepts
no text concepts found
Transcript
PENDEKATAN KRITIS DALAM ISLAMIC STUDIES
(Mempertimbangkan Falsifikasi Karl R. Popper)
Oleh Edi Susanto
(Dosen tetap pada Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan dan
Peserta Program Doktor Studi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya)
Abstrak: :
Tulisan ini berusaha menunjukkan tendensi dan realitas Islamic Studies
di Perguruan Tinggi Agama Islam yang lebih mengedepankan
visi absolutely absolute sehingga mengakibatkan pemikiran keislaman
lebih berorientasi pada context of justification dari pada
context of discovery yang mengantarkan pada pusaran stagnasi.
Dengan mengedepankan paradigma Popperian yang menganggap hasil pemikiran,
termasuk pemikiran keislaman, sebagai absolutely relative dan tentative
diharapkan context of discovery dalam pemikiran Islam
lebih intens.
Kata kunc :
Islamic Studies, falsifikasi, absolutely absolute, absolutely relative,
context of justification, context of discovery,
Pendahuluan
Ditengarai, meski masih bersifat
hipotetis, bahwa belum ada –hingga saat
ini—satu pun dari generasi pemikir-pemikir
Islam yang mencoba menjelaskan relevansi
penerapan teori-teori dari metodologi
ilmiah--sebagai intisari filsafat ilmu—pada
wacana ilmu-ilmu keislaman dalam rangka
mengkritisi seluruh bangunan ilmu-ilmu
keislaman dan pemikiran Islam yang
sedemikian luas.1 Hal itu terjadi, antara lain
karena kuatnya dominasi, meminjam
bahasa M. Arkoun, al-taqdîs al-afkâr aldînîyah
(pensakralan
pemikiran
M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi
Pendekatan Integratif-Interkonektif. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), hlm. 37.
1
keagamaan),2
sehingga berakibat pada
sulitnya menarik garis demarkasi antara
wilayah sakral-normatif dengan wilayah
profan-historis3.
Kondisi demikian, sampai batas
tertentu, mematikan dinamika kreativitas
pemikiran keislaman, sehingga berakibat
pada munculnya--sebagaimana disinyalemenkan Fazlur Rahman—sarjana-sarjana
M. Amin Abdullah, “Arkoun dan Kritik Nalar Islam”,
dalam
Tradisi,
Kemodernan
dan
Metamodernisme:
Memperbincangkan pemikiran Mohammed Arkoun. Johan
Hendrik Meuleman, Peny. (Yogyakarta: LKiS, 1996), hlm.
7.
3 Dengan kerangka tersebut, pada akhirnya terwujud suatu
ideologi bahwa pemikiran keagamaan seorang Muslim
menjadi taken for granted, ghair qabilin li al-Niqas dan
immune untuk dikaji dalam perspektif kritis historis
ilmiah. Periksa M. Amin Abdullah, Studi Agama:
Normativitas atau Historisitas. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), hlm. 108.
2
Pendekatan Kritis dalam Islamic Studies
Edi Susanto
dengan tipe khusus, yakni sangat bersifat
ensiklopedik dalam cakupan lapangan
pengetahuan yang dipelajari, tetapi mereka
sendiri tidak pernah menyumbangkan ide
baru (the Muslim world witnessed the rise of
type of scholar who thruly encyclopedic in the
scope of his learning but had little new to say
anything).4 Akibat selanjutnya, pemikiranpemikiran kreatif dan original –sekaligus
berani melawan arus hegemonik5--, menjadi
sesuatu yang langka. Kondisi demikian,
jelas sangat berbahaya bagi dinamika
pemikiran dan peradaban [Islam].
Perspektif Epistemologis terhadap
Pemikiran keislaman
Secara kategorikal, paling tidak, terdapat
tiga perspektif terhadap pemikiran Islam.6
Pertama, pola pemikiran yang bersifat
Absolutely absolute. Pola ini memandang
ajaran agama seluruhnya bersifat tawqifi,
unsur wahyu lebih ditekankan dari pada
rasionalitas,
sehingga
ilmu-ilmu
keislaman—dianggap—tidak
mungkin
salah, karena disandarkan pada wahyu.
Sedangkan pengetahuan yang berasaskan
rasionalitas seringkali diidentifikasi sebagai
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intelectual Tradition. (Chicago and London: The University
of Chicago Press, 1982), 38. Sarjana-sarjana dengan tipe
khusus ini oleh Rahman diidentifikasi sebagai sarjana
komentator (scholar cum commentator) dan karya yang
dihasilkannya bersifat Commentary (sharh) atau Commentary
on Commentary (hashiyah).
5 Hegemonisasi suatu
pemikiran, apa lagi dalam
pemikiran keagamaan --sampai batas tertentu—
sesungguhnya sedemikian berbahaya karena akan
mengantarkan pada interpretive despotism (kesewenangwenangan penafsiran) atau otoritarianism, yang menutup
rapat-rapat atau membatasi keinginan Tuhan (the will of the
Divine) sehingga suatu ijtihad –yang semestinya sangat
terbuka untuk dikaji ulang—diperlakukan sebagai sesuatu
yang sudah final. Lebih lanjut periksa M. Amin Abdullah,
“Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-Fatwa
Keagamaan: Proses Negosiasi Komunitas Pencari Makna
Teks, Pengarang dan Pembaca”, dalam Khalid M. Abou
Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif.
Ter. R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi, 2004), hlm.
xiii.
6 Diadaptasi dari Abdullah, Islamic Studies, hlm. 82-90.
4
894
bid’ah.
Implikasi
aktualnya
akan
mewujudkan sikap rigid, tidak luwes serta
tidak mengenal kompromi sekaligus fanatik
dan memiliki pola pikir yang bertendensi
menyerang orang lain yang tidak seide (al‘uqûl al-mutanâfisah). Pendukung pemikiran
ini menolak penggunaan perspektif sosial
dan budaya dalam memahami agama.
Sampai batas tertentu, perspektif semacam
ini [absolutely absolut] mungkin sangat baik
untuk diaplikasikan pada masyarakat yang
homogen, akan tetapi jika diterapkan dalam
masyarakat yang plural, perspektif ini akan
mengalami benturan-benturan.
Kedua, pola pemikiran yang bersifat
absolutely relative. Pola ini merupakan oposisi
biner dari pandangan pertama, yang
memandang tata nilai dan religiousitas-tidak lebih—sebagai fenomena sosial dan
budaya
biasa
sehingga
pahamnya
sedemikian sekuler. Implikasinya, dalam
memeluk
agama
pendukung
pola
pemikiran
ini
tidaklah
serius,
reduksionistik, hampa inner life
dan
spiritualitas. Bahkan, hingga batas tertentu,
mereka--yang umumnya ilmuwan sosial
positivistik7--beranggapan bahwa agama
sesungguhnya merupakan sumber konflik.
Ketiga, pola pemikiran yang bersifat
relatively absolute, yang mamahami bahwa
memang terdapat wilayah absolutely sacred
Positivisme menganggap pengetahuan mengenai fakta
obyektif sebagai pengetahuan yang sahih, sehingga –
dengan demikian—menegasikan pengetahuan yang
melampaui fakta inderawi. Positivisme ini berpengaruh
kuat pada perkembangan ilmu pengetahuan, terutama
ilmu pengetahuan alam. Paham ini sedemikian kokoh
terutama dengan eksisnya lingkaran Wina (Wina Circle).
Pendirian aliran ini adalah (a) menolak perbedaan ilmuilmu alam dan ilmu-ilmu sosial; (b) menganggap
pernyataan-pernyataan yang tidak dapat diverifikasi
secara empiris, seperti etika, estetika, agama, metafisika,
sebagai nonsense. (c) berusaha menyatukan semua ilmu
pengetahuan dalam satu bahasa ilmiah yang universal,
dan (d) memandang tugas filsafat sebagai analisis atas
kata-kata atau pernyataan. Periksa F. Budi Hardiman,
“Positivisme dan Hermeneutik: Suatu Usaha Untuk
Menyelamatkan Subyek”, dalam Basis, Maret 1991.
7
KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006
Pendekatan Kritis dalam Islamic Studies
Edi Susanto
normative dalam kehidupan keagamaan,
sekaligus--pada saat yang sama--terdapat
pula hal yang bersifat relatively profane
historis8. Pola pemikiran ini memandang
bahwa pada kawasan terakhir tersebut –
relatifely profane historis— dapat saja salah
(falsifiable)9 sehingga sangat memungkinkan,
bahkan mesti untuk diadakan dekonstruksirekonstruksi,
melalui
ikhtiar
mentranplantasi dan menggunakan teoriteori dan metodologi-metodologi yang
berasal dari bidang ilmu di luar
kalangannya
sendiri10.
Hal
tersebut
diperlukan mengingat wacana keilmuan
[Islam]
sedari
mula
dirintis
dan
diformulasikan oleh manusia yang hidup
pada masa tertentu, dipengaruhi oleh
masalah dan tantangan riil bagi konteks
waktunya saat itu.
Dari ketiga “madhab” pemikiran ini,
pola pertamalah,--paling tidak dalam
perspektif Fazlur Rahman--yang masih
mendominasi, terbukti bahwa kegiatan
keilmuan dan akademik semacam ini
[maksudnya mentransplantasi teori dan
metodologi keilmuan mutakhir, pen] sangat
jarang ditemukan dalam praktik nyata
Komponen relatively profane historis ini terdiri dari
seluruh komponen ilmu-ilmu keislaman, seperti kalam,
tafsir, hadith, fiqh, filsafat, tasawuf dan akhlak. Periksa
Abdullah, Islamic Studies, hlm. 53 dan 238 Dalam perspektif
madhab relatively absolute ini, konstruksi dan produk
keilmuan pada ilmu-ilmu keislaman tidak immune, karena
merupakan respon kontekstual pada masanya, sehingga
masukan, koreksi dan penggunaan metodologi keilmuan -yang selama ini dipandang asing dan bid’ah-- bagi studi
keislaman [terutama bagi pendukung madhab absolutely
absolute] merupakan suatu keniscayaan.
9 Farid Esack, Qur’an Liberation: an Islamic Perspective on
Interreligious Solidarity Against Oppression. (Oxford:
Oneword Publications, 1997), hlm. 49-81.
10 Dalam hal ini, apa yang dilakukan oleh Muhammed
Arkoun, dapat dijadikan contoh. Ia menerapkan metodemetode multidisipliner yang paling mutakhir dalam
mengkaji sejarah dan kebudayaan Arab-Islam seperti ilmu
sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, linguistik dan
semiotika. Periksa Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi:
Gelegar Pemikiran Arab Islam. Ter. Imam Khoiri
(Yogyakarta: LkiS, 2001), hlm. 112.
8
kegiatan keilmuan Islam. Studi keislaman,
yang sebagian besar merupakan hasil karya
imajinasi dan hasil konstruksi manusia, di
kemudian hari menjadi bersifat dogmatik
karena telah lama menjadi rutinitas,
diulang-ulang dan disakralkan11.
Kondisi ini mengakibatkan dinamika
pemikiran Islam menjadi stagnan12. Dalam
rangka mencairkan stagnasi tersebut,
diskusi tentang urgensi transplantasi filsafat
Ilmu mutakhir dalam kajian keislaman
merupakan suatu kemestian.
Gagasan Karl R. Popper: Deskripsi
Ringkas
Dalam konteks tersebut, gagasan Karl
R. Popper13 seperti tentang induksi dan
Lebih lanjut Arkoun menegaskan bahwa hampir seluruh
bangunan keilmuan agama Islam –baik yang menyangkut
materi maupun metodologi yang diajarkan di berbagai
forum pendidikan agama Islam masih mencerminkan
episteme klasik skolastik lantaran semuanya hampir-hampir
disusun pada era pra-scientific. Periksa Mohammed
Arkoun, “The Concept of Authority in Islamic Thought: La
Hukma Illa Lillah”, dalam Islam, State and Society. K.
Ferdinand and M. Mozaffer. Ed. (London: Curzon Press,
1988), hlm. 64-65.
Akibatnya,
sebagaimana
disinyalemenkan Muhammad Iqbal dalam bahasan dan
catatan kaki di bawah.
12 Stagnasi pemikiran tersebut menurut Muhammad Iqbal
berlangsung hampir 500 tahun. Muhammad Iqbal,
Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam. Ter. Osman Ralibi.
(Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm. 204.
13 Karl Raymund Popper lahir di Wina, Austria tahun 1902
dari seorang Yahudi penganut protestan. Ketika berusia 17
tahun, selama beberapa tahun ia menganut komunisme,
tetapi tak lama kemudian meninggalkannya karena
berkeyakinan bahwa para pengikutnya menerima
komunisme dengan tidak kritis. Sesudah perang dunia I, ia
masuk di Universitas Wina dan pada tahun 1928 ia meraih
doktor filsafat
dengan disertasi Methodenfrage der
Denkpsychologie (Masalah metode dalam psikologi
pemikiran). . Meski hidup di Wina, namun ia tidak
menjadi anggota Lingkaran Wina --yang corak pemikiran
filosofinya sedemikian positivistik—Popper bahkan
menjadi kritikus madhab Wina tersebut. Namun demikian,
ia mengenal akrab bahkan menjalin kontak khusus
dengan kebanyakan anggotanya, seperti Viktor Kraft dan
Herbert Feigl. Karya-karya intelektual Popper dalam
bidang filsafat antara lain (1) The Logic of Scientific
Discovery, (2) The Poverty of Historicism, (3) The Open Society
and Its Enemies. (4) Realism and The Aim of Science, (5)
Quantum Theory and The Schism of Physics, (6) The Open
11
KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006
895
Pendekatan Kritis dalam Islamic Studies
Edi Susanto
hipotesis, demarkasi dan falsifikasi serta
obyektivisme.14 dapat ditransplantasi dalam
rangka mendinamisasi pemikiran dan
keilmuan Islam.
Untuk seorang teoritisi dan filosof,
logika berpikir induktif selalu menjadi
problem. Letak problemnya adalah karena
beberapa kasus partikular dipakai sebagai
titik tolak dalam menciptakan hukum (teori)
umum dan mutlak perlu (necessary and
sufficient
cause).
Popper
mengkritisi
15
perspektif tersebut. Baginya, suatu teori
tidak dapat bersifat ilmiah hanya karena
dapat dibuktikan kebenarannya, melainkan
karena dapat diuji dengan eksperimentasi
sistematis untuk menyangkalnya. Jika suatu
teori atau hipotesa16 dapat bertahan
Universe: an Argument for Indeterminism, (7) Conjectures and
Refutations: The Growth of Scientific Knowledge. Sebagai
seorang filosof, ia telah memberi kuliah di berbagai negara,
dan pemikirannya sedemikian diakui. Ia meninggal pada
17 September 1994 di Croydon, London Selatan dalam usia
92 tahun akibat komplikasi penyakit kanker. Hampir
keseluruhan karya tulisnya mengkaji tentang filsafat ilmu
pengetahuan, logika ilmu pengetahuan dan keterkaitan
antara ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Tentang riwayat
hidup Popper periksa K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer
Inggris Jerman. (Jakarta: Gramedia, 2002), 71-77;
C.
Verhaak dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu pengetahuan.
(Jakarta: Gramedia, 1991), 157-158; Muhammad Muslih,
Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan
Kerangka teori Ilmu Pengetahuan. (Yogyakarta: Belukar,
2004), hlm. 128-129.
14 Periksa Muslih, Filsafat Ilmu, 129-135;
Verhaak dan
Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, 158-162; Bertens, Filsafat
Barat, hlm. 77-83.
15 Ilmu pengetahuan tidak bekerja semata dengan logika
induksi, dimana logika ini [induksi] serlalu berupaya
membenarkan suatu teori dengan mengumpulkan faktafakta pendukung. Logika induksi akan menuntut ilmuwan
berfokus pada fakta-fakta pendukung dan mengabaikan
fakta anomali (fakta yang dapat membuktikan sebaliknya).
Satu teori yang mematok keberlakuan universal pada
dasarnya selalu dapat digugurkan oleh satu fakta anomali.
Karena itu, dari pada bersusah payah mengumpulkan
fakta yang membenarkan, ilmuwan lebih baik
menggunakan waktunya mencari fakta anomali. Periksa
Donny Gahral Adian, Menyoal Obyektivisme Ilmu
Pengetahuan: Dari David Hume
sampai Thomas Kuhn.
(Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 83.
16 Menurut Popper teori-teori ilmiah selalu dan hanyalah
bersifat hipotesis (dugaan sementara), tidak ada kebenaran
final. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh
896
melawan segala penyangkalan, maka
kebenaran hipotesa tersebut semakin
diperkokoh (corroboration). Makin besar
kemungkinan untuk menyangkal suatu
hipotesa dan jika hipotesa terus dapat
bertahan,
maka
semakin
kokoh
kebenarannya.
Namun, sekokoh apa pun kebenaran
ilmu pengetahuan –menurut Popper-- tidak
pernah bisa dipastikan secara logis bahwa
telah tercapai kebenaran hakiki, meskipun
semakin mendekati kepastian dengan
melewati pengguguran teori-teori yang
terbukti salah, yang dicapai adalah apa
yang ia sebut sebagai virisimilitude
(mendekati kebenaran).17
Dengan demikian, karena yang dicapai
adalah virisimilitude, maka kemajuan ilmu
pengetahuan bergerak secara evolusioner-dan bukan akumulasi18-- yakni dari
problem (P1) yang diikuti oleh suatu
artikulasi Teori Tentatif (TT) yang terbuka
bagi falsifikasi (EE=Error Elimination) dan
memunculkan problem baru (P2). Semakin
tahan teori tentatif terhadap dera eliminasi
kesalahan, maka semakin virisimilitude.
Tentang demarkasi (garis batas) yang ia
diajukan,
sesungguhnya
dimaksudkan
untuk mengkoreksi gagasan dasar Wina
teori yang lebih tepat. Karena itu, popper lebih suka
menggunakan
istilah
hipotesa
atas
dasar
kesementaraannya. Upaya ini ia sebut dengan the thesis of
refutability: suatu ungkapan atau hipotesa bersifat ilmiah
jika
secara prinsipil terdapat kemungkinan untuk
menyangkalnya (refutability). Dengan kata lain, perlu
adanya kemungkinan untuk dikritisi. Kritik diperlukan
untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan merupakan motif
utama bagi perkembangan ilmu pengatahuan. Tanpa kritik
tidak ada motif rasional untuk mengubah teori. Periksa
Karl R. Popper, Conjectures and Reputations: The Growth of
Scientific Knowledge. (London: Routledge and Kegan Paul,
1972), hlm. 215.
17 Ibid., hlm. 233. Lihat pula A.F. Chalmers, Apa itu Yang
Dinamakan Ilmu. Ter. Redaksi Hasta Mitra (Jakarta: Hasta
Mitra, 1983), hlm. 175. Istilah ini, ia gunakan untuk
menggantikan istilah corespondence (kebenaran akurat).
18 Akumulasi dimaksud adalah pengumpulan bukti-bukti
positif (bukti pendukung suatu teori). Prinsip akumulasi
ini merupakan perspektif kalangan neo-positivisme.
KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006
Pendekatan Kritis dalam Islamic Studies
Edi Susanto
Circle
mengenai pembedaan antara
ungkapan bermakna (meaningfull) dan
ungkapan tidak bermakna (meaningless)
berdasarkan
kriteria dapat atau tidak
dapatnya dibenarkan secara empiris
(verifikasi).
Prinsip
verifikasi—yang
merupakan ideologi positivisme logis Wina
Circle-- menyatakan bahwa suatu proposisi
adalah bermakna jika ia dapat diuji dengan
pengalaman dan dapat diverifikasi dengan
pengamatan. Dengan demikian, ungkapanungkapan yang melampaui pengalaman
seperti tentang teologi dan metafisika—
karena tidak dapat diverifikasi secara
empiris—tidak bermakna, dan karena itu
harus ditolak.
Oleh
Popper,
prinsip
tersebut
ditolak19, untuk kemudian dia ganti dengan
prinsip demarkasi (garis batas) antara
ungkapan ilmiah dengan ungkapan tidak
ilmiah.
Baginya,
suatu
ungkapan
berkategori ilmiah manakala tersedia
kemungkinan dinyatakan salah. Inilah yang
ia sebut dengan prinsip Falsifikasi (the
principle of falsifiability), sehingga setiap
teori yang secara prinsip mengeksklusifkan
setiap kemungkinan untuk mengemukakan
suatu fakta yang menyatakan salahnya
teori itu, pasti tidak ilmiah.20
Dengan demikian, aktivitas keilmuan
hanya bersifat mengurangi kesalahan
Alasan penolakan Karl Popper terhadap verifikasi
adalah (1) prinsip verifikasi tidak pernah mungkin
digunakan untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum
umum. Hukum-hukum umum dalam ilmu pengetahuan
tidak pernah dapat diverifikasi. (2) berdasarkan prinsip
verifikasi, metafisika –disebut—tidak bermakna, tetapi
dalam sejarah dapat disaksikan bahwa acap kali ilmu
pengetahuan lahir dari pandangan-pandangan metafisis
atau bahkan mistis tentang dunia. Suatu ungkapan metafisis
bukan saja dapat bermakna tetapi bisa juga benar, biarpun
baru menjadi ilmiah jika sudah diuji dan dites. (3) untuk
menyelidiki bermakna tidaknya suatu ungkapan atau
teori, lebih dulu harus dapat dimengerti, dan untuk dapat
dimengerti, mesti bermakna. Periksa Muslih, Filsafat Ilmu,
hlm. 132-133.
20 Periksa Chalmers, Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu, 39;
Bertens, Filsafat Barat, hlm. 81.
19
sampai
sejauh
mungkin
mendekati
kebenaran obyektif, sehingga—atas dasar
itu—pengembangan
ilmu
dilakukan
dengan cara merontokkan teori [hipotesa]
karena terbukti salah untuk memperoleh
teori baru.
Dengan
penegasannya
tentang
virisimilitude, tidak berarti Popper tidak
mengakui
obyektivisme.
Baginya,
obyektivisme tetap ada, tetapi tidak dalam
pengertian
obyektivisme
sebagaimana
dipahami oleh kaum positivisme, yang
memandangnya sebagai yang permanen
dan stabil. Popper menolak obyektivisme
dalam
perspektif
demikian.
Dengan
lantang,
dia menegaskan bahwa “The
demand for scientific objectivity makes it
inevitable that every scientific statement must
remain tentative for ever” (tuntutan bagi
obyektivitas ilmiah mengakibatkan setiap
pernyataan ilmiah harus tetap tentatif untuk
selamanya”)21.
Lantas
bagaimanakah
perspektif
Popper tentang obyektivisme ? Dalam
ikhtiar memahaminya, konsep Popper
tentang “tiga dunia” perlu dijelaskan
terlebih dahulu. Dalam konteks ini, dia
mengemukakan tentang adanya tiga dunia.
Dunia 1 (world I) adalah dunia pemikiran
subyektif, dunia gagasan. Dunia 2 (World II)
adalah dunia obyek-obyek fisik dan dunia 3
(World III) adalah dunia produk-produk
kultural
yang berupa teori dan karya
ilmiah.
Dalam pandangan Popper, positivisme
hanya berfokus pada dunia 2, yang berupa
semesta obyektif faktual yang hanya
diperoleh dengan memangkas unsur-unsur
subyektif berupa intuisi, dogma dan
imajinasi. Popper menolak obyektivisme
demikian, dengan mengajukan satu dunia
lain yakni dunia produk-produk kultural
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery. (London
and New York: Routledge, 1992),.hlm. 280.
21
KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006
897
Pendekatan Kritis dalam Islamic Studies
Edi Susanto
(dunia 3) yang berupa teori, buku, hasil
proses interaksi antara dunia 1 dengan
dunia 2. Bagitu teori dihasilkan, maka ia
masih ke dalam dunia 3 yang terlepas
(autonomous) dari kendali subyek peneliti.22
Atas dasar itu, obyektivisme Popper
adalah obyektivisme dunia 3 yang sifatnya
tentatif (sementara), dimana teori-teori yang
dihasilkan terbuka bagi kritik yang berupa
intuisi kreatif dari dunia 1 untuk kemudian
diperiksa kebenarannya melalui observasi
di dunia 2. Dengan kata lain, obyektivisme
perspektif Popper adalah obyektivisme
dunia 3 yang terus menerus—secara
kontinyu—didera kritik demi kemajuan
ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, kritik dalam
pengembangan
ilmu
pengetahuan
sedemikian sentral dalam pemikiran
Popper.
Kritik
sangat
mewarnai
keseluruhan tahapan yang harus ditempuh
dalam
memformulasikan
ilmu.
Pengembangan ilmu –dalam perspektif
Popper-- mesti melalui pengkajian kritis,
argumentasi kritis, pendekatan kritis dan
tradisi kritis23 sehingga tidak satu pun
tahapan tersisa yang lepas dari kritik.
Popper menekankan hal ini dengan
metafora yang sangat menarik: The
empirical basis of objective science has thus
nothing “absolute” about it. Science does
notrest upon solid bedrock. The bold
structure of its theories, as it were, above a
swamp. It is like a building erected on
piles. The piles are driven down from above
into the swamp, but not down to any
natural or “given” base; and if we stop
driving the piles deeper, it is not because
we have reached firm ground. We simply
stop when we are satisfied that the piles are
firm enaough to carry a structure, at least for the
Verhaak, Filsafat Ilmu, 162; lihat juga Gahral Adian,
Menyoal Obyektivisme, hlm. 84-85.
23 Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut
Karl R. Popper. (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 85.
22
898
time being 24 Dasar empiris ilmu yang
obyektif –dengan demikian—tidak ada
yang absolut. Ilmu tidak terletak di atas satu
batu besar yang kokoh. Struktur teorinya
berdiri seakan-akan di atas rawa. Bagaikan
rumah yang dibangun di atas tiang-tiang.
Tiang-tiang itu dipancangkan ke dalam
rawa, tetapi tidak sampai pada suatu dasar
yang wajar dan jika kita berhenti
memancangkan tiang-tiang itu lebih dalam,
maka itu bukan karena kita telah mencapai
dasar rawa yang kokoh. Kita berhenti hanya
karena merasa puas bahwa tiang-tiang itu telah
cukup kuat untuk menahan bangunan itu,
sekurang-kurangnya untuk sementara waktu.
Mempertimbangkan “Ijtihad” Karl
Popper: Upaya Dinamisasi Kajian
Keislaman
Bertitik tolak pada deskripsi pemikiran
Popper serta realitas dinamika keilmuan
Islam
yang
stagnant,
dengan
mendominasinya
model
pemikiran
absolutely
absolute
sehingga
menumbuhsuburkan taqdîs al-afkâr al-dînîyah
dalam epistemologi keilmuan Islam, maka
dalam rangka menghidupkan kembali
dinamika epistemologi keilmuan tersebut,
ikhtiar transplantasi paradigma Popperian,
pada hemat penulis merupakan suatu
kemestian.
Dengan
semangat
penolakannya
terhadap penyimpulan secara induktif dan
kelebihsukaannya dalam menggunakan
istilah hipotesa dari pada teori, sampai batas
tertentu,
Popper telah memberikan
stimulasi agar para ilmuwan lebih aktif dan
kreatif
dalam
mengadakan studi
(penelitian) sekaligus mendorong para
ilmuwan untuk bersikap kritis, meskipun
terhadap hasil dan risetnya sendiri,
mengingat apa yang dihasilkannya, adalah
sesuatu yang bersifat sementara (tentative),
24
Popper, The Logic, hlm. 111.
KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006
Pendekatan Kritis dalam Islamic Studies
Edi Susanto
dan atas dasar kesementaraannya itu, ia
akan
terus
–tanpa
henti—berusaha
mengadakan studi lanjut, sehingga hasilnya
akan lebih mantap, dalam arti virisimilitude.
Dalam konteks ini, sudah waktunya
dalam tradisi Islamic studies untuk
dikembangkan etos akademik yang –
dengan
gigih
dan
mendasar—
memperjuangkan
bahwa
secara
epistemologis hasil pemikiran Islam -seberapa pun ia diderivasi dari otoritas
wahyu sekalipun— mesti bersifat tentative,
sehingga seluruh teori, formula-formula,
prinsip-prinsip, kerangka kerja ataupun
konsep-konsep dalam wacana ilmu-ilmu
keislaman
bersifat
terbuka
untuk
dipertanyakan, dikritisi, diteliti dan diuji
ulang, yang berakibat pada menguatnya
tradisi context of discovery dan menekan
hingga ambang batas minimal context of
justification dalam ilmu-ilmu keislaman.
Dengan mentranplantasi semangat Karl
Popper, diharapkan ilmuwan Muslim tidak
lagi merasa ewuh pakewuh,
merasa
terhalang, bahkan terintimidasi dengan
problem
reduksionisme
dan non
25
reduksionisme dalam mengkritisi bahkan
mendekonstruksi struktur epistemologi
ilmu-ilmu keislaman, yang sudah terlanjur
dianggap final dan disakralkan, sebab
semua itu merupakan produk determinasi
kemanusiaan, kemasyarakatan dan kultural.
Kemudian melalui prinsip demarkasi
yang kembangkannya, Popper berusaha
menegaskan
bahwa
cara
mencapai
kebenaran (termasuk kebenaran ilmiah)
bukan hanya melalui mekanisme tunggal,
sebagaimana dipegang kalangan positivis
yang menganggap prinsip verifikasi sebagai
satu-satunya kriteria. Popper meyakini
kilatan intuisi dan refleksi religius (mistis)
acap kali dapat melahirkan pengetahuan,
25
Abdullah, Islamic Studies, hlm. 61.
meskipun untuk menjadi ilmiah, syaratnya
mesti telah diuji.
Untuk menguji kebenaran ilmiah
tersebut, dalam perspektif Popper tidak
dilakukan dengan mencari bukti yang
menguatkan, melainkan dengan ikhtiar
falsifikasi yakni mencari fakta penyangkal.
Ini
berarti
bahwa dia
sedemikian
bersemangat dalam upaya mengembangkan
deduksi-deduksi, sehingga aktivitas ilmiah
menjadi lebih variatif, dinamis,
kritis,
kreatif dan sekaligus terbuka.
Dalam
rangka melakukan falsifikasi itu, dapat
ditranplantasi
beragam
pendekatan
keilmuan tanpa kecuali.
Dalam konteks Islamic studies, seiring
dengan terwujudnya etos tradisi context of
discovery, dengan semangat demarkasi ala
Popperian
diharapkan
terjadinya
transplantasi teori-teori dan metodologi
ilmiah sehingga terjadi shifting paradigm
(pergeseran gugus pemikiran keilmuan)
yang mengantarkan Islamic studies pada
format yang terbuka dan dinamis26
Demikian pula hipotesis Popper
tentang “dunia tiga”27 yakni produk-produk
kultural seperti teori dan karya ilmiah,
dengan sifatnya—yang secara permanen,
Dengan terjadinya shifting paradigm dalam Islamic studies
–sehingga menjadi terbuka untuk dikritisi, dikoreksi dan
didekonstruksi—sebenarnya
tidaklah
terlalu
perlu
dikhawatirkan akan merusak rancang bangun ilmu-ilmu
keislaman dengan sebab inti Islamic studies tersebut tetap
berporos pada tawhid dan moralitas al-Qur’an. Pada sisi
lain, jika rancang bangun keilmuan Islam tersebut
diperlakukan seperti menara gading, disakralkan sehingga
sepi dari kritik, maka ia tidak lagi dapat disebut sebagai
Islamic studies, tetapi Islamic dogma atau Islamic Doctrine,
Periksa Abdullah, Studi Agama, hlm. 102-103.
27 Jika ditranplantasi dalam Religious Studies,
dengan
meminjam kerangka yang dipetakan oleh Amin Abdullah,
Dunia 1, adalah Religiousity, dengan sifat transendental,
transhistoris dan universal; Dunia 2 adalah Religion(s),
yang sifatnya historis; dan dunia 3, being Religious, pola
dan model manusia dalam beragama. Dalam konteks
Islamic Studies, dunia 1, adalah Allah dan firman-Nya yang
bi la shawtin wa la harf, dunia 2 adalah al-Qur’an dan
Sunnah, dan dunia 3 adalah respon umat Islam terhadap
al-Qur’an dan Sunnah.
26
KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006
899
Pendekatan Kritis dalam Islamic Studies
Edi Susanto
mesti—mendekati
kebenaran sehingga
bersifat tentatif, amat sangat membantu
dalam rangka dinamika dan enrichment pola
pendekatan dan metodologi Islamic Studies.
Meski tidak dapat dinyatakan bahwa
dinamika Islamic Studies yang belakangan
ini semakin intens dilakukan para ilmuwan
Muslim kritis –semisal Arkoun, al Jabiri dan
Hassan
Hanafi—sehingga
bandul
paradigma Islamic Studies telah bergeser
dari paradigma metodologi studi Islam dari
studi yang terlepas dari konteks ke arah
studi yang terkait dengan konteks28,
sebagai
implikasi
dikenal
dan
diaplikasikannya frame filsafat ilmu model
Popperian, akan tetapi sampai batas
tertentu, dia telah ikut meretas jalan bagi
dinamika kemajuan ilmu pengetahuan
termasuk Islamic studies.
kita mengikuti secara total ijtihadnya, akan
tetapi setidaknya melalui karakteristik
pemikirannya yang sangat menekankan
kesementaraan, kesediaan untuk terus
menerus diperbaiki serta pengarahan yang
tetap terbuka31, dia telah mengajarkan
model kritik yang jernih, rasional, menukik
dan independen, sesuatu yang sangat eman
dan terlalu berharga jika diabaikan. Wa Allâh
a’lam bi al-shawâb

Penutup
Terlepas dari segala kelebihan dan
kekurangannya29, metode
kritik yang
ditawarkan Popper dapat ditransplantasi
dalam Islamic studies.30 Hal ini tidak berarti
M. Amin Abdullah, menguraikan tiga model peralihan
bandul Islamic Studies dari yang berbasis terlepas konteks
menuju yang terkait dengan konteks, yakni (1) paradigma
filologis orientalistik, (2) paradigma fungsionalis modernisme
dan (3) paradigma hermeneutik interpretative. Periksa Ibid.,
hlm. 348-360.
29 Tentang berbagai kekurangan pemikiran Popper –seperti
keterbatasan pola falsifikasinya, periksa Chalmers, Apa Itu
Yang Dinamakan Ilmu, hlm. 63-70. Pada sisi lain, pemikiran
Popper tentang evolusi ilmu pengetahuan telah dikritisi
oleh Thomas Kuhn, yang intinya adalah bahwa apa yang
dilakukan oleh Popper itu terlalu radikal, setiap teori yang
terbukti salah ditolak dan karena itu akan sangat banyak
teori-teori berharga yang menjadi gugur. Dalam
pandangan Kuhn, yang diperlukan adalah bukan
penolakan tetapi lebih kepada pergeseran atau
perpindahan paradigma (shifting paradigm). Periksa Gahral
Adian, Menyoal Objektivisme, 85-91. Pada sisi lain, teori
falsifikasi Popper kemudian disempurnakan oleh Emre
Lakatos, melalui The principle of a series theory (prinsip
“serangkaian teori”) yang diajukannya. Periksa Muslih,
Filsafat Ilmu, hlm. 149-150.
30
Meskipun tidak sepenuhnya identik, barangkali
penggunaan kriteria sahih, da’if, mawdu’ dan berbagai
kategori lainnya dalam ilmu hadith sebagaimana telah
28
900
diterapkan selama ini, dapat “disejajarkan” dengan pola
falsifikasi yang ditawarkan Popper. Seorang sanad yang
terbukti bohong dan kurang dabit (kurang kuat
hafalannya), maka hadith yang diriwayatkannya tidak
bernilai sahih, bahkan berkategori mursal, da’if dan kriteria
negatif lainnya. Kiranya, apa yang ditawarkan Popper
dapat dikembangkan pada matan hadith, dengan berbagai
kriteria falsifikasi seperti pertimbangan rasionalitas,
otentisitas dan lainnya. Demikian pula dalam disiplin ilmu
lainnya, seperti disiplin ilmu fiqh, ushul fiqh dan ilmu
kalam kiranya dengan penerapan prinsip falsifikasi Karl
Popper --meski tidak sepenuhnya— sampai batas tertentu
akan dapat mengantarkan dinamika dan revolusi besar
dalam paradigma Islamic Studies.
31 Martin Suhartono, “Karl R. Popper: Belajar dari
Kesalahan”, dalam Manusia Multi Dimensional, Sebuah
Renungan Filsafat. M. Sastrapratedja, ed. (Jakarta:
Gramedia, 1982), hlm. 85.
KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006