Survey
* Your assessment is very important for improving the workof artificial intelligence, which forms the content of this project
* Your assessment is very important for improving the workof artificial intelligence, which forms the content of this project
PENDEKATAN KRITIS DALAM ISLAMIC STUDIES (Mempertimbangkan Falsifikasi Karl R. Popper) Oleh Edi Susanto (Dosen tetap pada Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan dan Peserta Program Doktor Studi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya) Abstrak: : Tulisan ini berusaha menunjukkan tendensi dan realitas Islamic Studies di Perguruan Tinggi Agama Islam yang lebih mengedepankan visi absolutely absolute sehingga mengakibatkan pemikiran keislaman lebih berorientasi pada context of justification dari pada context of discovery yang mengantarkan pada pusaran stagnasi. Dengan mengedepankan paradigma Popperian yang menganggap hasil pemikiran, termasuk pemikiran keislaman, sebagai absolutely relative dan tentative diharapkan context of discovery dalam pemikiran Islam lebih intens. Kata kunc : Islamic Studies, falsifikasi, absolutely absolute, absolutely relative, context of justification, context of discovery, Pendahuluan Ditengarai, meski masih bersifat hipotetis, bahwa belum ada –hingga saat ini—satu pun dari generasi pemikir-pemikir Islam yang mencoba menjelaskan relevansi penerapan teori-teori dari metodologi ilmiah--sebagai intisari filsafat ilmu—pada wacana ilmu-ilmu keislaman dalam rangka mengkritisi seluruh bangunan ilmu-ilmu keislaman dan pemikiran Islam yang sedemikian luas.1 Hal itu terjadi, antara lain karena kuatnya dominasi, meminjam bahasa M. Arkoun, al-taqdîs al-afkâr aldînîyah (pensakralan pemikiran M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 37. 1 keagamaan),2 sehingga berakibat pada sulitnya menarik garis demarkasi antara wilayah sakral-normatif dengan wilayah profan-historis3. Kondisi demikian, sampai batas tertentu, mematikan dinamika kreativitas pemikiran keislaman, sehingga berakibat pada munculnya--sebagaimana disinyalemenkan Fazlur Rahman—sarjana-sarjana M. Amin Abdullah, “Arkoun dan Kritik Nalar Islam”, dalam Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan pemikiran Mohammed Arkoun. Johan Hendrik Meuleman, Peny. (Yogyakarta: LKiS, 1996), hlm. 7. 3 Dengan kerangka tersebut, pada akhirnya terwujud suatu ideologi bahwa pemikiran keagamaan seorang Muslim menjadi taken for granted, ghair qabilin li al-Niqas dan immune untuk dikaji dalam perspektif kritis historis ilmiah. Periksa M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 108. 2 Pendekatan Kritis dalam Islamic Studies Edi Susanto dengan tipe khusus, yakni sangat bersifat ensiklopedik dalam cakupan lapangan pengetahuan yang dipelajari, tetapi mereka sendiri tidak pernah menyumbangkan ide baru (the Muslim world witnessed the rise of type of scholar who thruly encyclopedic in the scope of his learning but had little new to say anything).4 Akibat selanjutnya, pemikiranpemikiran kreatif dan original –sekaligus berani melawan arus hegemonik5--, menjadi sesuatu yang langka. Kondisi demikian, jelas sangat berbahaya bagi dinamika pemikiran dan peradaban [Islam]. Perspektif Epistemologis terhadap Pemikiran keislaman Secara kategorikal, paling tidak, terdapat tiga perspektif terhadap pemikiran Islam.6 Pertama, pola pemikiran yang bersifat Absolutely absolute. Pola ini memandang ajaran agama seluruhnya bersifat tawqifi, unsur wahyu lebih ditekankan dari pada rasionalitas, sehingga ilmu-ilmu keislaman—dianggap—tidak mungkin salah, karena disandarkan pada wahyu. Sedangkan pengetahuan yang berasaskan rasionalitas seringkali diidentifikasi sebagai Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition. (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1982), 38. Sarjana-sarjana dengan tipe khusus ini oleh Rahman diidentifikasi sebagai sarjana komentator (scholar cum commentator) dan karya yang dihasilkannya bersifat Commentary (sharh) atau Commentary on Commentary (hashiyah). 5 Hegemonisasi suatu pemikiran, apa lagi dalam pemikiran keagamaan --sampai batas tertentu— sesungguhnya sedemikian berbahaya karena akan mengantarkan pada interpretive despotism (kesewenangwenangan penafsiran) atau otoritarianism, yang menutup rapat-rapat atau membatasi keinginan Tuhan (the will of the Divine) sehingga suatu ijtihad –yang semestinya sangat terbuka untuk dikaji ulang—diperlakukan sebagai sesuatu yang sudah final. Lebih lanjut periksa M. Amin Abdullah, “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-Fatwa Keagamaan: Proses Negosiasi Komunitas Pencari Makna Teks, Pengarang dan Pembaca”, dalam Khalid M. Abou Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Ter. R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi, 2004), hlm. xiii. 6 Diadaptasi dari Abdullah, Islamic Studies, hlm. 82-90. 4 894 bid’ah. Implikasi aktualnya akan mewujudkan sikap rigid, tidak luwes serta tidak mengenal kompromi sekaligus fanatik dan memiliki pola pikir yang bertendensi menyerang orang lain yang tidak seide (al‘uqûl al-mutanâfisah). Pendukung pemikiran ini menolak penggunaan perspektif sosial dan budaya dalam memahami agama. Sampai batas tertentu, perspektif semacam ini [absolutely absolut] mungkin sangat baik untuk diaplikasikan pada masyarakat yang homogen, akan tetapi jika diterapkan dalam masyarakat yang plural, perspektif ini akan mengalami benturan-benturan. Kedua, pola pemikiran yang bersifat absolutely relative. Pola ini merupakan oposisi biner dari pandangan pertama, yang memandang tata nilai dan religiousitas-tidak lebih—sebagai fenomena sosial dan budaya biasa sehingga pahamnya sedemikian sekuler. Implikasinya, dalam memeluk agama pendukung pola pemikiran ini tidaklah serius, reduksionistik, hampa inner life dan spiritualitas. Bahkan, hingga batas tertentu, mereka--yang umumnya ilmuwan sosial positivistik7--beranggapan bahwa agama sesungguhnya merupakan sumber konflik. Ketiga, pola pemikiran yang bersifat relatively absolute, yang mamahami bahwa memang terdapat wilayah absolutely sacred Positivisme menganggap pengetahuan mengenai fakta obyektif sebagai pengetahuan yang sahih, sehingga – dengan demikian—menegasikan pengetahuan yang melampaui fakta inderawi. Positivisme ini berpengaruh kuat pada perkembangan ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan alam. Paham ini sedemikian kokoh terutama dengan eksisnya lingkaran Wina (Wina Circle). Pendirian aliran ini adalah (a) menolak perbedaan ilmuilmu alam dan ilmu-ilmu sosial; (b) menganggap pernyataan-pernyataan yang tidak dapat diverifikasi secara empiris, seperti etika, estetika, agama, metafisika, sebagai nonsense. (c) berusaha menyatukan semua ilmu pengetahuan dalam satu bahasa ilmiah yang universal, dan (d) memandang tugas filsafat sebagai analisis atas kata-kata atau pernyataan. Periksa F. Budi Hardiman, “Positivisme dan Hermeneutik: Suatu Usaha Untuk Menyelamatkan Subyek”, dalam Basis, Maret 1991. 7 KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006 Pendekatan Kritis dalam Islamic Studies Edi Susanto normative dalam kehidupan keagamaan, sekaligus--pada saat yang sama--terdapat pula hal yang bersifat relatively profane historis8. Pola pemikiran ini memandang bahwa pada kawasan terakhir tersebut – relatifely profane historis— dapat saja salah (falsifiable)9 sehingga sangat memungkinkan, bahkan mesti untuk diadakan dekonstruksirekonstruksi, melalui ikhtiar mentranplantasi dan menggunakan teoriteori dan metodologi-metodologi yang berasal dari bidang ilmu di luar kalangannya sendiri10. Hal tersebut diperlukan mengingat wacana keilmuan [Islam] sedari mula dirintis dan diformulasikan oleh manusia yang hidup pada masa tertentu, dipengaruhi oleh masalah dan tantangan riil bagi konteks waktunya saat itu. Dari ketiga “madhab” pemikiran ini, pola pertamalah,--paling tidak dalam perspektif Fazlur Rahman--yang masih mendominasi, terbukti bahwa kegiatan keilmuan dan akademik semacam ini [maksudnya mentransplantasi teori dan metodologi keilmuan mutakhir, pen] sangat jarang ditemukan dalam praktik nyata Komponen relatively profane historis ini terdiri dari seluruh komponen ilmu-ilmu keislaman, seperti kalam, tafsir, hadith, fiqh, filsafat, tasawuf dan akhlak. Periksa Abdullah, Islamic Studies, hlm. 53 dan 238 Dalam perspektif madhab relatively absolute ini, konstruksi dan produk keilmuan pada ilmu-ilmu keislaman tidak immune, karena merupakan respon kontekstual pada masanya, sehingga masukan, koreksi dan penggunaan metodologi keilmuan -yang selama ini dipandang asing dan bid’ah-- bagi studi keislaman [terutama bagi pendukung madhab absolutely absolute] merupakan suatu keniscayaan. 9 Farid Esack, Qur’an Liberation: an Islamic Perspective on Interreligious Solidarity Against Oppression. (Oxford: Oneword Publications, 1997), hlm. 49-81. 10 Dalam hal ini, apa yang dilakukan oleh Muhammed Arkoun, dapat dijadikan contoh. Ia menerapkan metodemetode multidisipliner yang paling mutakhir dalam mengkaji sejarah dan kebudayaan Arab-Islam seperti ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, linguistik dan semiotika. Periksa Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi: Gelegar Pemikiran Arab Islam. Ter. Imam Khoiri (Yogyakarta: LkiS, 2001), hlm. 112. 8 kegiatan keilmuan Islam. Studi keislaman, yang sebagian besar merupakan hasil karya imajinasi dan hasil konstruksi manusia, di kemudian hari menjadi bersifat dogmatik karena telah lama menjadi rutinitas, diulang-ulang dan disakralkan11. Kondisi ini mengakibatkan dinamika pemikiran Islam menjadi stagnan12. Dalam rangka mencairkan stagnasi tersebut, diskusi tentang urgensi transplantasi filsafat Ilmu mutakhir dalam kajian keislaman merupakan suatu kemestian. Gagasan Karl R. Popper: Deskripsi Ringkas Dalam konteks tersebut, gagasan Karl R. Popper13 seperti tentang induksi dan Lebih lanjut Arkoun menegaskan bahwa hampir seluruh bangunan keilmuan agama Islam –baik yang menyangkut materi maupun metodologi yang diajarkan di berbagai forum pendidikan agama Islam masih mencerminkan episteme klasik skolastik lantaran semuanya hampir-hampir disusun pada era pra-scientific. Periksa Mohammed Arkoun, “The Concept of Authority in Islamic Thought: La Hukma Illa Lillah”, dalam Islam, State and Society. K. Ferdinand and M. Mozaffer. Ed. (London: Curzon Press, 1988), hlm. 64-65. Akibatnya, sebagaimana disinyalemenkan Muhammad Iqbal dalam bahasan dan catatan kaki di bawah. 12 Stagnasi pemikiran tersebut menurut Muhammad Iqbal berlangsung hampir 500 tahun. Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam. Ter. Osman Ralibi. (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm. 204. 13 Karl Raymund Popper lahir di Wina, Austria tahun 1902 dari seorang Yahudi penganut protestan. Ketika berusia 17 tahun, selama beberapa tahun ia menganut komunisme, tetapi tak lama kemudian meninggalkannya karena berkeyakinan bahwa para pengikutnya menerima komunisme dengan tidak kritis. Sesudah perang dunia I, ia masuk di Universitas Wina dan pada tahun 1928 ia meraih doktor filsafat dengan disertasi Methodenfrage der Denkpsychologie (Masalah metode dalam psikologi pemikiran). . Meski hidup di Wina, namun ia tidak menjadi anggota Lingkaran Wina --yang corak pemikiran filosofinya sedemikian positivistik—Popper bahkan menjadi kritikus madhab Wina tersebut. Namun demikian, ia mengenal akrab bahkan menjalin kontak khusus dengan kebanyakan anggotanya, seperti Viktor Kraft dan Herbert Feigl. Karya-karya intelektual Popper dalam bidang filsafat antara lain (1) The Logic of Scientific Discovery, (2) The Poverty of Historicism, (3) The Open Society and Its Enemies. (4) Realism and The Aim of Science, (5) Quantum Theory and The Schism of Physics, (6) The Open 11 KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006 895 Pendekatan Kritis dalam Islamic Studies Edi Susanto hipotesis, demarkasi dan falsifikasi serta obyektivisme.14 dapat ditransplantasi dalam rangka mendinamisasi pemikiran dan keilmuan Islam. Untuk seorang teoritisi dan filosof, logika berpikir induktif selalu menjadi problem. Letak problemnya adalah karena beberapa kasus partikular dipakai sebagai titik tolak dalam menciptakan hukum (teori) umum dan mutlak perlu (necessary and sufficient cause). Popper mengkritisi 15 perspektif tersebut. Baginya, suatu teori tidak dapat bersifat ilmiah hanya karena dapat dibuktikan kebenarannya, melainkan karena dapat diuji dengan eksperimentasi sistematis untuk menyangkalnya. Jika suatu teori atau hipotesa16 dapat bertahan Universe: an Argument for Indeterminism, (7) Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge. Sebagai seorang filosof, ia telah memberi kuliah di berbagai negara, dan pemikirannya sedemikian diakui. Ia meninggal pada 17 September 1994 di Croydon, London Selatan dalam usia 92 tahun akibat komplikasi penyakit kanker. Hampir keseluruhan karya tulisnya mengkaji tentang filsafat ilmu pengetahuan, logika ilmu pengetahuan dan keterkaitan antara ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Tentang riwayat hidup Popper periksa K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris Jerman. (Jakarta: Gramedia, 2002), 71-77; C. Verhaak dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu pengetahuan. (Jakarta: Gramedia, 1991), 157-158; Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka teori Ilmu Pengetahuan. (Yogyakarta: Belukar, 2004), hlm. 128-129. 14 Periksa Muslih, Filsafat Ilmu, 129-135; Verhaak dan Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, 158-162; Bertens, Filsafat Barat, hlm. 77-83. 15 Ilmu pengetahuan tidak bekerja semata dengan logika induksi, dimana logika ini [induksi] serlalu berupaya membenarkan suatu teori dengan mengumpulkan faktafakta pendukung. Logika induksi akan menuntut ilmuwan berfokus pada fakta-fakta pendukung dan mengabaikan fakta anomali (fakta yang dapat membuktikan sebaliknya). Satu teori yang mematok keberlakuan universal pada dasarnya selalu dapat digugurkan oleh satu fakta anomali. Karena itu, dari pada bersusah payah mengumpulkan fakta yang membenarkan, ilmuwan lebih baik menggunakan waktunya mencari fakta anomali. Periksa Donny Gahral Adian, Menyoal Obyektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume sampai Thomas Kuhn. (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 83. 16 Menurut Popper teori-teori ilmiah selalu dan hanyalah bersifat hipotesis (dugaan sementara), tidak ada kebenaran final. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh 896 melawan segala penyangkalan, maka kebenaran hipotesa tersebut semakin diperkokoh (corroboration). Makin besar kemungkinan untuk menyangkal suatu hipotesa dan jika hipotesa terus dapat bertahan, maka semakin kokoh kebenarannya. Namun, sekokoh apa pun kebenaran ilmu pengetahuan –menurut Popper-- tidak pernah bisa dipastikan secara logis bahwa telah tercapai kebenaran hakiki, meskipun semakin mendekati kepastian dengan melewati pengguguran teori-teori yang terbukti salah, yang dicapai adalah apa yang ia sebut sebagai virisimilitude (mendekati kebenaran).17 Dengan demikian, karena yang dicapai adalah virisimilitude, maka kemajuan ilmu pengetahuan bergerak secara evolusioner-dan bukan akumulasi18-- yakni dari problem (P1) yang diikuti oleh suatu artikulasi Teori Tentatif (TT) yang terbuka bagi falsifikasi (EE=Error Elimination) dan memunculkan problem baru (P2). Semakin tahan teori tentatif terhadap dera eliminasi kesalahan, maka semakin virisimilitude. Tentang demarkasi (garis batas) yang ia diajukan, sesungguhnya dimaksudkan untuk mengkoreksi gagasan dasar Wina teori yang lebih tepat. Karena itu, popper lebih suka menggunakan istilah hipotesa atas dasar kesementaraannya. Upaya ini ia sebut dengan the thesis of refutability: suatu ungkapan atau hipotesa bersifat ilmiah jika secara prinsipil terdapat kemungkinan untuk menyangkalnya (refutability). Dengan kata lain, perlu adanya kemungkinan untuk dikritisi. Kritik diperlukan untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan merupakan motif utama bagi perkembangan ilmu pengatahuan. Tanpa kritik tidak ada motif rasional untuk mengubah teori. Periksa Karl R. Popper, Conjectures and Reputations: The Growth of Scientific Knowledge. (London: Routledge and Kegan Paul, 1972), hlm. 215. 17 Ibid., hlm. 233. Lihat pula A.F. Chalmers, Apa itu Yang Dinamakan Ilmu. Ter. Redaksi Hasta Mitra (Jakarta: Hasta Mitra, 1983), hlm. 175. Istilah ini, ia gunakan untuk menggantikan istilah corespondence (kebenaran akurat). 18 Akumulasi dimaksud adalah pengumpulan bukti-bukti positif (bukti pendukung suatu teori). Prinsip akumulasi ini merupakan perspektif kalangan neo-positivisme. KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006 Pendekatan Kritis dalam Islamic Studies Edi Susanto Circle mengenai pembedaan antara ungkapan bermakna (meaningfull) dan ungkapan tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kriteria dapat atau tidak dapatnya dibenarkan secara empiris (verifikasi). Prinsip verifikasi—yang merupakan ideologi positivisme logis Wina Circle-- menyatakan bahwa suatu proposisi adalah bermakna jika ia dapat diuji dengan pengalaman dan dapat diverifikasi dengan pengamatan. Dengan demikian, ungkapanungkapan yang melampaui pengalaman seperti tentang teologi dan metafisika— karena tidak dapat diverifikasi secara empiris—tidak bermakna, dan karena itu harus ditolak. Oleh Popper, prinsip tersebut ditolak19, untuk kemudian dia ganti dengan prinsip demarkasi (garis batas) antara ungkapan ilmiah dengan ungkapan tidak ilmiah. Baginya, suatu ungkapan berkategori ilmiah manakala tersedia kemungkinan dinyatakan salah. Inilah yang ia sebut dengan prinsip Falsifikasi (the principle of falsifiability), sehingga setiap teori yang secara prinsip mengeksklusifkan setiap kemungkinan untuk mengemukakan suatu fakta yang menyatakan salahnya teori itu, pasti tidak ilmiah.20 Dengan demikian, aktivitas keilmuan hanya bersifat mengurangi kesalahan Alasan penolakan Karl Popper terhadap verifikasi adalah (1) prinsip verifikasi tidak pernah mungkin digunakan untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. Hukum-hukum umum dalam ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. (2) berdasarkan prinsip verifikasi, metafisika –disebut—tidak bermakna, tetapi dalam sejarah dapat disaksikan bahwa acap kali ilmu pengetahuan lahir dari pandangan-pandangan metafisis atau bahkan mistis tentang dunia. Suatu ungkapan metafisis bukan saja dapat bermakna tetapi bisa juga benar, biarpun baru menjadi ilmiah jika sudah diuji dan dites. (3) untuk menyelidiki bermakna tidaknya suatu ungkapan atau teori, lebih dulu harus dapat dimengerti, dan untuk dapat dimengerti, mesti bermakna. Periksa Muslih, Filsafat Ilmu, hlm. 132-133. 20 Periksa Chalmers, Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu, 39; Bertens, Filsafat Barat, hlm. 81. 19 sampai sejauh mungkin mendekati kebenaran obyektif, sehingga—atas dasar itu—pengembangan ilmu dilakukan dengan cara merontokkan teori [hipotesa] karena terbukti salah untuk memperoleh teori baru. Dengan penegasannya tentang virisimilitude, tidak berarti Popper tidak mengakui obyektivisme. Baginya, obyektivisme tetap ada, tetapi tidak dalam pengertian obyektivisme sebagaimana dipahami oleh kaum positivisme, yang memandangnya sebagai yang permanen dan stabil. Popper menolak obyektivisme dalam perspektif demikian. Dengan lantang, dia menegaskan bahwa “The demand for scientific objectivity makes it inevitable that every scientific statement must remain tentative for ever” (tuntutan bagi obyektivitas ilmiah mengakibatkan setiap pernyataan ilmiah harus tetap tentatif untuk selamanya”)21. Lantas bagaimanakah perspektif Popper tentang obyektivisme ? Dalam ikhtiar memahaminya, konsep Popper tentang “tiga dunia” perlu dijelaskan terlebih dahulu. Dalam konteks ini, dia mengemukakan tentang adanya tiga dunia. Dunia 1 (world I) adalah dunia pemikiran subyektif, dunia gagasan. Dunia 2 (World II) adalah dunia obyek-obyek fisik dan dunia 3 (World III) adalah dunia produk-produk kultural yang berupa teori dan karya ilmiah. Dalam pandangan Popper, positivisme hanya berfokus pada dunia 2, yang berupa semesta obyektif faktual yang hanya diperoleh dengan memangkas unsur-unsur subyektif berupa intuisi, dogma dan imajinasi. Popper menolak obyektivisme demikian, dengan mengajukan satu dunia lain yakni dunia produk-produk kultural Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery. (London and New York: Routledge, 1992),.hlm. 280. 21 KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006 897 Pendekatan Kritis dalam Islamic Studies Edi Susanto (dunia 3) yang berupa teori, buku, hasil proses interaksi antara dunia 1 dengan dunia 2. Bagitu teori dihasilkan, maka ia masih ke dalam dunia 3 yang terlepas (autonomous) dari kendali subyek peneliti.22 Atas dasar itu, obyektivisme Popper adalah obyektivisme dunia 3 yang sifatnya tentatif (sementara), dimana teori-teori yang dihasilkan terbuka bagi kritik yang berupa intuisi kreatif dari dunia 1 untuk kemudian diperiksa kebenarannya melalui observasi di dunia 2. Dengan kata lain, obyektivisme perspektif Popper adalah obyektivisme dunia 3 yang terus menerus—secara kontinyu—didera kritik demi kemajuan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kritik dalam pengembangan ilmu pengetahuan sedemikian sentral dalam pemikiran Popper. Kritik sangat mewarnai keseluruhan tahapan yang harus ditempuh dalam memformulasikan ilmu. Pengembangan ilmu –dalam perspektif Popper-- mesti melalui pengkajian kritis, argumentasi kritis, pendekatan kritis dan tradisi kritis23 sehingga tidak satu pun tahapan tersisa yang lepas dari kritik. Popper menekankan hal ini dengan metafora yang sangat menarik: The empirical basis of objective science has thus nothing “absolute” about it. Science does notrest upon solid bedrock. The bold structure of its theories, as it were, above a swamp. It is like a building erected on piles. The piles are driven down from above into the swamp, but not down to any natural or “given” base; and if we stop driving the piles deeper, it is not because we have reached firm ground. We simply stop when we are satisfied that the piles are firm enaough to carry a structure, at least for the Verhaak, Filsafat Ilmu, 162; lihat juga Gahral Adian, Menyoal Obyektivisme, hlm. 84-85. 23 Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R. Popper. (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 85. 22 898 time being 24 Dasar empiris ilmu yang obyektif –dengan demikian—tidak ada yang absolut. Ilmu tidak terletak di atas satu batu besar yang kokoh. Struktur teorinya berdiri seakan-akan di atas rawa. Bagaikan rumah yang dibangun di atas tiang-tiang. Tiang-tiang itu dipancangkan ke dalam rawa, tetapi tidak sampai pada suatu dasar yang wajar dan jika kita berhenti memancangkan tiang-tiang itu lebih dalam, maka itu bukan karena kita telah mencapai dasar rawa yang kokoh. Kita berhenti hanya karena merasa puas bahwa tiang-tiang itu telah cukup kuat untuk menahan bangunan itu, sekurang-kurangnya untuk sementara waktu. Mempertimbangkan “Ijtihad” Karl Popper: Upaya Dinamisasi Kajian Keislaman Bertitik tolak pada deskripsi pemikiran Popper serta realitas dinamika keilmuan Islam yang stagnant, dengan mendominasinya model pemikiran absolutely absolute sehingga menumbuhsuburkan taqdîs al-afkâr al-dînîyah dalam epistemologi keilmuan Islam, maka dalam rangka menghidupkan kembali dinamika epistemologi keilmuan tersebut, ikhtiar transplantasi paradigma Popperian, pada hemat penulis merupakan suatu kemestian. Dengan semangat penolakannya terhadap penyimpulan secara induktif dan kelebihsukaannya dalam menggunakan istilah hipotesa dari pada teori, sampai batas tertentu, Popper telah memberikan stimulasi agar para ilmuwan lebih aktif dan kreatif dalam mengadakan studi (penelitian) sekaligus mendorong para ilmuwan untuk bersikap kritis, meskipun terhadap hasil dan risetnya sendiri, mengingat apa yang dihasilkannya, adalah sesuatu yang bersifat sementara (tentative), 24 Popper, The Logic, hlm. 111. KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006 Pendekatan Kritis dalam Islamic Studies Edi Susanto dan atas dasar kesementaraannya itu, ia akan terus –tanpa henti—berusaha mengadakan studi lanjut, sehingga hasilnya akan lebih mantap, dalam arti virisimilitude. Dalam konteks ini, sudah waktunya dalam tradisi Islamic studies untuk dikembangkan etos akademik yang – dengan gigih dan mendasar— memperjuangkan bahwa secara epistemologis hasil pemikiran Islam -seberapa pun ia diderivasi dari otoritas wahyu sekalipun— mesti bersifat tentative, sehingga seluruh teori, formula-formula, prinsip-prinsip, kerangka kerja ataupun konsep-konsep dalam wacana ilmu-ilmu keislaman bersifat terbuka untuk dipertanyakan, dikritisi, diteliti dan diuji ulang, yang berakibat pada menguatnya tradisi context of discovery dan menekan hingga ambang batas minimal context of justification dalam ilmu-ilmu keislaman. Dengan mentranplantasi semangat Karl Popper, diharapkan ilmuwan Muslim tidak lagi merasa ewuh pakewuh, merasa terhalang, bahkan terintimidasi dengan problem reduksionisme dan non 25 reduksionisme dalam mengkritisi bahkan mendekonstruksi struktur epistemologi ilmu-ilmu keislaman, yang sudah terlanjur dianggap final dan disakralkan, sebab semua itu merupakan produk determinasi kemanusiaan, kemasyarakatan dan kultural. Kemudian melalui prinsip demarkasi yang kembangkannya, Popper berusaha menegaskan bahwa cara mencapai kebenaran (termasuk kebenaran ilmiah) bukan hanya melalui mekanisme tunggal, sebagaimana dipegang kalangan positivis yang menganggap prinsip verifikasi sebagai satu-satunya kriteria. Popper meyakini kilatan intuisi dan refleksi religius (mistis) acap kali dapat melahirkan pengetahuan, 25 Abdullah, Islamic Studies, hlm. 61. meskipun untuk menjadi ilmiah, syaratnya mesti telah diuji. Untuk menguji kebenaran ilmiah tersebut, dalam perspektif Popper tidak dilakukan dengan mencari bukti yang menguatkan, melainkan dengan ikhtiar falsifikasi yakni mencari fakta penyangkal. Ini berarti bahwa dia sedemikian bersemangat dalam upaya mengembangkan deduksi-deduksi, sehingga aktivitas ilmiah menjadi lebih variatif, dinamis, kritis, kreatif dan sekaligus terbuka. Dalam rangka melakukan falsifikasi itu, dapat ditranplantasi beragam pendekatan keilmuan tanpa kecuali. Dalam konteks Islamic studies, seiring dengan terwujudnya etos tradisi context of discovery, dengan semangat demarkasi ala Popperian diharapkan terjadinya transplantasi teori-teori dan metodologi ilmiah sehingga terjadi shifting paradigm (pergeseran gugus pemikiran keilmuan) yang mengantarkan Islamic studies pada format yang terbuka dan dinamis26 Demikian pula hipotesis Popper tentang “dunia tiga”27 yakni produk-produk kultural seperti teori dan karya ilmiah, dengan sifatnya—yang secara permanen, Dengan terjadinya shifting paradigm dalam Islamic studies –sehingga menjadi terbuka untuk dikritisi, dikoreksi dan didekonstruksi—sebenarnya tidaklah terlalu perlu dikhawatirkan akan merusak rancang bangun ilmu-ilmu keislaman dengan sebab inti Islamic studies tersebut tetap berporos pada tawhid dan moralitas al-Qur’an. Pada sisi lain, jika rancang bangun keilmuan Islam tersebut diperlakukan seperti menara gading, disakralkan sehingga sepi dari kritik, maka ia tidak lagi dapat disebut sebagai Islamic studies, tetapi Islamic dogma atau Islamic Doctrine, Periksa Abdullah, Studi Agama, hlm. 102-103. 27 Jika ditranplantasi dalam Religious Studies, dengan meminjam kerangka yang dipetakan oleh Amin Abdullah, Dunia 1, adalah Religiousity, dengan sifat transendental, transhistoris dan universal; Dunia 2 adalah Religion(s), yang sifatnya historis; dan dunia 3, being Religious, pola dan model manusia dalam beragama. Dalam konteks Islamic Studies, dunia 1, adalah Allah dan firman-Nya yang bi la shawtin wa la harf, dunia 2 adalah al-Qur’an dan Sunnah, dan dunia 3 adalah respon umat Islam terhadap al-Qur’an dan Sunnah. 26 KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006 899 Pendekatan Kritis dalam Islamic Studies Edi Susanto mesti—mendekati kebenaran sehingga bersifat tentatif, amat sangat membantu dalam rangka dinamika dan enrichment pola pendekatan dan metodologi Islamic Studies. Meski tidak dapat dinyatakan bahwa dinamika Islamic Studies yang belakangan ini semakin intens dilakukan para ilmuwan Muslim kritis –semisal Arkoun, al Jabiri dan Hassan Hanafi—sehingga bandul paradigma Islamic Studies telah bergeser dari paradigma metodologi studi Islam dari studi yang terlepas dari konteks ke arah studi yang terkait dengan konteks28, sebagai implikasi dikenal dan diaplikasikannya frame filsafat ilmu model Popperian, akan tetapi sampai batas tertentu, dia telah ikut meretas jalan bagi dinamika kemajuan ilmu pengetahuan termasuk Islamic studies. kita mengikuti secara total ijtihadnya, akan tetapi setidaknya melalui karakteristik pemikirannya yang sangat menekankan kesementaraan, kesediaan untuk terus menerus diperbaiki serta pengarahan yang tetap terbuka31, dia telah mengajarkan model kritik yang jernih, rasional, menukik dan independen, sesuatu yang sangat eman dan terlalu berharga jika diabaikan. Wa Allâh a’lam bi al-shawâb Penutup Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya29, metode kritik yang ditawarkan Popper dapat ditransplantasi dalam Islamic studies.30 Hal ini tidak berarti M. Amin Abdullah, menguraikan tiga model peralihan bandul Islamic Studies dari yang berbasis terlepas konteks menuju yang terkait dengan konteks, yakni (1) paradigma filologis orientalistik, (2) paradigma fungsionalis modernisme dan (3) paradigma hermeneutik interpretative. Periksa Ibid., hlm. 348-360. 29 Tentang berbagai kekurangan pemikiran Popper –seperti keterbatasan pola falsifikasinya, periksa Chalmers, Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu, hlm. 63-70. Pada sisi lain, pemikiran Popper tentang evolusi ilmu pengetahuan telah dikritisi oleh Thomas Kuhn, yang intinya adalah bahwa apa yang dilakukan oleh Popper itu terlalu radikal, setiap teori yang terbukti salah ditolak dan karena itu akan sangat banyak teori-teori berharga yang menjadi gugur. Dalam pandangan Kuhn, yang diperlukan adalah bukan penolakan tetapi lebih kepada pergeseran atau perpindahan paradigma (shifting paradigm). Periksa Gahral Adian, Menyoal Objektivisme, 85-91. Pada sisi lain, teori falsifikasi Popper kemudian disempurnakan oleh Emre Lakatos, melalui The principle of a series theory (prinsip “serangkaian teori”) yang diajukannya. Periksa Muslih, Filsafat Ilmu, hlm. 149-150. 30 Meskipun tidak sepenuhnya identik, barangkali penggunaan kriteria sahih, da’if, mawdu’ dan berbagai kategori lainnya dalam ilmu hadith sebagaimana telah 28 900 diterapkan selama ini, dapat “disejajarkan” dengan pola falsifikasi yang ditawarkan Popper. Seorang sanad yang terbukti bohong dan kurang dabit (kurang kuat hafalannya), maka hadith yang diriwayatkannya tidak bernilai sahih, bahkan berkategori mursal, da’if dan kriteria negatif lainnya. Kiranya, apa yang ditawarkan Popper dapat dikembangkan pada matan hadith, dengan berbagai kriteria falsifikasi seperti pertimbangan rasionalitas, otentisitas dan lainnya. Demikian pula dalam disiplin ilmu lainnya, seperti disiplin ilmu fiqh, ushul fiqh dan ilmu kalam kiranya dengan penerapan prinsip falsifikasi Karl Popper --meski tidak sepenuhnya— sampai batas tertentu akan dapat mengantarkan dinamika dan revolusi besar dalam paradigma Islamic Studies. 31 Martin Suhartono, “Karl R. Popper: Belajar dari Kesalahan”, dalam Manusia Multi Dimensional, Sebuah Renungan Filsafat. M. Sastrapratedja, ed. (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 85. KARSA, Vol. X No. 2 Oktober 2006